Di Balik Awan

By imaginayii

6.5K 943 147

Awan ingin selalu ada untuk membuat Angin mengerti seberapa keberadaannya masih berarti. Tetapi sulit bagi Aw... More

☁️Prolog☁️
☁️1: Di Balik Semalam☁️
☁️3: Di Balik Pertandingan Itu☁️
☁️4: Di Balik Entah Perasaan Apa☁️
☁️5: Di Balik SMA☁️
☁️6: Di Balik Yang Belum Waktunya☁️
☁️7: Di Balik Impresi Pertama☁️
☁️8: Di Balik 5370☁️
☁️9: Di Balik Yang Masih Tersimpan☁️
☁️10: Di Balik Intensinya☁️
☁️11: Di Balik Ketidaktahuan☁️
☁️12: Di Balik The Overdramatic One☁️
☁️13: Di Balik Keluh Kesah☁️
☁️14: Di Balik Peter Pan☁️
☁️15: Di Balik Instagram Story☁️
☁️16: Di Balik Bintang Kesepian☁️
☁️17: Di Balik Angkringan Hujan☁️
☁️18: Di Balik Midnight Cinema☁️
☁️19: Di Balik Unit 307☁️
☁️20: Di Balik Timezone☁️
☁️21: Di Balik Skenarionya☁️
☁️22(A) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️22(B) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️23: Di Balik Satu Kebohongan☁️
☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️
☁️25(A): Di Balik Gerhana☁️
☁️25(B) : Di Balik Gerhana☁️
☁️26: Di Balik Kita☁️
☁️27: Di Balik Kesedihan Yang Mengering☁️

☁️2: Di Balik Mereka☁️

306 35 0
By imaginayii

Di Balik: Bintang⭐

Rasanya badanku pegal-pegal. Yah, memang apa sih yang bisa diharapkan dari hasil tidur kilat yang durasinya kurang dari 2 jam. Tapi syukurlah aku engga mengacaukan pagi ini. Aku engga melewatkan alarm ponsel yang kusetting untuk berbunyi pada pukul 6. Dan engga seperti biasanya, telepon Andari yang jadi alarm darurat langsung kujawab saat dering pertama. Sahabatku itu sampai kebingungan sendiri, soalnya Andari memang paling tahu jika bangun pagi adalah hal langka bagiku sejak TA dimulai.

Hm... Andari mana tahu kalau sahabatnya tidur dengan setengah otak masih terjaga. Kepikiran dosbing, sudah barang mesti. Dan satu hal lain yang semakin bikin kepikiran setiap kali coba disangkal-Awan.

Rasanya membingungkan, bumi seperti bisa jadi sangat luas dan tiba-tiba sebaliknya. Aku sudah dua semester ada dikota ini dan tidak pernah tahu jika Awan berkuliah dikampus yang berada persis disebelah kampusku, sebelum semalam. Dari sekian banyak skenario yang mungkin terjadi, Awan tahu-tahu muncul sebagai skenario terbaik. Iya bukan? Tanpa bantuannya mana mungkin sekarang aku berhasil dapat antrian pertama untuk konsultasi.

"Buset sakti bener si Bintang! Udah kelar aja cuy!" sambut Anfal setengah tidak percaya ketika aku keluar dari ruangan dosbing sambil memamerkan kertas ACC yang telah dibubuhi tanda tangan.

Andari melompat-melompat girang bersamaku, tapi kemudian mulutnya yang sebelas duabelas dengan Anfal tetap tidak mau ketinggalan meledek, "By the waaay, pake joki mana nih bisikin boleh lah..."

Aku langsung cemberut, "Lo pada gatau ya, gue subuh-subuh tuh masih dijalanan baru kelar ngeprint! Bangga kek, malah suudzon aja!"

"Hah ngeprint dimana lo jam segitu?" kepo Anfal. Kemudian Andari mulai nyerocos bikin-bikin teori kalau aku menemukan tempat print ghoib yang memang hanya dapat dilihat oleh mahasiswa putus asa. Sama sekali engga masuk akal. Tapi otak Anfal memang konslet karena dia kelihatan percaya.

"Ngaco aja! Gue dibantuin Mas Iyan kok." sanggahku. Kami bertiga menerobos kerumunan yang semakin bertambah jumlahnya sehingga suasana koridor depan ruang dosbing mirip tempat pembagian sembako.

Andari menampilkan wajah bingungnya, "Mas Iyan? Kan tempatnya doi udah tutup sebelum sesi konsul terakhir tadi malem?"

Sesuai perkiraanku Andari pasti tanya begitu. Jujur saja aku agak bingung untuk menjelaskan. Awan adalah satu cerita yang seperti terlewatkan oleh Andari dan Anfal,  mereka ini bisa dibilang tahu hampir semua hal tentangku. Bukannya mereka kurang jauh mengulik, hanya saja bahkan aku sendiri tidak benar-benar yakin pernah ada cerita diantara kami-aku dan Awan. Sebabnya... mungkin cuma aku yang sempat berpikir kalau lima tahun lalu itu pernah berarti sesuatu.

☁️⭐☁️⭐

/Sekolah Menengah Pertama/

Bukannya aku GR, tapi menurutku memang benar jika manusia punya suatu insting khusus yang bikin kita bisa peka atau 'merasa' tiap kali ada seseorang yang diam-diam sedang memperhatikan. Apapun itu maksudnya. Yang jelas buatku sendiri rasanya sangat engga nyaman. Apalagi ketika aku sadar kalau orang diseberang jalan sana, sudah menguntitku selama kurang lebih dua bulan terakhir. Tidak setiap hari sih, seringnya ketika Kamis-jadwal rutin untuk ekskul madingku dan eksul basket.

Benar juga, dia pakai Jersey. Berarti memang anak basket.

Meskipun aku sangat yakin dengan apa yang aku simpulkan, tapi ada baiknya buat terlebih dahulu mencari bukti. Jadi dengan sengaja aku mempercepat dan memperlambat ritme kayuhan sepedaku secara acak dan tiba-tiba. Hasilnya, ekor mataku menangkap basah kalau anak basket itu tampak sedang kerepotan mengikuti. NAH KAN! Karena aku kepalang jengkel, kutolehkan kepala cepat padanya. Sehingga diantara lalu lalang kendaraan bermotor, ia dapat menangkap sorot tajam dari mataku.

Tapi aku engga ngerti kenapa kode 'jangan macem-macem!' dariku malah memancing anak basket itu untuk mengembangkan senyum. Dan sekarang aku jadi kelabakan sendiri, sadar kalau cowok yang sama sekali nggak aku kenal tersebut tengah memastikan keadaan jalanan aman untuk menyebrang.

WOI ELAH! MAU NGAPAIN DIA?!

Panik, aku langsung tancap pedal. Mengayuh secepat yang kubisa sampai beberapa kali kakiku terpeleset dipedal karena sol sepatu pantopel yang licin.
Yang lebih bikin kesal, sepeda gunung putih miliknya memang keren banget. Si anak basket nggak jelas itu nggak perlu bersusah payah untuk mengejarku.

"Lo kenapa?"

Aku tahu aku tahu. Dia engga sedang menodong atau berusaha merampas tas ranselku yang seberat sekarung beras. Nyatanya dia kedengaran cukup ramah. Cuma tetap saja aku parno dan ingin teriak minta tolong.

Terlalu sibuk dengan pikiranku bikin aku engga sadar kalau dia dan sepeda kerennya sudah berhasil menyejajarkan posisi denganku.

"Halo, gue nanya?" memang dasar nggak jelas, dengan engga sopan dia menjentikkan jari kearah wajahku.

Saat itu aku sudah nggak tahan buat nggak mengomel, "Ini jalan raya ya, kenapa pake dempet-dempetan gini sih!! Bahaya!!"

Tahu, dia malah mengulang pertanyaan pertamanya, "Lo kenapa?"

"Apa?" kesalku agak kurang paham.

"Kenapa selalu pulang sendiri?"

Sialnya, aku engga bisa kabur dari dia dan pertanyaannya karena saat itu rantai sepedaku tahu-tahu lepas. Sepedaku ini benar-benar nggak keren.

☁️⭐☁️⭐

Kubuang napas dengan berat. Memaksa pikiranku untuk tidak kemana-mana.

"Gue kan punya kontak Mas Iyan. Lo yang kasih, Pal, inget?" Anfal manggut-manggut membenarkan, "Yaudah, daripada engga kelar-kelar kan urusan laporan ini, semalem gue chat Mas Iyan buat minta tolong. Untungnya Mas Iyan bisa. Jadi deh gue kerumah dia." Aku lega karena kedengarannya alasanku cukup logis. Ditambah, aku jadi engga sepenuhnya bohong.

"Doi emang baik banget sih." Timpal Anfal.
Kedengaran biasa saja ditelingaku. Entah bagaimana itu bikin Andari salah paham.


"Anjir naksir Mas Iyan ya lo, Pal?!" tuduhnya asal jeplak.

Anfal yang engga terima langsung sewot dan mengeluarkan segala sumpah serapahnya. Bukan Anfal dan Andari kalau adu mulut tanpa saling adu geplakan, kericuhan itu terus berlangsung hingga kami sampai disebuah pujasera dekat kampus yang memang selalu jadi langganan para mahasiswa daerah sini untuk mengisi perut atau sekedar nongkrong sembari mengerjakan tugas. Kalau kalian tidak akrab dengan istilah pujasera, em... konsep tempatnya mirip-mirip deh dengan food court. Tapi disini menu-menunya jelas lebih bersahabat dengan kantong mahasiswa.

Biasanya kami akan hompimpah buat mengundi siapa yang bertugas memesan makan dan minum. Tapi khusus kali ini Andari dan Anfal sepakat untuk jadi sukarelawan. Yah hitung-hitung sebagai ucapan selamat buatku yang baru dapat ACC. Aku sih engga pakai nolak ya, melihat seberapa ramai pujasera siang ini saja sudah bikin mager alias malas gerak.

Tapi memang dasar aku ini ada-ada saja. Sudah enak tinggal duduk santai, tiba-tiba aku pakai kebelet buang air kecil segala. Untungnya tempat Andari membeli jus jeruk cukup dekat dengan meja kami, jadi aku minta tolong Andari untuk mengawasi tempat kosong yang kutinggalkan agar engga dicuri. Walaupun jadi repot, akhirnya kuputuskan untuk membawa ransel berisi laptop dan berkas-berkas TA-hidup matiku saat ini. Iya, takut banget bakal hilang.

Mengurusi perut agaknya ampuh buat mendistraksi pikiranku dari Awan. Tapi yang lupa untuk kuperhitungkan adalah fakta kalau kampus kami benar-benar dekat dan pujasera ini pastinya menjadi kantin alternatif juga untuk mahasiswa-mahasiswa kampus sebelah-kampusnya Awan. Termasuk, Awan sendiri. Yang baru saja kutemukan sedang duduk menyandar menyesap rokoknya.

Dengar, aku kebelet. Sudah jelas aku bakal kabur kalau saja Awan tidak lebih dahulu menangkap keberadaanku. Aduh... mengingat kebaikannya semalam, akan sangat nggak sopan kalau aku sekedar mengangguk dan tersenyum sekilas lantas berlalu pergi.

Aku ingat ada kotak bekal berisi muffin coklat-keju yang tadi pagi kubeli dari tukang roti langganan ibu kost. Niatnya mau kuberikan untuk Mas Iyan kalau-kalau tadi aku butuh revisi lagi. Tapi ternyata semua berjalan mulus, jadi aku belum sempat mampir. Kalau sama Mas Iyan kan pasti sering ketemu ya, tapi Awan... engga tahu...

"Hai!" aku duduk begitu saja dihadapannya. Sedangkan Awan, untuk alasan yang kurang jelas, kelihatan terkesiap. Apa aku ganggu ya?

"He-Hei, Bi..." aku merasa lebih lega saat ia membalas dengan senyum cerah. Awan agak kelimpungan mencari sesuatu untuk membantunya mematikan rokok. Jadi aku cepat-cepat memberi tahu Awan kalau itu tidak perlu. Aku tidak masalah dan tidak akan lama juga.

"Gimana, udah ketemu dosen?" buka cowok itu.

Aku mengangguk dengan mata berbinar-binar. "Udah. Ini juga baru selesai."

"Jadi? Good news or bad news?"

"Langsung Acc dong! Seneng banget!"

"Wah, selamat! Ga sia-sia begadangnya."

Aku mengangguk-angguk seperti anak kecil. Sebelum membuka resleting tas dan menarik keluar kotak bekalku yang bergambar Disney Tsum Tsum. "Maaf Cuma bisa kasih ini. Yang jelas gue terima kasih banget banget banget. You know, I was so desperate last night." Jujurku. Berusaha berhenti membayangkan betapa burik penampilanku ketika bertemu Awan di minimarket tadi malam.

"Santai aja, Bi." Awan meraih kotak bekal yang kusodorkan tanpa keberatan, "Anyway, thanks."

Aku sudah berniat pamit setelah merasa tidak ada lagi yang perlu kukatakan. Hanya saja, aku tertahan oleh kedatangan seseorang. Seorang gadis. Ia duduk menyebelahi Awan, sama sekali tanpa sungkan seolah itu memang tempatnya. Atau memang iya? Jadi Awan tidak benar-benar sendiri seperti yang kukira?

Awan tidak berpikir dua kali untuk menjatuhkan rokoknya dan langsung menginjak benda tersebut. Gadis tadi menelisik wajahku dengan terang-terangan. Tapi dia tidak sekedar membuatku merasa kurang nyaman dengan tatapan yang tidak ramah itu. Melainkan juga mengejutkanku atas tindakan posesifnya merangkul lengan Awan, tepat dihadapanku. Maksudnya... memang tidak ada yang salah. Aku hanya tidak merasa benar untuk berada disini lebih lama.

"Ya-yaudah, Wan. Sekali lagi terima kasih buat bantuannya semalam." Awan sekedar tersenyum kaku, dan kurasa sekaku itu juga senyum yang tetap berusaha kutampilkan demi berbasa-basi pada gadis disebelah Awan sebelum beranjak pergi, "Duluan."

Aku hafal dengan tempat ini. Lucunya apa yang baru terjadi begitu menguras pikiranku sampai-sampai untuk fokus mengatur langkahku menuju toilet saja jadi terasa susah. Mereka...?

Continue Reading

You'll Also Like

548K 59.1K 37
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
810K 70.6K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
2.4M 129K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
4.8M 366K 51
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...