Promise (Slow Update)

By sheyrr_

3.2K 1.6K 1.4K

"Apapun yang lo minta gue turutin deh. Janji, asal lo mau maafin gue. Gimana?" ~ Allinsa Liffya - - - - - Sem... More

Prolog
#01. Teman Baru
#02. Pertemuan Pertama
#03. Masalah yang Terbongkar
#04. Kenyataan yang Pahit
#05. Misterius
#06. Awal Sebuah Janji
#07. Bullying
#08. Awal?
#09. Terlambat
#10. Malu
#11. Dengannya?
#12. Basecamp
#13. Sisi yang Sebenarnya
Pengumuman
#14. Cowok Brengsek
#15. Definisi Cinta
#16. Bluetta
#17. Matematika bersama Allin
#18. Among Us
#19. Informan
#20. Fakta Pertama
#21. Marsya
#Cast 1
#Cast 2

#22 Marsya [2]

20 7 6
By sheyrr_

"Kecerdasan tanpa ambisi itu bagai seekor burung tanpa sayap."

- Maria

------

"Bagaimana lo bisa nyimpulin fakta tadi dengan cepat, lo punya bukti apa?" Ini adalah pertanyaan yang ke sekian kalinya oleh Niana pada Allin. Pertanyaan pertama, saat mereka masih di jalan perumahan Marsya. Setelah itu, di perjalanan pulang Niana mengoceh terus minta penjelasan. Dan di sini, di rumah Dista, masih saja, dengan pertanyaan yang sama pula.

"Ada dong! Kasih tau kalian nggak ya?" Allin nampak berpikir, hal ini untuk menggoda sahabatnya. Ah fakta yang ia temukan sepertinya merubah sikap dinginnya.

"KASIH TAU DONG!" balas mereka bertiga bersamaan. Allin terhenyak dan mengerucutkan bibirnya malas. Dia lelah untuk cerita.

"Tadi pas gue di toilet umum rumah Marsya ..." Allin sengaja menjeda kalimatnya.

"Eh kok toilet umum?" potong Dista, dia baru menyadari kalau Allin menggunakan istilah toilet umum untuk kamar mandi keluarga Marsya.

"Toiletnya banyak anjir, udah bayangin aja toilet umum. Nah gue kan masuk, sembarang masuk toilet nih gue. Di sana itu kamar mandinya khusus-" Dista mengudarakan telapak tangannya tepat di depan wajah Allin. Bermaksudkan untuk menghentikan ucapan Allin.

"Apa lagi Dista?" tanya Allin jengah kepada Dista.

"Kamar mandinya khusus gimana?" tanya Dista dengan wajah cengonya. Salwa dan Niana pun mengangguk. Allin merotasikan matanya sebagai pertanda kekesalannya.

"Kayak kamar tidur gitu loh. Satu kamar mandi hanya untuk satu orang, nggak boleh lebih. Meski orangnya pergi jauh, ya kamar mandinya nggak boleh ditempati."

"Oh, kayak kamar mandi pribadi gitu?"

"Iya sejenis gitu lah. Gue lanjut ya?" Mereka menganggukinya.

"Gue kan masuk ke kamar mandi, gatau gue itu kamar mandinya siapa. Disana itu banyak banget foto-foto kecil yang digantung di samping kaca wastafel-nya." Allin menghentikan kata-katanya, membuat ketiga sahabatnya bertanya-tanya foto siapa yang dilihat Allin.

"Dan asal kalian tau," jeda Allin lagi. Dia melangkah ke depan, tepat dimana papan tulis putih tergantung seimbang. Disana dia mengambil spidol dan mulai menuliskan beberapa kata. "Marsya dan Darra adalah saudara."

"APA?!"

"Ye santai lah kalian. Gue yang pertama kali tahu aja nggak seheboh kalian."

"Heh anjir demi apa, mudah banget kita cari jawabannya," sorak Salwa melepas tawa.

"Foto-foto itu fotonya Marsya sama Darra?" Dista memastikan agar semuanya lebih jelas.

"Iya foto mereka berdua dan di atas kaca itu ada tulisan, 'sahabatku saudaraku'. Ada juga salah satu fotonya yang memakai pakaian almamater SMA Starlight. Yang gue masukin itu kamar mandinya Darra, untung arwahnya nggak nongol di kaca wastafel."

"Kok bisa tau kalau itu kamar mandinya Darra? Bisa juga kan itu kamar mandinya Marsya."

"Nah, saat gue mau keluar, Marsya itu datang ke ruangan itu. Dia marah-marah, sambil gejoh-gejoh lantai. Juga ..... kalau yang gue tempatin itu kamar mandinya Marsya, gue udah disuruh keluar dong. Dan pas gue keluar kan gue papasan sama Bi Asih, dia tanya ke gue. 'Neng, tadi masuk kamar mandi yang mana?' nah gue jawab kan masuk kamar mandi yang sebelah situ Bi. Bisa-bisanya, dia langsung kaget gitu, kayak shock. Terus gue tanya dong, 'emangnya kenapa Bi?' dia jawabnya gini 'itu kamar mandinya nggak boleh dimasukin neng, milik non Darra' terus dia langsung pegang alat pel dan pewangi. Bi Asih langsung bersihin kamar mandi yang barusan gue pakai."

"Wahh! Best banget sahabat gue." Dista memeluk Allin erat. Allin pun balas memeluknya dengan sumringah.

"Gue teringat sesuatu, lo pernah bertengkar sama adiknya Marsya kan, emm .... ah Maria, iya kan?" Allin terdiam dari rasa senangnya, Niana benar, dirinya pernah bertengkar dengan Maria yang katanya adalah adik kandung dari Marsya. Artinya mereka bertiga saudara dong, benarkah?

"Guys, tapi tunggu dulu. Darra sama Marsya memiliki umur sama kan, mereka kembar dong? Atau-"

Dista yang mendengar ucapan Salwa barusan langsung menyelanya, "Mereka bukan saudara kandung! Ini kelihatan banget, si Marsya pasti anak buangan. Udah gue duga sejak awal." Ia tampak berbangga diri.

"Oh iya, pas Tante Vika belai wajah Allin, dia bilang kan, kalau wajah Allin sama dengan anak kandungnya. Lo dengar kan Dis, malahan lo bisik-bisik ke gue, 'emang anaknya yang ke berapa? Nggak mungkin lah Allin mirip sama Marsya'."

"Iya bener-bener, bener kata Niana. Tadi gue bisik-bisik gitu, ya buta kali kalau Marsya disamain wajahnya dengan Allin."

"Mungkin .... ini mungkin ya, Marsya dan Darra itu beda ibu. Paling kedua orang tua mereka itu nikah gitu, saling bawa anak, dan itu Darra sama Marsya. Darra dari Tante Vika sementara Marsya dari suami baru Tante Vika. Makanya tadi Tante Vika bilang Allin mirip dengan anak kandungnya, Marsya bukan anak kandungnya, jadi kemungkinan sih si Darra. Lo punya fotonya Darra nggak Lin?" Salwa bertanya di akhir penjelasannya. Ini sangat akurat dan logis. Namun Allin dengan polosnya menggelengkan kepala.

"Atau lo sempat memfoto gambar Darra dan Marsya di kamar mandi tadi?" Pertanyaan Niana berbalas kekosongan pikiran Allin.

Mata Allin mengerjap sembari mengingat apakah dia sempat memfoto gambar Darra. Sebenarnya, Allin sendiri masih ingat seperti apa wajah Darra. Karena wajah Darra lah yang selalu terngiang-ngiang, 'Janji-janji, harus tepati janji!'. Mulai yang muncul dari kaca rias hingga bayangan Darra yang selalu mengikuti setiap langkah Rega. Wajahnya sangatlah tidak asing. Kini dia mulai membuka kunci ponselnya dan mengotak-atik nya.

"Ini, ini ini ini." Allin menyodorkan ponselnya pada mereka. Salwa yang duduk langsung terperanjat berdiri.

Mereka bertiga sontak membandingkan wajah Darra dengan wajah Allin.

"Darra ada manis-manisnya, Allin ada judes-judesnya," ucap Dista tanpa sadar.

Plakk

"Enak aja lo ngatain gue judes!" sanggah Allin diawali dengan menabok lengan Dista.

"Heh, terus adiknya Marsya, si Maria berarti juga saudaranya Darra dong?"

"Kemungkinan sih iya, tapi kok tadi nggak kelihatan ya. Bi Asih juga nggak bilang. Saat kita datang, dia tanya 'apa kita temannya non Marsya?'. Kenapa dia nggak bilang temannya Maria, hayo?"

"Au ah pusing Lin." Dista memijat kepalanya dengan penuh ekspresi kesakitan, tapi saat pandangannya tertuju pada satu objek lantas dia berkata, "Eh jamur, ngapain lo diam aja?"

Salwa semakin mendelik ketika Dista memanggilnya jamur. Dia memang takut sama jamur, tapi jangan gitu lah. Itu kan phobia, kenapa malah dijadikan nama sebutan, rese' banget. "Apa?!" ketusnya.

"Dih ngegas, awas bensinnya habis," canda Allin dan Salwa tak menanggapinya. Karena hanya orang-orang receh yang bakal tertawa dan dia bukan orang receh.

"Dia ngambek?" tanya Niana sembari sedikit melirik wajah Salwa. Semuanya mengendikkan bahu, karena memang tidak tahu.

"Iya jelas lah, gue ngambek sama kalian. Apalagi sama Niana!" ungkap Salwa kesal. Dia bukan tipikal cewek yang dapat memendam perasaan, to the point adalah karakternya. Jika dia benci dengan seseorang, dia akan langsung mengungkapkannya. Entah itu akan menyakiti hati orang tersebut atau tidak, intinya dia tidak merasa terbebani lagi, dia bisa hidup tenang tanpa harus berbohong.

"Gue?" tunjuk Niana pada dirinya sendiri. Semuanya menautkan alis masing-masing, bingung terhadap Salwa.

"Tadi, saat lo memperkenalkan nama masing-masing ke Tante Vika, kenapa nama samaran gue paling tradisional? Gue sebel sama lo Ni!" Salwa berkata dengan ngegas plus bibir yang bersungut-sungut. Ketiganya tertawa, membuat Salwa semakin tidak terima.

"Emang nama samaran lo siapa, Sal?" Allin bertanya dengan sedikit tawa di akhir kalimatnya.

"Wati anjir. Nama samaran dia bagus, Kirana. Dista nama samarannya Tari dan Allin namanya Fia. Pada bagus-bagus, kenapa gue Wati sendiri? Padahal bagus-bagus nama gue Salwa Humaira, menjadi Wati loh, siapa yang nggak sebel coba?"

"Gue!" balas Dista.

"Gue juga!" sahut Allin.

"Gue juga nggak sebel, kan cuma nama samaran, bukan nama seumur hidup," imbuh Niana.

"Ih, nggak temenan sama kalian!"

***

Banyak ruangan kelas terdengar sangat riuh. Apalagi kalau bukan waktu jam kosong. Para guru sedang marapatkan suatu hal, jadinya membuat mereka-para anak manusia gembira bak masuk surga.

Namun, berbeda dengan ruang kelas X MIPA 1. Ruang kelas tersebut sangatlah senyap, seperti tak berpenghuni dan berhantu. Padahal penghuninya lengkap dan mustahil jika tak menginginkan kebebasan jam kosong seperti kelas lain.

"Caranya gimana sih?!" kesal seorang cewek yang kini menggenggam pensilnya semakin kuat. Ingin sekali mematahkan pensil itu, tapi ia sadar kalau ia hanya punya pensil itu untuk menghitung angka-angka.

Sudah sejam lamanya ia mencari jalan keluar dari permasalahannya, tapi ia tak kunjung menemukan jawaban yang tertera pada poin-poin buku tebal itu.

Kata teman-temannya, jawabannya ada tapi dengan berbagai cara penyelesaian yang ia kerjakan, ia tetap tak menemukan angka itu.

"Pusing!" Cewek itu melempar asal penghapusnya, salah lagi dan jawabannya tetap tidak ketemu.

"Maria!" panggil salah seorang siswi yang menghampirinya.

"Apa?!" tegasnya pada siswi itu. Dia Maria, cewek yang nggak suka diusik saat sedang mengerjakan soal matematika, apalagi ini sangat memusingkan.

"Pi-pinjam rautan," ucap siswi itu gugup.

"Miskin banget jadi orang! Rautan seribuan aja nggak punya!" Maria berdecak lalu melempar rautannya tepat di kaki siswi itu.

Siswi itu langsung mengambilnya dan segera pergi karena seorang siswi lain menyuruhnya untuk meninggalkan Maria.

"Maria!" panggil siswi tersebut. Cewek dengan rambut berikat kuncir kuda itu duduk di kursi samping Maria.

"Apalagi sih?" Maria menoleh ke arah samping, tempat dimana siswi tadi duduk. Melihat kehadirannya lantas Maria berkata, "Lo?!" Maria menudingnya, "ngapain lo ke sini? Mau ngejek gue?" tanya Maria beruntun.

Karena siswi itu adalah Allin, jadi dia hanya tersenyum acuh saja, "Gue cuman mau tanya sesuatu sama lo," ucap Allin terus terang.

"Tanya apa!" ketus Maria.

"Tapi nggak di sini, di tempat lain."

"Kenapa nggak di sini? Lo mau tanya apa sih? Cepat bilang! Gue sibuk!" ujar Maria beruntun. Lalu ia beralih lagi pada bukunya yang kini telah penuh dengan coretan angka-angka.

"Gue akan ajarin lo cara penyelesaian dari tugas mami Indah tadi." Allin menawarkan sebuah kompromi untuk meyakinkan Maria, ia tahu jika Maria sangat kesulitan dengan soal matematika itu. Sebenarnya bukan hanya Maria yang pusing, melainkan semua murid kelas X MIPA 3 SMA Starlight. Makanya kelas ini sangatlah senyap. Mami Indah memang tahu cara terbaik untuk menenangkan seluruh siswa jika ditinggal rapat, yaitu dengan memberikan soal matematika yang mematikan.

Maria tampak berpikir, namun dari lirikan matanya ia nampak menyetujuinya, "Oke! Lo mau tanya apa?"

"Buruan lo bawa buku sama pensil ke rooftop kelas sepuluh. Oh ya, jangan bawa antek," peringat Allin yang ditanggapi dengan nyenyean Maria. Allin lantas pergi mendahului Maria menuju rooftop kelas sepuluh.

Di Starlight memiliki tiga rooftop besar, yakti rooftop kelas sepuluh, kelas sebelas, dan kelas dua belas. Bangunan ini berpisah namun berhadapan, seperti huruf U yang setiap sudutnya dihubungkan dengan kamar mandi.

Maria segera mengambil buku dan pensilnya. Ia berdiri dan akan melangkahkan kakinya, namun ada cekalan tangan yang menghalanginya.

"Mar, lo mau kemana?" tanya Cika, dia adalah anteknya.

"Ke kamar mandi, bete' gue, pusing." Maria berharap alibinya berhasil. Sebenarnya ia juga tak mau ada orang yang mengetahui jika dirinya meminta penyelesaian dari Allin, bisa malu dong dirinya.

"Gue ikut dong! Mau cari inspirasi gue-"

"Ogah!"

"Kenapa? Kan gue mau nemenin lo."

"Gue mau boker sekalian."

"Iya, gue temenin." Cika tetap ngeyel pengen ikut. Hal ini membuat Maria bingung harus beralasan apa.

"Gue mau ngomong juga sama kak Marsya, pribadi. Lo nggak usah ikut ya, bye!" Maria langsung berlari. Namun saat dirinya mencapai pintu kelas, ia berhenti lalu mengintip keberadaan Cika, tetap mengikuti atau tidak, ternyata tak ada perubahan duduknya. Cika beralih bercakap-cakap dengan teman sebelahnya. Maria pun segera pergi menuju rooftop kelas sepuluh.

***

"Bos, mereka tahu kalau kita bersekutu," ucap seorang cowok yang kini tengah menunduk ketakutan.

"Heh! Matamu! Bagaimana bisa mereka tahu, bukannya ini menjadi rahasia kita saja!" murka cowok yang tengah duduk di kursi, cowok itu berada di tengah-tengah mereka.

"Tapi bos, siapa yang membocorkan semuanya? Apa diantara kita ada yang penghianat?"

"Nggak salah lagi! Ngaku kalian, siapa yang jadi mata-mata Swaga di sini?!" Cowok yang dipanggil 'bos' itu berdiri, melempar jas sekolahnya ke lantai. Ia sangat marah sekarang.

"Ampun bos, tapi kita nggak bocorin ini bos. Apa mungkin Griffin yang mengkhianati kita?" tanya anak buahnya.

"Tiro udah ada di tangan gue. Dia nggak akan berani bertindak senekat ini. Umumkan di grup, kita berkumpul di basecamp nanti siang. Jam kayak biasanya!" ucap cowok itu lalu beranjak pergi meninggalkan teman-temannya.

Tatkala sang bos telah pergi, beberapa desisan anak buahnya terdengar, "Ngeri banget gue, Vino kayaknya mau ngelampiasin amarahnya ke cewek-cewek deh," ujar salah satunya.

"Kasihan ceweknya."

"Ceweknya banyak yang keenakan loh. Malah banyak yang mengajukan diri sebagai bahan pelampiasan Vino."

"Heh serius?"

"Lo sih, kelamaan minggat, berapa lama sih lo bertapa di perut bumi? Kudet amat!"

"Heh, di sini gada yang berani berkhianat kan?"

"Enggak lah yakali, cari mati. Gue bukan pokoknya!"

"Terus siapa dong?"

"Emang kalian nggak curiga sama Bunny?"

Mereka terdiam, anggota Skodart kini tengah dilanda kebingungan. Mereka Skodart dan cowok yang dipanggil bos tadi adalah Vino, pemimpinnya. Mereka sangat bingung karena rahasia besar mereka terbongkar dan berhasil didengar oleh musuh besarnya.

Tanpa tersadar dan mungkin nggak akan sadar jika tempat tongkrongan mereka, yaitu di rooftop memiliki sesuatu hal yang sangat menyeramkan. Otak mereka tak sampai memikirkan itu, tetapi dia bisa melakukan hal secerdik ini.

Dia detektif, dia penyamar, dia aktris.

Dia mendial sebuah nomor yang namanya tak mirip seperti nama orang. Terlihat seperti nama, namun dalam bentuk kode-kode khusus. Saat telepon tersambung, penerima mematikan sambungan itu dan balik menelfonnya. Dia mengeluarkan senyum smirknya dalam keheningan.

"Nanti, kita lihat live-nya." Dia langsung mematikan sambungan tersebut. Dia melangkah menuju kantin sekolahnya, sesekali bersenandung kecil--menyenandungkan lagu KPop favoritnya.

"Side step right left to my beat. High like the moon rock with me baby. Know that I got that heat. Let me show you 'cause talk is cheap. Side step right left to my beat. Get it? let it roll!"

Disisi lain, sang penerima itu tersenyum, menampilkan senyum sebahagia mungkin. Jarang yang melihatnya seperti ini. Ia membiarkan anak rambutnya bermain dengan kesiurnya angin. Ia memejamkan mata sekejap. Sedetik kemudian, senyumnya hilang digantikan oleh wajah yang sangat familiar. Masih memandang langit yang perlahan menghitam, suara langkah kaki tergesa membuatnya bersedekap dada.

"Lama banget, habis boker ya?" tanyanya kala muncul seorang cewek dengan buku dan tempat pensil di tangannya.

"Enak ya lo ngomong, gue harus banyak beralasan gara-gara lo tau nggak!" ucap cewek itu tak terima, "cepet, lo mau tanya apa?" sambungnya.

"Duduk dulu lah." Ia Allin dan cewek itu adalah Maria. (Sementara dia adalah???? Cari tau sendiri!)

"Buruan, keburu kelar rapatnya!" jelas Maria.

"Lo harus bicara jujur dan lo nggak boleh bilangin ini ke siapa-siapa," tegas Allin.

"Oke, lo juga sama. Harus jujur, nggak boleh bohongin gue, dan jangan pernah bilang ke siapa-siapa kalau kita pernah kompromi." Maria pun mengajukan hal yang serupa dengan Allin.

"Oke, gue tanya. Hubungan lo apa dengan Kak Marsya?" Maria terdiam beberapa detik. Namun setelahnya, ia langsung memberi Allin cocotan.

"Pertanyaan lo unfaedah tau nggak! Apa dulu lo tuli? Lo-"

"Gue hanya perlu jawaban anjir, bukan bacotan," potong Allin segera sebelum penghinaan terjadi semakin menggila.

"Gue adik kandungnya Kak Marsya."

"Serius lo adik kandungnya? Kok cuman selisih satu tahun?"

"Sebenarnya gini, kita (Marsya dan Maria) emang saudara kandung. Tapi papa sama mama kita cerai. Gue ikut mama, karena waktu itu gue masih SD, sementara Kak Marsya ikut papa. Selisih kita dua tahun. Gue kelas 5 SD, dia kelas 7 SMP. Karena mama pindah ke London, jadi gue nerusin SD di sana."

"Terus-terus?" desak Allin membuat Maria yang sedang mengambil napas mendelik ke arahnya.

"Terus-terus kata lo!"

"Ya sorry."

"Gue pindah ke Indonesia lagi pas gue kelas 8 SMP. Itu mama sama gue pindah ke tempat nenek gue tinggal. Sebenarnya mama udah berencana, setahun ke depannya akan pindah lagi, jadi sekolah gue yang bermasalah. Waktu itu pindah sekolah jika kelas 9 SMP nggak diterima. Alhasil gue nggak kelas 8 dan langsung kelas 9 SMP. Pindah lagi udah masuk SMA dan ternyata sesekolahan sama kakak gue."

"Oooo."

"O doang?" tanya Maria dengan nada andalannya. Allin mengerutkan keningnya.

"Kenapa lo pindah ke London?" tanya Allin. Sebenarnya pertanyaan ini diluar rencananya, tapi sekalian kepo.

"Mama nggak tega kalau papa nikah lagi, jadi gue sama mama pindah ke London."

"Loh, papa lo udah nikah?"

"Iya, dia nikah sama janda anaknya satu. Anaknya seumuran dengan Kak Marsya."

"Oh gitu, jahat banget papa lo."

"Bodo amat sih gue, gue beruntung tinggal sama mama. Kata Kak Marsya keluarganya terlalu ketat."

"Kenapa Kak Marsya nggak ikut mama lo aja?"

"Ini udah keputusan pengadilan dulu, hak asuh kami sempat disidangkan."

"Aaaa gitu, oh ya mana yang lo nggak bisa?" Allin tak mau meneruskan pertanyaannya. Ini sudah lebih dari cukup, ia tak mau membuat Maria mengenang kembali masa lalunya.

Mendengar pertanyaan selanjutnya dari Allin, Maria melayangkan tatapan sinisnya, "Awas kalau lo bilang sama siapa-siapa!" tegasnya.

"Lo sebenarnya baik, tapi lo ambis," ungkap Allin membuat Maria menatap ke arah langit yang sudah menghitam.

"Gue pengen bisa bahagiain mama. Gue selalu pengen jadi yang pertama dalam hal pengetahuan."

"Iya lo ambis banget!" kata Allin dengan nada sedikit mengejek.

"Biarin, kecerdasan tanpa ambisi itu bagai seekor burung tanpa sayap."

"Oh ya? Cita-cita lo emang apa?" Mendengar hal ini, Maria menoleh sempurna lantas tersenyum hambar.

"Gue cuman pengen bahagiain mama, tapi gue nggak yakin kalau gue itu bisa apa enggak. Saat ini gue cuman ingin berusaha mengejar semuanya semampu gue, gue pengen bisa. Gue pengen jadi yang pertama. Makanya saat itu gue marah banget sama lo. Lo murid baru dan yang sebenarnya, gue pengen banget belajar bareng sama lo. Lo lebih pandai dari gue," ungkap Maria lemah. Ia mengingat-ingat dimana dirinya bersama kakaknya menindas Allin di kantin. "Maafin gue ya," kata Maria setelah beberapa detik terdiam.

"Lo minta maaf?" tanya Allin ulang, bermaksud bercanda.

"Harus lo maafin dong! Gue udah cerita banyak ke lo dan lo masih belum ngajarin gue gimana penyelesaian soal-soal ini!" kesal Maria, ia mengatakan dengan bibir yang bersungut-sungut.

"Oke-oke santai dong!" Allin menepuk bahu Maria pelan.

"Jangan pegang-pegang gue, gue masih suci!" ujar Maria lalu mengusap-usap bahu bekas tepukan tangan Allin tadi.

"Emang lo pikir gue apa, ha!" debat Allin yang tersinggung oleh perbuatan Maria barusan.

Maria tertawa kecil sambil tiba-tiba berdiri, "Lo anjing!" ujarnya lalu berlari ke pojok rooftop.

"Lo kudanil! Setidaknya anjing masih comel ya, kudanil enggak loh!" balas Allin dengan tawa semakin ngakak. Maria membalasnya dengan bibir mengerucut. Maria pun duduk kembali dengan sedikit merajuk. Bisa-bisanya kudanil.

Mereka mulai mengerjakan soal pertama. Allin mengajari Maria sedikit, karena otak Maria telah bekerja sendirinya. Maria adalah gadis pintar yang sebenarnya baik.

Maafin gue ya Mar, batin Allin.

To be continue .....

***

Gilaaa akhirnya bisa update ......

Yeeeee

Ohh yaa, di sini ada yang ditanyakan?????

Kasih kritik dan sarannya dong

Btw baru pertama kali update malam hari, ehh pagi hari.

Okeee sampai jumpa di part selanjutnya

Bye-bye!

Baby Pungky 💜💜

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

508K 23.9K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.2M 250K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
5.8M 273K 52
Follow sebelum membaca. Cerita sudah diterbitkan dan tersedia di Shopee. ||Sinopsis|| Menceritakan tentang kisah seorang gadis bernama Revaza Khansa...
959K 47.1K 62
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...