(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab VII

640 32 2
By Pandayusy

Sudah lewat beberapa bulan, ah tidak, tepatnya sudah hampir menjelang setahun kejadian itu berlalu. Dan kalian tahu? Aku berhasil menutupi keadaanku, dengan semua yang palsu.

Poor ara.

Aku mengejek diriku sendiri. Aku tertawa dalam hatiku, terkait kondisiku yang mengenaskan walau hanya diriku yang tahu. Saat ini aku sedang berada di depan mading, mataku bergerak mencari namaku. Dan saat aku menemukannya,

"YAYYYY YAYAYALALALALAL!!".

Aku berloncat gembira, Riani yang berada disampingku ikut merasakana euforia kebahagiaanku. Aku mendapat nilai terbaik, dan namaku terpampang menjadi nomor satu.

"SELAMAT RA! GILA!! GILA!! LO HAMPIR PERFECT!" Teriakkan Riani membuatku tersenyum lebar.

Rasanya perjuanganku tidak sia-sia, apalagi dengan nilai memuaskan seperti ini. Tinggal selangkah lagi, aku menjalankannya dan berharap semuanya menjadi kenyataan.

"Thanks Ri. Nilai lo juga kereennn!" Sanjungku dan memeluk Riani.

Ah, pasti nanti kangen, batinku.

"Lo bisa ra! Lo pasti bisa! Gue yakin," ucapnya. Aku mengusap punggung Riani. Dia memang sudah tahu apa yang aku rencanakan, hanya Riani saat ini yang bisa aku percaya.

"Gue tetap sama lo ri. Tenang aja, bahkan halangan sebesar apapun lo tetap jadi sahabat gue," aku menghela nafas begitu merasakan pundakku menghangat. Aku tahu, pasti Riani berat dengan ini, tapi inilah yang terbaik.

Aku melepaskan pelukannya, dan mengusap air mata Riani, tersenyum menguatkan dia. Bahwa, persahabatan tidak akan pudar karena apapun.

"Gue balik ya?" Tanyaku.

Riani mengangguk, "Sono lo balik! Gue juga mau balik, mau ngabarin bonyok gue sama kakak gue."

Aku tersenyum, dan berjalan menjauh sembari melambaikan tanganku. Hatiku membuncah, perasaan bangga, sedih, duka menjadi satu. Hanya Riani, yang mengerti bagaimana keadaanku sesudahnya. Dan, ya, dengan berat hati aku memilih pada satu keinginan.

"Ra!" Panggilan seseorang membyatku menoleh, di ujung lorong aku lihat Mozi yang menghampiriku.

"Selamat ya, gue seneng lo bisa jadi nomor satu," ucapnya dan mejabat tanganku "Lo harus bahagia."

Perkataan yang terakhir membuat air mataku tiba-tiba ingin menetes, Mozi memelukku. Walau, aku dan Mozi jarang bersama. Tapi, dia sama halnya seperti Riani buatku. Dengan Mozi, aku bisa tertawa sedikit.

"Jangan buat lo nangisin hal yang ga pernah tangisin diri lo." Katanya.

Aku mengangguk, dan melepaskan pelukannya. Pipiku sedikit memerah, baru pertama kali aku dipeluk oleh Mozi.

"Cie blush," ledeknya. Aku melotot garang.

"Yaudah, gue balik ya! Semoga kita ketemu lagi nantinya, sering kontak gue ya!" Teriakku dan berjalan menjauh kembali.

Bahagia, ketika kalian masih memiliki orang lain yang peduli. Ya sama seperti aku, bahagia sangat ketika banyak yang mengerti apa yang aku mau. Senyumku terus mengembang, ah rasanya bahagia sekaligus menyakitkan!

Ketika hampir tiba di gerbang depan, aku memilih duduk di bangku, di bawah piala-piala yang berjejer. Aku mengambil benda pipih dari tasku, dan membuka slide unlock. Aku mencari nama "Ori".

"Halo?" Sahut seberang sana.

"Assalamualaikum. Lo di mana kak? Gue udah selesai urusan sekolah nih! Dan lo harus tahuu gue..."

Belum sempat aku melanjutkan ucapanku. Ka Ori sudah memotong,

"Iya gue tahu. Lo pasti dapat nilai tinggi! I am proud of you sista, terus gue yakin lo minta jemput gue? But, sorry to say, gue ternyata ada rapat sama anak-anak di kampus jadi ga bisa jemput lo!"

Baru saja aku tersenyum, bibirku langsung melengkung. Sama aja bohong kalau gitu!

"Yaudah dah, gue naik angkot aja." Kataku.

"Ehh.."

Klik. Aku langsung memutuskan begitu saja telepon. Dan memasukkan kembali handphoneku di bagian laptop eēpaling belakang. Baru saja aku ingin bangkit sebuah tepukan dipundakku, mmebuatku menoleh.

"Ra, SELAMATTT!!" Tubuhku langsung dipeluk ketika aku baru saja berbalik. Rasanya, darahku tidak mengalir dalam beberapa detik. Aku juga tidak membalas pelukan Kay. Yang ada, tanganku mengepal menahan emosi melihat wanita itu!

"Lo bisa lepasin gue? Malu sama cewek lo!" Ucapku tepat di kuping Kay.

Kay langsung melonggarkan pelukannya, dan menatapku--salah?

"Lo ga usah muji gue Kay. Udah tahu gue emang pinter, hahahahaha," pedeku.

Tak!

"SETAN! LO MAU GUE JAMBAK YA?" aku langsung berteriak dan menarik rambutnya, padahal emosiku sudah membuncah melihat mereka berdua!

"RA! SUMPAH SAKIT BEGO! LEPAS LEPAS, GUE BELUM MAU MATI. LEPASSS BEGO!"

Karena teriakkan Kay, aku mundur. Aku menarif nafas dalam dengan sesak. Sementara, Kay di depanku mengaduh dengan sakitnya.

"Ara, selamat ya." Ucapan lembut, itu membuatku menoleh dan melirik Vera yang menjulurkan tangannya. Ragu antara menyambut atau tidak, akhirnya, aku memilih untuk menyambut. Hanya tersenyum dan mengucapkan "thanks."

"Ra, err, ini Vera. Lo tahu kan? Dia---"

"Cewek lo!" Tukasku.

"Kok lo tahu?" Tanya Kay sok--polos.

Ups. Aku hampir saja terbawa emosi. Jangan dia kira aku ga tahu ya tentang dia dan Vera. Aku tahu semua! Tahu bagaimana mereka bisa jadian, ga perlu kalian tanya perasaanku gimana. Karena kalian akan sadar sendiri bila merasakan.

"Ra.." kay menatapku dengan muram. Tapi aku mengerti binar di matanya ketika melihat Vera tidak seperti itu.

"Gue balik!" Ujarku, dan langsung berbalik. Sedikit berlari kecil, inikah rasanya? Inikah ketakutanku? Bahwa akhirnya memang aku sama dia, harus berpisah. Tapi kenapa rasanya sesak?

Aku berlari terus, hingga keluar sekolah. Bersamaan dengan nafasku yang mulai tercekat, air mataku merembes. Aku sadar, ini adalah akhir dari segala yang aku rasa. Aku melihat di depan sana ada pohon, dan aku rasa sudah cukup jauh juga aku berlari tanpa arah dari sekolah. Aku terduduk bersandar di pohon, tidak peduli mungkin orang lain akan melihatku seperti apa. Menutup mataku, menangis sejadi-jadi. Aku lelah, sangat lelah dengan perasaan ini.

"AAAAAA!!!!"

Aku keluarkan emosiku, berteriak, sakit! Jantungku sakit, bahkan aku pukul pun rasanya sama ada yang sessk. Padahal, aku sudah janji tidak akan menangis lagi. Tapi ini apa? Kenapa melihat dia begitu menyakitkan?

Aku hanya lelah. Lelah menahan gejolak. Ku biarkan air mata ini terus menetes. Meraung-raung untuk kukeluarkan.

"Malu-maluin banget lo! Keterlaluan!"

Suara khas yang terdengar membentak itu pun membuat aku untuk mendongak. Aku lihat, di depanku ada Renan dengan senyum--jutek yang terpasang dibibirnya.

"Nan," panggilku lemah.

"Gue ngerti apa yang lo rasain. Bahkan sangat ngerti, tapi lo ga bisa begini. Waktu lo masih panjang," nasihat Renan dan memelukku. Aku pun tidak menjawab, hanya menangis dan menyembunyikan wajahku di dadanya.

"Kalau emang belum siap untuk tersakiti, jangan pernah mencoba untuk mencinta."

"Gu...."

Aku tidak bissa berkata apapun. Hanya, kini Renan sudah membantuku berdiri dan membawaku ke mobilnya. Begitu aku sudah terduduk dengan seatbelt, Renan pun langsung berlari kecil ke arah kemudi.

"Kalau tadi ada Ori tahu lo begitu, bakal gue ketawain lo." Renan tertawa kecil, yang membuatku malah memutar mata malas.

Aku mengeryitkan dahiku, kan tadi aku mintanya dijemput sama ka Ori. Kok bisa dia?!

"Lo ngapain jemput gue?" Tanyaku.

"Oh, Ori bilang sama gue. Takut adiknya depresi kali, jadi gue jemput lo deh. Terus tadi pas gue sampe depan gerbang sekolah malah lihat lo lari-larian kaya main drama, terus nangis."

Aku melotot, "LO TUH KETERLALUAN! GA NGERTI APA-APA!"

Aku teriak dan menunjuk Renan. Tidak ada balasan, hanya senyum mengejek. ARGH!

*

Brak!

Aku membuka pintu kamarku, lalu menguncinya. Setelah itu, tidak mengerti kenapa yang ada tubuhku merosot di balik pintu. Sepanjang perjalanan, setelah aku berteriak tidak ada lagi pembicaraan antara aku sama Renan. Dan, hal itu juga yang membuatku berpikir apakah keputusan aku ini baik nantinya.

Melirik jam di atas nakasku, 16:30, cukup lama untuk perjalananku. Karena tadi ada kecelakaan yang membuat kami terjebak selama itu. Aku pun berdiri, beranjak ke kamar mandi. Mencuci wajahku, mengucir rambutku cepol, dan mengganti pakaianku.

Aku memandang wajahku di cermin, wajah ini, kenapa? Kenapa tidak seperti Vera? Kenapa tidak bisa mengerti? Kenapa? Semuanya berbeda? Ini menyakitkan, dan lagi--lagi aku menangis. Berteriak.

"LO GA PERNAH NGERTI KAY!"

Trang!

Sabun wajahku aku banting. Pecahan kaca itu terjatuh di samping closet.

"APA YANG SALAH DARI GUE!!!"

Aku menangis kembali, dan terduduk di samping wastafel, kepalaku membentur ke tembok. Benar kata Renan, aku seperti drama. Tapi kenapa? Saat aku menahan, rasanya ada gelombang yang memaksa aku untuk meledak.

Aku memaksa untuk menenangkan nafasku, dan begitu tenang. Aku bangkit, beranjak keluar dan membuka laciku.

Ini kesempatan, kataku dalam hati.

Membuka sebuah amplop putih panjang, membuka sebuah surat. Aku membacanya berulang kali, sangat berulang kali dan berpikir apakah ini adalah keputusan yang benar. Tapi sepertinya ini benar. Aku menandatangi surat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah berhasil, aku rapihkan kembali dan menyimpan baik.

AKHIRNYA! Aku pun meneruskan dengan keputusanku, membuka laptopku. Lalu membuka sebuah website di mana, aku akan mengkonfirmasikan sesuatu yang akan berdampak untukku ke depannya. Tidak ada yang tahu ini, tidak ada yang tahu tentang semua ini. Hanya diriku. Bagus bukan? Setidaknya, tidak ada yang bisa pengaruhi aku untuk memilih.

Tok! Tok!

Jantungku berdegup. Aku masih diam, memperhatikan sebuah proses yang masih berjalan.

98% (persen of complete)

Tok! Tok!

100% (compeleted)

Aku langsung mengklik "finish" dan menutup browser.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu itu seperti tidak sabar. Tanpa ba bi bu, aku langsung menekan tombol power pada laptopku, dan menutupnya Mulai menarik nafas dalam, huff. Hembuskan. Aku pun berjalam kearah pintu.

"Lama banget si lo!"

Aku melongo, melihat Kay yang langsung masuk begitu saja ke kamarku.

"Eh eh! Lo mau kemana, nyelonong aja!"

"Biasanya gue juga langsung masuk. Pintu kenapa sih dikunci? Abis ngapain lo?" Cerocos Kay.

Er, aku hanya tersenyum dan duduk di atas kasur. Sementara Kay, duduk bersandar di kepala kasurku dan tangannya memeluk gulingku.

"Ra?"

"Hm?" Aku menyahut, dan mengambil novel yang telah aku baca separuh. Lalu bersandar di sampingnya,

"Lo marah sama gue?"

"Soal?"

"Gue sama Vera."

Deg!

Degup jantungku, seperti berhenti sesaat. Bagaimana dia bisa menanya seperti itu? Seharusnya dia sadar, bagaimana perasaanku jika dia peka.

"Ga." Jawabku, 1 kata.

Aku merasa seperti ada pergerakan. Kay kini sudah menghadap ke arahhku, dan memegang pundakku, memaksaku untuk menghadap kepadanya.

"Gue tahu. Gue salah nyembunyiin ini. Tapi, gue milih sembunyi juga demi buat lo! Gue takut, lo sakit!" Ungkap Kay.

Huh? Takut gue sakit? TAPI SECARA GA LANGSUNG LO EMANG UDAH BUAT GUE SAKIT, batinku.

Aku menunggu Kay melanjutkan perkataanya.

"Gue mau jujur sama lo kalau gue--"

"Stop. Gue udah tahu, kalau lo udah jadian sama Vera? Dan sengaja nyembunyiin, dengan alasan lo takut gue sakit," ucapku dengan nada sinis, "Haha, LOL banget."

Aku tertawa mengejek, dari mata aku lihat Kay seperti sedih?

"Jangan kira, gue ga tahu semua Kay. Emang lo kira udah berapa lama kita kenal? Terus lo mau ngancurin kita cuman karena cewek lo? Haha." Aku merasa emosiku naik, tapi tidak. Aku harus tabah, menarik nafas dalam, "Setidaknya, kalau emang persahabatan di antara kita hancur bukan gue yang ngancurin."

"Ra? Lo tahu ga sih? Gue juga ga mau gini! Dan, inget persahabatan kita ga bakal hancur. Kita bukan sekedar sahabat biasa ra." Kay menghela nafas, "Bagi gue, lo sebagian dari hidup gue. Kalau gue bisa mohon pun gue maunya rasa ini buat lo, tapi gue ga bisa. Gue tahu, gue egois. Sangat egois malah tapi kenapa? Salah jika gue pertahanin lo serta dia yang sekarang ada di hati gue? Bukan dia yang ngancurin kita ra. Bukan, dia cuman korban dari perasaan gue yang dituju ke dia. Kita udah 11 tahun bersama, suka duka bareng, bahkan kita juga janji untuk sukses bersama. Ga bisa kah ra? Kita ga saling ribut kaya gini cuman karena orang yang ada di hati gue. Seharusnya lo juga tahu gue sayang sama lo!"

Aku menatap matanya, sebutir air mata mengalir. Aku sadar, aku sudah membuat dia terluka. Sifatku memang berbeda, iya aku sadar. Tapi aku kira dia tidak sadar.

"Stop Kay. Gue ya tetap gue sampe kapanpun. Ga ada yang berubah," ucapku.

Tapi akan ada saatnya berubah.

Aku mengusap air matanya, "Gue ga punya sohib yang cengeng. Hahah," ejekku.

Kay langsung memelukku, begitupun denganku. Aku berharap ini pelukan ternyaman yang akan aku dapat untuk terakhir, aku menghirup aromanya begitu dalam. Karena, aku yakin suatu saat aku akan merindukan.

"Maafin gue ya," ucapnya serak.

Aku mengangguk tidak menjawab hanya semakin mengeratkan pelukanku.

"Jangan pernah membuat diri lo bersalah dengan apapun yang nanti terjadi. Tetap bersama dia, yang lo cintai." Aku mengucapkan itu dipelukannya, sepertinya Kay menyadari karena kurasa tubuhnya sedikit menegang.

"Maksudnya?" Tanyakku. Aku hanya menggeleng. Dan sisanya kita isi dengan kesunyian.

Hanya, berharap lo tetap ingat siapa gue, batinku.

----------------

Hi!

Cie finally, duh Ara kayaknya cengeng banget sih. Hahaha. Typo juga di mana-mana ini karena gue ngetik by phone. Soalnys laptop gue belum bisa dipisahin dari nyokap :(( walau doi udah sembuh dengan perjuangan uhuk.

Don't forget to vote and comment for mystory! Hope you like this, ❤

Withlove

Panda-

Continue Reading

You'll Also Like

6.7M 218K 75
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
6.3M 269K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1M 57.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...