(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab IX

610 32 0
By Pandayusy

Kali ini gue balik lagi, dedikasi buat Ara. Anggap aja tadi kilasan singkat tentang Kay.

Ara-

Sore sudah berganti dengan malam. Namun, rasanya aku enggan untuk meninggalkan tempat ini. Sebuah gazebo kecil di belakang rumahku, yang langsung berhadapan dengan tanaman yang Bunda tanam, serta kolam renang.

"ARA MASUK! UDAH MAGHRIB, SHOLAT DULU!"

Teriakkan Bunda membuatku tersadar. Segera saja, aku bangkit dan berjalan masuk. Dan menaiki tangga menuju ke lantai 2 tempat kamarku berada. Memasuki kamar, dan menjalankan kewajibanku.

*
30 menit kemudian

"Ra?"

Pintu terbuka,dan memunculkan ka Ori.

"Kenapa?" Tanyaku, dan berjalan ke arahnya.

"Gue mau ke rumah Kay, lo ikut?"

"Ga ah! Gue lagi males," sahutku. Dan keluar dari kamar bersama ka Ori di belakangku.

Aku tidak tahu kemana orang rumah, sepertinya Bunda dan Ayah sudah pergi untuk makan malam bersama di luar, mungkin, Renan dan ka Ori ke rumah Kay . Sementara aku memilih untuk menonton film di home theater. Bukannya, aku tidak mau ke rumah Kay, tapi jujur saja rasanya tidak ada gairah untuk bermain ke sana.

Menonton film kungfu panda 1 dan 2, membuatku sedikit bosan menghabiskan waktu sekitar 3 jam. Tidak terasa juga, sudah menghabiskan beberapa bungkus snack, dan 3 kaleng softdrink. Aku pun beranjak dari sofa dan memilih membuka pintu belakang. Berjalan kembali ke arah gazebo, di mana tadi aku menghabiskan soreku.

Langit rasanya sangat gelap. Tidak ada bintang. Mungkin, juga karena sebentar lagi akan turun hujan. Melirik sebentar ke jam tangaku, 10:00 PM.

"Sayang?" Aku menoleh, ke arah Bunda yang berjalan menujuku. Di belakangnya ada Ayah. Mereka sangat serasi, walau guratan di wajahnya sudah sedikit tercetak.

"Kamu ngapain udah malam di sini?" Tanya Bunda, sembari merangkulku.

"Lagi mau duduk aja Bun, tapi Bintangnya ga ada. Hehehe," terkekeh kecil.

Tangan besar Ayah mengacak rambutku, dan meninggalkanku berdua dengan Bunda.

"Ra? Bunda mau tanya boleh?"

"Ya Bun?"

"Kamu yakin?"

Pertanyaan soal keyakinan itu pun membuatku sedikit tersentak. Ah, rasanya aku pun ga yakin, tapi memang ini yang terbaik.

"Yakin bun."

"Sebenarnya, Bunda ga rela kamu di sana. Kenapa kamu ga di sini aja? Satu kampus sama Kay. Setidaknya ada yang jagain kamu. Kalau kamu di sana, kamu susah ini itu, gimana mau minta tolong? Kamu itu permatanya Bunda sama Ayah, bunda ga mau kamu jauh. Rasanya---"

Aku menoleh ke arah Bunda, terlihat dia yang tertunduk. Ah rasanya, aku sangat mengecewakan.

"Bunda," panggilku, mencoba untuk memeluk Bunda. "Jangan takut. Ara pasti baik-baik aja, lagian Bunda sama Ayah kan bisa ke sana kalau kalian mau. Dan juga, sebenernya kampus itu yang udah Ara tuju selama ini bun. Aku harap Bunda ama Ayah ngerti."

"Kami selalu mengerti Ara, tapi harus seperti ini?" Suara Ayah membuatku menoleh. Dengan keyakinan penuh, aku mengangguk.

"Maaf selalu ngerepotin kalian, maaf ara buat Bunda nangis. Maaf, selama ini Ara manja sama kalian. Ara janji, saat nanti Ara kembali, Ara akan lebih baik. Maaf sama keputusan Ara yang---"

Aku tidak melanjutkan ketika tubuhku dipeluk Ayah dan Bunda. Masih terdengar isakan Bunda.

"Tidak nak, tidak akan pernah kamu ngerepotin kami. Kamu anak kami, apapun dirimu, siapapun dirimu, bagaimana kelakuanmu tetap kamu putri kami." Kata Ayah. Aku mengangguk.

"Kejar cita-citamu, sembuhkan lukamu." Tubuhku menegang, kenapa Bunda mengerti? Aku semakin menangis dalam diam.

"Tenang bun, yah, Ori bakal pindah sama Ara."

Suara ka Ori dari ambang.pintu membuatku melotot! Dia ga peka atau gimana sih?

"Eh! Mana bisa! Gue kan mau mandiri, lo jangan ikut gue deh. Gue bisa sendiri," tukasku.

Tak!

"AW! ORI GILA!" Teriakku begitu ka Ori sukses menjitakku. Aku melihat ke arah Bunda yang melotot.

"Sejahat-jahatnya lo sama gue, tetap aja gue ga tega ninggalin lo di sana. Di negeri orang. Mana lo tahu, di sana misalnya lo butuh apa tapi lo ga bisa sendiri. Ga ada lagi yang bisa jemput lo." Aku menggeram.

"Ori, kamu serius?" Ucapan Ayah membuatku diam.

"Dia ga serius uncle, yang pergi bukan ori tapi Renan."

Astaga, apalagi ini?! Kenapa Renan dengan seenaknya bilang dia yang pergi?

"Lo berdua napa sih? Muncul kaya jelangkung, katanya juga mau ke rumah Kay," sergahku.

"Ga bisa Renan! Gue harus sama Ara, gue ga bisa ninggalin dia gara-gara dia!" Baru kali ini aku lihat ka Ori mengucapkannya penuh emosi.

"Ara! Ori! Renan! Kalian bertiga ga bisa seenaknya begitu, kalau memang Ara udah pilih kenapa kalian harus ikutan? Bagaimana sama kuliah kalian di sini?" Kata Ayah.

"Renan emang sengaja udah daftar di kampus Ara uncle, ga kaya Ori hanya baru rencana. Renan ga tega buat ninggalin Ara, uncle sama aunty kan tahu. Renan udah terbiasa kemana-mana, dan tahu tentang negara sana ssedikit. Jadi kalian ga perlu khawatir soal Ara. Karena, Renan bisa jadi Ori. Begitupun sebaliknya." Ucap Renan.

Aku melongo! Bagaimana semua ini bisa?!

Bunda berlari memeluk Renan, " Aunty, sangat berterima kasih sama kamu Renan. Aunty ga tahu gimana rasanya ditinggal kedua anak Aunty. Lalu apa mama sama papa kamu sudah tahu?"

"Belum ty, Renan nanti mau ngasih tahu. Aunty, jangan sedih ya. Nanti jadi jelek kaya nenek peot," ucap Renan dan memeluk balik Bunda

"Uncle, nanti juga akan bantu kamu. Tapi dude, jangan sebut istri tante ini peot ya, kalau kamu ga mau Uncle blokir kartu kredit kamu."

Renan gelagapan dan membuat tanda V, setelah itu Bunda dan Ayah langsung pergi ke dalam rumah. Karena besok mereka akan pergi ke surabaya.

Aku menghampiri ka Ori, "Ka?"

Ori menoleh, matanya sedikit merah, aku tahu itu walau cahaya sedikit.

"LO BEGO TAHU NAN! GUE HARUSNYA YANG NEMENIN ARA!"

Bug!

Ka Ori menonjok Renan tepat di wajahnya,

"Ckckck, lo masih ga bisa tahan emosi lo ya! Kan kita udah bicarain ini baik-baik, emang lo ga ngerasain perasaan orang tua lo apa?! HAH?! Udah ditinggal Ara, dan lo malah ikutan. Ya, masih mending gue aja. Lagian gue mau cari suasana baru." Renan bangkit dan sedikit meringis karena pipinya yang ditonjok.

"LO BERDUA KENAPA SIH? LO LAGI RI! DARI TADI EMOSI MULU! DAN LO NAN, GA DIPIKIR APA UCAPAN LO?! GUE MAU MANDIRI DI SANA!"

Mereka berdua bengong, dengan teriakkanku. Sementara aku menghela nafas panjang.

"Lo kira? Gue bisa ninggalin lo lagi dalam kacau ini? Bisa aja kan? Lo di sana bukannya kuliah malah nangis ga jelas ngeratapin nasib lo. Hey! Seharusnya lo bersyukur masih punya sepupu kaya gue super perhatian," ucap Renan.

"Pede!"

"Renan benar Ara. Ka Ori sadar, kakak ga bisa ninggalin kamu tapi juga ga bisa ninggalin kuliah kakak. Jadi, emang Renan yang akan nemenin kamu. Bagaimanapun, kamu itu buat kami tetap anak kecil yang harus dijaga."

Hah, aku menghela nafas panjang. Dan memilih duduk di pinggir kolam renang, mencelupkan sebagian kakiku ke air. Dan sekarang di sampingku, sudah ada ka Ori dan Renan.

"Jangan begitu, lo tahu kalau kita khawatir." Ori menarikku dalam rangkulannya, aku mengangguk.

Menghirup parfum ka Ori dan selalu jadi favoritku, sementara Renan mengusap tanganku. Aku menoleh, dan tersenyum ke arah Renan.

"Lo kapan berangkat ra?" Tanya Renan.

"Dua minggu kayaknya, soalnya Visa gue belum selesai."

"Kalau kaya gitu, mungkin lusa gue udah harus berangkat ke Aussie, soalnya bonyok nyuruh gue balik dulu." Kata Renan,. Mataku sedikit berbinar! Aku mau ikutt!

"GUE IKUT!" Teriakku.

"Gue ga mau budek Ara," sahut ka Ori yang sudah menjitak kepalaku. Aku pun terkekeh dan meringis.

"Yaudah, mending masuk aja. Lagian, udah malem."

Aku mengangguk, dan memasang puppy eyes, meminta ka Ori untuk menggendong aku. Sepertinya dia sadar.

Aku naik kepunggung ka Ori sementara, Renan sudah duluan.

"Lo lihat? Sejahil dia, dia tetap perhatian sama lo."

"Ya, sama kaya lo. Sejahat apapun, lo tetep perhatian sama gue."

"Dan sayangnya, lo lebih jahat dari gue ra.",

"Hahahaha," aku terkekeh. Ka Ori menaiki tangga, dan memasuki kamarku. Menjatuhkanku di kasur,

"Udah gue keluar. Mau tanding games dulu sama Renan."

BRAK!

Ckckck, kenapa sih tiap tutup atau buka pintu pasti ngebanding?

**

Sebelumnya, mungkin kalian akan bertanya kemana aku pergi. Ya, seperti yang kalian tahu, aku akan melanjutkan ke universitas yang berada di Inggris. Kalian tahu? University of oxford, kampus yang selama ini menjadi cita-citaku. Dan ya, setelah melewati beberapa tes yang sangat cukup sulit, dengan banyak rasa syukur aku diterima di sana. Tadinya, ka Ori menyarankan untuk di Harvard, tapi beruntungnya aku begitu mendengar kabar keberhasilanku.

Aku akan memilih jurusan hukum, mungkin Renan juga seperti itu. Eh tapi tunggu dulu! Kan kalau mau daftar di sana dari jauh, lalu? Kenapa Renan bisa? Setahuku, sangat sulit. Bahkan awalnya saja aku pesimis. Biarkanlah nanti akan aku tanyakan dirinya.

Ada dua hal yang membuat diriku mantap untuk pergi, pertama karena memang untuk mengejar impianku selama ini yang hanya diketahui ka Ori. Dan juga pergi untuk melupakan. Ironis bukan? Aku harus pergi jauh untuk melupakan. Ya, karena memang ini adalah kesempatanku.

Makanya, ketika Riani bersamaku dia merasa sedih. Karena dia tahu, bagaimana susah payahnya aku untuk mendaftar ke universitas ini. Aku termenung mengusap bingkai foto dengan Kay.

Sejujurnya, Kay harus tahu. Tapi aku tidak mau membuat dia begitu bersalah dengan kepergianku. Melihatnya tersenyum saja buatku bahagia dan berduka berbarengan, karena dia tersenyum bukan dengan diriku, melainkan dia wanita itu. Ah, entah rasanya hatiku masih membara bila menyebut nama wanita itu. Seharusnya aku tidak boleh menyalahkan dia, tapi tetap saja aku tidak munafik untuk emosi ketika mendengar atau harus menyebut namanya.

Dalam diam aku menangis. Menyesakkan mengetahui waktuku yang kurang dari 2 minggu lagi. Rasa sakit kepala menyerangku tiba-tiba, ah ya, rasanya aku akan jatuh sakit. Segera saja aku bangun dan meminum obat yang yang tersedia. Lalu berbaring kembali, mataku rasanya akan tertutup.

Menjauh mungkin akan sangat berat, tapi melihatmu bersamanya sangat jauh lebih berat. Kenyataan dengan takdir yang membuatku tidak bisa bersamamu dengan harapanku membuatku remuk. Kamu, bersamanya berbahagia. Sementara, denganku kamu hanya bahagia sekedar tersenyum saja. Bukan bahagia seutuhnya, tapi kenapa? Kenapa harus aku yang pergi? Kenapa harus aku yang merelakanmu? Sudah cukupkah 11 tahun kita?

Aku merasa, berada dekat dengamu sebelum dia datang. Tapi sejak dia datang dan mengambil hatimu, aku merasa jauh walau berada di hadapanmu. Karena, jarak tanganku ingin menggapaimu lagi sudah terhalang tembok oleh perasaan yang kamu buat untuknya. Hanya, aku mampu menunggu di luar tembok itu. Tapi sekian lama, mencoba merobohkan tetap tidak bisa. Aku menyerah pada luka. Aku mundur dengan terluka.

Aku memandang langit lebih jauh, berharap apa rasa yang terungkap bisa tersampaikan walau dalam bisu.

I'll go so far away. I'm sorry, to hurt you. I'm sorry to leave you and broken our promise. I love you morethan you know, but it's so painful for me. I leaving you with her, i hope you can be happy without me. Trust me, i'll be back as your friend--without feeling.

Aku tersenyum dengan permohonanku, dan tak berapa lama mataku pun tertutup sempurna.

---------------------

Wuaa wuaa,

Itu bahasa inggrisnya bener ga sih? Hahahha. Sukses baneeetttt kasian Ara yaaa disiksaa, lelahh bang~

Don't forget to comment and vote! ❤

With love

Panda-

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 251K 60
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.9M 279K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
6.3M 270K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
4.5M 270K 62
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...