Chaeyong terlonjak bangun. Netranya menyisir seisi kamar dan mendapati ranjang kosong juga gordeng kamar yang sudah tersibak. Saat itu ia langsung tersadar kalau harinya dimulai dengan kesiangan.
Sial, sial, sial.
"RION!"
Chaeyoungmenguncir asal rambutnya sambil berjalan tergesa-gesa keluar kamar.
Bocah empat tahun itu masuk sekolah jam delapan dan sekarang sudah jam tujuh lewat lima belas, tapi aku belum melakukan apapun.
"Ri—"
"Good morning." Jaehyun menyapa dengan tangan yang sedang memegang teko kopi.
"Kenapa kamu nggak bangunin aku?"
"Rion udah bangunin Mama, tapi Mama nggak mau bangun." Rion menyahut dari ruang TV. Bocah empat tahun itu sudah rapi dengan seragam sekolah dan rambut yang sedikit basah sehabis keramas.
Netra Chaeyoung bergulir kembali arah Jaehyun, dan laki-laki itu tersenyum seakan berkata—dengar sendiri, kan?
"Mau kopi?" tanyanya.
"Ya,tolong buatkan yang kuat. Aku akan bersiap-siap dengan cepat, jadi jam delapankurang lima belas kita sudah bisa berangkat."
***
Pukul 7:47.
Keluarga kecil itu sudah ada di mobil. Tujuannya adalah TK Rion, lalu kantor Chaeyoung.
Chaeyoung tidak menyangka kalau ia bisa bersiap-siap di pagi hari dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh menit. Meski dengan keadaan wajahnya masih polos tanpa make up, hal ini benar-benar sebuah rekor.
"Loh, kamu kok pakai kaos?" Karena terlalu sibuk sendiri, Chaeyoung sampai baru sadar kalau Jaehyun saat ini hanya mengenakan kaos sleeveless dan celana training.
"Hari ini aku dikasih jatah libur. Reward karena sudah kerja rodi di Jepang selama tiga minggu," jawab Jaehyun sambil melajukan mobilnya ke luar parkiran.
Chaeyoung mengangguk, kemudian menurunkan visor mobil untuk make up.
"Rion bilang hari ini harus bawa Dudong ke sekolah karena tugas?"
Jaehyun melirik Chaeyoung.
"Iya, Ms. Jisoo kasih tugas untuk bawa hewan yang hidup di air hari ini."
"Chaeyoung...,"
"Ya?" jawabnya sambil menyapukan sedikit bedak di wajah polosnya.
"Kodok hidup di darat."
Tangan Chaeyoung terhenti di udara. "Tapi, dia juga hidup di air. Buktinya dia amfibi."
"Iya, sih, tapi perintahnya hewan yang hidup di air. Bukannya ikan lebih cocok, ya?"
Chaeyong seketika merutuki diri sendiri.
Iya, benar. Pasti Ms. Jisoo berharap anak muridnya membawa ikan.
Kenapa Chaeyong tidak kepikiran? Ia hanya berpikir kalau kodok bisa bernapas di dalam air, maka dari itu ia tidak perlu repot-repot mencari ke pasar karena sudah ada Dudong.
"Kira-kira kita masih sempet ke pasar ikan nggak, ya?" tanya Chaeyong sambil melihat jam tangannya.
Jaehyun tertawa. "Nggak sempet. Udah biarin aja. Rion juga happy berangkat sekolah bareng Dudong."
Melalui kaca spion tengah, Jaehyun melirik sang anak yang duduk di belakang. Bocah itu sedang memeluk kandang Dudong sambil melihat mobil-mobil yang melintas.
"Ngomong-ngomong, apa Rion masih ngerasa diperhatiin sama orang asing?"
"Rion bilang udah nggak ada, tapi aku masih takut," jawab Chaeyong. "Kamu tahu? Di komplek apartemen sebelah sudah ada kasus penculikan anak. Korbannya sumuran Rion, dan sampai sekarang pelaku dan korban belum ditemukan."
"Ya, aku sepertinya pernah baca di internet." Jaehyun memutar setir ke arah kanan.
Saat tidak ada sepatah kata lagi yang keluar dari bibir Chaeyong, laki-laki itu menoleh.
"Takut boleh, tapi jangan sampai paranoid."
Chaeyong menghembuskan napas. "Kamu nggak ngerti. Aku sudah pernah merasakan kehilang, makanya aku setakut ini."
Tangan Jaehyun seketika terulur untuk menggenggam tangan Chaeyong yang ada di pangkuan.
"Semuanya akan baik-baik aja," ucap Jaehyun lembut, sambil meremas tangan Chaeyong.
Chaeyong melihat tautan tangannya dan Jaehyun, kemudian ke arah Rion yang duduk di bangku belakang.
Waktu berjalan dengan sangat cepat.
Rasanya baru kemarin Chaeyong menggendong dua bayi merah di pelukannya, sekarang salah satu dari mereka sudah tumbuh menjadi bocah laki-laki yang aktif dan terobsesi dengan kodok.
Chaeyong tidak ingin saat-saat ini cepat berlalu. Ia masih ingin Rion bermanja-manja padanya, memanggilnya Mama dengan suara khas anak kecil, bercerita tentang imajinasinya yang konyol, dan bernyanyi lagu tiga beruang kecil dengan suara fals.
Rion,jangan terlalu cepat dewasa, ya.
***
"Jadi..., kamu sudah nentuin nama untuk si kembar?" Lisa bertanya sambil mengupas kulit jeruk.
Chaeyong mengalihkan pandangannya dari layar TV ke sang sahabat.
"Sudah. Sebentar." Tangan Chaeyong bergerak untuk mengambil buku catatan yang ia simpan di nakas samping ranjang rawatnya.
Ia buka buku itu dan mencari lembar dimana ia menuliskan nama-nama yang sekiranya cocok untuk diberikan kepada si kembar.
"Ah ini dia...," ucap Chaeyong saat menemukan lembaran yang cari. "Untuk anak laki-lakiku, aku akan beri nama Park Rion. Rion diambil dari nama Orion yang sebenarnya adalah rasi bintang. Orion juga memiliki arti sebagai anak api, dan api kecil ... "
" ... Karena bagiku, keberadaan Rion sudah seperti api kecil yang menerangi gelap kehidupanku. Aku yang sepat hilang arah, kembali menemukan jalan karena api kecil Rion."
"Namanya bagus banget, Chaeng." Lisa tersenyum ."Terus? bagaimana dengan keponakan perempuanku?"
"Hmm...," Chaeyong mengulum bibir. "Aku masih bingung untuk memilih yang mana; antara Park Yewon atau Park Rona."
"Yewon nama yang bagus."
Kepala Chaeyong langsung tertoleh ke arah suara. Di ambang pintu, Jaehyun berdiri dengan beberapa kantong belanjaan.
"Sejak kapan kamu di sana?" tanya Chaeyong.
Lisa yang mengikuti arah pandang Chaeyong, langsung berdiri saat melihat Jaehyun.
"Sejak kamu bilang Orion," jawab Jaehyun. "Boleh aku masuk?"
Chaeyong melirik ke arah Lisa, dan Lisa saat ini terlalu fokus untuk memberikan tatapan mengerikan kepada jaehyun.
Jujur, Chaeyong sama sekali tidak menduga Jaehyun akan kembali ke rumah sakit. Satu minggu yang lalu, setelah proses persalinan Chaeyong selesai, dan ia sudah dipindahkan ke ruang rawat, Jaehyun buru-buru berpamitan pulang.
Setelahnya tidak ada lagi kabar dari laki-laki itu.
Chaeyong tidak kaget dengan Jaehyun yang datang dan pergi sesuka hatinya. Malah yang membuat Chaeyong heran adalah keberadaannya di sini.
Saat ini, detik ini, di kamar rawat rumah sakit.
"Ma-masuklah," ucap Chaeyong.
Jaehyun pun melangkah masuk dan saat ia berhadapan degan Lisa ia menyunggingkan senyum, yang hanya dibalas dengan wajah datar.
"Nama Yewon berarti kebebasan dan kemandirian. Menurutku itu nama yang bagus." Jaehyun melanjutkan pembasahan mengenai nama. "Ngomong-ngomong aku membawa sedikit hadiah untuk mereka."
Mereka? kening Chaeyong bekerut samar.
Sepertinya Jaehyun sengaja menjaga jarak dengan mengucapkan anak kembarnya sebagai mereka.
"Kamu nggak perlu repot-repot," jawab Chaeyong sembari mengambil kantong belanjaan yang disodorkan Jaehyun dan menaruhnya di pinggir ranjang.
"Mereka dimana?"
Mereka lagi.
"Di inkubator. Karena terlahir prematur, si kembar harus mendapatkan perawatan khusus."
Jaehyun mengangguk mengerti.
Suasana siang itu begitu canggung, tidak ada yang bersuara lagi dan Lisa tidak berhenti memberikan tatapan tidak suka pada Jaehyun.
Mulut model itu tertutup rapat seakan-akan takut saat ia membukanya yang keluar hanya sebatas caci maki dan kata umpatan.
"CHAEYONG!! AKU DATANG LAGI!!" Suara menggelegar Jennie terdengar, dan tidak lama kemudian Jennie, Taeyong, Junhoe, Jeno, dan Jaemin masuk. "Kali ini aku membawa pasukan—eh." Langkah Jennie terhenti saat ia melihat Jaehyun.
Wajah asing, laki-laki, dan postur tubuh yang kaku.
Pikiran Jennie langsung berkelana kemana-mana.
Ia melirik Chaeyong curiga.
"Chaeyong, karena kamu sedang ada tamu, aku akan ke ruangan bayi untuk melihat mereka." Jaehyun yang sepertinya merasa tidak nyaman, undur diri.
Chaeyong mengangguk.
Sepeninggalan Jaehyun, tanpa basa-basi Jennie bertanya. "Dia siapa?"
"Bukan siapa-siapa," jawab Chaeyong yang langsung dihadiahi lirikan Lisa.
Jennie melipat tangan di depan dada. "Aku sempat berpikir kalau laki-laki tadi adalah yang menghamilimu tapi tidak mau bertanggung jawab. Kalau benar dia, aku sudah bersiap untuk menjambak dan mencolok matanya."
"Sayang...," Taeyong menyentuh lengan sang istri yang terlihat emosi.
Chaeyong tertawa hambar.
"Chaeyong, aku bawa kado buat si kembar." Junhoe tiba-tibe berbicara sambil memberikan papaer bag lucu berwarna pink dan biru.
"Terima kasih, Junhoe. Padahal beberapa hari yang lalu kamu juga sudah kasih aku hadiah."
Junhoe menggaruk belakang lehernya. "Entahlah, kemarin aku jalan-jalan ke mall dan tiba-tiba ingin membelikan si kembar."
"Kak, kami juga bawa hadiah kecil untuk si kembar. Ini dari aku dan Jeno." Jaemin maju ke depan untuk memberikan bungkusan besar berwarna abu-abu.
"Terima kasih banyak, Jeno dan Jaemin. Padahal kalian tidak usah repot-repot."
"Untuk kakak baik dan cantik, kami sama sekali tidak repot, kok," jawab Jeno.
Hati Chaeyong seketika menghangat. Di kelilingi oleh orang yang kamu sayang dan menyayangimu memang hal yang paling indah di dunia.
"Chaeng! Ngomong-ngomong sudah dapat nama belum untuk si kembar? Kalau belum aku ada saran," ucap Jennie sambil mengambil duduk di pinggir ranjang Chaeyong.
"Apa?" tanya Chaeyong penasaran.
"Bagaimana kalau Park Elisa dan Park Daniel."
"Kak Jennie, namanya terlalu barat."
"Hei, Jaemin, sekarang itu sudah jaman globalisasi. Wajar kalau nama-nama anak Korea lebih ke barat-baratan," proter Jennie, sedangkan Taeyong hanya geleng-geleng kepala. "Kalau kamu tidak suka, aku masih ada nama lain. Stefany Park dan Michael Park? Bagaimana? Baguskan?"
Seisi ruangan seketika mengeram—sama sekali tidak setuju dengan usul Jennie.
"Bro, aku tidak akan kaget kalau suatu saat nanti kau punya anak dan dinamai Alberto Lee atau Marionette Lee." Junhoe menepuk bahu Taeyong prihatin.
"Ya, aku juga berpikir seperti ini." Taeyong menambahi.
"Terima kasih sarannya, Jen. Tapi sepertinya aku sudah menemukan nama yang cocok untuk anak-anakku."
"Siapa? Siapa?" tanya Jennie antusias.
"NamanyaPark Rion dan Park..., Yewon,"
.
To Be Continued