(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab VI

666 35 0
By Pandayusy

"Ara bego sih, udah tahu dia gampang lemah masih aja banyak pikiran! Seharusnya dia peka sama kondisi tubuhnya, dan lo juga! Harusnya bisa perhatiin dia. "

"Lah lo yang bego ri, udah tahu dia mau main ke apartemen lo malah lo bawa ke Anyer. Nah yang ga peka sama kondisi adik lo siapa?"

Suara ribut membuatku terpaksa membuka mataku yang terasa erat seperti di lem.

"ARAAAAA!!!"

Teriakkan kompak yang cukup--menyakitkan bila didengar itu terdengar sangat dengan dua orang yang berada di sisi kana kiriku.

"L...o ka..al..aau ma.." aku merasa serak suaraku. Dengan tangan lemah aku menunjuk ke gelas yang berada di atas meja.

"Oh mau minum! Bilang dong!" Tukas ka Ori yang ada di kananku. Aku berniat menarik kupingnya kalau aku sehat nanti, ingatkan itu.

Dengan bantu Renan dan ka Ori sekarang aku sudah bersandar di tempat tidur dengan bantal.

"Lo apanya yang sakit?" Pertanyaan ka Ori membuatku menoleh kearahnya.

"Pusing. Dingin. Mual. Lemes." Kataku singkat.

"Mual? Jangan-jangan lo hamil ra!" Sahutan dari kiriku membuatku melotot.

Aku menjambak rambutnya, "Lo kalau ngomong dijaga! Hamil-hamil! Lo noh bunting!"

"ADAAWW DAWW RA SAKIT LEPASS!"

Aku tetap menarik rambut Renan. Dia ga tahu aja sekarang aku lagi suasana hati buruk dan malah dia berkata begitu, syukurin! Aku jadiin pelampiasan.

"Ara, ngapain kamu jambak Renan?"

Ah! Aku langsung melepas tanganku dari rambut Renan ketika mendengar suara Bunda. Dan kini tepat di kanan, sudah ada Bunda dan Ayahku.

"Jangan begitu sama Renan. Kamu kan, kemarin Bunda sama Ayah bilang apa. Jangan sekolah, ini nih akibatnya!" Omel Ayahku.

Aku hanya tersenyum--tanpa salah, "Ya kan aku anak rajin yah," ucapku.

"Wooooo!" Sorakan dari ka Ori dan Renan terdengar.

"Sayang? Bunda sama Ayah sebenarnya mau nemenin kamu, tapi ada urusan perusahaan yang mendadak buat Ayah sama Bunda pergi ke sana 1 minggu. Kamu gapapa ditinggal?" Tanya Bundaku sembari mengusap rambutku.

Aku menggangguk, lagian aku udah gede jadi ga mungkin harus manja terus. Betul?

"Kalau begitu, Ayah sama Bunda tinggal ya," Bunda bangkit dari duduknya dan mencium keningku, bergantian dengan Ayah, "Pesawat kita take off jam 10."

"Hati-hati Bun, Yah." Kataku.

"Ri, Nan titip Ara ya!" Ayahku berbicara dengan dua laki-laki.

"Siap yah!"

"Siap om!"

Setalah berpamitan ayah dan bunda pun keluar dari ruanganku. Aku langsung menatap ke arah Renan. Aku buat seolah-olah mataku ingin keluar.

"Lo kenapa melototin gue?"

Songong!

"Gue mau tanya, lo sama kakak!" Tunjukku ke arah ka Ori, "Kenapa punya sifat abnormal banget sih? Orang sakit bukannya disayang, diperhatiin kek, atau dimanja ini malah diketawain. Udah gitu pake teriak segala sampai gue aja kedengeran yang masih mimpi!"

"Mimpi? Lo mimpi apa? Jangan bilang lo mimpiin gue ra," celetuk ka Ori.

Aku menggeram, susah banget ngomong serius sama mereka berdua kalau normal (red: ga normal) keluar!

"Tahu ah bodo amat! Gue laper, mau makan!" Ucapku.

"Lah lo laper napa minta makan sama gue?" Tukas Renan.

"Pokoknya kalian berdua! Kalau ga gue bilangin ayah sama bunda!" Ancamku.

"Wo ngaduan. Ri adik lo tuh!" kata Renan.

"Lo mau di sini apa mau cabut aja ke rumah? Lagian kata dokter lo udah mendingan sih. Cuman banyak istirahat aja." Tanya ka Ori dengan lembut dan sudah ada di sampingku.

Mataku berbinar, aku lebih memilih di rumah daripada di sini!

"Rumah! Ayo balik!" Semangatku muncul. Aku langsung bangun dari tempat tidur. Sementara itu, ka Ori langsung keluar dari kamarku, mungkin mengurus administrasi dan meninggalkan aku dengan Renan.

Aku lihat, Renan berjalan ke arahku. Dan saat ini dia duduk di hadapanku, aku mengeryit bingung kenapa?

"Kenapa lo?" Tanyaku--sedikit membentak.

"Lo tuh kalau punya masalah sama dia, atau apapun yang bersangkutan sama dia ya bicarain aja ra. Lagian, menurut gue Kay ga bakal marah kalau tahu soal perasaan lo. Dan kalau bisa sih, gue harap lo rela. Karena yang gue lihat, sepertinya memang lo ga pernah bisa lebih di mata dia selain selama ini yang kalian jalanin. Mungkin, lo bisa bikin tertawa dengan dia dan buat dia bahagia, tapi sempurnanya dia bahagia dan tertawa bukan karena lo!"

Jleb.

Aku menggeleng, "Gue udah ngalah selama ini. Gue rasa ini bisa dilupain beriringan waktu. Tapi kenapa? Sedikitpun dia ga bisa lihat kalau gue ada, ada hal lebih untuk dia. Gue emang mau bicarain, nanti. Tapi, gue udah kecewa. Dan bisa saja, luka yang baru tersayat sedikit nantinya jadi dalam."

Renan mendekatiku, dia mengelus rambutku. Tidak, aku tidak boleh menangis. Aku kuat!

"Jangan pura-pura kuat, lo tahu ada gue sama Ori yang selalu bisa ngasih kekuatan buat lo. Kalau lo abis kuatnya, ya minta ke kita. Yang pastinya, apapun yang buat lo bahagia kita lakuin ra."

Aku langsung memeluk tubuh Renan. Dia benar, mugkin jika tidak ada Renan maupun ka Ori tidak tahu lagi aku harus mengeluh kemana. Setidaknya, walaupun sifat buruknya lebih banyak Renan tetaplah seorang kakak.

Bagiku.

"Ayo woee!" Teriakkan dari arah pintu membuatku melepas pelukan. Renan tersenyum, dan tiba-tiba berjogkok di depanku.

"Ayoo putri Ara! Back to home!", Ucap Renan.

Aku terkekeh, "Hahahaha let's go!" Balasku dan naik ke punggungnya.

Renan menggendongku keluar rumah sakit, seperti biasa aku mendapatkan tatapan iri dari para suster. Ya, ya, ya, aku tahu tampang Renan dan ka Ori memang di atas rata-rata.

Ih dia ganteng banget!

Eh dia siapa? Jangan-jangan ceweknya lagi,

Duhh itu yang jalan duluan manis bangett!

Memutar bola mataku malas, hello! Siapa yang ganteng? Siapa yang manis? Renan? Ka Ori? Gatahu aja kali ya!, Dumelku.

"Lihat, gue banyak fans. Kalau lo aniaya gue bisa abis lo sama fans gue," ucap Renan.

"GEER!" Teriakku dikupingnya.

Aku merasakan tubuh Renan goyang, hampir saja aku melepas pegangan pada lehernya.

"BEGO! BEGO! LO MAU JATUHIN GUE?"

"LO GAK USAH TERIAK! ATAU GAK GUE JATOHIN LO!"

aku meringis, mendengar Renan berteriak. Tuh kan! Dia itu emang paling resek, mana dilihatin di sekeliling. Kebanyakan suster melihat tingkahku dan Renan.

"Lo berdua, baru akur, terus ribut lagi. Renan, kalau lo cari masalah gue suruh om bawa lo balik ke Aussie!"

Aku tertawa begitu ka Ori mengancap Renan. Renan membuat tanda "V" dan membuat aku semakin mengeratkan peganganku.

"Uhukuhuk, Ara gue kecekek!" Kata Renan yang membuatku tersadar.

Hahahahha, mampus!

Setelah melewati tatapan suster, menunggu ka Ori yang mengambil mobil, dilihat orang yang berlalu lalang, barulah sekarang aku bisa menikmati sandaran jok mobil yang niannnn empuk.

"Lo tidur, gue tinggal!" Ancam ka Ori.

Huff, aku menghela nafas. Baru juga baik, sekarang galak. Baiklah. Aku membuka jendela sedikit, cuaca di luar sedikit mendung untuk di siang hari ini.

"Ara tutup jendelanya!"

Aku menghiraukan perkataan ka Ori. Sekali-kali nakal, eh, bukan berkali-kali nakal tidaklah masalah untuk ka Ori. Right?

Sepertinya hujan akan tiba, sangat tepat dengan apa yang akan dilakukan hari ini, ucapku dalam hati.

"Ra! Ini hape lo, dari tadi geter mulu. " Kata ka Ori sembari menyodorkan handphone ke kursi belakang.

Aku langsung mengambil dan membuka membuka chat, banyak pesan dari Riani, Kay dan juga temanku yang lain. Mulai dari Riani yang bawel dengan keadaanku, hingga dia yang minta maaf tidak bisa menjenguk.

Ah ya, aku lupa seharusnya aku kabarkan Kay sudah keluar rumah sakit. Jariku pun membuka tab chat dengan Kay dan mengetikkan sesuatu.

"Gue udah keluar rumah sakit. Nanti langsung aja ke rumah "

Send.

Drtt. Drtt. Tidak berapa lama aku mendapat pesan, balasan.

"Oke. Nanti gue ke rumah ya, sorean mungkin. Gue mau ngerjain tugas sama Vera."

Aku mengabaikan pesan, dadaku sesak ketika membaca balasan itu. Rasanya, jarum kembali menancap tanpa peduli bahwa aku sudah berdarah.

*
Aku terduduk di atas ayunan di taman ini. Ya, taman pertama ketika aku berjumpa dengannya. Pertama kalinya aku menjabat tangan itu, tangan yang selalu melindungi aku. Angin sore meniup sebagian rambutku yang hanya aku ikat asal. Biarlah, sore dengan langit mendung ini menemaniku, menjadi saksi akhir dari waktu menunggu.

"Nih." Aku menoleh melihat Kay, yang memberikan minuman.

"Thanks," Ucapku.

Tadi saat aku tidur, Kay sudah berada di kamarku. Dan seperti yang dilihat dia menagih janjiku untuk cerita. Aku pun keluar rumah, padahal ka Ori sudah mencak-mencak karena kondisi tubuhku masih lemah. Kay yang rela menggendongku, akhirnya berhasil meyakinkan ka Ori.

"Jadi, apa yang mau lo omongin? Di tempat ini?" Tanya Kay.

Aku memperhatikan langit sore, di saat ini mungkin aku harus bertindak di luar logikaku. Mengungkapkan semuanya? Apakah wajar? Sepertinya tidak, tapi sepertinya iya. Dan, saat ini juga yang akan membawaku memilih untuk pergi atau tetap pada akhirnya. Aku pun mengenang, perkenalan kami 11 tahun yang lalu, dengan mataku yang kini menatap Kay.

Flashback.

Aku menangis sendirian di tengah taman ini. Tak ada satupun yang ingin bermain denganku. Entahlah aku tidak tahu mengapa. Kakakku tak mau bermain, sedangkan bunda dan ayah belum pulang. Aku putuskan untuk duduk di tengah ayunan ini dan melihat segerombolan anak-anak kecil seumuranku sedang bermain.

Ingin rasanya aku bermain kesana, rasanya ingin aku menghampiri mereka. Tapi aku tak berani, sedangkan mereka pun juga tak mau menghampiriku bermain juga.

"Hai!" sapa seseorang yang membuatku menoleh kearah suara itu.

Aku lihat anak laki-laki mungkin seumuran denganku dengan wajah putih pucat,bermata biru safir dan rambut coklat gelap itu menggunakan kaos bergambar kartun mobil dan celana pendek selutut.

Aku berpikir tak pernah bertemu dengan dia. Lalu siapa dia?

"Hai juga," ujarku dan membalas jabatan tanda tangannya.

"Aku Kayro, kamu bisa memanggil aku Kay. Aku anak baru di sini. Kamu mau bermain denganku?" Aku hanya manggut-manggut. Dan memperkenalkan diri aku kembali.

"Aku Ara. Boleh ayuk kita main!"

Dan sejak hari itu pun kami, aku-dan Kay selalu bersama.

Off flashback.

Kilasan bayangan lalu, saat pertama aku dengan Kay berkenalan membuatku mengerti sudah banyak kenangan, maupun hal yang kita lakuin selama 11 tahun terakhir ini. Sebagian, kenangan itu sangat indah, tapi saat aku melihat dia berbahagia dengan orang lain membuatku seperti ditampar dengan perkataan Renan, "Kebahagiaan tidak bisa dilihat satu pandang."

Aku sadar, aku telah egois selama ini. Lalu kenapa aku harus sakit? Tapi, kenapa rasanya seperti jantungku diremas tanpa henti? Air mata menggenang dipipiku, aku menutup mataku untuk menelaah semua ini. Aku tidak ingin egois, tapi aku juga ingin dia bahagia denganku tidak dengan orang lain.

"Ara?" Panggilan Kay membuatku membuka mata. Air mata menetes begitu saja. Aku melihat Kay yang sudah berlutut, dan meremas tanganku. Seolah-olah dia ingin memberikan kekuatan, padahal dirinya jugalah kelemahanku.

Mataku menatap ke arahnya, biarlah aku cengeng. "Ya Kay," balasku dengan suara yang serak.

Aku menangis sesunggukan, bahuku bergetar. Dia bahagia tapi bukan denganku. Tidak bisakah aku egois? Dan membuat dia cukup denganku hingga selamanya? Lalu bagaimana aku harus melupakan dia setelah semuanya kita lalui?

"Gue gatau ada apa sama lo, yang pasti gue ngerasa beberapa hari ini lo menghindar sama gue. Lo gampang nangis, padahal yang gue tahu lo bukan cewek cengeng. Lo bilang sama gue lo sakit hati, gue udah pikir semalaman siapa yang buat lo begini, tetap aja gue ga ketemu jawabannya. Lo tahu ra? Kita udah bersama, bukan dalam waktu yang sebentar. Kita selalu bersama. Kita selalu jujur. Jadi coba, sekarang lo cerita sama gue. Apapun itu." Kata Kay sembari mengusap punggungku.

Aku tetap menangis dalam pelukanya, menangis sekencang-kencangnya! Biar langit, tahu apa yang aku rasain. Sakit ini. Ketika aku yakin, aku kuat. Aku pun berdiri, dan duduk tepat di depan Kay yang otomatis membuatnya mundur. Mengusap air mataku, walau aku tahu nantinya akan keluar kembali.

"Gue," aku menarik nafas dalam, mengusap pipi Kay. Menatap matanya dalam. "Gue ga tahu juga kenapa, yang pasti gue ngerasa gue kalah! Gue egois! Gue suka sama seseorang Kay, mungkin bisa lo bilang gue gila. Gue bukan lagi suka, melainkan cinta. Sangat."

Aku menghirup nafas dalam, dan mengenggam tangan Kay, menatap matanya dalam.

"Sayangnya, selama ini dia ga pernah tahu makna dari tatapan mata gue. Gue kira dia sudah cukup bahagia sama gue, tapi fakta salah. Dia lebih bahagia dengan seseorang selain gue. Kenapa Kay? Kenapa dia ga bisa lihat gue? Kenapa, kenapa rasanya sakit?"

Aku kembali menangis, dengan langit gelap. Aku sesunggukan, memukul jantungku yang sakit. Berharap sakitnya kurang, dan aku rasakan Kay memelukku lagi. Mengusap rambutku.

"Siapa orang itu Ara? Siapa yang ga peka perasaan lo?" Pertanyaan Kay membuatku melepaskan pelukannya. Melihat wajahnya. Aku menghirup nafas dalam kembali.

"LO!" Aku berteriak tepat didepannya, cukup sudah. "ORANG YANG GUE SUKA ITU LO KAY! TAPI KENAPA LO GA BISA LIHAT GUE LEBIH DARI SELAMA INI LO LIHAT? KENAPA LO LEBIH BAHAGIA SAMA DIA? KENAPA LO GA BISA CUKUP BAHAGIA SAMA GUE AJA KAY? GUE KURANG APA KAY? APA YANG HARUS GUE LAKUIN BIAR LO SADAR BAHWA GUE ADA DI SINI BUAT LO?! KENAPA LO MALAH SAMA DIA? LO KAY ORANG YANG GUE KAGUMI, LO KELEMAHAN SEKALIGUS KEKUATAN GUE. SELAMA INI GUE DIAM BIAR LO NGERTI, TAPI KENAPA LO GA PERNAH PEKA KAY? APA SALAH GUE?!!!!"

Tubuhku luruh, aku memukul dada Kay. Aku merasa lemas, seperti kekuatanku disedot keseluruhan. Aku hanya bisa menangis, dan memukul dada Kay dengan tangan lemasku.

"Gue egois ya Kay? Gue egois kan Kay. Gue jahat," ocehku.

Aku menatap mata Kay, tangan besarnya menangkup pipiku. Kay memajukan wajahnya dan mencium keningku lama. Tapi bukanya, aku berhenti menangis, air mataku malah deras. Rasanya aku bisa tahu bagaimana perasaan Kay.

"Pertama, gue minta maaf selama ini ga pernah sadar sama lo. Bukan maksud gue ngelukain lo, tapi gue emang bener ga sadar. Kedua, gue ga mau lihat lo nangis begini karena lo makin jelek," Kay terkekeh tapi aku melihat air yang turun dari matanya, "Ketiga, ini pasti menyakitkan. Tapi gue bener-bener minta maaf gue bel-- ga bisa buat balas perasaan lo. Lo tahu kan? Gue suka sama dia, sejak awal kita masuk SMA dan lo tahu itu. Keempat, jangan berubah ya? Dan gue terima kasih banyak buat perasaan lo ini tapi juga maaf."

Aku hanya menyembunyikan wajahku didadanya, sementara tangan Kay tetap mengusap punggungku. Aku tidak menjawab apapun, biarlah apa yang aku ungkapakan berlalu beriringan waktu. Dan biarlah, apa yang jadi jawabannya aku simpan.

Hanya tinggal bagaimana aku menghadapinya, setidaknya beban hati sudah menghilang setengah. Sisa dari pengakuan itu, aku habiskan dalam pelukannya hingga langit berubah menjadi malam. Di tempat ini, di mana kami bertemu dan kami mengungkapkan, mungkin juga di mana kami akan berpisah.

-----------------------------

Hi!

Hoaaaammm cuacanya mendukung terus buat tidur>< loh? Ini part terpanjang, soalnya udah ini adalah akhir dari penantian ara. Cieeee

With love,

Panda-

Continue Reading

You'll Also Like

646K 75.8K 10
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
4.9M 264K 60
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...
335K 18.6K 66
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
6.4M 189K 61
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...