(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab XII

729 36 0
By Pandayusy

Kay Pov-

Gue masih menatap ke arah di mana Ara dan Ori menghilang. Tatapan matanya, yang seolah memberikan jawaban "Gue gapapa". Semakin membuat gue merasa bersalah. Apalagi, dengan Nata yang menjadi korban dari ketidakpekaan gue ini.

"Ro?"

Panggilan Nata membuat gue menoleh. Dan menemukan dia yang tersenyum tipis. Sedikit menambah kekuatan untuk gue berdiri saat ini.

"Ga usah dipikirin ya," ujar gue dan mengenggam tangannya. Gue tahu, pasti Nata ngerasa bersalah dengan hubungan gue dan Ara yang mulai merenggang.

"Tapi gue..."

Gue langsung merangkulnya, dan berjalan ke arah Mozi dan Riani yang menunggu.

"Sorry, karena gue jadi ngacauin makan kalian." Kata gue ke arah mereka berdua.

Riani tersenyum, "Gapapa. Ara emang lagi ga stabil kayaknya. "

"Iya Kay, lo kaya ga tahu si Ara aja. Mungkin emang labilnya keluar. Yaudah, gue sama Riani balik ya?"

Gue mengangguk, mereka berdua pun berjalan menjauh. Sementara itu, gue memilih untuk berjalan kembali bersama Nata. Tapi, jantung gue berdebar tidak normal. Perasaan gue juga menjadi tidak enak dan tertuju ke Ara. Kenapa?

"Mending balik juga yuk Kay! Gue ga enak deh beneran sama hari ini. Nontonnya bisa lain waktu aja."

Nata mengenggam tangan gue. Gue hanya tersenyum, mengacak rambutnya. Dia benar-benar perhatian, seperti saat ini. Seharusnya, Nata ga harus merasa bersalah dengan semua ini. Seharusnya, gue juga harus bersama Ara. Tapi? Siapa yang bisa tahu kemana hati berlabuh?

"Gimana yaa Ro, gue kaya ngerasa jadi penghancur kalian banget. Seharusnya, awalnya gue ga ngerespon lo. Karena, gue tahu Ara ada rasa lebih sama lo. Seharusnya lo sama dia."

Perkataan Nata membuat gue menoleh. Mencoba menghirup nafas panjang, dan menangkup kedua pipinya.

"Lihat gue nat. Lihat mata gue! Kalau dari awal gue suka sama Ara lebih dari sewajarnya, gue ga mungkin bersama lo! Gue ga mungkin mau ngejar lo sampai kaya gini. Lihat gue, lihat perasaan gue ini Nat. Cuman lo, tempat ternyaman buat gue. Jadi, gue harap lo tetap berada di samping gue selamanya," Menarik nafas kembali, "Jangan mikirin ini semua. Cukup lo di samping gue, genggam tangan gue. Itu udah lebih dari cukup. Untuk masalah Ara, gue mohon lo ngerti karena gue tahu ini masalah yang rumit."

Nata menangis, dan mencoba mengenggam tangan gue. "Jangan takut ro, gue selalu ada di samping lo sampai kapanpun. Gue bakal selalu ngertiin lo, jika nantinya lo milih Ara juga gue gapapa."

Gue menggeleng, dan memeluk Nata. "Sepertinya ga bakal. Dan, lo harus dengar kata Ara tadi. Jaga gue teruss yaa, kan gue baby lo!"

"Hahahah," Nata tertawa ketika gue mengucapkan baby. Lega, melihat dia tertawa. Gue pun mengecup keningnya.

"Love you. Lebih baik lo ketawa dibanding nangis tau. "

"Love you too ro."

"Yaudah yuk balik. Udah malem juga, nanti gue diomelin sama ortu lo lagi," ajak gue. Gue pun membuka pintu mobil untuk Nata dan berlari ke arah kemudi.

Sepanjang perjalanan, sesekali gue mengeluarkan lelucon gue dan mengenggam tangannya. Untuk menutupi perasaan gue yang tidak menentu saat ini.

*

Jam di dashboard mobil gue menunjukkan jam 10 ketika gue berhenti di depan rumah Ara. Karena kemacetan yang tidak biasa gue baru sampai jam segini, padahal seharusnya gue sampai jam 9 tadi. Gue menoleh ke arah rumahnya, terlihat Mobil Ori ada terparkir. Apa mereka sudah sampai? Apa gue harus nyamperin Ara sekarang?

Tok. Tok. Tok

HAH! Gue terlonjak kaget dengan ketukan di kaca sebelah kiri gue. Gue pun langsung menurunkan kaca sedikit untuk melihat siapa pelaku yang hampir buat gue jantungan.

Ori?

"Sial, ngagetin gue aja lo ri!" Teriak gue dari dalam mobil. Ori hanya menatap gue dengan aneh. Kenapa? Entah kenapa, feeling gue bilang ada sesuatu yang ga beres.

"Lo kenapa?" Tanya gue lagi. Dan membuka pintu, menghampiri Ori yang berada tepat di samping pintu mobil.

Ori hanya menatap gue, dengan sorot penuh emosi. Gue tahu, dia pasti marah sama gue. Karena, bagi dia Ara separuh hidupnya.

"Gue mau bicara sebentar. Bisa?" Ucapan Ori yang begiu serius membuat gue bingung.

"Ya ngomong aja sih. Kenapa?"

"Masuk dulu aja ke rumah lo. Gue tunggu di depan, pergi sama mobil gue." Semakin menjadi bingung, tapi akhirnya gue pun mengangguk.

Masuk ke kemudi, dan menjalankan mobil ke arah rumah gue dan menyimpannya sembarang di halaman. Setelah itu gue langsung keluar dan melihat mobil ori sudah berada di depan rumah gue. Langsung aja gue masuk ke bangku penumpang. Tanpa banyak bicara Ori menjalankan mobilnya tanpa gue tahu kemana.

Setelah perjalanan yang tidak bersuara, gue semakin bingung dengan Ori yang mengajak gue ke rumah sakit. Debar jantung gue semakin tidak menentu. Kenapa ini?

"Ri? Ngapain ke rumah sakit?"

Akhirnya, gue buka mulut karena penasaran yang semakin tinggi.

"Turun!"

Ori tidak menjawab, yang ada malah membentak gue. Baiklah, kali ini harus gue turutin dulu. Sebelum Ori ngelakuin hal dibatas wajar. Gue berjalan mengikuti Ori ke dalam rumah sakit. Naik lift ke lantai 4 dan menuju ke sebuah ruangan.

Siapa yang sakit? Batin gue.

Ceklek.

Pintu terbuka, dari dalam ruangan ada Renan yang keluar. Ara? Debaran jantung gue semakin ga menentu. Ara kemana? Biasanya jika ada mereka otomatis Ara ada.

BUG!

Gue langsung tersungkur ke belakang ketika sebuah bogem mentah melayang tepat ke arah bibir gue.

"Shit. Lo kenapa sih ri?" Gue coba untuk bangun dengan membersihkan darah dibibir. Baru saja hendak bangun.

BUG

Lagi, dan lagi gue terdorong kebelakang dengan pukulan telak Ori. Belum sadar sepenuhnya, gue ngerasa baju gue di tarik.

"BANGUN LO NYET!"

Gue mengerang ketika Ori menyeret gue paksa. Sementara Renan mencoba melerai kami.

"Ri, udah bego! Di rumah sakit!" Kata Renan.

"DIEM LO! UDAH CUKUP GUE SABAR!" Teriakkan Ori yang begitu nyaring di tambah dengan tarikkan pada kaos gue semakin membuat gue kehilangan sedikit tenaga.

"LO YANG JUGA DIEM RI! LO KIRA DENGAN GINI KITA SELESAI?! KALAU ARA SAMPAI TAHU, GUE GA JAMIN DIA MASIH ANGGAP LO KAKAK!"

Setelah mengatakan itu, Ori merenggangkan tarikan pada baju gue. Sementara Renan membantu gue untuk duduk bersandar.

"Lo mau gue bawa ke dokter?" Tanya Renan.

"Ga usah. Cuman dipukul kok," jawab gue. Renan mengangguk dan duduk di sebelah gue. Sementara, Ori sudah terduduk. Dan gue yakin, 100% hingga mengedipkan mata gue. Bahu Ori bergetar!

ORI NANGIS?

"Kenapa lo? Nangis karena mukul gue? Udah kali biasa aja," ucap gue.

Ori mengangkat kepalanya, tanganya sudah di atas. Tapi, Renan dengan cepat menangkap.

"Calm down, ori!"

Ori pun tidak menjawab. Tapi pandangannya lurus ke gue, yang semakin buat gue ga nyaman. Gue rasa semua ini ada hubungan sama Ara. Karena, yang gue tahu Ori adalah orang yang paling bisa nyembunyiin emosi dibanding kita bertiga.

"Bro, mending lo masuk dulu. Gue biar ngadepin tuh pala si Ori. Jangan lama - lama, biarin Ara istirahat." Kata Renan dan mengajak Ori untuk pergi. Gue pun mencoba bangkit, sambil sesekali batuk.

Sial, rasanya pukulan Ori benar-benar membuat nafas gue sedikit sesak. Dengan langkah tertatih, gue masuk ke dalam kamar yang ditunjukkan Renan.

Ceklek.

Suasana hening menyambut kedatangan gue. Hanya detak monitor seperti bunyi kehidupan itu yang berbunyi. Mata gue terarah pada seseorang yang kini terbaring di ranjang.

"Ara...."

Mulut gue yang berucap tidak sesuai dengan kondisi kaki gue. Rasanya kaku, begitu gue lihat Ara yang terbaring di sana. Dengan beberapa alat bantu yang gue tahu--itu sebagai bunyi kehidupan.

"Raa.."

Suaraku semakin bergetar memanggil namanya. Dengan segala kekuatan, tidak peduli dengan nyeri pada bibir gue pun melangkah maju. Ketika gue sampai untuk mengenggam tangan Ara tumpahlah sudah.

"Ra... Sorry. Raaa!!! Lo kenapa begini?! Ra, Sorry." Gue tidak bisa berkata apapun, hanya menangiss dan berharap ini semua hanya bohongan aja. Ara ga mungkin tidur dengan alat bantu itu. Ara tadi masih sehat.

"Ra! Bangun oon! Lo kalau bikin kejutan ga seru gini! Ra! Melek ayo! Lo masa begini sih?! Tadi lo masih marah-marah sama gue. Ayo, bangun! Lo ga mau mukul gue apa?"

Gue menggoyangkan tangan Ara dalam genggaman. Berharap Ara memang akan sadar pada akhirnya. Tapi, berjalanya detik Ara tetap nyaman.

"Lo kenapa?"

Suara gue hanya menggema diiringin bunyi mesin kehidupan. Mencoba mengusap rambut Ara. Biasanya, dia kuat. Biasanya, dia yang paling terang. Ara, sesuatu yang berharga buat gue layaknya nyokap gue. Tapi kenapa? Kenapa gue ga bisa jatuh cinta seperti yang dia minta?

"Maaf ra. Gue nyakitin lo terus. Maaf, selama i---ni gue ga peka sama keadaan. Maaf, buat gue yang terus tutup mata. Dan maaf, gue jatuh cinta dengan dia."

Menangis kembali dalam diam. Dalam kamus gue, tidak ada yang namanya nangis. Bahkan, waktu gue dipisahkan sama kakak gue pun gue diam. Tapi kenapa sama Ara rasanya menyakitkan?

"Bangun ya. Gue janji, nanti kalau lo bangun gue bakal nurutin apa kemauan lo. Termas---"

Ceklek.

Pintu yang terbuka membuat gue tidak melanjutkan ucapannya. Ah, rasanya memang masih setengah hati, karena sepenuhnya hati gue sudah berlabuh di sana.

"Kay, ayo keluar." Suara Renan membuat gue menoleh. Mengecup kening Ara.

"Gue pamit. Besok gue ke sini ya," ujar gue. Tanpa ada jawaban dengan berat hati gue pun keluar.

**

Gue mengikuti Renan yang berjalan ke taman belakang rumah sakit. Di sini cukup sepi, mungkin juga karena waktu yang sudah hampir tengah malam. Di ujung sana, gue lihat Ori terduduk di bawah pohon. Saat, jarak gue sudah mulai dekat dengan Ori. Yang gue lihat, Ori menghampiri gue.

Dug!

Aww gue meringis ketika dorongan kuat dari Ori membuat punggung gue terpentok dengan batang pohon yang cukup besar. Sepertinya, perang di mulai, batin gue.

"Lo tau apa yang terjadi? Ara! Dia koma! Bahkan dokter pun ga tahu apa penyebabnya! TAPI KENAPA?! KENAPA JADI BEGINI KAY? KENAPA HARUS ADIK GUE YANG TERLUKAA? KENAPAAA LO GA LUKAIN GUE HAH?!!" Ori berteriak di wajah gue. Membuat, perasaan sakit itu semakin menjadi. Harus bagaimana nantinya gue bisa sembuhin luka Ara?

"KARENA LO! KARENA LO ADIK GUE NGEJAR CITA-CITANYA SENDIRI. PADAHAL DIA MAU NGAJAK LO! TAPI APAA?! TAPI APA?! LO NINGGALIN ADIK GUE DAN MENTINGIN DIRI LO BUAT TUH CEWEK KAY! SAMPE KAPAN ARA TERUS LO SIKSA HAH?! PUAS LO? PUAS LIAT DIA BEGITU?!"

Bug!

Gue tetap diam. Tapi rasanya sangat pedih, seolah-olah ada yang samurai yang menancap. Dan semakin dalam menembus ke relung hati. Tapi, ketika gue paham maksud dari Ori. Gue pun langsung bangkit dan berdiri dihadapannya.

"Apa kata lo? Cita-cita? Udah berapa lama lo tahu gue sama dia? Gue tahu tentang ara! Bahkan gue tahu yang ga lo tahu." Gue menunjuk Ori, tidak suka jika seperti itu. Karena gue tahu dengan sangat jelas apa yang menjadi impian Ara!

"APA HAH?! LO PASTI TAHUNYA ADIK GUE MAU JADI PENGACARA?! HAH?! TAPI LO GA TAHU! KALAU ADIK GUE ITU MAU KULIAH DI LUAR NEGERI! DIA MAU NGAJAK LO TAPI APA?! DIA GA MAU MISAHIN LO DENGAN CEWEK LO ITU! ARA GA MAU MENJADI PENGHALANG KALIAN! DUA MINGGU KAY! DIA BAKAL PERGI KE SANA TANPA LO! DUA MINGGU LAGI ADIK GUE BAKAL PERGI!" Tidak tahu harus membalas apa, gue pun hanya diam. Tidak mungkin, Ara ga mungkin mau kuliah jauh dari gue. Ara pasti selalu di samping gue. Pasti kan? Ara ga mungkin...

"Ga ri! Lo bohong!" Bentak gue.

Ori hanya melotot, gue ga bakal percaya. Karena Ara selalu ada sama gue, yaaa, se---

"Apa yang diucapin Ori benar Kay. Gue rasa emang perlu tahu. Ara ngedaftarin dirinya ke oxford, sendiri. Dan beruntungnya dia lolos. Dan untuk jadwal keberangkatan 2 minggu lagi. Gue yang bakal nemenin dia di sana." Gue menoleh ke arah Renan yang mengucapkan itu. Masih tidak ingin menyakinkan,

PLAK!

"Lo harus percaya. Apa yang kita omongin benar. Emang kalian masih seperti dulu? Ga kay. Sejak Ara tahu lo punya dia, Ara mundur Kay. Ara mundur, karena dia rasa lo bakal bahagia tanpa dia. Dan, ya, secara ga langsung gue ngedukung ini semua. Biarin Ara memilih jalannya sendiri, dan lo, please, kalau nanti Ara minta apa-apa ke lo, tolong kabulkan. Seperti di Mall tadi," Renan menghela nafas dan terduduk di bangku taman.

Gue tetap menunggu lanjutan Renan, dan terduduk di samping Ori.

"Dia titip lo sama cewek lo. Karena dia tahu, bagaimana sifat lo. Dan dia percaya, lo beneran cinta sama dia. Jadi, lo harus bahagia ya Kay? Ara begini, bukan buat nyakitin lo. Tapi, buat ngebahagiain lo." Kata Renan, dengan mata yang mengarah ke langit.

"Seandainya gue di posisi lo, pasti ini juga sulit. Bagaimana bisa gue genggam dua hati dengan rasa berbeda? Pasti susah. Tapi, kalau seperti ini, mungkin gue akan ngambil yang pasti dan ngelepas genggaman gue yang berada di belakang gue biar dia bahagia, walau secara ga langsung gue bakal kehilangan separuh hati yang digenggam."

Gue menghela nafas, tidak mengerti lagi harus gimana. Sakit karena pukulan di tubuh, pasti tidak sebanding dengan sakit hati Ara. Dia rela berkorban demi gue. Dan apa gue harus memilih dia? Tapi bagaimana dengan Nata? Karena, hati gue bersama dia. Tapi, sedikitnya bersama Ara.

Tidak ada suara lagi di antara kita bertiga. Pikiran gue pun melayang tidak terkira, memikirkan apa yang harus gue lakuin nantinya.

----------------------------------

Yay! Good, akhirnya bisa update juga. Sempet nyesek sendiri gitu pas dengerin Ori teriak :)) hell. Semuanya pasti sakit. Ara tiba-tiba koma, kenapa?

Jangan lupa buat vote and comment!

With my love,

Panda-

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1M 57.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.5M 251K 60
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
6.6M 218K 75
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
330K 11.3K 25
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...