Enam Tahun Kemudian

By MbakTeya

735K 57.6K 1.8K

Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat

Sepuluh

35.2K 2.8K 91
By MbakTeya

"Radi benar-benar luar biasa, ya. Kamu juga mendidiknya dengan sangat baik."

"Apa?" kata Remi menatap Bumi dengan terkejut. Dia tidak mengharapkan Bumi akan bersikap seperti ini, takjub dan tampak semakin tertarik pada Radi. Yang dia inginkan hanya satu, Bumi segera pulang dan mengabaikannya dan Radi.

"Kamu kenapa kaget begitu?" tanya Bumi dengan kening berkerut. Remi aneh, sebagai seorang ibu seharusnya Remi merasa bangga jika ada seseorang yang memuji dia dan anaknya. Tetapi respons Remi di luar perkiraan Bumi.

Meskipun Radi bukan anak kandung Remi, tetapi tetap saja Radi besar di bawah perawatannya. Dia saja yang  baru pertama kali bertemu Radi merasa bangga melihat anak seluar biasa itu.

"Bukan apa-apa," kata Remi menggeleng. Dia memilih mengabaikan Bumi dan fokus menemani Radi yang tengah bermain. Tadinya di ingin ke dapur, membantu atau sekedar melihat-lihat menu makan malam. Tetapi semuanya batal karena ada Bumi di sini, dia tidak mau anaknya menjadi semakin akrab dengan Bumi.  

Setelah beberapa detik tidak mendengar tanggapan, Remi sudah senang karena Bumi tidak banyak tingkah dengan menuntut jawaban. Akan tetapi kesenangan itu hilang seketika  itu juga saat lelaki itu memilih duduk di dekat  mereka sembari mengobrol dengan ayahnya. Jujur saja Remi heran, kenapa sih Bumi tidak duduk saja di dekat ayahnya. Di atas sofa yang sudah pasti lebih empuk dan nyaman.

"Makan malam sudah siap, ayo ke ruang makan," kata Ibunya memberi tahu suami dan putrinya. "Bumi kamu makan malam di sini, ya. Tante masak banyak buat menyambut Remi."

Bumi mengangguk. "Terima kasih, Tante. Saya jadi merasa tidak enak. Baru datang sudah disuguhkan makanan."

"Tidak apa. Seperti sama siapa saja," kata Ina sembari mendekati cucunya. "Ayo, Sayang. Kita makan malam, Oma goreng udang, loh. Besar-besar lagi." Ina menggandeng Radi dan mengajaknya ke meja makan bersama. Sedangkan Remi disuruhnya memanggil Arkan yang masih di kamar.

Meski enggan meninggalkan Radi, Remi tetap mengangguk. Dengan cepat dia memanggil Arkan, mengomeli anak itu karena tidak segera ke luar begitu jam makan malam sudah dekat. Sedikit melampiaskan kemarahannya pada Arkan tak apa, kan? Lagi pula gara-gara Arkan juga dia harus meninggalkan Radi di tempat yang sama dengan Bumi.

Karena Remi benar-benar cepat, dia sudah kembali tidak sampai dua menit. Namun, dia tetap terlambat menjauhkan Radi  dari Bumi. Kini anaknya duduk di samping lelaki itu, menemani mengobrol tantang kapten Zoro. Akan gawat jika Bumi benar-benar tertarik pada Radi dan mempelajari kesukaan anaknya.

Bingung harus bagaimana dan tidak ingin duduk di samping Bumi, Remi memilih duduk di dekat ayahnya, berhadapan langsung dengan sang Ibu.

"Ladi mau duduk sama Mami," kata Radi melihat sang Ibu duduk jauh darinya. Tanpa menunggu jawaban dari siapa pun Radi sudah turun dan memutar mendekati Remi.

Remi tersenyum, dia segera menarik keluar kursi di sisinya dan membantu Radi duduk dengan benar.

"Mami suapi Ladi, ya," kata Radi dengan suara pelan agar hanya ibunya saja yang mendengar.

Remi mengerutkan kening, tidak biasanya Radi meminta disuapi. Apalagi sekarang dia sedang senang-senangnya makan sendiri. "Tapi kenapa, Sayang?" tanya Remi ikut berbisik.

"Nanti belantakan. Ladi takut Oma malah."

Remi tersenyum, dia menyentuh kepala anaknya dan mengusapnya pelan. Meski sudah biasa makan sendiri, tapi tetap saja satu dua gumpalan kecil nasi masih sering terbang ke mana-mana dari atas piring Radi. "Tenang saja, Sayang. Oma tidak akan marah. Oma malah akan senang jika melihat Radi makan sendiri," kata Remi menenangkan kegelisahan anaknya. "Tapi kalau mau di suapi, Mami akan suapi Radi."

Radi terdiam lumayan lama, anak itu memiringkan kepala. Menatapnya dan sang Oma beberapa kali sebelum kembali berbisik. "Oke, Ladi akan makan sendili."

Tersenyum bangga, Remi menepuk kepala anaknya sebelum mulai menaruhkan nasi ke piring Radi. Dia juga meletakan udang yang sudah di potong agar memudahkan Radi memakannya.

"Radi sudah pandai makan sendiri, ya? Duh senangnya Oma." Ina menatap Radi kagum, sebelum bangkit dan berjalan ke sisi sang cucu setelah selesai melayani sang Suami. Sejak awal dia memang berencana duduk di samping Radi, tetapi gagal karena cucunya itu pindah. "Ardan, pindah. Ibu mau duduk di sini."

Melihat ibunya mengusir Ardan yang baru saja hendak memasukkan makanan Ke mulut, nyaris membuat Remi tertawa. Apalagi saat adiknya itu pasrah dan pindah tempat duduk sembari menggerutu pelan, Remi benar-benar tidak bisa menahan kekehan.

Remi sedang asyik menertawakan adiknya saat merasakan tatapan seseorang, dia menoleh hanya untuk beradu tatap dengan Bumi yang memasang senyum tipis. Remi mengerutkan kening, lalu segera mengalihkan pandangan, dia memilih fokus pada makanannya sendiri dan juga Radi di sisinya. Mengabaikan Bumi yang masih terus menatapnya.

Bumi benar-benar kagum pada Remi, dan dia juga merasa sangat senang. Tidak sia-sia dia menahan kemarahan sang Kakak karena langsung izin pulang begitu tidak lama tiba di rumah kakak perempuannya. Dia juga hanya bisa meminta maaf pada keponakannya dan berjanji akan mengajak jalan-jalan di lain kesempatan.

Dengan berbagai alasan, Kak Bulan akhirnya mengizinkan. Tetapi begitu sampai di ibu kota, dengan nekat dia langsung mampir ke rumah Remi tanpa sepengetahuan keluarga. Dia benar-benar parah.

Akan tetapi tidak masalah, dia benar-benar senang sekarang. Ditegur karena pulang tiba-tiba dari tempat Kak Bulan juga bisa ditanggungnya nanti. Karena sekarang dia benar-benar merasa bahagia dapat bertemu dan makan satu meja bersama Remi lagi.

"Makan yang banyak ya, Sayang. Biar makin cepat besar."

Bumi melirik Radi saat melihat anak kecil itu mengangguk dengan makanan penuh di mulut kala mendengar ucapan Omanya.

Dengan masih memperhatikan Radi dan Remi, Bumi mulai memakan makan malamnya.

Mereka selesai makan malam setengah jam kemudian, Bumi tetap di sana selama dua jam ke depan sebelum pamit pulang saat Radi sudah terlihat mengantuk. Saat Bumi izin pulang, dia tidak mengira Remi akan mengikutinya keluar. Bumi sudah tersenyum karena berpikir Remi sudah benar-benar memaafkannya.

Meskipun dulu dia berpikir pendek, tetapi setelah Remi menghilang tanpa kabar dia menyadari jika wanita itu masih menyimpan kemarahan. Tetapi sekarang tampaknya, Remi benar-benar sudah memaafkannya. Bumi sangat senang sampai-sampai dia tersenyum sangat lebar, namun senyumannya itu langsung menghilang saat mendengar ucapan Remi.

"Apa maksudmu?" tanya Bumi menghentikan langkah. Dia benar-benar bingung saat Remi memintanya untuk tak sering-sering datang. Apalagi jika tidak ada keperluan mendesak.

"Apa kamu masih marah dengan kejadian lalu, saat aku menuduhmu yang bukan-bukan?" tanya Bumi menatap Remi dengan sesal. Kebodohannya dulu memang benar-benar mengerikan. Bumi saja tidak habis pikir dengan jalan pikirannya sendiri, bisa-bisanya dia menuduh sahabat yang sudah dikenal puluhan tahu sepeti itu.

"Ya. Aku masih belum melupakan kejadian itu." Remi sudah bilang kan, tuduhan Bumi jutaan kali lebih menyakitkan dari pada kesalahan satu malam yang mereka lakukan.

Bumi memejamkan mata. Dia menunduk penuh sesal. Apa yang harus dia lakukan agar Remi dapat memaafkannya. Penjelasan sudah dia lakukan sejak dulu, tetapi Remi belum juga menerimanya kembali sebagai sahabat dekat wanita itu.

"Aku minta maaf, Remi. Aku benar-benar minta maaf. Saat itu aku terlalu terbawa emosi sesaat," kata Bumi pelan. Dia menelan ludah saat melihat Remi mengalihkan pandangan. "Aku menyesal, apa yang harus kulakukan agar kamu mau memaafkanku dan kita bisa dekat seperti dulu. Apa perlu aku berlutut?" Tidak menunggu jawaban Remi, Bumi segera berlutut.

"Apa-apa, apa yang kamu lakukan?!' tanya Remi kaget setengah mati. Dia menatap Bumi yang berlutut sembari menengadah, menatap langsung ke matanya dengan tak percaya. Apa Bumi sekarang sudah mulai gila?

"Berlutut, memohon ampun pada sahabat yang telah aku lukai hatinya," kata Bumi tegas, yang malah membuat Remi terperangah.

"Bangun, Bumi. Kamu memalukan!" Remi menatap Bumi jijik. Dia menduga lelaki itu benar-benar hilang kewarasan. Apanya yang lebih cerdas, sekarang Bumi malah terlihat sangat bodoh.

"Aku akan bangun setelah kamu memaafkanku," kata Bumi benar-benar tulus.

Namun, di mata Remi, lelaki di depannya benar-benar memuakkan. Bodohnya sudah tidak ada obat dan tak bisa tertolong lagi.  Dikira Bumi dengan dia berlutut Remi akan memaafkannya begitu saja. Remi tidak akan sudi melakukan itu. Dia tidak akan pernah memaafkan seseorang karena di paksa.

"Jadi kamu mau aku maafkanmu karena terpaksa?" tanya  Remi yang membuat rona wajah Bumi berubah. Tidak ada jawaban dari Bumi, membuat Rumi mendengkus kesal. "Percuma, Bumi. Aku tidak akan melakukan itu. Dengan kamu yang berlutut seperti ini malah membuatku semakin marah."

Bahu Bumi terkulai, dia sedikit meringkuk ke depan. Kepalanya tertunduk dalam. Tidak menyangka akan mendengar kalimat menusuk dari Remi. Dia kira dia akan benar-benar dimaafkan, tetapi ternyata itu hanya khayalannya saja.

Namun, Bumi harus tetap optimis. Bagaimana pun caranya, dia akan membuat Remi menjadikannya sahabat dan tempat curhat wanita itu lagi. Jika berhasil, dia akan menjaga persahabatan mereka dengan baik, tidak akan membiarkan terputus di tengah jalan lagi. Sekarang Bumi tahu, mencari sahabat baik yang setia dan bisa dipercaya itu sanggatlah sulit.

Dengan keputusan itu, Bumi mendongak. Dia kembali menatap Remi dengan tatapan serius. Lalu dengan gerakan perlahan Bumi menyentuh tangan Remi, mengecupnya pelan sebelum meletakan tangan tersebut di kening. Bumi tahu Remi ingin menarik tangannya, tetapi dia dengan keras kepala mempertahankan.

"Aku minta maaf, Remi. Kamu boleh saja merasa jijik padaku, muak dengan kehadiranku di sekitarmu. Tetapi aku mohon, jangan larang aku untuk terus meminta maaf padamu. Jangan larang aku untuk mendekatimu lagi. Berapa lama pun waktu yang dibutuhkan, aku akan tetap sabar dan terus meminta maaf sampai kamu bosan. Lalu benar-benar memaafkanku dengan tulus dari hatimu yang paling dalam," kata Bumi memohon.

Belum sempat Remi menjawab, teriakan terkejut yang datang dari arah belakang membuat mereka menoleh. Remi membeku melihat Arkan, adik bungsunya yang tengah terperangah.

"Wow. Apaan ini? Lamaran?" tanya Arkan dengan cepat setelah kesadarannya kembali. Melihat Bumi yang berlutut seperti itu di hadapan Kakak perempuannya, hanya lamaran yang terlintas di kepala. Apalagi dia tidak mendengar dengan jelas apa yang tengah mereka berdua bicarakan. Namun, sudah pasti ini lamaran.

"Ya," jawab Bumi linglung. Dia kaget dengan teriakan dan pertanyaan mendadak Arkan. Lebih kaget lagi saat melihat lelaki itu mengumpat sebelum berteriak.

"Ibu, Ayah!! Kak Remi dilamar Bang Bumi!!"






Yeee, hutang kemarin akhirnya lunas juga.

Ehem-ehem, ada yang salah paham, dikira lamaran. Jadi gimana, tuh?

Continue Reading

You'll Also Like

7.2M 352K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
553K 21.3K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
797K 51.6K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1.1M 109K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...