𝐒𝐏𝐑𝐈𝐍𝐊𝐋𝐄𝐒 ㅡall + min...

By HEYITSKUINN

32.7K 2.7K 1.5K

──── ⋆⋅☆⋅⋆ ──── ❞ kenapa lo pilih satu kalau bisa dapet semuanya, hee? ❞ kumpulan cerita - cerita sederhana... More

• |prologue
|walked you home 🐾
|mint and cigarette 🍃🚬
|training wheels🚲 ㅡeunsang
|yours🌧 ㅡ yunseong, woobin
|petals 🥀 ㅡseungyoun
|carousel 🎠 ㅡyunseong
|pollen🌹 ㅡseungyoun
|cereal date🥣ㅡ yunseong
|hide & seek 🙈🐒 ㅡyohan
|milk & cookies🍼 🍪 ㅡhangyul
|taste like you 🍦ㅡseungwoo
|sweet escapade 🍭 ㅡjungmo
|starry starry night ⭐ ㅡjunho
|play date🐇🐰 ㅡeunsang
|blooming🌻 ㅡjungmo
|one fine day 🍵 ㅡyunseong
|white sugar 🍰 ㅡwooseok
|dingin❄ ㅡyunseong
|heavenly you💫 ㅡ yunseong
|kisah mereka 🐈 ㅡseo woobin
|remang💡 ㅡhyeongjun, yunseong
|firasat 💭 ㅡseo woobin
|kisah bunga, dan sang matahari🌤 ㅡyunseong
|lentera temaramㅡ hwang yunseong
|hujan matahari🌦ㅡ cha junho

|rumpang🌙ㅡ yunseong hwang

335 33 38
By HEYITSKUINN

halo, kamu.
aku kangen xixixi

black background pwease.

─── ・ 。゚☆: *.🌙 .* :☆゚. ───

h w a n g • y u n s e o n g

.

.

.

.

.

"sumpah, demi pengasa alam semestaㅡ kita tidak berubah, dan tidak akan pernah berubah." begitu ucapnya.

setidaknya itu yang harus minhee percaya kan?

p.s paramaparama mak, makaci buat info tentang belalang sembahnya!

─── ・ 。゚☆: * . ───

[!] mature content included.
(mention blood, rotten corpse, explicit sex scene, black magic.)

you've been warned.
...atau setelah buka puasa deh bacanya, pwease:(

─── ・ 。゚☆: * . ───

RUMPANG
[ 1/2 ]

sengatan matahari di penghujung bulan kedelapan selalu membawa bibir mungil minhee untuk tak hentinya merutuk. panasnya begitu menusuk, juga sisi kemejanya yang mulai menempel pada sisi - sisi tubuhnya, padahal lengan kemejanya telah ia linting tinggi hingga siku, namun tidak berpengaruh banyak. tidak ada desauㅡ bahkan angin saja seperti hampir bisu, atau angin ikut dibakar oleh surya yang mungkin sedang ngambek.

bisa - bisanya.

minhee melangkah cepat, membawa dirinya sebisa mungkin tidak berada dibawah paparan matahari terlalu lama. persetan dengan jalinan surai kelabunya yang kini mencuat acak - acak deterbangkan angin, juga keringat yang mulai mengaliri pelipisnya. ia hanya berharap ia bisa cepat tiba ditempat praktik ramuan sihirnya. walau agak berdebu, dan menguarkan aroma aneh, ditambah gelas - gelas kaca berisi makhluk yang terpaksa dibekukan dalam cairan kekuninganㅡ udara disana terasa sejuk.

"apa yang membawamu begitu bersemangat, minhee-ssi?"

panggilan yang hampir saja membuat langkahnya terantuk kakinya sendiri, setidaknya ia cukup sigap untung meraih gagang pintu agar pijakanya tidak goyah dan jatuh.

"t-tidak kok, tidak ada apa apa." jawabnya, sembari meloloskan kekehan ringan, sewajarnya.

lelaki itu, sahabat karib sejak surainya keduanya masih selegam arang ㅡkini ada helaian kelabu mulai nampakㅡsejak keduanya belum bisa berbicara juga berpopok, kini menatapnya skeptis dengan picingan tajam.

ia lemah jika dihadapkan pada hyeongjun yang sedang seperti ini, tidak pernah sekalipun kebohongannya sukses kala ditatap begitu lembutㅡ jadi minhee hanya menundukkan kepalanya, atau setidaknya menjauhi tautan binarnya dengan si karib.

"minhee, darl. kamu pembohong yang buruk, kau tahu itu kan?" ucap hyeongjun jengah.

"t-tidak ada apa - apa kok." sahut minhee, lagi, mungkin terlalu terburu dan mencurigakan. keinginannya kini untuk menggeplak bibirnya sendiri begitu menggebu, serius.

manik sewarna zaitun hyeongjun tidak berubah, masih menatapnya dengan telisik dan picingan. alisnya yang sedari tadi menukik, kini sedikit melunak karena kesal merasa telah dibohongi.

"oke, aku mengaku." ucapnya, akhirnya setelah dijeda hening yang hampir terasa mencekikㅡ juga perasaan bersalah. "...ada silabus yang salah dari penelitian ramuanku kemarin, jun."

hyeongjun menghembus nafasnya, lalu menoleh.

setelah menyadari tatapan hyeongjun pada karung goni dalam genggaman jemari kirinya. ada rembesan merah gelap pada satu sisinya. untung saja tidak menetes disepanjang lorong kastil barusan, "ini... untuk keperluan mantra yang sedang kuㅡ sunting."

"penelitianmu?"

minhee tersenyum sembari mengangguk, mengiayakan.

"ada takaran yang meleset, sejak kemarin. aku baru menyadarinya tadiㅡ...pagi, ketika sarapan."

"apa ini... masih tentang hal yang sama, lagi?" lantang hyeongjun, kaget.

"iya, lagi, jun."

sahutnya cepat, menekankan kata lagi yang selalu membawa kepala si mungil berhelai keriting itu sakit. tak sempat berkomentar, minhee cepat - cepat memotong kalimatnya yang ia duga pasti adalah rajukan,

"aku akan menyelesaikan ini semua malam ini. aku akan segera bertemu dengannya. lagi."

ada decihan samar lolos dari rendah suara hyeongjun, "tidak bisakah kau... berhenti saja? menjalankan kehidupan layaknyaㅡ orang lain? maksudku, apa perlu sampai begiㅡ"

"tapㅡ"

ia mengangkat tangannya, menghentikan kalimat sanggahan yang hendak minhee lontarkan,

"aku tahu kalau kamu sangat menyayangi anjing peliharaanmu itu, tapi haruskah sampai melakukan ini semua? lupa makan, lupa minum, hanya mengurung diri dalam lab muㅡ" binarnya kembali bertaut pada karung dalam genggaman jemari kurus minhee, yang masih saja merambatkan merah. pekat merah darah

"...dan semua nyawa hewan malang itu, hee." kini kalimat sahabatnya itu bukan lagi sekeras perintah, selantang amarah juga setajam pisau. desau lelaki itu lebih terdengar seperti...

permohonan dan lirih.

"...tidak bisakah, minhee?" tanya hyeongjun lagi.

minhee membuang wajah, berupaya tegar dan tidak goyah. sembari memutar tubuh, sedang jemarinya yang kini mengerat pada kenop pintu logam yang menghangat dibawah genggamannya, "kau tahu apa jawabanku, jun."

"ada harga yang perlu dibayar, apapun ituㅡ termasuk pemanggilan jiwa yang telah mati." lirih hyeongjun tepat sebelum pintu jati berat ruangan minhee rapat tertutup juga dikunci dari dalam, "kau tahu itu minhee."

"tentu."

.

.

.


tak henti ia merapal,

jika suatu hari kebohongannya terungkap pun setidaknya biarkan ia berhasil bertemu dengannya sekali atau dua kali terlebih dahulu. setelahnya sumpah demi tuhan, ia tidak peduli apapun hukuman yang akan ia terima, yang kelak terjadi pada dirinya, hidupnya, juga eksistensi semesta.

untuk bisa kembali ia bertemu sosok itu sekali lagi, berapa banyak harga yang perlu ia bayar?

・ 。゚☆: * .

kacau.

entahlah apa yang terjadi pada dirinya, minhee juga tidak yakin. ada beribu rentetan posibilitas yang mungkin membawanya dalam keadaan senelangsa ini.

bahkan sebatas apa yang kini ia rasakan, terasa begitu asing dan tidak ia kenal. mungkin kesal, mungkin marah, mungkin kecewa, rasanya begituㅡbalau. yang ia tahu jelas, sesak itu kini terasa mencekik lehernya erat. seakan mekanisme bernafas saja, adalah hal yang sulit dilakukan.

ia melangkah gontai, dengan jemari sibuk menarik frustasi helaian rambutnya sendiri. ratusan kali ia kembali memindai ulang buku usang terbuka dalam genggaman jemarinya, takut ada 'langkah' yang terlewat, juga pelafalannya yang keliru. namun ia yakin, tidak ada yang salah.

...tapi mengapa sosok itu belum juga muncul juga? apa yang terlewat?

berjuta kali minhee mengitari torehan pentagram dari lelehan lilin perunggu diatas lantai kayu dibawah pijaknya. mengabaikan pergantian kuasa sang matahari dilangit oleh purnama, pun sabit, juga rapalan mantra yang tak berjeda mengalun merdu dari belah bibir persiknya.

waktu berlalu seakan terburuㅡ hingga helai legamnya yang mula lebat, kini menipis juga pigmennya yang perlahan memudar, hingga sewarna salju. berapa banyak lagi hewan juga manusia yang perlu ia korbankan untuk memanggilnya?

ingatan kala kemilau kehidupan yang dipaksa menghilang dari manik korbannya, tumbal yang harus ia berikanㅡ yang raganya perlahan beku dalam genggamannyaㅡ minhee membenci itu setengah mati.

juga bangkai yang perlahan membusuk pada sisi kualinya yang mendidih. juga ujung jemarinya yang digores pisau tempa perunggu yang kini mulai terasa menyengat.

seberapa banyak harga yang perlu ia bayar untuk membawa kekasihnya kembali berpijak dengannya?

・ 。゚☆: * .


13 tahun lalu.

"akuㅡ sudah mendapat surat resmi penempatanku."

adalah kalimat pertama yang yunseong ucapkan malam itu, sambil terus menumbuk titik nikmat minhee. pinggul lelakinya terus bergerak, sedang kejantanannya masih saja menerobos dan menghajar liang kekasih mungilnya, tubuhnya terdesak hingga kepalanya hampir terantuk kepala kasur, jika saja lengan lengan kokoh yunseong tidak cukup gesit.

"hnggghㅡa-apa-h?"

kepala manisnya masih diawang, menikmati surga juga  sisa sisa nikmat yang kini bersarang pada kepalanya, kemaluan setengah tegangnya, uga lubangnya yang masih terasa sesak oleh milik kekasihnya. terasa lucu juga, asing, namun nikmat luar biasa.

diatas linen yang melembap ranjang mereka, dibawah guyuran peluh akibat gesekan intens kulit tubuh keduanya yang tak berjeda sejak empat jam terakhir, juga guyuran pias kekuningan remang lentera pada nakas kelabu.

"penempatan kamp. militerkㅡ" ucap yunseong menggantung. dengan cepat pria itu menarik tubuh minhee dalam rengkuhannya, memperdalam tautan tubuh keduanya. minhee tahu, prianya akan ejakulasi, terasa jelas dari kendutan bengkak kejantanannya yang intens menggesek dinding miliknya, juga raut wajahnya.

erangan rendahnya yang tertahan.

gigitan minher pada bibir bawahnya sendiri kini perlahan mengendur.

"di busan, sayang. camp penjagaan disana butuh tambahan personil. serdadu sakura semakin mendekati perbatasan."

minhee diam.

dengan guratan dalam pada keningnnya, yunseong tahu betul kalau kekasihnya kini sedang berpikir kerasㅡ atau memproses kalimatnya.

"disemenanjung yang kamu pernah kamu bilang, yang pemandangannya indah." ucapnya lagi, membantu minhee mengupas memorinya. ia merendahkan tubuhnya, membelai lalu mengecup kening minhee sayang.

"a-akuㅡ" dengan susah payah minhee menelan ludahnya, nafasnya yang masih terburu akibat pelepasan yang kesekian kalinya, tubuhnya yang juga masih terasa lemas, juga kalimat yunseong yang baru menghantamnya bagai hujan beton.

"a-akuㅡ benar aku pernah bilang ingin kesana, tapi ㅡ untuk tamasya." ucap minhee, setelah mengabaikan kikuk hening yang menggantung di udara, lalu menggigit bibirnya, "...bukannya untuk berperang, kak."

minhee mengangkat wajahnya, menatap lurus pria yang kini berada diatas tubuhnya. yang lima menit lalu masih bergumul basahㅡ mencumbunya, juga tubuh mungilnya hingga rasanya ia akan gila.

"kalau aku melarang kakak untuk tidak pergiㅡ hasilnya juga akan... percuma kan?" lirih minhee, membiarkan helaian lepaknya menempel pada keningnya yang basah, dadanya terasa begitu sesak dan sakit hingga rasanya ingin menangis. "kamu tidak akan mendengarkan aku, ya kan?"

"tidak. keputusanku sudah bulat, sayang." jawabnya tegas,

"maaf."

pergumulan mereka telah selesai, gairah yang sejak sore tadi begitu manggebu layaknya kobaran apiㅡ mendadak menghilang, tidak nampak. layaknya arang panas yang diguyur air dingin. tepat ketika yunseong bersua tentang perang.

ia selalu membenci mimpi kekasihnya ini untuk ikut ambil andil dalam medan perang. begitu merutuknya.

ada ribuan pertanyaan yang kini berisik dalam kepala cantiknya, namun yang lolos dari bibirnya hanyaㅡ

"kenapa?"

yunseong membaringkan tubuhnya disisi kiri minhee, binarnya menerawang langit langit kamar tidur yang pengap. "kliseㅡ kedamaian, hee. aku ingin hidup dalam damai."

si manis masih bisu, tidak tahu harus berkata apa.

"aku mau kita kelakㅡ hidup dalam damai, kita bisa piknik setiap dipenghujung pekan, juga waktu musim semi dengan bayi - bayi lucu milik kita sendiri, yang mereka dengar cuma nyanyian suara kamu, nyanyian burung dan bukannyaㅡ" yunseong memenggal kalimatnya, menelan kasar ludahnya, perlahan merubah posisi berbaringnya hingga kini menyamping. "... ledakan misil."

"piknikㅡ"

ucap minhee menggantungㅡ benar, itu yang selalu minhee inginkan. keluarga mungil miliknya sendiri, yang dibangun berdua dengan yunseong. begitu sederhana namun begitu jauh.

"sakura sedang mekar mekarnya diluar sana, sayang. kau tahu?" ucap si pemilik jemari kokoh yang kini mengelus helai legamnya lembut, "aku berniat mengajakmu jalan jalan sore tadi, tapi ledakan di tengah kotaㅡ malah mengacaukan segalanya."

"kamu selalu menginginkan itu, aku tahu kok."

bibir minhee terbuka, siap menampik pemaparan yunseong, namun dengan cepat ia memotong kalimat minhee, "matamu sayang, matamu selaluㅡ terlihat begitu... cantik kalau sedang membicarakan tentang musim semi, aku menyukai itu."

entah sejak kapan air mata yang lolos dari sudut sudut matanya berubah menjadi derai, bagai anak sungai yang takberujung. dan minhee sudah terlalu lelah untuk sekedar peduli menghapusnya.

mimpinya.

"aku mau anak anak kita kelak, juga kamu, hartaku yang paling berhargaㅡ merasa aman, nyaman, tanpa perlu terlibat peperangan."

"...atau kita bisa bercinta seharian penuh kalau itu maumu, dirumah milik kita sendiri, sayang. bukankah itu menyenangkan?" tanya yunseong, disusul kekehan renyahnya, sedangkan maniknya menumbuk milik minhee teduh dan intens.

si manis yang masih saja berlinang, menganggukkan kepalanya. walau sempat memukul lengan yunseongㅡ bisa bisanya membicarakan hal begitu padahal keduanya baru saja selesai, sialan.

namun, bayangan masa depan yang ada dalam kepala yunseongㅡ indah sekali.

alis lelaki itu terangkat, merayu minhee untuk ikut terjebak visualisasi mimpi yang kini dimainkan dalam kepalanya.

"rumah berjuta jendelaㅡ karena kamu menyukai sinar matahari." sahut yunseong, mengeratkan tautan jemarinya pada sela jari lentik minhee. mengecup punggung tangan pucatnya singkat sebeljm melanjutkan untai kalimatnya, "kita buat halaman belakangnya luas, yang disisinya ada petak untukmu menanam, cukup luas untuk seohee dan minyoung berlari - lari nanti."

pertahanan yang telah minhee bangun akhirnya runtuh detik itu juga. kekehannya mengalun selaras dengan tawa kecil yunseong. perlahan ia merayap menaiki tubuh yunseong, mendudukkan dirinya diatas perutnya hingga kini, lelaki hwang kini berada dibawah tubuhnya. lalu merendahkan tubuhnya dan mengecup sayang pipi tirusnya, sepanjang garis rahang kekasihnya, juga jakunnya yang mencuat,

lalu si manis tertawa, menggemaskan sekali.

"tapi aku tidak pernah setuju anakku kelak bernama seohee dan minyoung, dan akujuga bahkan belum pernah setuju untuk menikahimu." ucap minhee, sebelum tawanya memudar juga rautnya kembali sendu.

"jangan bohong, kamu pasti akan menerima ajakanku untuk menikah nanti. nanti hidungmu aku aku gigit."

"ngga mau," ucap minhee, walau tidak berintensi untuk merajuk, tapi dia terlihat begitu menggemaskan sembari menutup hidung mungilnya dengan tangan, takut - takut lelaki itu akan benar menggigit hidungnya, lalu kembali menenggelamkan wajahnya pada dada telanjang yunseong,

"oke, aku menyukai itu semua kak. semua itu terlihat serupa... mimpi yang indah. indah sekali."

"memang indah sekali, sayang." lontarnya, tersenyum menahan gemas pada si manis yang kini mengeratkan lengan rantingnya pada pinggangnya, "membayangkannya saja sudah membuatku begitu bersemangat."

"melakukan banyak hal, tanpa perlu peduli ada mereka yang berpatroli, juga suara letupan senjata beginiㅡ tanpa perlu menahan diri seperti ini." ibu jarinya kini terangkat, menyentuh lembut luka terbuka pada sudut bibirnya. "sakitkah?"

minhee membuang tatapannya kesamping, menjauhi tautan binar telisik yunseong pada dirinyaㅡ lalu lelaki mempesona itu mengangguk. rasanya memang sakit, perih.

ia terbiasa menggigit erat bibir bawahnya kala sedang bercinta dengan yunseong. di siang hari, ia begitu mendamba berbagi sentuhan dengan kekasihnya ini, namun setengah mati takut ada orang yang mendengar suaranya.

desahnya, suaranya, atau gesekan basah keduanya oleh warga sipil.

atau oleh mereka para pendatang yang kini berkeliaran dengan sematan lambang bunga sakura mekar pada tanda pengenal mereka, si penjajah.

menahan diri agar tidak menggigitnya sampai koyakㅡ namun tetap saja rembes merah itu kadang lolos, selaras dengan alunan sengsaranya yang kadang terdengar.

"demi tuhan, aku janji aku akan kembali dalam keadaan sehat, baik, dan utuh."

tangisnya pecah detik itu juga, terlalu pilu hingga terdengar seperti raungan kesakitan.

"setelahnya, menikah denganku ya? mau ya?"

bagaimana mungkin ia tidak jatuh cinta dengan pria ini? parasnya begitu menawan, juga binarnya yang hangat, juga buaian kalimatnya yang selalu apik.

namun, luka pada sudut bibirnya, juga luka gores peluru yang ia dapat bersilam lalu pada bahu kirinyaㅡ tidak seberapa jika dibandingkan dadanya yang kini terasa begitu sesak dan sakit.

namun, toh ini mimpi kekasihnya, eksistensi yang paling ia damba kebahagiaannya, juga satu - satunya yang paling ia puja.

akhirnya minhee mengangguk juga.

walau sesengguknya tak mereda hingga akhirnya terlelap kelelahan diambang fajar, dalam rengkuh erat prianya, diakhiri dengan kecupan lembut yunseong pada jejak air mata pada pipi bulatnya.

"kalau kamu sudah berjanji. kamu harus menepatinya kak, kau tahu itu?"

"tentu sayang."

.

.

.

.


sepekan kemudian, yunseong benar berangkat ke camp militer angkatan laut, di pertabatasan semenanjung timur negara, yang pemandangan langsung ke samudera lepasnya begitu menawan dan begituㅡ

...biru.

kaksihnya pergi tepat kala dingin hembusan anginnya menikam tulang, beku membirukan bibir persik minhee, diakhir bulan kesebelas itu. sedang yang bisa ia lakukan hanya menangisi feri hitam itu pergi membawa lelakinya, menjauhㅡ lalu menghilang dimakan kabut dengan lembar rajutan putih hasil karya jemarinya, melilit hangat leher kokoh yunseong.

setelahnya, hari berganti pekan begitu saja, begitu cepat tanpa ia sadari. hanya selembar foto sepia dirinya yang tertawa dengan jemari bertaut dengan yunseonglah satu - satunya peluruh rindu.

kuinn の
note.

halo! dadah!

*kemudian kuinn menghilang lagi*

Continue Reading

You'll Also Like

150K 316 5
576K 7.4K 56
cerita singkat
109K 9K 36
Kisah seorang gadis cantik yang hidup penuh kasih sayang dari kedua orang tua nya dan kakak laki-laki nya,berumur 20 th pecinta Cogan harus bertransm...
1.5M 31.8K 23
Yusuf Kuswanto, 35 tahun. seorang duda yg ditinggal pergi oleh istrinya saat melahirkan sang buah hati Ery Putri Kuswanto. anaknya sensitif dengan su...