(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab XIII

561 28 0
By Pandayusy

Back to Ara.

Aku tidak mengerti berada di mana. Tapi tempat ini sungguh indah, di depanku ada banyak hamparan bunga yang bermekar. Senyumku merekah, entah kenapa rasanya sangat bahagia.

Aku berjalan menuju salah satu bunga yang tidak pernah aku temui. Sangat cantik, dengan warna kuning merekah, serta kelopak yang bermekar dengan perpaduan tangkai hijau tua. Apakah ini mawar?

"Bukan." Sebuah suara menghentikan tanyaku. Aku menoleh ke arah sumber yang berasal dari depanku. Ada seorang laki-laki, dan tidak aku kenal. Tubuhnya tinggi, kulitnya yang tidak terlalu putih, tatapan mata tajam, dengan mata indah berwarna coklat, bibir tipis, ditambah hidung mancung yang membuatnya semakin berkharisma?

"Lo siapa?!" Kataku galak.

"Ini bukan mawar. Tapi Tulip," laki-laki itu menatapku, "Kenapa kamu sepertinya tertarik?"

Aku diam sejenak, mencerna pertanyaannya. Jujurnya, aku tidak ingin menjawab tapi, "Entah, sepertinya bunga ini memiliki sesuatu yang membuatku tertarik."

"Cinta sebelah tangan, sebuah penolakan menyakitkan. Itu makna dari bunga yang kau lihat."

Aku terperanjat mulutku menganga. "Ba---gaimana?"

"Mungkin, sekarang kamu memang mengalaminya. Tapi, cobalah belajar dari mereka walaupun terluka tetap bermekar. Karena, sebanyak apapun mereka dikecewakan, mereka dibuang, pada akhirnya mereka akan tetap tersenyum membuktikan kekuatan. Membuktikan, bahwa mereka tetap bisa bahagia."

Tiba-tiba saja air mataku mengalir, rasanya sesak ketika laki-laki dihadapanku berkata seperti, yang bahkan aku tidak kenal siapa dia. Dan, terutama bagaimana dia bisa tahu perasaanku saat ini.

"Ini buat kamu," dia menyodorkan setangkai bunga Tulip. Hanya saja kali ini berwarna soft pink. Aku melihat ke sekeliling taman, tidak ada bunga seperti ini. Lalu di mana dia bisa mendapatkannya?

"Percayalah," dia mengusap pipiku, yang terasa basah. "Sejauh mana pun kamu mencoba melupakan. Kamu tidak ada lupa terkecuali menghadapinya yang ada dihadapanmu.Kamu harus bahagia. Karena kebahagiaanmu akan datang beriringan dengan takdirmu, kuatkan lah menjalankan semua ini."

Dia pun bergegas menjauh, "Aku pulang. Suatu saat nanti kita akan bertemu. Dan, jangan pernah menangis ya!" Laki-laki itu berjalan jauh. Tapi, tiba-tiba dia kembali lagi.

Mengecup keningku lama, perasaan nyaman itu menjalar.

"Kamu memang selalu dihatiku, dan ketika aku datang, aku yakinkan kamu menjadi milikku. Selamanya."

Blaaasshhhh

Angin yang tidak tahu datang dari mana langsung membuatku tersadar. Laki-laki tadi sudah tidak ada. Menggerakan kepalaku, melihat tidak ada siapapun. Kemana dia? Dengan langkah tertatih, dan tangan yang menggengam bunga aku pun berjalan tidak tentu arah.

"Ara, bangunnnn! Ayoo bangun, jangan tidur begini. Lo tega sama gue."

Aku kembali menoleh, suara itu sepertinya sangat aku kenal. Kepalaku berputar-putar.

"APRAYUNAAAAAA BANGUN!!!!"

Suara itu juga aku kenal. Tapi aku tidak ingat, siapa mereka? Sekelebat bayangan melintas di hadapanku. Memori itu terputar, ketika bagaimana aku sakit. Bagaimana aku berada di taman, bagaimana aku menangis di pelukan seseorang. Bagaimana aku menahan amarahku, bayangan bagaimana aku menghancurkan sebuah ruangan. Bayangan di mana, aku terduduk dengan dua orang dihadapanku menangis.

Dan sebuah nama meluncur dari mulutku, seperti menyambung dengan perkataan laki-laki tadi.

"Kayro..."

"ARAAAAA!!" Teriakkan memekikkan itu membuatku terdorong jauh. Aku rasakan tubuhku terhempas ke sebuah tempat yang tidak tahu di mana, karena hanya cahaya putih terang menyelimutiku.

*

Beribu-ribu kilometer di sana, di atas kursi dalam sebuah ruangan laki-laki itu mengerjap kaget dengan mimpi yang dia dapat.

"Haa. Mimpi itu lagi!" Perasaan tidak enak  pun menjalar, dia merasa sangat khawatir tentang perempuannya. Sepertinya takdir, membuatnya harus selalu mengingat perempuan mungil yang membuat jantungnya kempas-kempis meski hanya lewat tatapan.

Mengusap wajahnya gusar. Mengingat kembali mimpi yang dia alami. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri pun, masih belum bisa dicerna akal sehat.

"Kamu memang selalu dihatiku, dan ketika aku datang, aku yakinkan kamu menjadi milikku. Selamanya."

Setelah pikiran yang berkecamuk dengan berbagai macam pikiran laki-laki bermata coklat itu pun beranjak dari kursinya pergi meninggalkan ruangan yang senyap. Mencoba mencari segala sesuatu untuk mengalihkan mimpi dan perempuan itu.

*

Aku mengerjap beberapa kali dengan cahaya putih yang begitu menusuk. Rasanya tubuhku remuk, dengan lemparan yang tidak tahu berasal dari mana. Aku mengerang, ketika merasakan tanganku begitu kaku.

"Errnggg.."

"Ara? Lo bangun ra? Lo bangun?"

Suara ka Ori yang sudah sangat aku hafal menghampiri pendengaranku. Aku masih mencoba beradaptasi dengan sinar terang yang seoertinya terlalu mencolok di mataku.

"Ra! Lo bangun raa!" Teriakkan ka Ori semakin membuatku mencoba untuk membuka mata yang sangat lengket ini. Dan begitu terbuka, aku bisa melihat ka Ori ada dihadapanku.

"Ara..." Aku tahu, wajah ka Ori benar-benar kusut. Sepertinya kali ini aku yang membuat dia begini. Tanpa banyak bicara, ka Ori memelukku. Dan berucap syukur bahwa aku sudah bangun.

Memangnya aku kenapa? Batinku.

"Syukur ra lo bangun. Gue pi--kir gue bakal kehilangan lo."

"Guu---"

Sepertinya ka Ori sadar dan melepaskan pelukanku lalu mengambil air putih yang berada di atas nakas. Membantuku bangun untuk meminum.

"Udah?" Tanyanya, yang aku jawab mengangguk.

"Gue panggilin dokter dulu ya." Ka Ori pun beranjak. Dan meninggalkanku sendiri di kamar yang sangat aku yakini adalah di rumah sakit. Rasanya, badanku terasa kaku semua. Aku tidak ingat berapa lama aku berada di sini, yang aku ingat adalah tubuhku tidak bisa digerakkan waktu aku berada di dalam kamar mandi.

"Hahahhaha." Rasanya, ada yang mengambil alih kembali atas tubuhku. Aku tiba-tiba tertawa dengan kelakuanku sebelum aku pingsan, aku yang menangis, aku yang menghancurkan kamarku, aku yang terluka raga dan batin.

Apa aku sudah gila? Pertanyaan, dari sisi lain dalam hatiku membuat ku menggeleng. Tidak mungkin.

"GAK MUNGKIN!!! ENGGAK! ENGGAK!" Aku menggeleng kembali dengan hebat. Tapi suara itu masih ada, dan terus berteriak meneriakan aku gila.

Ceklek.

Seorang dokter dengan suster menghampiriku. Aku mengeryitkan, dahiku.

"Ara?" Panggilan ka Ori membuatku menoleh.

"Aku kenapa diperiksa? Aku ga sakit kak. Aku ga gila kak. Dari tadi semuanya bilang aku gila. Aku ga sakit kak. Ayo pulang, sebentar lagi aku mau berangkat. Ayoooo kak!!!" Rengekku. Ka Ori malah memelukku, dan mengusapkan. Kembali, aku menangis.

"Iya kamu sehat kok."

Aku tersenyum lebar, "Iya aku sehat banget nih lihat!" Teriakku dalam pelukannya, melirik ke dokter yang ada tepat di belakang ka Ori yang tersenyum ke arahku.

"Tapi ada sesuatu yang salah dengan kamu Ara."

Deg.

Aku terdiam ke arah ka Ori yang berkata seperti itu. "Enggak, aku salah apa? Aku ga salah kok. Ayo pulang! Aku mau ketemu Kay, sama siapa tuh ceweknya dia? Ayooo aku mau lihat Kay ketawa. Ayo sebentar lagi aku kan pergi. Hahahahahaha, aku mau tunjukkin sama Kay aku kuatt kak."

Aku tertawa, dan tiba-tiba saja jantungku terasa sakit seperti diiris.

"Kaa. Kaaa...." Aku memanggil ka Ori tapi dokter itu malah membaringkanku dan menanyakan banyak hal yang tidak aku dengarkan. Tapi, kilasan bayangan yang aku lewati terlewat begitu saja di depan mata. Aku tertawa, semakin tertawa.

"HAHAHAHAHAHHAHAHAHHA..."

Aku tertawa dengan kondisiku terakhir. Dan mencoba menggapai semuanya. Tanpa aku sadari, sesuatu sudah menembus kulitku dan membuatku kembali menuju kegelapan.

**

Tentang langit berwarna biru yang memiliki matahari dan bulan. Di mana, mampu menghangatkan hati setiap insan. Namun, terkadang mampu menghilangkan kehangatan. Ketika kegelapan telah tiba.

Sama halnya aku, di mana aku mencintainya. Merelakan sebuah perasaan ini karena pertemanan. Merelakan, pada kisah tak sempurna untuk diperjuangkan. Dan merelakan, ketika hanya sebuah rasa penuh kesakitan yang terbalaskan.

Kenapa rasanya terlalu sakit? Kenapa rasanya, hatiku direbut paksa? Tanpa memedulikan bagaimana pemiliknya menjaga selama ini. Sebuah luka, atas nama cinta. Dan, satu pertanyaanku kembali. Apakah rasa cinta harus sesakit ini?

Aku jatuh cinta padanya. Pada sahabatku. Dan merelakan ini terpendam, untuk hubungan kami. Dan beriringan waktu, aku tersadar akan hubunganku yang terjebak dalam friendzone. Tapi, ini hanya dari sisiku. Bukan dirinya.

Kenapa aku harus jatuh cinta?

Pertanyaanku, mungkin tidak bisa terjawab dengan tepat. Tidak bisa aku dapatkan jawabkan dari apa yang kutanyakan. Bahkan, tidak bisa memberikanku sedikit obat untuk menyembuhkan luka.

Sejujurnya, aku tidak tahu. Bagaimana perasaan ini bisa mendalam. Apakah ini ilusi atau kenyataan, aku pun tak tahu. Karena yang aku tahu, hatiku sepenuhnya sudah bersamanya. Dan tidak ada lagi tersisa.

Hatinu sudah bersamanya, yang berada disampingku. Bersamanya, kebahagiaanku datang. Tapi seperti ombak yang mengikis, dia terlepas. Terlepas jauh dalam genggamanku.

Bolehkah aku marah? Bolehkah aku berteriak? Menyalahkan ombak yang membuatnya terlepas. Dan mengatakan pada duni, bahwa dia milikku! Dia hatiku! Dia hidupku!

Tapi aku tersadar, Tuhan tidak memberikan takdirku untuk bersamanya.

Tapi, bolehkah aku minta untuk semua ini dihilangkan? Sebuah perasaan yang terasa. Biarkan aku tidak memiliki perasaan, atau bahkan mati rasa. Karena yang aku tahu, mencintai adalah hal yang paling menyakitkan dalam kehidupan ini.

Dan yang aku sadari, ombak mengajarkanku pda sebuah hal. Dia, akan terlepas seerat apapun aku mengenggamnya. Dan meninggalkanku sendiri, dengan kenyataan yang sangat menyakitkan.

-dariku, yang mencintaimu.

***

Beberapa hari kemudian...

"Makan dulu ra, lo jangan nakal. Nanti ga diizinin sama dokter buat balik," bujuk ka Ori.

Aku tetap menggeleng, aku cuman mau pulang. Rasanya sudah bosan beberapa hari di sini, dan makan bubur lagi.

"Ka Ori sayang, aku mau pulang! Ga pakai koma, pokoknya sekarang aku mau balik!" Tegasku.

"Lo makan dulu, nanti gue coba izin sama dokter buat bawa lo balik sekarang juga." Kata Ka Ori.

Aku tidak percaya, dan tetap merajuk layaknya anak kecil (biarkan!)

"Kok anak bunda senyumnya jelek banget sih?" Suara yang begitu aku rindukan tiba-tiba terdengar dari pintu. Tanpa basa-basi, aku langsung turun dari kasur dan menghampiri Bunda. Memeluknya penuh erat, meluapkan rasa rindu.

"Bunda, ara kangennn..." ucapku. Dan aku rasakan Bunda mengusap rambutku.

"Oh, jadi Bunda aja yang dipeluk? Ayah enggak nih?"

"AYAHHHHH!!!"

Bruk. Aku langsung menubruk Ayah, ah rasanya seperti bertahun-tahun tidak bertemu. Bagaimana jika nanti aku di sana? Akan sangat--sangat merindukan mereka.

"Kamu nih ya! Nakal banget ga ada Bunda sama Ayah. Gimana di dana coba?" Ucap bunda, dan menyentil hidungku kecil.

"Aw! Bunda! Sakit tahu," rajukku. Dan mengumpat kembali dipelukan Ayah.

"Iya Bun, Yah arah mah nakal dibilangin. Di suruh makan aja susah banget. Gimana coba nanti kuliah di sana sendiri berdua sama Renan aja? Ga bisa ngebayangin aku." Kata ka Ori yang membuatku melotot.

"Heh! Ka Ori aja ngeselin, dibilangin aku mau balik ga didengerin. Lagian aku sakit apa sih?" Aku maju beberapa langkah menghampiri ka Ori. Dan menyiapkan "aba-aba" untuk menyerangnya.

"Ara, sudah jangan bertengkar. Ayo, kita pulang sekarang." Kata Ayah

Aku menoleh ke Bunda, dan terutama ke ka Ori.

"SERIUS?!!!"

YES! Akhirnya, aku bisa pulang. Aku berjingkrak-jingkrak setelah melihat Bunda mengangguk.

"Udah rapih-rapih sana. Bunda sama Ayah urus administrasi dulu. Ori, bantu adik kamu dulu. Nanti ketemu langsung di lobby bawah ya." Ucap Bunda, dan mencium keningku serta Ka Ori. Dan meninggalkan kita berdua.

"Puas?!" Bentak ka Ori, sambil melotot

"Puas banget lah! Wek," balasku.

Dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah! Puh, i miss you.

"Udah selesai?" Tanya ka Ori, setelah melihatku selesai memasukan beberapa barang ke dalam tas.

"Udah, gendong kak!" Pintaku, dengan puppy eyes dan senyum manis.

"Manja!" Sentak ka Ori, tapi tidak memundurkan niatnya untuk berada di hadapanku.

Hap!

"Ra, jangan cekek gue kek gitu!"

"Heheh, iya kak." Kataku, dan merenggakan lilitan di lehernya. Kami berdua pun keluar dari kamar, dan seperti biasa. Selalu di lihat oleh orang sekitar (red:perawat).

"Gue pasti kangen begini sama lo," ujarku.

"Gue juga bakal kangen sama lo. Tapi, gue percaya keputusan apapun yang lo buat. Ini yang terbaik buat lo," balas ka Ori.

Aku mengangguk, "Thanks, kak. Lo kakak terbaik di dunia! Gue sayang make banget sama lo, i love you!"

"Lebai. Ngeri gue, lo kena brother complex ya?"

Aku pun langung mendorong kepalanya, "Oon!"

"HEH KALAU NGATAIN KAKAK SEMBARANGAN! Durhaka sama gue lo!" Bales ka Ori.

"Bo - do a - ma -t." Katakku, dengan nada menekan.

Ka Ori hanya mendengus dan meneruskan jalan ke tempat di mana tadi Bunda menyuruh kami menunggu. Mataku juga bergerak ke sekililing tempat ini, begitu ramai. Mungkin, keramaian di Indonesia akan membuatku rindu untuk cepat-cepat menyelesaikan study dan kembali ke tanah air. Hanya, entah bagaimana dengan perasaan ini.

**
Setelah melalui perjalanan yang smtidak terlalu. Akhirnya, aku sudah berada di kamar tercinta. Tentunya, kamar yang akan terus membuatku ingin kembali. Kamar dengan sejuta kenangan. Dan, satu yang aku sadari kamarku sudah kembali seperti semula, meski ada beberapa benda yang aku yakini baru.

Aku masih menggeleng dengan tingkahku pada 4 hari yang lalu. Rasanya benar-benar bukan diriku lagi, seperti ada yang mengendalikanku. Ah, mungkin itu adalah puncak dari segala rasa yang selama ini terpendam di dalam hatiku.

Melirik jam weker ke arah 1 siang, dan sinar matahari yang muncul dari arah jendela. Membuatku memutuskan untuk turun dari kasur, dan menutup jendela dengan gorden. Dan sudah beberapa hari ini aku tidak lihat Kay di mana, atau kemana. Mungkin ini lebih baik, dengan begini aku yakin pelan-pelan pastinya aku bisa melepaskannya. Yah, semoga saja.

Dan, kalau kalian tanya kemana sepupuku yang duperrrr jahil. Dia sudah kembali ke Aussie, yah seperti janjinya padaku. Dia benar-benar mengurus semuanya, untuk menemaniku. Bukankah aku harus bersyukur? Masih ada keluarga yang begituu peduli denganku.

Kembali menuju kasurku, menyalakan AC dengan suhu 16derajat. Rasanya aku ingin berdingin ria di siang ini. Dan merapihkan kasurku senyaman mungkin, tidak ketinggalan dengan puh yang sangat penting serta mengunci pintu.

Let's sleep!

***

Tok tok tok

"Ughh.." aku merenggangkan tubuhku, mendengarkan ketukan pintu yang berkali-kali.

"Iya sebentar," teriakku. Melirik jam wek---WHAT?!! jam 6?? Sungguh terlalu, kenapa bisa ?

Dengan lunglai, aku membuka pintu. Dan melotot melihat siapa yang berada di hadapanku. Ini? Ga mungkin?

"Hi!"

Aku mengucek mataku kembali, duh pasti ini ga mungkin.

"Lo kenapa sih?" Suara laki-laki begitu terdengar.

"Ka Ara kenapa sih?"

"RAIQ? RAISE?" aku tidak bisa menahan teriakkanku lagi. Dan langsung meghambur memeluk mereka sekaligus! SETELAH LAMAAA!!

"Uhuk, uhuk ra lepasin gue. Pengap!" Ujar ka Raiq.

Aku pun melepaskan mereka, "Kalian ke sini ga bilang-bilang sama gue. Tahu gini gue bisa jemput di bandara."

"Kata ka Renan, ka Ara lagi sakit." Jawab Raise. Aku tersenyum dan memeluk adik sepupuku kembali.

"Ayo turun! Sebelum lo dibejek sama nyokap bokap gue." Kata ka Raiq. Aku terkekeh kecil, sifatnya masih sama. Dan merangkul Raise, aku pun turun ke lantai bawah. Tanpa menyadari, kalau sebetulnya aku belum apa-apa termasuk mandi.

Kalian seharusnya tahu, di awal aku sudah bercerita tentang Renan yang memiliki dua saudara. Dan inilah mereka, perempuan mungil yang berada di sebelahku ini bernama Raise Tringgana Litrawan, adik sepupuku yang hanya berbeda usia 2 tahun denganku. Dan, sangat menyukai pinguin.

Sementara laki-laki tadi yang aku panggil dengan "Raiq", dia adalah kakak sepupuku. Secara tidak langsung, dia jugalah kakak Renan dan menjadi tertua di kami. Nama lengkapnya, Raiq Trenggana Litranawan. Perbedaan usia kami cukup jauh, sekitar 4 tahun. Dia yang paling dewasa di antara kami.

"ARAAA!!!!!" teriakkan tante Fey, membuatku melepaskan rangkulan pada Raise dan berlari memeluk tanteku satu-satunya yang begitu dekat denganku.

"Tante, Ara kangen. Udah lama tante ga ke sini," ujarkku.

"Apa kabar ponakan tante yang manja ini?" Tanya tante Fey.

"Aku baik, tante gimana?" Tanyaku balik dan melepaskan pelukan.

"Baik," jawab tante Fey.

"Dan, kamu ga kangen sama om kamu yang ganteng ini?" Suara om Feri membuatku terkekeh dan memeluknya.

"Pasti kangen!" Jawabku spontan.

Aku melihat sekeliling, semuanya lengkap. Hanya kurang Renan saja. Ah, seandainya dia ada di sini. Pasti rumah ini akan semakin ramai. Tapi mengapa semuanya berkumpul? Ga seperti biasanya.

"Ra? Kenapa bengong?" Bunda menyenggolku, yang aku balas senyum tak bersalah.

"Gapapa bun," jawabku.

"Tuh, ajak Raise nonton film sama Raiq. Bunda mau nemenin Ayah sama tante dan om kamu ngobrol soal perusahaan." Aku mengangguk, dan mengajak Raise juga ka Raiq seperti yang diperintah Bunda.

Dalam hati, aku sudah sangat yakin. Hari-hariku pasti akan ramai dengan kehadiran mereka. Setidaknya, aku harus menciptakan kenangan lebih banyak sebelum aku benar-benar pergi ke tempat di mana aku akan merasa asing.

-----------———
WUAHHH!!

Finally, panjang banget 😹 tapi itsokay.
Semoga kalian suka, dan maafkan typo yang menyebarr.

Jangan lupa vote and comment. 🤘🏼
See you next chapter!

Salam hangat,

Panda-

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1M 57.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
3.9M 308K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
389K 47.8K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...