(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab V

637 33 8
By Pandayusy

Aku terbangun ketika mendengar alarmku. Aku mengulangi lagi, alarm? Berarti aku sudah di rumah? Perlahan tapi pasti aku membuka mata, huf, syukurlah. Aku benar-benar berada di kamarku.

Aku tidak tahu kapan dan di jam berapa aku tiba di rumah. Aku mungkin akan bertanya itu nanti saat bertemu dengan kedua saudaraku itu! Aku memilih untuk turun dari kasur, sejenak menoleh ke alarmku. Jam 05.00, dan aku memutuskan untuk mandi.

Setelah merapihkan semua, aku turun ke bawah. Dan terlihat Ayah dan Bundaku yang sudah duduk di meja makan.

"Pagi sayang," sapa Bundaku lalu mencium keningku. Begitu pula dengan Ayah.

"Ka Ori sama Renan mana Bun?" Tanyaku dan duduk di bangku kesayanganku.

"Masih tidur mungkin," jawab Bunda. Aku pun mengangguk dan mengambil dua lembar roti dan mengolesi selai kacang kesukaanku.

"Kamu mau sekolah ra? Tapi semalam kamu pulang badan kamu panas. Kamu lebih baik ke dokter aja," tanya Bundakku yang kini menaruh tangan dikeningku.

"Aku sekolah aja bun. Lagian udah kelas 3 ga mau ketinggalan pelajaran. " Jelasku.

"Iya sayang, mending kamu ga usah masuk. Ayah juga rasa kayaknya kamu kecapean deh. Itu lihat muka kamu pucat gitu," Ucap Ayahku yang sepertinya mendukung Bunda.

Aku tidak menjawab, melainkan berdiri dan mencium pipi Ayah dan Bundaku, "Ara gapapa kok. Ara berangkat dulu!"

Aku pun berjalan keluar pagar, cuacanya cukup mendung. Aku memang berniat tidak berangkat bareng dengan Kay. Aku memilih jalan kaki ke depan komplek dan akan memilih naik angkutan umum.

Dan menikmati, pagi yang gelap bersama langit.

*

Setelah sampai di sekolah, masih sedikit yang datang. Aku pun melangkahkan kakiku menuju ke lantai 2 di gedung 2 tempat kelasku berada. Sekolah ku ini memiliki 3 gedung, dan kebetulan kelasku berada di gedung kedua, yang menghadap ke arah pintu gerbang. Sesekali teman yang aku kenal, menyapa dan aku balas dengan senyuman.

"ARAA!" teriakkan dari Arah belakang membuatku menengok.

Huf, aku menghela nafas kasar begitu tahu ada Riani di sana. Dari tatapan matanya saja aku tahu, seolah-olah berkata, "kemana aja lo!"

Begitu tiba dihadapanku, Riani langsung merangkulku dan melanjutkan jalan kita ke kelas.

"Lo kemana aja? Handphone lo ga aktif! Kemarin gue ke rumah lo kata nyokap lo lagi pergi sama Kay. Gue tanya Kay, katanya lo ada urusan. Kenapa sih lo?! Biasanya lo kemana-mana sama Kay kaya perangko." Tanya Riani tanpa henti.

Aku menggelengkan kepalaku, belum waktunya bercerita. "Gue semalam abis pergi aja sama saudara gue. Nikmatin malam senin hoys! Hahahaha," aku tertawa dengan ucapanku.

"Yakin? Badan lo panas. Aturan lo ga usah sekolah."

Aku mengeryitkan dahiku, "Masa iya gue panas? Iya sih, dari tadi juga gue kaya pusing."

"Gue ngerasa nih, leher lo panas. Udah gitu muka merah. Btw, si Kay kemana? Biasanya kan lo sama dia."

"Gatau. Gue lagi mau berangkat sendiri aja tadi, mungkin nanti dia juga datang."

Begitu sampai di kelas, aku pun langsung duduk di kursi paling ujung dekat jendala dan Riani di sampingku.

"Eh, ada pr ga?" Tanyaku.

"Ga kayaknya, cuman hafalan buat bahasa Jerman." Jawabnya sembari mengeluarkan buku yang ku ketahui novel.

Aku menggeleng takjub, walaupun Riani memiliki sifat 11:12 denganku tapi dia sangatt, sangat menyukai membaca. Aku pun tidak berniat menganggunya, dan memilih untuk tertidur sembari mendengarkan lagu.

Benar, aku merasa badanku tidak enak. Panas-dingin, dan kepalaku tiba-tiba sakit. Dan langsung terlelap, begitu lagu "the man who can be moved" berputar.

*
Triiiingggggggg....

"Ra, ra, bangun! Udah bel, upacara."

Aku mendengar Riani yang menepuk pundakku, dengan berat hati aku pun langsung bangkit. Baru saja ingin keluar dari meja, aku merasa tubuhku hampir limbung. Tapi ada sebuah tangan menahanku.

"Lo sakit ra? Mending ga usah ikut upacara," suara Mozi membuatku menoleh.

"Gue gapapa kok. Makasih," ucapku dan berdiri di depannya. Laki-laki ini, namanya Mozi. Sebenernya kita sudah temanan lama, tapi entah kenapa aku tidak terlalu dekat dengannya.

Aku pun langsung berjalan ke luar, menuju lapangan. Benar-benar kepalaku serasa berputar, dan rasanya cukup dingin. Padahal matahari sudah mulai naik dari tempat berpijak. Aku langsung berjalan ke arah Riani yang melambaikan tangannya.

"Lo yakin ikut upacara?" Tanya Mozi yang kini sudah di sampingku.

"Gue strong kaleee," tukasku yang mendapat hadiah tawanya. Hanya datar.

"Berisik, lo mau kita dihukum?" Ucap Riani dan menoleh ke belakang.

Aku hanya menggeleng, sangat--ingin--tidak--dihukum. Jika aku dihukum, mungkin yang ada nanti aku pingsan dengan kondisi tubuh seperti ini. Dan sisa upacara itu aku habisnya untuk menoel lengan Riani, atau bercanda dengan Mozi yang berada di sampingku.

Setelah waktu yang cukup lam--tidak lama untuk upacara. Akhirnya seluruh siswa siswi pun dibubarkan. Aku memilih untuk berjalan paling belakang menuju ke kelas. Riani dan Mozi sudah duluan, karena latihan untuk hafalan nanti. Aku melirik ke jam tangan, 08:15 menit.

Bruk!

"AW!" Aku menjerit ketika tubuhku ditabrak oleh sesuatu. Aku merasakan nyeri di pantat yang langsung dicium oleh lantai.

"LO KALAU JALAN PAKE MATA DONG!" Aku berteriak dan hendak bangun, baru ketika aku mendongak...

"Ara?" Suara ini. Aku hafal. Dan benar saja, yang tadi menabrakku ternyata Kay. Dan di sampingnya? Vera?

"Lo gapapa ra? Sakit?" Tanya Kay perhatian dan membantuku berdiri.

"Gue gapapa. Lo kalau jalan yang bener!" Sergahku dan sedikit mendorong tubuhnya sebagai candaan.

"Lo kemarin kemana? Tiba-tiba ngilang, emang ada urusan apa?" tanya Kay.

Aku mengalihkan pertanyaan Kay, dan memilih untuk mengulurkan tanganku ke Vera, yang langsung disambut baik.

"Happy birthday, sorry kemarin Kay ngajak gue ke pesta lo tapi gue ga bisa datang. Tapi suka kan sama kadonya? Itu gue loh yang milih," Ucapku sembari tersenyum menutupi sesakku.

"Iya makasih ra, aturan lo juga datang biar seru. Kadonya juga bagus bangett," balasnya dengan senyuman yang membuat pipinya memerah.

"Udah sana lo balik!" Kataku dan langsung berjalan ke arah belakang Kay dan mendorongnya.

Kay tersenyum, dan mengecup dahiku lalu memberantakan rambutku. Biasanya aku akan membalas dengan memarahinya karena kalau sampai ketahuan guru akan be-ra-be, tapi sekarang tidak. Hatiku bergemuruh.

Aku terus memperhatikan mereka, hingga menghilang dibelokkan lorong depan, tampak begitu serasi. Yang bisa aku lakukan hanyalah menghela nafas panjang dan melanjutkan lagi jalanku, ke arah kelas. Dengan tertatih aku berjalan, rasanya duniaku berkeliling. Begitu sampai di kelas, yang aku ingat..

"ARAAA!!!" Teriakkan seseorang, namun sisanya gelap dan aku tak tahu di mana.

"Terkadang, mengungkapkan lebih baik walaupun terluka dari pada menyembunyikan tapi terlambat untuk terluka."

**

Samar-samar aku mengerjapkan mataku. Atap berwarna dengan bau obat langsung masuk ke dalam hidungku. Aku di mana? Aku paksakan kepalaku yang masih terasa sakit untuk menoleh, dan melihat sekeliling.

Rumah sakit.

Tapi bagaimana bisa aku berada di sini? Tadi aku tertabrak Kay, lalu akuu hendak ke kelas, ada yang memanggil namaku. Dan sisanya gelap. Aku tidak mengingat, tapi aku merasa bahwa yang tadi berteriak denganku adalah Kay. Menoleh ke kiri, aku melihat selang infus. Ah! Pantas saja seperti ada yang mengigit tanganku.

Ceklek.

Pintu yang terbuka membuat mataku tertuju ke sana.

"Ara? Udah bangun?" Tanya dia, tepatnya Kay.

Aku mengangguk, dan sempat mengalihkan pandanganku. Rasanya seperti apa ya? Tidak tahu nano-nano.

"Lo kenapa? Lo berbeda. " Kata Kay sembari duduk di sampingku. Aku tetap diam, dalam hatiku, bertanya kenapa aku bisa menyukai dia? Kenapa tidak orang lain?

"Ra?"

"Gue gapapa Kay," jawabku spontan.

Padahal hati gue kenapa.

"Lo bohong!" Hardik Kay dan menaikkan suaranya. Aku tahu, jika begini, Kay mulai terus mendesak aku sampai bercerita.

Aku diam, yang aku tahu kini aku memandangi wajahnya. Matanya, yang menjadi kesukaanku. Aku mencari celah, bagaimana caranya agar dia mengerti. Bahwa selama ini aku menunggu, menunggu untuk di sadari tentang perasaan ini.

TAPI KENAPA SEMUANYA KACAU KARENA DIA? Teriakku dalam hati.

Air mataku mengalir begitu saja, tidak, seharusnya aku kuat, seharusnya aku bisa. Mungkin kekalahan ini menjadi kelemahanku tapi, arghhh! Bagaimana bisa?!

"Ara," panggilan Kay membuatku kembali ke alam sadar. Tangan Kay mengusap lembut air mataku.

"Kay, kenapa rasanya lebih sakit dari apapun ya?" Tanyaku.

Dia mengeryitkan dahi, seolah-olah bingung dengan pertanyaanku. Apa yang salah? Seharusnya, kalau dia sadar dia ngerti! Kalau tidak, maka memang aku yang salah.

"Lo nanya kaya gitu? Kenapa?"

Dan yaps! Aku sudah tahu jawabannya, aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepalaku.

Sudah 7 tahun, menunggu entah sampai kapan aka disadari. Sesekali, aku ingin seperti ka Ori. Mengatakan duluan, asalkan perasaan tenang.

"Hati gue sakit Kay," ujarku.

Lagi, Kay seperti bingung. " Lo sakit hati? Sama siapa ra? Bilang ke gue siapa yang bikin lo sakit hati! Biar gue kasih pelajaran!"

LO! Dalam hatiku.

"Lo lagi sakit hati?" Tanya Kay, dan menarikku ke dalam hangat pelukannya, menangis kembali tentang keadaan ini.

"Kadang, memang hati yang sakit menjadi lemah bagi setiap manusia. Tapi percaya deh ra, pasti nanti ada bahagianya. Tapi yang gue bingung, lo sakit hati sama siapa?" Lanjutnya.

LO! lagi, aku teriak dalam hati.

Seandainya pilihan terbaik adalah menjauhi, apakah aku sanggup? Dan, apakah itu yang terbaik? Pergi dan melupakan? Apa ini waktu yang tepat? Tidak apalah, aku mengatakannya. Dibanding, harus memandam tapi hanya bisa merasa perih.

"Kay?" Panggilku dalam pelukannya.

"Ya?"

"Ajak gue ke taman pertama kali kita ketemu yuk! Ada satu dan banyak hal yang mau gue ceritain. " Kataku dengan suara serak.

"Kenapa ga cerita di sini aja?" Tanyanya balik.

" Ga bisa. Dan ga mau. " Tegasku.

Kay hanya menghela nafas, "Yaudah besok kita ke sana, sekarang udah malem. Lo harus tidur. Dan kata dokter, lo udah hampir kena tifus, jadi harus di rawat. Gue udah bilang sama keluarga lo. Okay?" Tanyanya.

Aku bilang, "okay!"

Dan Kay berdiri, membantuku berbaring. Mengusap rambutku lembut, setelahnya aku terbawa ke alam mimpi.

Nice dream, ra.

---------------------------

Hi

Pls jangan lupa vote untuk cerita ini 😭. Itu semangat untukku.

Panda-

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 127K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
389K 47.8K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
2.5M 251K 60
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
5.1M 382K 54
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...