(Not) Friendzone

By Pandayusy

14.3K 612 16

[EDITED] - DONE Ini tentangku. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang keinginanku. Tentang sebuah rasa ata... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV - Berakhir di sini?
THE LAST BUT NOT LEAST

Bab IV

761 40 0
By Pandayusy


Aku memandang ke arah luar. Di mana kendaraan, mobil, motor dan yang lainnya berlalu lalang di bawah sinar matahari yang cukup terik. Saat ini aku berada di sebuah restoran jepang dan memilih duduk di dekat jendela.

"Jadi, gimana nanti lo mau datang sama gue ra?" Pertanyaan Kay membuatku menoleh.

Aku tersenyum tipis. Bagaimana mungkin, aku bisa datang. Lalu ditinggalkan karena aku yakin, di sana Kay akan fokus dengan yang ia inginkan.

"Ga deh Kay. Gue ga mau ganggu kebersamaan lo," Jawabku.

Kay malah tertawa, "Hahahahahah, ga akan begitulah ra. Biasanya juga gue sama lo kemana-mana."

Aku kembali menggeleng, pertanda aku tidak ingin ikut. Makanan yang datang membuat Kay enggan untuk bertanya lanjut. Sementara aku, mencoba sebisa mungkin untuk menutupi suasana yang semakin memburuk.

Aku makan dalam diam, begitu pula dengan Kay. Hanya dentif sendok yang sesekali membuat suara di antara kami. Aku tidak bisa membayangkan jauh bagaimana kedepannya menjalani ini.

Salahkah aku yang terjebak dalam lingkaran ini? Salahkah aku yang egois memendam semua demi persahabatan kita? Lalu kenapa, ketika, aku memilih diam dia datang menghancurkan semuanya? Merebut separuh hati milik, dia, dihadapanku.

"Lo sakit apa ra? Dari tadi diem aja?" Tanya Kay.

"Gue gapapa, sedikit ngantuk. Ga tahu kenapa, padahal dari kemarin gue udah tidur mulu."

"Kan lo emang kebo," tukasnya dan memeletkan lidahnya.

Aku melemparkan tisu ke arahnya dan GOAL! Berhasil mengenai wajahnya.

"Lo udah ketularan Renan? Pantas itu mulut, ga disaring dulu."

"Sensi banget sih lo! Biasanya juga enggak."

Aku meledek dia, dengan memeletkan lidahku. "Bodo amat!".

"AAAA.. AAAA... UUU.. AAAII EEPALLL AATITT..." Aku berteriak sambil melotot melihat Kay yang masih menarik hidungku.

Shit!

Aku mengelus-ngelus hidungku yang sepertinya memerah karena tarikan Kay. Mataku masih melotot ke arah Kay yang masih tertawa keras.

"Hidung lo, hahahahahah, merah hahahah," ucapnya sambil menunjuk hidungku.

"Tunggu balasan gue lo!" Ancamku dan memilih minum jus jerukku.

"Yaudahlah, mending sekarang kita cari kado. Udah mulai sore," ajak Kay.

Aku mengangguk. Setelah membayar semuanya, aku keluar restaurant dengan Kay yang merangkulku. Mungkin ini biasa, sangat biasa, sebelum aku mendapatkan pernyataanya kemarin. Tapi sekarang...

"Kasih kado apa ya?" Tanya Kay.

"Oon! Mau ngasih kado aja bingung, udahlah ayo cepet!"

Aku menarik Kay dan memasukin ke sebuah istana Boneka. Ada banyak boneka yang sempat menarik perhatianku, jangan dikira karena aku setengah ga suka boneka yaa.

"RA, ini bagus ga?" Kay berteriak dari ujung dengan menunjukkan sebuah boneka. Stitch. Lucu sekali, apalagi ukurannya mungkin hampir sama denganku.

"Emang lo bisa bawa boneka segede gitu?" Sinisku.

"Tapi bagus ga?" Dia mengalihkan pertanyaanku. Tanpa bisa, aku hindarin kepalaku mengangguk.

"Lo mau juga Ra?" Kay berjalan ke arahku.

"Enggak."

Hancur sehancurnya moodku. Kenapa dia bisa bahagia dengan yang lain? Apalagi senyuman Kay tadi, itu benar-benar beda. Bukan senyum Kay yang biasanya ditunjukan kepadaku. Iri? Jangan bertanya, kalian pasti tahu rasanya jika diposisiku.

Menyakitkan?

Mataku memanas. Aku berharap air mata cengeng ini ga harus turun saat ini. Aku pasti maluuuu sejadi-jadinyaaaa astagaaa. Tapi, aku yakin bahkan sedetikpun aku berkedip pasti air mata ini akan turun. Seolah-olah ada yang meremas jantungku membuat aku ingin berteriak.

"Lo kenapa ra?" Pertanyaan Kay membuatku terbangun dari fiksiku.

"G.." Untuk berkata saja aku gemetar, "Gue mau ke..kamar mandi."

Setelah sukses mengucapkan kalimat itu aku langsung berlari menuju ke toilet. Aku tahu, pasti Kay khawatir. Hanya, khawatir. Bukan khawatir seperti yang aku inginkan. Aku berbelok ke arah kiri yang terpampang toilet, begitu memasuki sangat sepi. Aku pun memilih untuk masuk ke salah satu bilik dan bersyukur sesakku berkurang.

"Ara bego! Lo bego! Lo bego! Lo cengeng! Huhuhu.." Aku memukul dadaku yang semakin sesak dan menghina diriku sendiri yang sangat cengeng. Untung saja, aku bisa mengontrol diriku untuk tidak berteriak dan mengundang semua orang.

Kenapa lo jauh Kay? Kenapa lo ga pernah lihat arti tatapan mata gue? Kenapa lo kalah berharap dengan dia, yang bahkan baru lo kenal beberapa tahun. Bukan gue yang selalu bersama lo sejak kita kenal. Kenapa bukan gue? Yang punya hati spesial untuk lo. Lo janji ga akan ninggalin gue Kay. Kita janji bersama. Tapi kenapa? Saat gue mendam semua ini demi persahabatan kita malah, lo membuat segores luka dalam Kay.

Drrtt. Drrrtt.

Kay calling...

Aku meminang untuk menjawab atau tidak. Namun, aku langsung slide tombol merah. Dann langsung membuka chat untuk berkirim pesan.

To: L. Kay

Lo ga usah khawatir. Gue ga enak badan. Lo pulang aja duluan, salam buat dia gue ga bisa nemenin lo. Gue juga ada urusan. Thanks for today, and happy fun!

Send.

Setelah mengirim pesan, aku pun langsung mencari kontak ka Ori. Aku tidak mungkin pulang, dan bertemu Kay nantinya. Aku hanya ingin, menikmati angin dulu. Hati dan pikiranku masih sangat panas.

"Halo," sahut di seberang.

Aku mengusap air mata, "lo dimana kak?"

"Lo kenapa? Kaya abis nangis. Lo di mana? Bunda mana?" Cercah Ori.

Aku tersenyum pahit dan menggeleng, tapi aku sadar ka Ori tidak akan melihatnya. "Gue mau ke apartemen lo. Gue lagi ga bisa balik. Bisa jemput gue?"

Aku dengan ka Ori menghela nafas, "Okay, gue ke sana sama Renan. Sms-in tempatnya."

"Oke."

Klik.

Aku memutus sambungan. Malas berlama-lama. Takut ka Ori nantinya semakin khawatir. Lalu, mengirim sms mall saat ini aku berada. Aku menghela nafas cukup dalam, setelah memastikan bahwa aku siap aku pun beranjak keluar dari toilet. Aku berjalan menuju ke arah pintu belakang Mall ini dan menunggu ka Ori di seberang dekat taman. Untungnya, aku cukup hafal Mall ini.

I'm so sorry Kay. Give me time for myself.

"ARA!" Aku melihat Renan yang melambaikan tangan dari mobil ka Ori. Aku tidak tersenyum, sungguh mood aku benar-benar sudah tidak tertahan. Aku buka pintu mobil. Dan ka Ori pun langsung melajukan mobilnya yang aku yakini pasti ke apartement. Aku menguap dengan keheningan yang terjadi, tapi juga tidak ada niat untuk memulai obrolan. Terpaksa aku menaikkan kakiku untuk disandarkan ke kaca dan tertidur dengan bantal yang selalu tertinggal di dalam mobil.

*
"Ra. Ra. Ra... Bangun, udah sampai!" Tepukan tangan dipipiku membuatku mengerdipkan mataku. Tapi gelap, eh tidak terlalu gelap ada cahaya.

Aku pun bangkit, tapi merasa seperti pinggangku diinjek-injek. Pegal sekali. Aku baru tersadar ketika mataku terbuka sempurna bahwa aku tertidur di dalam mobil.

"Sakit kan? Bisa jalan ga lo?" Aku kenal suara siapa itu. Renan. Oh ternyata Renan.

"Pegel aja. Ga sakit. Lagian di mana sih?" Tanyaku. Melihat sekeliling, bukan gedung apartemen ka Ori yang aku temui. Melainkan suasana alam seperti pantai?

PANTAI?!

"Lo mau nyulik gue? Lo siapa? Mana ka Ori mana Renan? Jangan deket-deket ya lo----"

Auh.

Aku menjerit, bukannya mendapat jawaban malah dahiku disentil.

"Setan lo kalau ngomong! Gue Renan lah, ayo turun! Atau ga lo gue tinggalin sekalian gue kunci mobilnya." Ancam Renan. Aku terkekeh dan turun,

"Ren," panggilku.

"Sopan banget lo! Re, re! Kenapa?" Tanya balik Renan.

Aku menampilkan senyum manisku, dan tanganku menjulur. Sepertinya Renan mengerti, dengan dia menghela nafas kasar dan berjongkok di depanku.

Aku pun menaiki punggungnya, dan merasa bahwa kedua tangan Renan sudah memegang kakiku. Dan tanganku berada di lehernya sehingga aku tidak takut untuk jatuh.

"Lo kenapa hari ini?" Tanya Renan sambil berjalan.

"Ternyata menyakitkan ya, ngeliat orang yang kita sangka bahagia sama kita ternyata bisa juga bahagia sama orang lain." Jawabku. Aku melihat di depan sana ada api unggun, dan seseorang yang ku yakini ka Ori.

"Kadang, kebahagiaan ga bisa di pastikan pada satu pandangan Ara."

Aku mengangguk di balik lehernya, tidak berniat untuk iseng ataupun bertanya lagi. Ketika sudah sampai di depan ka Ori, aku pun diturunkan. Dan langsung duduk di samping ka Ori.

Malam ini aku bernyanyi bersama, membakar ikan dan beberapa bungkus sosis, saling mengejek seperti biasa. Aku bersyukur memiliki mereka. Setidaknya, walau aku masih merasa terluka ada orang yang mampu membuatku bahagia.

"Gue mau jalan ke pantai dulu. Ada yang mau nemenin?" Tanyaku dan berdiri sambil membersihkan rumput di dressku.

"Lo ga mau ganti baju dulu?" Tanya ka Ori.

Aku menggeleng, " Gue ga bawa. Lagian gue juga mulai nyaman sama baju dari Bunda."

Aku melotot ke arah Renan yang membuat kalimat seperti itu yang malah di balas dengan tawa.

"ALHAMDULILLAH. ARA SUDAH SADAR TERHADAP JENIS KELAMINNYA. HAHAHAHAHAH"

Aku menghentakkan kaki, dan langsung berjalan ke belakang yang langsung menghadap ke pantai. Ku buka sepatu dan membiarkan kakiku menginjak pasir yang lembut. Angin malam menerpa wajahku, aku merasa sedikit kedinginan. Rambutku sepertinya sudah berantakan. Tapi aku tidak peduli.

Berjalan semakin maju, aku sengaja untuk menginjakkan kakiku di pinggir air. Biar rasa dingin dari air yang bergelombang bisa memberikan pengaruh dingin untuk hatiku yang memanas. Memilih untuk duduk di atas pasir pantai dan tetap membiarkan kakiku lurus yang sesekali diterpa ombak.

Aku mulai mengingat kembali di mana aku mulai menyadari perasaanku. Aku pikir, ini akan berakhir secepatnya. Tapi ternyata tidak, yang ada perasaan ini semakin mendalam. Aku sadar perasaan ini semenjak aku lulus dari sekolah dasar. Terdengar menggelikan bukan?

Awalnya, aku juga berpikir begitu. Tapi, dari sanalah aku semakin tidak bisa menahan perasaanku berkembang menjadi mendalam. Semua orang menyadari itu, ka Ori, Renan, Bunda, tahu apa yang aku rasa. Tapi mereka hanya diam, karena mereka tahu apa yang harus aku lakukan. Dan menurutku, yang terbaik adalah diam.

Katakan bahwa aku lebai, tapi hatiku tidak bisa bohong. Aku mencintainya, Kayro Aldralic Fralicko. Dan baru kali ini aku melihat senyum Kay yang beda, kelakuan dia yang sedikit berbeda, dan benar-benar bukan Kay milikku yang biasa. Karena aku tahu, sudah ada seseorang yang berhasil memasuki hatinya!

"Ara..."

Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil. Ternyata, ka Ori sudah duduk di sampingku.

"Kenapa?" Sahutku.

"Kamu lagi ada masalah sama Kay? Tanya kakakku, dan menarikku untuk berada dalam rengkuhannya. Aku pun menyandarkan kepalaku di dadanya.

"Bukan masalah sama Kay, tapi masalah sama hatiku," jawabku dan menghela nafas. Aku rasakan usapan pada punggung, serta sebuah jaket yang menutupi bajuku.

"Pakai aja dulu." Kata Renan dan berbalik. Ka Ori hanya menggeleng dengan kelakuan Renan.

"Sama hati kamu? Kamu memang ga mau bilang sama Kay aja? Ya, kakak ngerti sih. Itu ga wajar, tapi dari pada kamu nyiksa perasaan kamu terus? Dan kakak rasa, Kay sih ga bakal marah atau berubah kalau kamu ungkapin rasa kamu." Ka Ori menasihatiku.

"Entahlah ka. Rasanya berat buat ungkapin, aku pikir Kay bakal ngerti. Tapi sekarang rasanya aku benar-benar dipatahin sama kenyataan. Dia menemukan orang yang berhasil masuk ke hatinya. Dan itu bukan AKU!"

Aku menekankan, kata "aku". Mataku memanas kembali, apalagi usapan ka Ori seakan-akan membuatku ingin menangis. Seolah-olah berkata "menangislah". Aku tidak kuasa lagi, aku pun menangis. Tidak peduli bahwa baju ka Ori akan basah.

"KENAPA? KENAPA KAY GA MANDANG AKU KAK? KENAPA KAY GA SADAR AKU ADA? KENAPA DIA IZININ ADA YANG BISA BUAT DIA BAHAGIA SELAIN AKU? KENAPA? AKU KURANG APA?!" Teriakku dan memukul dadaku yang sesak.

"Sstttt.. Sudah sayang sudah. Kamu ga kekurangan apapun kok. Kamu sempurna di mata kakak sama yang lain. Kamu ga mungkin melawan takdir yang sudah ditentukan."

Aku menggeleng kuat, aku ga mau kehilangan Kay! Tapi aku harus apa?

"Kamu tahu? Kamu pernah janji, mau masuk oxford university. Kakak harap sekarang kamu fokus buat raih cita-cita kamu. Mungkin, memang tidak sepenuhnya buat kamu untuk tidak berpikir masalah ini. Tapi, kakak juga ga mau hati kamu ganggu semua impian kamu." Jelas Ka Ori dan mengingatkanku terkait cita-citaku itu, yang hanya diketahui kakak dan sepupuku saja.

Dan setelah itu tidak ada pembicaraan di antara kita, aku tetap menangis dengan diam dan ka Ori yang masih setia menguatkanku dan sesekali mencium keningku. Angin malam semakin dingin, entah kenapa. Aku semakin mengeratkan tanganku memeluk ka Ori. Dan aku pun terlelap di dalam pelukan hangat ka Ori.

"Semoga nanti kamu akan bahagia adikku," suara itu masih aku dengar dan sisanya hanya gelap.

--------------------------------

Yay!

Eh banyak banget typonya, semoga kalian masih mengertinya. Ini kayaknya udah edit terakhirku deh. Soalnya mau fokus ke yang lain! Next chapter mungkin aku publish kembali karena masih harus dipoles biar kinclong. Eh hahahaha

Yaudah kalau gitu, jangan lupa vote and comment!❤

With love

Pandayu.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 127K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
6.6M 217K 75
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1M 56.6K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.5M 250K 60
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?