All Fall Down - Embassy Row 1

By Tiyay11

31 0 0

Seri Embassy Row ini merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari karya best seller Ally Carter yang berjudul A... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 4

Chapter 3

2 0 0
By Tiyay11


Aku bisa mendengar suara teriakannya dari luar, tapi aku nggak bisa menangkap kata-katanya. Mungkin itu karena secara praktis pintu di dalam kantor kedutaan memang kedap suara. Mungkin juga karena sebagian besar suara teriakan itu menggunakan bahasa Rusia.

Ada seorang penjaga yang berdiri di sudut koridor. Dia memakai penyamaran dan membawa senjata semi otomatis. Kami betul-betul bukan lagi berada di Amerika Serikat, kusadari akan hal itu ketika duduk di sebuah kursi yang keras, sambil mengayunkan kaki ke depan dan belakang, berusaha untuk nggak berdarah di atas permadani Rusia yang terlihat betul-betul bagus.

"Aku nggak bermaksud untuk melakukannya," gumamku setelah beberapa saat.

"Aku tahu," kata Alexei. Dia tetap diam di tempatnya, mendengarkan setiap kata-kata yang menembus dari bawah pintu.

"Itu kecelakaan," kataku. "Dia seharusnya tahu itu dan nggak perlu menyeretku ke sini."

"Dia sedang mencoba untuk membantumu."

"Aku baik-baik saja," kataku, kalimatku terlontar secara otomatis. Aku nggak betul-betul merasa baik-baik saja. Aku hanya ingin orang-orang percaya kalau aku baik-baik saja.

Tapi Alexei nggak seperti orang-orang lain.

"Apa yang terjadi di sana?" tanya Alexei.

"Kau ada di sana. Kau melihatnya."

"Apa yang kau lihat?"

Aku bergerak mundur, Alexei nggak seharusnya tahu tentang penglihatan atau kilasan atau memori yang kulihat. Dia nggak mungkin bisa menebak bahwa aku dapat melihat sosok ibuku—bahwa aku dapat mendengar suaranya dan merasakan sentuhannya. Aku tidak melihat hantu. Gedung kedutaan tidak dihantui. Tapi akulah yang dihantui. Dan sambil duduk di kursi yang keras itu, aku tahu kebenarannya—bahwa apa yang kulihat tiga tahun lalu akan terus menghantuiku sepanjang sisa hidupku.

Aku nggak sadar terus bergoyang maju-mundur sampai Alexei menaruh tangannya di punggungku. Aku membeku, lalu mendorong tangannya menjauh.

"Jangan sentuh aku," aku memperingatkannya.

"Terserah kau, Gracie."

"Jangan panggil aku Gracie."

"Oke." Alexei mengangguk perlahan. "Nggak masalah. Paling nggak, kuharap kau baik-baik saja."

Ketika Alexei melihat ke arah pintu yang tertutup itu kusadari kalau bukan hanya aku seorang yang merasa takut.

"Apa yang nggak kau ceritakan padaku?" tanyaku, tapi Alexei nggak menjawab. "Alexei, apa yang terjadi?"

"Beberapa hal cukup... menegangkan belakangan ini." Ia tetap melirik ke arah pintu.

"Kami adalah Amerika Serikat. Kalian adalah Rusia. Hal-hal di antara kita memang selalu menegangkan."

"Ini lebih buruk."

Hubungan diplomatik itu seperti sebuah gunung es. Sekitar sembilan puluh persennya terletak di bawah permukaan, lebih banyak bagian yang tak terlihat oleh dunia. Tapi hal-hal tak terlihat itu akan tetap selalu ada di sana. Dan kalau kau nggak berhati-hati, mereka bisa saja menenggelamkanmu. Aku tahu aku nggak hanya sekadar terjatuh saat sesi foto sedang berlangsung. Aku terjatuh pada kedalaman air yang berbahaya—dan membuat banyak hal menjadi lebih buruk.

"Gracie," panggil kakekku saat dia datang membuka pintu beberapa menit kemudian.

Aku berjalan dengan kaki pincang ke arahnya. Masih ada kotoran yang tertinggal di pakaianku, dan kedua telapak tanganku memerah.

"Maafkan aku," kataku untuk yang terasa seperti kesejuta kalinya.

"Jangan meminta maaf padaku, Gracie." Grandpa memundurkan langkah dan menunjuk pada rekan Rusia-nya. "Minta maaflah padanya."

Pria itu berusia sebaya dengan kakekku, tapi rambutnya lebih tipis dan nggak terlalu putih. Dia telah melepaskan dasinya, dan ada sebercak darah yang menodai kemeja putihnya. Di lehernya terdapat sebuah plester yang menutupi luka bekas goresan duri dari semak-semak mawar. Mata kiri pria itu mulai terlihat membengkak, dan dia menatapku seolah aku datang kepadanya sambil membawa sebuah pisau lipat.

"Duta Besar," aku memberitahunya, "aku betul-betul sangat menyesal karena kecerobohanku. Itu adalah sebuah kecelakaan. Kurasa aku hanya tidak menyadari kekuatanku sendiri."

Aku mencoba untuk memaksakan tawa. Aku betul-betul putus asa dan ingin membuat semua itu terasa lucu, tapi tatapan pria di hadapanku itu sepertinya nggak berpikir demikian.

Seharusnya ini semua nggak perlu dibesar-besarkan! Aku ingin berteriak, tapi rasanya itu nggak berguna. Duta besar Rusia terluka dan kecelakaan itu terjadi di wilayah Amerika Serikat—dan dilakukan oleh warga negara Amerika Serikat—jadi aku mengambil napas dalam-dalam dan menundukkan kepala.

"Aku betul-betul meminta maaf dengan tulus."

Duta besar Rusia mengangguk dan kemudian berlalu. Aku mungkin bisa merasa lega kalau saja ayah Alexei nggak berjalan ke arahku. "Baiklah," katanya. Kemudian dia berseru, "Alexei. Kemari."

Ketika Alexei berdiri dan mulai mengikuti ayahnya berjalan ke koridor, aku menyadari sesuatu: Cowok itu juga berada dalam masalah.

Ayah Alexei berhenti di ujung koridor dan melirik dari balik bahunya, tepat ke arahku. Tatapan di wajahnya terlihat sangat jelas. Aku baru saja tiba di negara ini kurang dari delapan jam dan sudah membuat putranya terlibat dalam sebuah masalah.

"Selamat malam, semuanya," kata ayah Alexei. "Aku percaya kalau insiden yang terjadi hari ini tidak perlu mengikuti kita sampai esok hari."

---

"Grace, apakah kau baik-baik saja?" tanya Ms. Chancellor, sambil menyeretku dari gedung kedutaan Rusia menuju ke jalanan. Kami bahkan nggak menunggu Grandpa, yang sepertinya, masih saling berpamitan di dalam gedung. "Apakah kau terluka?" tanyanya, tapi jawabanku nggak penting. Dia terlalu sibuk menatapku seolah aku adalah benda rusak.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk..."

Ms. Chancellor mengangkat tangan untuk menghentikanku, memberi tanda universal yang artinya jangan buang-buang napasmu.

"Apa yang persisnya kau lakukan di taman?" tanya Ms. Chancellor.

"Aku ingin pergi jalan-jalan."

"Kukira kau ingin membereskan barang-barangmu."

"Yeah. Tadinya memang begitu, tapi..."

"Tapi apa?"

"Aku ingin menghirup udara segar."

"Menghirup udara segar?" Ms. Chancellor menaruh tangannya di pinggul dan melepas kacamatanya. "Kau ingin menghirup udara segar sehingga kau memutuskan untuk menyerang duta besar Rusia di tengah-tengah upacara penanaman pohon tahunan? Apakah kau tahu kenapa kakekmu menanam pohon dengan orang Rusia setiap tahun?"

"Aku nggak menyerangnya. Itu kecelakaan."

"Itu sebagai lambang pembaruan komitmen kita dengan mereka untuk saling bekerja sama dan menjaga harapan untuk masa depan."

"Itu kecelakaan," kataku lagi, kali ini lebih pelan. "Aku harus mencari udara segar, keluar dari ruangan itu, dan..."

"Dan apa?" sergah Ms. Chancellor. "Kumohon, Grace, beritahu aku hal mendesak apa yang membuat kau sampai melukai seorang pria."

Aku nggak bisa memberitahu Ms. Chancellor kebenarannya. Tapi aku juga merasa terlalu lelah untuk berbohong. Jadi aku nggak mengucapkan apa pun sama sekali.

Nggak lama kemudian, Grandpa datang dan bergabung dengan kami di jalanan. Wajahnya terlihat lelah, dia tampak lebih tua dari pada yang bisa kuingat. Dari semua perubahan yang kuharapkan, bukan itulah hal yang kuinginkan. Maksudku, tua tetaplah tua. Aku nggak pernah betul-betul mengira kau bisa terlihat bertambah tua saat kau sudah tua. Tapi rambut Grandpa lebih putih. Kulitnya sedikit mengendur. Dan alisnya tampak betul-betul lebih lebat. Aku bertanya-tanya untuk sesaat seperti apa aku terlihat di matanya.

"Aku sangat menyesal," kataku sebelum Grandpa bisa memulai ceramah apa pun yang mungkin akan dikatakannya. Aku merasa terlalu lelah untuk mendengarkan.

"Aku tahu kau menyesal, Gracie," kata Grandpa seolah dia selalu bertemu denganku setiap minggu, bukannya bertahun-tahun yang lalu. Dia menaruh tangannya di bahuku dan memapahku untuk berjalan ke gerbang kedutaan kami. "Jadi, bagaimana kabar kakakmu?"

"Baik-baik saja," kataku.

"Kudengar, dia ada di West Point sekarang."

"Ya, Sir."

"Aku bertaruh ayahmu pasti sangat senang."

"Dia sangat bangga pada Jamie," kataku sambil melihat ke bawah pada kedua tanganku yang kotor.

Nggak ada seorang pun yang bangga padaku.

"Bagaimana penerbanganmu?" tanya Grandpa, nada suaranya sangat tenang seolah ia sedang berbicara tentang cuaca, atau bertanya tentang kesehatanku.

Tapi kemudian kusadari bahwa, nggak, itu adalah hal terakhir yang ingin ia tanyakan padaku. Bahkan percakapan-percakapan ringan seperti ini bisa terasa seperti ladang ranjau sekarang, jadi aku hanya mengangkat bahu dan berkata, "Penerbanganku baik-baik saja."

"Eleanor memberitahuku bahwa kau tidak menyukai kamarmu."

Aku menatap ke arah wanita itu. "Aku nggak bilang begitu," kataku berbohong.

"Ibumu sudah meninggal, Grace. Dia sudah tidak membutuhkan kamar itu."

Beberapa orang mungkin akan bilang kalau kakekku nggak berperasaan, nggak peka. Berhati dingin. Sejujurnya, semua kata-kata itu tidak menggambarkan dirinya. Tapi semua kata-kata itu merupakan dirinya.

"Ibumu akan sangat senang kalau kau mau menempati kamar lamanya," Grandpa melanjutkan, dan aku bisa melihat sedikit sisi lembut dalam sosok diplomatisnya. "Dia merasa bahagia saat tinggal di sini. Kau juga akan merasa bahagia di sini. Kau harus merelakan ibumu, Gracie."

Merelakan ibuku. Kata-kata itu membuatku tersentak dan kakiku berhenti melangkah. Aku berputar ke arah Grandpa.

"Kau pikir aku nggak tahu bagaimana dia pergi?" teriakku. "Aku ada di sana, ingat? Aku melihatnya mati. Dan sekarang kau memberitahuku untuk merelakannya? Nggak. Kau nggak bisa datang kembali ke hidupku dan mengatakan padaku apa yang harus kulakukan. Nggak sekarang. Nggak setelah tiga tahun berlalu."

Grandpa menggelengkan kepala. "Itu yang ayahmu inginkan. Ketika dia dan kakakmu datang ke pemakaman, kami sempat berbincang. Setelah itu, ayahmu tidak ingin kau dan Jamie berkunjung ke sini untuk sementara waktu."

"Dan hanya dia seorang yang betul-betul menginginkan hal itu?"

"Ayahmu merasa lebih baik jika kau punya sedikit ruang, karena..."

Grandpa nggak menyelesaikan kalimatnya, tapi aku mengenali apa kelanjutan dari keheningan itu.

"Karena aku jadi gila," aku menambahkan. "Nggak apa-apa, Grandpa. Kau bisa mengatakannya."

"Karena kau mengalami masa-masa yang sulit."

"Jadi itu istilah yang kita gunakan sekarang." Untuk beberapa alasan, aku merasa perlu tertawa. "Betul-betul terdengar... sangat diplomatis."

"Grace," kata Ms. Chancellor, nada suaranya memberiku sebuah peringatan.

"Apakah kau mau mendengar soal kebakarannya?" aku bertanya pada kakekku, mengabaikan Ms. Chancellor. "Aku ada di sana. Aku ingat semuanya," kataku, tapi aku nggak menjelaskan lebih lanjut. Aku mungkin memang gila, tapi aku nggak bodoh. Ada banyak kata-kata yang bisa kuambil dari kosa kataku yang betul-betul tepat untuk menggambarkan kejadian itu.

Pembantaian.

Pembakaran.

Pembunuhan.

Penyiksaan.

Aku tahu itu nggak akan ada gunanya, jadi aku nggak menyebutkan soal pria yang kulihat waktu itu—pria yang nggak pernah muncul pada satu pun kamera pengawas dan nggak pernah dilihat oleh seorang saksi pun. Nggak akan ada gunanya membicarakan tentang bekas luka yang ada di wajah pria itu—penjelasan yang terdengar sangat klise dan menyeramkan sehingga orang-orang mengira bahwa mungkin pikiranku mengambilnya dari salah satu peran yang pernah kutonton.

Aku nggak memberitahu kakekku bahwa toko barang-barang antik milik ibuku telah dibobol. Aku nggak bilang padanya ketika bangunan toko itu meledak dilalap api, suaranya terdengar seperti ledakkan sebuah bom.

Ada banyak hal yang nggak pernah kukatakan lagi pada orang-orang. Bukan karena aku nggak mau mengatakannya—bukan karena aku nggak mau meneriakkannya pada mereka. Tapi karena nggak ada lagi seorang pun yang tahan untuk mendengarkan semua itu.

"Itu kecelakaan, Grace. Ibumu meninggal pada kecelakaan tragis yang mengerikan." Suara Grandpa pecah. Air mata mengalir dari kedua matanya.

"Aku nggak gila." Suaraku tetap stabil. Mataku nggak berkaca-kaca. Selama sepersekian detik aku merasa unggul. Tapi aku tahu aku nggak sedang memenangkan apa pun.

"Pergilah ke kamarmu, Gracie." Grandpa berjalan memasuki gerbang kedutaan, melewati para marinir yang terus berjaga di sana secara konsisten. "Kau sudah melewati penerbangan yang panjang dan hari yang melelahkan. Besok akan terasa lebih melelahkan. Ada banyak hal yang harus kau lakukan."

"Selamat malam, Sayang," Ms. Chancellor memberitahuku, ceramahnya sudah berakhir.

Aku nggak balasmengatakan apa pun. Aku hanya berjalan terseok-seok sambil menyeret tubuhku,yang kotor dan kedinginan, menuju ke arah pintu masuk.

Continue Reading

You'll Also Like

234K 6.9K 50
we young & turnt ho.
51.5K 1.2K 23
Alessia is a 14 year old girl, her whole life she has been protecting her little brother, but one day their mother gets killed and they have to live...
156K 903 30
spoiler "Berani main-main sama gue iya? Gimana kalau gue ajak lo main bareng diranjang, hm? " ucap kilian sambil menujukan smirk nya. Sontak hal ter...
Riptide By V

Teen Fiction

329K 8.4K 118
In which Delphi Reynolds, daughter of Ryan Reynolds, decides to start acting again. ACHEIVEMENTS: #2- Walker (1000+ stories) #1- Scobell (53 stories)...