(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab XI

654 39 0
By Pandayusy

Setelah menempuh sekitar 45 menit-an, aku sampai juga di Mall yang disebutkan Riani. Setelah memarkir mobil di basement, ka Ori pun langsung menggandengku ke arah pintu masuk. Mataku berkeliling untuk menemukan restoran tempat Riani! Uh, seharusnya Riani sadar aku jarang sekali ke sini karena cukup jauh dari rumah.

"Nah itu!" Tunjuk ka Ori ke sebuah restoran di lantai 2 ini. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku di sana. Saat aku masuk Riani sudah melambai ke arahku.

"Di sini ra!" Teriak Riani.

Aku lihat Riani bersama Mozi, aku tersenyum. Sementara ka Ori melihat Mozi dengan tatap ga suka?

"Lo cemburu?"

"Gak! Kata siapa?" Tukas ka Ori.

"Cie cemburu cie."

"Apaan sih lo?!"

Aku terkekeh dan berlari kecil ke arah Riani. Aku duduk persis di samping Riani sementara Mozi yang ada di depan Riani.

"Lo mau pesen apa?" Tanya Mozi.

"Gue biasa aja Moz,"ujar Riani.

"Emang gue nanya lo?"

"MOZI!" Aku menggeleng dengan Riani yang mengeram. Sementara ka Ori tetap diam.

"Lo mau pesen apa kak?" Tanyaku.

"Seterah."

Aku mengangguk dan mengucapkan pesananku ke waitress yang menghampiri kami. Sementara Riani masih mengumam tidak jelas karena tingkat Mozi.

"Oh ya kak, samping lo namanya Mozi." Sahutku.

Ori hanya mengangkat bahu, "Udah tahu. Lagian lo ngapain mau aja diajak Riani, jadi obat nyamuk lo!"

"Eh tutul! Emang lo kata gue sama Mozi apa?"

Aduh, mulai lagi.

"Loh? Emang apaan? Ngerasa?" Sindir ka Ori.

Mozi hanya menggeleng, begitupun aku. Ya, memang tidak ada yang tahu hubungan Mozi sebenarnya terkecuali aku dan Kay. Kay? Aku baru ingat. Sejak terakhir dia bilang mau ke dapur dia sudah tidak balik lagi.

"Bodo amat lah. Lagian ngapain sih lo ra? Minta anterin tuh tutul satu! Mendingan tadi lo gue jemput deh," ujar Riani.

Mozi menyela, "Terus tadi siapa yang ngambek-ngambek minta dijemput?"

"Hahahah, kasian gue sama kakak gue. Jones banget." Kataku. Ka Ori mendelik.

"Araaaa!" Aku membentuk tanda V, begitu ka Ori menekan namaku.

"Silahkan." Waitress itu pun menginterupsi kami. Makanan yang kami pesan tiba. Aku menggeleng ketika melihat minuman Riani yang ada 3 gelas mochacinno.

"Rakus."

"Bodo amat."

Aku pun diam, begitu pula dengan Mozi yang hanya menggeleng dengan tingkat Riani dan ka Ori. Padahal, ka Ori itu salah satu cowok zuperrr jutek. Jangankan pacar, teman perempuan dia aja bisa dihitung jari. Tapi entah kenapa, setiap bersama Riani dia selalu mengeluarkan sifat isengnya itu.

Aku menggeleng-geleng, tapi...

"OHOK! OHOK! HOK!"

"Eh ra, minum minum." Riani mengusap punggungku. Sementara mataku, masih berfokus pada sepasang manusia yang baru saja memasuki restoran ini.

"Minum dulu ra," ka Ori yang menatapku khawatir pun ikut memperhatikan tatapan mataku.

Aku terpaksa minum air mineral Riani. "Lo gapapa ra?"

Aku menggeleng, tanpa sadar tanganku sudah mengenggam kuat sendok yang aku bawa! Wanita itu!

"Ra?! Hei!" Lambaian tangan di depanku membuatkusadar. Lo ga boleh emosi ara!, Tekanku dalam hati.

"I'm okay," sahutku.

NO I'M NOT OKAY!

"Udah ga usah diliatin," sahutan Mozi membuatku menghadap kepadanya. Sepertinya Mozi sadar siapa yang aku perhatikan.

"Harus pamer?" Aku tertawa mengejek, rasanya ingin aku jambak wanita itu! Ingin aku tarik rambutnya, sehingga dia sadar sakitnya aku.

"Lo kalau kenapa-kenapa ya bilang, jangan ditahan." Usapan lembut di tanganku membuatku menatap ka Ori. Aku menatapnya sendu, ada kabut menyelimuti. Sepertinya aku akan menangis.

"Sorry, gue gapapa. Makan aja lagi." Kataku. Riani pun tersenyum dan memulai makan kembali. Aku menoleh ke Mozi yang tersenyum, seolah menguatkanku. Dan ka Ori dengan tatapan khawatirnya.

Kami pun melanjutkan makan dalam dia. Sementara aku masih mencoba untuk menetralkan hatiku yang menggebu-gebu. Rasa sesak, kecewa, iri, itu menjadi satu dalam perasaanku setiap kali aku melihat wanita. Ya, wanita yang memegang posisi penting dalam hidup dia. Vera Chintya Aranata. Cih! Rasanya sebut namanya saja aku tidak sudi. Seharusnya dia mengerti aku! Seharusnya dia sadar, bahwa Kay milik aku. Tapi tidak, Kay membuat tembok itu. Tembok yang menghalangiku lagi untuk masuk ke dunianya karena wanita itu.

"Woi!"

Gebrakan meja membuatku menoleh. Kay dengan senyuman tanpa dosanya kini sudah berada dihadapanku dengan wanita itu. Aku pun melihat sekilas, tatapan matanya yang seperti bersalah. Ah tidak, aku tidak boleh emosi. Aku masih punya akal sehat, untuk tidak melakukan hal jahat. Rasanya lebih baik menjahati diri sendiri daripada orang lain.

"Eh lo ri! Mau makan juga?" Tanya ka Ori baik.

"Iya, eh kenalin ini--"

"Cewek Kay." Potongku dan memasukkan mie kwitiaw ke dalam mulutku.

"Bo..leh gabung?"

Huh? Emang meja lain ga ada?

Sementara Kay menatapku yang tidak bisa kuartikan. Aku hanya datar, pemandangan di luar jendela lebih menarik dari pada mereka berdua.

"Boleh lah nat! Lagian mereka ini sohib gue," ujar Kay.

"Iya gabung aja kali." Kata Mozi. Setan! Harusnya mereka ga gabung dan menganggu acara makanku.

Terdengan bangku yang bergeser, aku rasakan seseorang sudah ada di sampingku.

"Ra?" Suara wanita itu yang kecil membuatku menaikkan alis. Tidak menjawab dan memilih makan kembali. Suara yang berasal dari mereka membuatku tidak ingin berbicara, apalagi nada Kay yang terdengar begitu senang.

Aku menghela nafas, seharusnya aku bisa mengontrol emosiku lebih jauh. Tapi rasanya sulit sekali. Ku rasa, oksigen di sekitarku menyempit. Rasanya jika aku berada di sini akan kehabisan oksigen.

"Gue selesai." Kataku, langssung bangkit dan melangkahkan kaki keluar restoraran. Terdengar suara mereka yang memanggilku! Bodo amat!

"RA! RA! TUNGGU!" Suara Kay membuatku menoleh. Sama seperti tadi, menaikkan alisku.

"Please, lo kenapa sih kayaknya ga suka sama si Nata?"

Aku mendengus, Nata? Lagian mana ada sih yang suka?! Harus dihadapi sama wanita yang secara ga langsung nempatin hati orang yang ada di hati lo?

"Gue kenyang."

Aku berjalan lagi, kurasakan cengkraman ditanganku yang membuatku otomatis berbalik.

"Lo apaan sih?!" Bentakku yang membuat orang sekitar menoleh ke arah kami. Lagian mana si ka Ori?

"Ra? Jangan gitu ya, gue ga tega. Dia tuh mau temenan sama lo lebih akrab. Makanya, pas tadi masuk dia lihat lo lagi pada gabung minta gue buat gabung sama kalian. Padahal, awalnya gue ga mau ganggu lo. Apalagi dengan lo keliatan bebas." Kay menghela nafas, "lo boleh marah sama gue. Tapi, lo ga boleh marah sama dia. Dia ga salah apapun ra."

TAPI DIA SALAH! SALAH DIA ITU BUAT LO JATUH CINTA SAMA DIA. DAN GUE CUMAN DUNGU, YANG NGAREPIN LO YANG JATUH CINTA SAMA GUE.

"Lo ngebela dia?"

"Enggak gitu ra! Lagian kenapa lo harus marah sama dia? Dia itu aja baru kenal lo dan ga deket sama lo. Dia cuman mau jadi temen lo kok, syukur-syukur bisa jadi sobat lo."

Aku tertawa kecil. Tidak ada yang lucu sih. Tapi, tawaku seperti ejekan.

"Ara," suara perempuan membuatku menoleh. Dia di sana! Aku langsung menarik tanganku dari Kay. Menatap Kay, tepat pada manik birunya.

"Dia emang ga deket sama gue," tunjukku.

"Ra lo ga boleh nunjuk gitu!" Kay menepis tanganku. See? Siapa yang lebih penting sekarang.

"Hahaha, lihat kan? Lihat? Uh, rasanya gue terjebak di drama. Sayangnya aja gue ga sudi ngelakuin hal yang ngerugiin diri gue sendiri. " Aku mengoceh, "Dan lo Kay! Dengerin gue."

Aku menghela nafas. "Lo bener. Dia ga deket sama gue, dia ga punya salah sama gue. Dia ga kenal gue. Dia ga kenal bagaimana gue. Tapi gue salut sama dia bisa deketin tembok yang gue tuju. Bisa buka gerbang yang selama ini gue tuju. Bisa bangun tembok batasan buat gue. Dan yang terpenting, dia berhasil buat ngancurin gue."

Kay melongo. Sementara wanita itu maju mendekatiku, padahal rasnya aku akan menangis. Tapi sekuat tenaga aku mengepalkan.

"Ra."

"Dan buat lo, thanks udah bisa nyadarin gue siapa. Tenang aja, gue ga marah sama lo sesuai permintaan laki-laki di depan gue ini. Tapi apa ya?" Aku tertawa dan kembali menatap matanya, "Rasanya sesuatu yang salah ada di diri gue yang baru gue sadari setelah lo datang. Gue cuman titip pesan,"

Menghirup nafasku panjang, aku melihat ka Ori, Riani dan Mozi yang menatapku dari jauh.

"Gue titip Kay. Gue titip dia sama lo. Gue cuman mau dia bahagia. Bahagia sama diri lo. Ga perlu lo anggap siapa yang minta ini. Dan gue harap, lo kunci hati dia buat diri lo se-la-ma-nya. Satu lagi, gue harap lo selalu ada di samping dia apapun yang nantinya terjadi. Karena segala sumber buat dia itu cuman lo!"

Aku pun terpaksa tersenyum, meninggalkan semua yang ada dihadapanku. Terlihat wanita itu. Rasanya, aku pantas memanggil namanya. Vera. Iya, aku lihat Vera hendak mengejarku. Tapi langsung ditahan ka Ori.

"Cepet ke mobil!"

Aku melihat arti itu ketika melihat tatapan ka Ori yang masih menahan tangan Vera. Sementara Kay menatapku sendu yang aku balas senyuman. "Gue gapapa." Seolah mengartikan seperti itu.

Tidak sadar dengan langkah kakiku. Aku pun sudah sampai di samping mobil ka Ori. Aku berjongkok. Tidak, aku tidak menangis. Hanya saja aku menghirup oksigenku lebih banyak. Aku sadar apa yang aku ucapin tadi, setidaknya aku sudah menyampaikan pesan sebelum aku pergi. Karena aku rasa, aku tidak sanggup melihat Vera nantinya. Bisa-bisa aku menjambak rambutnya.

**

Aku tiba di rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Rasanya tubuhku yang sudah sehat kembali menjadi panas dingin. Apalagi di luar sedang hujan deras. Dan, selama itu pula tidak ada pembicaraan antara aku dan ka Ori.

Aku langsung ke kamarku. Tidak ada ucapan yang aku keluarkan. Seolah-olah jika ada yang keluar ini adalah bom! Bom yang bisa meledakkan siapapun.

BRAK!

Kebiasaanku membanting pintu, dan langsung menguncinya.

"ARRRRRGHHHH! SIAL!"

Aku berteriak, memang. Aku membutuhkan ini, membutuhkan pelampiasan.

"LO JAHAT KAY! LO JAHAT! BRENGSEK! LO PILIH DIA DIBANDING GUE!"

Prang! Kaca yang tergantung pecah setelah aku melemparnya dengan jamku.

"LO KENAPA SAMA DIA! APA YANG KURANG DARI GUE!"

Sret.

Sprei yang ditata rapih kini berantakan.

"GUE MAU BENCI LO! TAPI GUE GA BISA!"

PRANG!

"LO GA TAHU RASANYA GUE!"

PRANG!

"GUE IRI SAMA DIA! KENAPA DIA?! KENAPA HARUS DIA?! KENAPA BUKAN GUE?!"

Brak!

Aku mengamuk tidak karuan. Kamarku sudah tidak terlihat jelas. Kaca lemariku sudah pecah, gelas sudah aku lempar. Jam wekerku sudah terbelah dua, bahkan handphoneku sudah tidak berbentuk karena genggamanku.

Aku butuh air! Aku butuh air!

Aku pun berjalan ke arah kamar mandi, tapi tanpa sengaja aku menginjak pecahan kaca dan sukses menbuat kakiku berdarah.

"INI GA SESAKIT DARI APA YANG GUE RASAIN, HAHAHAHAHAHAHA!"

Aku tertawa sambil meringis darah yang keluar makin banyak. Mungkin, dua pecahan beling ini yang menusuk kakiku. Tidak peduli dengan darahnya aku pun membuka pintu kamar mandi.

"RA! RA! BUKA PINTU! RA BUKA!"

Teriakkan ka Ori dan Renan tidak aku hiraukan seolah-olah aku tuli. Aku meringis tiap kali berjalan, seolah-olah pecahan ini semakin menusukku. Memutar showerku untuk air dingin, dan tubuhku luruh. Aku menangis dengan semua yang aku rasa. Perih ini juga semakin perih.

"Kenapa harus gue? Kenapa gue ga bisa bahagia? Kenapa gue yang akhirnya ga terpilih?" Pertanyaan itu terus berputar-putar diotakku. Pintu yang semakin digedor paksa, tidak membuatku bergerak sedikit pun.

"RA! BUKA! LO KENAPA?! KALAU GA BUKA GUE DOBRAK!"

"Ra! Lo ga usah bego deh! Bukan pintunya!"

"RA! LO BENER MINTA KAKAK DOBRAK?!"

"Ra sayang tahu yang lo banting!"

"RA! BUKA! LO GA BISA GITU!"

Aku menggeleng dengan kuat. Bahkan untuk berdiri pun aku tidak ada kekuatan. Aku biarkan saja air digin yang semakin membuatku mengigil dan warna merah yang mengalir karena darahku.

"ARA!"

Aku merasa teriakan itu tepat di depanku. Tapi kenapa dengan tubuhku? Dan mana suaraku? Aku merasakan kaku yang luar biasa. Bahkan aku tidak bisa berkedip. Tapi aku melihat ka Ori dan Renan berada di depanku.

"Ra! Sadar hey, ini kakak."

Aku tidak menjawab, tapi tidak juga mengangguk. Aku hanya menatap mereka kosong.

"Ra! Lo ga bisa gini! Ra, lo harus kuat ada gue di sini. Ada Renan," ujar ka Ori.

Aku mencoba membuka mulutku dan bergerak. Tapi sekali lagi, rasanya aku kaku. Tidak mengerti kenapa. Bahkan aku baru pertama kali melihat Renan dengan wajah khawatir.

"Ri, lihat darah!" Teriakkan Renan membuat ka Ori semakin menjeritkan namaku.

"ARA! ARA! SADAR INI KAKAK! Ayo jawab kakak sayang. Pukul kaka aja kalau perlu."

Rasanya ingin. Tapi semuanya tetap kaku. Aku tidak bisa membuka mulutku, untuk tubuhku pun tidak bisa. Aku masih tetap dengan Renan dan ka Ori yang saling menjerit memanggil namaku.

"Nan siapin mobil. Gue takut adik gue.."

Aku dengar ka Ori yang menangis. Maaf kak, aku juga ga tahu kenapa. Tapi semuanya tidak bisa aku lakukan. Aku merasa ada yang mengambil alih tubuhku.

"Ri, tenang!" Itu ucapan Renan terakhir sebelum keluar.

"Ayo sayang! Sahutin kakak. Kamu kenapa? Kakak salah ya? Maafin kaka, ayo mana suara kamu?! Ayo pukul kakak!"

Aku hanya menatap matanya. Aku ingin menangis tapi tidak bisa. Hanya seperti ini, duduk dan melipat tanganku pada lututku. Memandang ke depan lurus.

"Ri! Ayo cepetan!"

"Ayo sayang." Aku merasa tubuhku melayang. Tanganku terkulai lemas namun tetap digenggam Renan yang berada di sampingku. Sementara ka Ori menggendongku bridal style.

"Gue harus bawa apa?" Suara Renan sukses membuat ka Ori berhenti. Kepalaku tidak bisa bergerak. Rasanya mataku hanya ingin memandang lurus. Dan tidak ada tenaga. Untuk menghirup parfum ka Ori saja aku tidak bisa.

"Selimut bego!" Bentakkan ka Ori membuat Renan sadar. Dan berlari, lalu kembali. Aku rasakan selimut hitam putih, sudah menyelimutiku. Tanganku kembali di genggam Renan.

"Ra, jangan gini ra. Ayo, katanya mau ikut ke Aussie. Gapapa deh, asal lo mau ngomong."

Aku mau!

"Nan tolong nyetir ya," pinta ka Ori.

Dan aku rasakan tubuhku sudah berada di atas bangku mobil. Ka Ori setia mengusap rambutku.

"Ra, bertahan. Kakak tahu kamu kuat. Jangan begini,"

Tes.

"Lo lihat? Gue ga cengeng. Gue nyesel tadi ga nyamperin lo di kamar. Mendingan lo ngamuk sama gue ama Renan jangan diem gini."

"RENAN CEPETAN!"

"Kenapa?" Suara Rensn trrdengar penuh khawatir.

"Ara nan..."

Ka Ori semakin menggila memanggil namaku. Aku sadar kenapa dia begini, karena mataku sudah hampir tertutup. Dan aku rasakan bibirku sepertinya mulai membiru. Kesadaranku berada di ujung,

"Macet lagi ri." Keluh Renan.

"ARA! SADARR! PLIS ARA!" TETEP BUKA MATA LO! TEROBOS NAN! GA PEDULI. SINI GUE AJA YANG BAWA."

Semuanya begitu cepat, aku rasa kini Renan yang bersama denganku.

"Ra? Hei! Hei! Lo biasanya juga dorong gue. Kok lo diem aja sih?" Raa..."

Tes.

Renan menangis. Renan menatapku tepat di manikku. Tapi aku tidak bisa membalas itu. Hanya mataku rasnya mulai menutup, rasanya semua menjadi campur aduk. Dan aku sudah tidak tahan, ketika mataku tertutup bagai paksaan. Hanya teriakkan.

"ARAAAAAAAAAAAAAA!!!" Jeritan Renan ditambah sesuatu yang berpacu cepat. Dan aku pasrah, ketika melihat semuanya gelap dan udara yang tidak menghampiriku.

---------------------------------

UHUKKK

i don't have mean to hurt you ara. Sorry.

Kok nyesek sih? Kaya jantung diremes gitu. Dah gitu Aranya kaya depresi :((

Btw, jangan lupa vote dan comment ya!❤

Ur feedback is important for me. Ehm.

With love,

Panda-

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 269K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
335K 11.5K 26
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
691K 32.3K 47
selamat datang dilapak ceritaku. 🌻FOLLOW SEBELUM MEMBACA🌻 "Premannya udah pergi, sampai kapan mau gini terus?!" ujar Bintang pada gadis di hadapann...