everything will be okay

By society-kun

8.8K 1.1K 229

Mungkin bagi Halilintar terasa sangat sulit untuk memulai awal baru dengan mereka. Dari berbagai kejadian, po... More

Bab 1 - Kedatangan
Bab 2 - Hari Pertama
bab 4 - sebuah cerita
bab 5 - teman baru (1)
bab 6 - teman baru (2)
bab 7 - ke taman depan

Bab-3 Itu bagus

1.6K 212 79
By society-kun

'Sudah petang,' melihat matahari yang sudah berada di ufuk barat dari lantai teratas gedung perusahaan membuat Halilintar teringat pada dua adiknya. Dia melirik kaki kirinya yang sekarang berada di atas kaki kanan. Tadi Gempa mau menyentuh untuk menahannya pergi. Walau tidak jadi dilakukan tapi hal itu membuat Halilintar senyum-senyum sendiri di petang hari ini.

"Ehem, maaf mengganggu waktu luang Anda, Tuan Halilintar. Tapi saya ingin memberitahukan jadwal Anda besok," suara dari Solar melunturkan senyuman Halilintar begitu saja. Dia melirik pada si sekretaris dengan sedikit kesal.

"Katakan secukupnya, sisanya kirimkan email padaku," ujar Halilintar singkat. Solar mengangguk.

"Jam sembilan pagi besok akan ada rapat dengan perwakilan komunitas asuhan dari Vietnam, materinya akan saya berikan beserta jadwal lengkapnya. Lalu untuk siang hari akan ada pengecekan wilayah baru untuk cabang di Kota B," kata Solar sembari mematikan tablet miliknya. Melihat Halilintar yang berdiri dari kursinya dan mengambil mantelnya.

"Anda akan pulang sekarang? Tumben..." 

Halilintar meliriknya dingin, seolah memberi isyarat akan sesuatu yang Solar lupa. Solar tersadar seketika, dia menutup mulutnya berasa pikun.

"Ah, benar juga. Anda harus menjemput adik Anda. Maafkan saya."

"Ya, aku tahu kalau ingatanmu memang sebesar kacang tanah," ejek Halilintar. Mulut Solar terbuka dengan tidak percaya pada sahabat sekaligus atasannya itu.

"Pulang sana!" usir Solar.

Halilintar terkekeh jahat. Tanpa basa-basi dia pergi dari ruangannya meninggalkan Solar yang sudah bersiap melempar vas bunga buatan kalau dirinya masih bertahan di ruangan lebih lama.

Dia turun langsung ke lantai paling bawah, di mana mobilnya terparkir di sana. Setelah masuk ke dalamnya Halilintar langsung meluncur keluar gedung kantor dan pergi ke tempat dua adiknya berada sekarang.

.

.

.

"Taufan, Gempa," panggil Halilintar pada dua anak yang sedang makan puding di bangku bersama suster yang pagi tadi. Keduanya menoleh cepat begitu mendengar suara Halilintar memanggil nama mereka. Entah efek lampu atau apa, Halilintar merasa melihat binar cerah dari kedua mata Taufan maupun Gempa.

Halilintar mendekat, melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan dan makan.

"Itu apa?" tanyanya.

"Puding..." jawab Taufan malu-malu. Halilintar tersenyum tipis.

"Dokter Yaya kemana?" tanya Halilintar lagi.

"Tuan Halilintar, boleh bicara sebentar?" sela Suzy sebelum Halilintar mendapat jawaban dari pertanyaannya.

"Hm?"

Suzy tersenyum, mengisyaratkan kalau pembicarannya hanya bisa diikuti oleh dirinya dan Halilintar saja. Dengan begitu mereka bicara agak jauh dari Taufan Gempa.

"Dokter Yaya sedang keluar sejak pukul lima tadi. Kemungkinan Dokter Yaya tidak akan kembali malam ini. Jadi beliau menitipkan pesan saja kalau hari ini belum ada treatment khusus," katanya. Halilintar mengangguk.

"Kalau begitu sekarang akan kubawa pulang mereka berdua," Halilintar tersenyum tipis. Suzy hanya mengangguk dengan senyum berbunga-bunga karena punya kesempatan melihat sisi lain dari Halilintar.

.

.

.

Halilintar menatap intens pada pajangan di hadapannya. Penjaga toko tersebut hanya bisa tersenyum awkward karena kelakuan Halilintar yang diluar ekspektasi pertamanya. Di lihat dari luarannya juga semua orang pasti akan berpikir kalau pria yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri ini adalah tipe pendiam super dingin. Tapi lihat sekarang apa yang dia lakukan?

"Hei!"

Penjaga toko yang mengikuti Halilintar untuk beberapa keperluan tersentak ketika Halilintar memanggilnya dengan sapaan ambigu.

"Y-ya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

Halilintar mengernyit dalam. Penjaga toko mengkerut nyalinya padanya yang ditatap Halilintar bukanlah dia.

"Menurutmu..." Oh, ayolah, kenapa perkataannya harus dijeda panjang? Membuat jantung berdebar seperti sedang ikut wajib militer saja.

"Menurutmu bagus yang merah atau kuning untuk anak yang sedang makan jagung manis di sana?" tanya Halilintar sambil menyodorkan satu set baju tidur pada si penjaga toko.

Penjaga toko melirik cepat pada dua anak yang sedang duduk di tempat khusus yang disediakan toko pakaian tempat dia bekerja. Satu anak sedang makan melon, sementara satunya makan jagung manis rebus yang ajaibnya bisa mereka beli di mall ini entah di bagian mana.

"Hei, kau mendengarku?" tanya Halilintar lagi dengan raut sedikit menggelap. Si penjaga toko gelagapan.

"A-a-anu, itu, untuk anak yang sedang makan jagung manis ya? Hahahaha... eumm, menurut saya semua bagus, Tuan," kata penjaga toko dengan senyum canggung. Harus profesional! Harus profesional, pikirannya terus berkata seperti itu.

"Aku bertanya mana yang paling bagus. Kau itu tidak tahu cara memilih atau bagaimana?" kata Halilintar yang mana membuat si penjaga toko makin tergagap.

"Bu-bukan maksud saya, Tuan. S-saya rasa anak anda cocok dengan semua yang anda pilihkan. Bukannya anda ingin membelikan--"

"Oh, jadi maksudmu aku tidak bisa memilihkan mana yang terbaik dan seleraku buruk jadi kau pilihkan semua begitu?"

"Bukan seperti itu, Tuan. Kalau begitu yang kuning saja. Warna kuningnya tenang dan bahannya lebih lembut jadi anak anda bisa tidur dengan nyaman--"

"Kau memilihkan kuning karena yang merah lebih mahal, kau pikir aku tidak bisa membeli semuanya begitu maksudmu?!"

"Tuan, maaf--"

"Huh, akan kubeli semua. Semua yang dipajang di rak ini aku beli. Dari ujung itu sampai ini, aku beli semua! Cepat bungkuskan! Dan juga, mereka itu adikku, bukan anakku!"

"Ba-baik Tuan! Ma-maaf, saya permisi."

Halilintar mendengkus kesal saat penjaga toko itu lari menuju kasir dengan mendorong pajangan baju yang dia beli semua yang dipajang di sana. Dia menoleh ke arah Taufan dan Gempa yang asik makan melon dan jagung manis sambil melihat ke sana ke mari. Amarah Halilintar seketika menurun. Apalagi melihat tatapan polos dua anak itu. Dia segera menghampiri mereka.

"Hei, apa yang kalian lihat?" tanya Halilintar berjongkok di depan keduanya. Taufan menatapnya penuh binar. Di sekitar mulutnya penuh dengan cairan melon. Senyum ceria yang dia perlihatkan terlihat lebih cerah daripada lampu yang dipasang.

"Bajunya banyak sekali!!!" kata Taufan antusias. Gempa di sampingnya walau sepertinya malu mengeluarkan ekspresinya namun terlihat gembira seperti Taufan. Setiap Taufan bicara, kepala Gempa ikut terangguk setuju.

Halilintar tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengelap sekitar mulut Taufan lalu mengacak pelan kepala Taufan dan Gempa.

"Tunggu sebentar lagi, setelah ini kita beli yang lain. Kalian mau apa?" kata Halilintar.

"Es kri--"

"Hm?" Halilintar terheran dengan perubahan wajah Taufan yang tadinya cerah tiba-tiba menggelap.

"Ada apa? Kau sakit?" tanya Halilintar memegang bahu Taufan. Gempa di samping Taufan menunduk sedikit melihat wajah Taufan.

"Apa ada yang sakit? Coba bilang," kata Halilintar hati-hati.

Taufan menggeleng.

"Tidak, saya tidak sakit," jawaban Taufan tidak membuat Halilintar puas. Taufan terdiam tidak seperti beberapa saat lalu yang menatap ke segala arah dengan penuh semangat. Gempa menatap Taufan sedih.

"Taufan..."

Halilintar menatap mereka sambil berpikir keras. Kepalan tangannya dia genggam erat sembari memikirkan apa yang salah. Apa yang dia lewatkan?

"Setelah ini kita makan malam saja. Bagaimana kalau daging? Kalian mau?" tanya Halilintar.

Taufan dan Gempa saling tatap. Dengan kompak mengangguk pelan dan itu sedikit membuat Halilintar lega. Mereka tidak menolaknya.

"Tuan, permisi. Pesanan anda sudah kami bungkus seluruhnya," seorang pegawai toko yang berbeda dengan yang tadi menghampiri mereka. Halilintar mengangguk paham.

"Aku akan segera ke sana," katanya.

.

.

Taufan menatap es krim ukuran sedang yang ada di depannya dengan mata cerah. Tadi dia hanya keceplosan bicara, bahkan tidak menyelesaikannya namun Halilintar membelikannya. Dia melihat ke arah Gempa di sampingnya yang mengunyah daging dengan wajah bahagia. Taufan terkekeh geli, belum pernah dia melihat wajah seperti itu sebelumnya terpasang di muka Gempa. 

Es krim di depannya agak mencair, dengan satu sendok penuh Taufan mencoba memasukkan makanan dingin itu ke mulutnya. Rasa manis gula, susu, dan coklat menyatu dan sensasi dingin yang unik selalu bisa membuat Taufan semakin menyukai makanan penutup ini. Padahal dia belum menyentuh dagingnya namun Halilintar tidak marah dan malah menatap Taufan dan Gempa dengan wajah lembut. Taufan makin menyukainya.

"Setelah makan es krim jangan lupa makan dagingmu. Gempa, kunyah dagingnya sampai dua puluh kali," kata Halilintar. Taufan dan Gempa mengangguk patuh. Masih menikmati makanan mereka masing-masing.

Halilintar sendiri menyesap kopinya pelan, matanya tak lepas dari kedua bocah di depannya.

Ah, malam yang damai.

.

.

.

"Ah, ya. Akhir pekan ini aku akan libur dan melihat apakah mereka bisa baca tulis atau tidak. Kalau belum aku akan mengajarinya," kata Halilintar ketika perjalan pulang dari acara belanjanya.

"Hah? Kau mau mengajari mereka atau membuat mereka takut dengan metode belajarmu yang urakan?"

Sambungan telepon dikeraskan. Suara Solar di seberang terdengar mengisi mobil itu dengan jelas. Halilintar kesal mendengar respon barusan.

"Kau bilang apa?!"

"Hei, mana mungkin aku bisa percaya dengan dirimu yang seperti itu akan mengajari mereka dengan baik? Aku akan ke apartemenmu akhir pekan. Akan aku pantau bagaimana caramu mengajari mereka," kata Solar di seberang.

"Seperti itu kau bilang? Memangnya kau tau bagaimana aku mengajari anak-anak?"

"Duh, duh. Tolong sadarlah diri. Sebanyak apapun gadis yang menyukai dan mengagumimu, wajahmu itu lebih mirip yakuza yang bisa membuat anak kecil kencing di celana hanya dengan kau tatap saja. Daripada mental mereka makin menciut karena kau ajari, lebih baik kau serahkan saja padaku."

"Mulutmu itu perlu diberi tepukan besi berkarat supaya bisa diam dan tidak asal bicara ya. Tidak usah kau ke apartemenku. Jauh-jauh kau dari adikku dasar playboy kelas teri," Halilintar tidak mau kalah kalau urusan berdebat dengan sekretarisnya itu di luar jam kerja. Sebanyak apapun mereka bicara sebagai teman, maka yang keluar hanyalah sumpah serapah yang makin lama akan makin tidak jelas.

"Ya ya, aku akan ke sana akhir pekan. Hati-hati di jalan Kakak Halilintar~"

"Apa?! Hei, jangan berani kau- Solar! Dasar--!"

Suara terputusnya sambungan telepon membuat Halilintar makin kesal. Untungnya suaranya dan Solar tidak membuat dua anak yang sedang tidur di kursi belakang terbangun. Taufan dan Gempa langsung tidur setelah mereka keluar dari area mall. Tadinya Taufan saja, kemudian Gempa menyusul tidur saat mereka mengisi bahan bakar mobil. Dua anak itu berselimut jas luar Halilintar yang dia kenakan sedari tadi.

Halilintar mendengkus geli. Agak bangga dengan pencapaiannya hari ini dalam mendekatkan diri dengan kedua adiknya. Entah kenapa membuat sebuah tawa aneh yang terus keluar dari pemilik perusahaan terkenal itu.

.

.

.

Ketika pintu dibukakan, wajah Solar yang tadinya sedatar papan tulis langsung cerah, apalagi yang membukakannya adalah Gempa.

"Pagi, Gempa!" sapa Solar yang memakai baju bertuliskan earthquake itu. 

"Kak Solar, aku Taufan."

"Hah?"

.

"Ja-jadi kakak kalian salah memakaikan baju?" tanya Solar pada dua anak yang berdiri dan duduk di sampingnya ini. Keduanya mengangguk seperti tidak terjadi apa-apa. Taufan yang tadinya berdiri, merambat naik ke atas sofa dan duduk di samping Gempa yang sedang minum susu kotak.

"Pfft-- AHAHAHAHAHAHAHA!!!" Solar tak bisa tidak tertawa dengan fakta seperti itu. Bahkan Halilintar yang memelototinya di counter dapur dia abaikan dan terus tertawa dengan nista. Hilang sudah martabat yang Solar bangun sangat indah sampai dijuluki orang sempurna di kantornya.

"Oi!" suara Halilintar terdengar mengancam namun bagi Solar hanya angin lalu.

"Hahahaha aduh aduh, kenapa, ehem kenapa uhuk ahahahaha kalian tidak mencegahnya?" Solar berusaha mengontrol tawanya dan bertanya pada mereka.

"...eum, soalnya, beliau... terlihat senang," gumam Gempa. Solar hampir menyemburkan tawanya lagi namun dia tutupi dengan tangannya.

"Kak Solar! Kak Solar! Ayo tunjukkan itu lagi!" Taufan memegang lengan Solar dan memintanya dengan mimik ceria.

"Itu?" gumam Halilintar di dapur. Dirinya sibuk membuka camilan untuk Gempa dan Taufan jadi mau tidak mau membiarkan Solar bersama kedua adiknya.

"Hoo, kalian mau lihat itu lagi?" tanya Solar, kepalanya bersangga pada tangan yang disandarkan pada bantalan sofa. Gempa yang berada tepat di sampingnya mengangguk, sementara Taufan tersenyum lebar.

Solar melirik Halilintar yang berjalan ke arah mereka dengan nampan penuh camilan. Pria berkacamata itu menyeringai jahil.

"Coba keluarkan dulu mantra ajaibnya, baru nanti akan aku tunjukkan lagi," kata Solar masih tersenyum seringai. Hal itu tak luput dari mata Halilintar yang mencium bau kelicikan.

Taufan dan Gempa mengangguk kompak.

"Kakak Solar, tolong nyalakan televisinya~!"

Kalimat si kembar membuat Halilintar seperti disambar petir di siang bolong. Sementara Solar duduk dengan wajah penuh kemenangan. Solar tahu betul kalau si kembar belum berani dan belum terbiasa dengan panggilan kakak apalagi pada Halilintar jadi dia memanfaatkan kesempatan yang ada dengan mencuri start.

"Kkkkkkakak?"

Oh lihat senyum penuh kemenangan di wajah Solar itu.

"Tentu saja~ Kakak Solar ini akan menyalakan televisinya seperti yang kalian minta," kata Solar makin memanasi suasana dengan menekan kata 'Kakak' pada perkataannya.

"Waahh," Taufan dan Gempa yang tidak menyadari perubahan suasana pada Halilintar hanya bisa terkagum dengan televisi canggih yang muncul dari atap dengan remote control dari Solar.

Halilintar makin kesal dengan semua tingkah Solar saat ini. Padahal dia saja belum dapat panggilan itu. Bisa-bisanya Solar dapat lebih dulu?! Gempa dan Taufan jika ditanya tentang dirinya akan menggunakan bahasa yang sopan seperti 'beliau' atau 'anda' jika sedang bicara dengannya. Jangankan panggilan kakak, ingin memanggil saja mereka seakan sangat sungkan dan takut. Tapi lihat apa yang dilakukan orang planet Pluto ini pada adik-adiknya!

"Nah, sekarang ayo nonton kartun," dan dia sama sekali tidak menghiraukan tatapan kesal dari Halilintar.

"Oi!"

.

.

"Jadi kalian belum bisa membaca dan menulis ya," kata Halilintar setelah bertanya dengan sangat hati-hati pada si kembar tentang hal tersebut. Keduanya menunduk lesu, terlihat malu dan menyesal karena tidak bisa melakukan yang ditanyakan Halilintar.

Solar dan Halilintar saling tatap. Memang harus hati-hati dan lebih santai atau pelan dan sabar lagi saat bersama dengan mereka.

"Tidak apa-apa, Taufan, Gempa. Kan Kakak Hali hanya bertanya. Kalian bicara dengan jujur kalau belum bisa itu bagus. Karena setelah ini Kakak Halilintar akan mengajari kalian," yang bicara barusan adalah Solar. Halilintar walau masih sebal dengan Solar namun mengiyakan perkataan temannya itu dengan raut serius.

"Tidak marah?" tanya Taufan ragu.

"Untuk apa marah?" pertanyaan Taufan dibalas pertanyaan juga oleh Solar. Anak itu menunduk dan memainkan bajunya.

"Kita akan belajar pelan-pelan. Kalian berdua, kemarilah," Halilintar mengayunkan tangannya mengajak mereka mendekat. Taufan dan Gempa turun dengan patuh dan mendekati Halilintar. Ketika mereka dekat, Halilintar langsung meraih tubuh mereka satu persatu dan memangkunya.

Walau terlihat terkejut namun baik Taufan dan Gempa tidak ada yang menolak. Halilintar mengambil tabletnya di meja. Solar hanya memperhatikan dengan santai dan minum matcha yang dibuatkan Halilintar.

Tiga orang yang duduk di karpet mulai mengeja alfabet dengan perlahan dan antusias.

Sekitar satu jam kemudian,

"Coba ikuti ini. Be A, Ba."

"Be A, Ba."

"Be U, Bu."

"Be U, Bu."

"Tunjukkan pada Kakak Solar bagaimana bacanya."

"Babu!"

Kalau ini adalah komik yang sering Solar baca, maka pasti di kepalanya sekarang muncul pertigaan ibarat urat-urat kemarahan karena dipermainkan oleh Halilintar berkedok mengajari membaca.

"Iya benar, bacanya babu. Pintar sekali. Coba ikuti ini juga."

Solar tertawa datar. Begini ternyata cara Halilintar balas dendam saat ada pawangnya. Ada-ada saja tapi jujur saja membuat Solar kesal.

"Coba ikuti yang ini. Babi bu be bo," saat Halilintar berkata awalan, wajahnya menatap Solar dengan sengaja dan tajam. Jangan lupa seringai tertahan di wajahnya. Solar ingin menghantamkan wajah itu ke meja sekarang juga.

"Ba bi bu be bo," ucap Taufan dan Gempa kompak.

"Pintar sekali. Siang ini sudah sampai ini dulu ya. Nanti malam kita lanjut lagi," kata Halilintar mengakhiri acara mengajarnya dengan tepukan kepala pelan pada keduanya. Taufan dan Gempa tersenyum lebar setelah diajari membaca Halilintar.

"Sekarang waktunya makan siang. Kalian makan camilan dulu, Kakak Hali akan masak," kata Halilintar. Keduanya mengangguk dengan senang hati dan berdiri dari pangkuan Halilintar.

Sementara si kembar mulai merambat naik ke sofa untuk makan camilan, Halilintar beranjak pergi ke dapur akan memasak. Saat itu Solar dengan sengaja mengikuti Halilintar.

"Dasar kekanakan," sindir Solar.

"Kau barusan bilang apa?"

"Tidak, wah apartemenmu punya tokek terbang ya," kata Solar mengalihkan pembicaraan lalu melarikan diri setelah menyambar minuman dingin di kulkas Halilintar.

"Bedebah sialan."

"Eits, jaga mulutmu kawan. Nanti adikmu dengar," kata Solar masih sempat menoleh ke belakang dan berpose seperti menembak dengan kedua tangan dan botol minuman dingin dia letakkan di antara ketiak dan lengannya.

"Taufan, Gempa~ KAKAK Solar bawa minuman dingin~" Masih saja Solar menekan kata 'kakak' untuk memancing amarah Halilintar.

.

.

Pukul enam sore Solar beranjak pulang setelah seharian ikut bermain dengan si kembar di apartemen milik Halilintar. Dia melambai pada dua anak itu sebelum keluar dari pintu dan dibalas lambaian juga oleh keduanya.

"Besok-besok Kakak Solar akan datang lagi~" kata Solar.

"Iya~" jawab Taufan dan Gempa mengikuti cara bicara Solar yang dibuat-buat.

"Haha, tidak usah repot-repot kan kau orang sibuk," potong Halilintar yang melambai guna mengusir Solar.

"Ya ampun tidak usah sungkan. Aku kan your bes pren porepah," sahut Solar cepat.

"Hahahaha aku tidak peduli, sana pulanglah!" usir Halilintar makin tidak sabar.

"Dan enyahlah!" sambungnya dalam hati.

"Tentu tidak semudah itu, Halilintar," balas Solar seperti terkonek dengan pikiran Halilintar.

Pintu akhirnya ditutup. Halilintar masih melambai untuk membuat mantra pengusiran setan versinya dengan peran setan dipegang oleh Solar.

Tiba-tiba dia merasakan kain celananya ditarik-tarik pelan.

"Ya? Ada apa Taufan?"

"Eum, yor bes pren poreppah itu apa?" tanya Taufan polos.

"Itu hanya omong kosong Solar, jangan dipikirkan," jawab Halilintar kalem. Taufan mengangguk walau masih tidak paham.

"A... eum, a-"

"Gempa? Ada apa?" tanya Halilintar saat matanya menangkap Gempa seperti ingin bicara. Gempa terdiam beberapa saat dan mendapat perhatian penuh dari kedua orang di depannya. Dia menunduk gelisah.

"E-eum, t...tidak," ucap Gempa pada akhirnya dan menggeleng kuat. Halilintar dan Taufan tanpa rencana memiringkan kepala mereka bersamaan.

"Hm, ya sudah. Ayo mandi dulu sebelum makan malam," ajak Halilintar. Dia berjalan duluan untuk mengambil perlengkapan mandi mereka. Dan si kembar terus membuntutinya seperti anak ayam yang mengikuti induknya.

.

.

.

.

.

Hallow everybody, alhamdulillah masih lanjut ini fanfic ya hehehe. Fluff semua kan isinya??? Kayaknya cukup untuk hari ini. Oke, sampai jumpa di chapter depan!!! Terima kasih banyak sudah membaca dan berkenan berkomentar. Salam hangat!!!

Continue Reading

You'll Also Like

69.9K 3.4K 21
[ 18+ Mature Content ] Gerald Adiswara diam diam mencintai anak dari istri barunya, Fazzala Berliano. Katherine Binerva mempunyai seorang anak manis...
85.4K 11.1K 63
⚠:some parts contain 🔞 Akibat ketamakan dan kekuasaan, Lee Sunghoon yang merupakan Pangeran Mahkota harus mati ditangan adik kandungnya sendiri, ya...
465K 30.5K 33
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
118K 17.5K 27
start : 11/02/24 end : - plagiat menjauh cok! hanya halu gak usah bawa ke dunia nyata! CERITA KE 26.