"Waduh!!" keluh Rival saat tahu ada mobil putih yang terparkir di garasi rumah Cahya. Rival jelas tahu mobil itu punya siapa. Keringatnya mengucur deras, hanya dengan melihat mobil itu membuatnya takut.
"Kenapa lo? Kok kaya orang kesurupan?" tanya Cahya penasaran lalu turun dari motor butut milik Rival sambil tangannya menenteng buket uang.
"Ortu lo pulang, ya?"
Cahya menoleh sebentar lalu mengangguk. Ia baru ingat, orang tuanya pulang hari ini.
"Gue langsung pulang, deh." Jika dengan Guntur ia masih berani. Tapi lain jika papanya Cahya yang bernama Bumi itu. Rautnya sangat menyeramkan ditambah dengan kumis tebal. Kata-katanya pun sebelas dua belas seperti Guntur, sangat pedas.
Cahya menahan tawanya. "Lo takut sama Papa gue, ya?"
"H-hah?! Enggak tuh. Ngapain takut." Rival mencoba biasa saja.
"Padahal Papa gue baik banget."
Pembohongan publik. Baik apaan, kalo gue dateng yang ada dihujat mulu.
"Jangan takut, Val. Papa gue cuman galak sama orang yang tingkahnya kek setan."
"Untung tingkah gue kek malaikat." Rival tersenyum bangga.
"Semerdeka lo aja, deh. Males gue ngomong."
Rival tersenyum manis lalu mengacak rambut Cahya gemas. Cahya cemberut, rambutnya jadi rusak.
"Rambut gue udah kusut karena lo ajak naik motor, sekarang malah lo acak-acak, tambah kek gembel gue!" omel Cahya sambil merapikan rambutnya kembali.
"Nggak ah. Menurut gue lo cantikan acak-acakan gini malah."
Demi apapun, Rival ingin setiap harinya Cahya berdandan seperti ini agar tidak ada cowok lain yang melihat Cahya lebih dari lima detik. Setiap melihat Cahya menjadi pusat perhatian cowok-cowok, Rival seperti kepanasan.
"Lo kapan pulang, deh? Gue mau masuk."
"Lo ngusir gue? Bukannya makasih udah dianterin pulang."
"Lah kan udah tugas lo jadi ojek pribadi gue. Kita pacaran kan simbiosis mutualisme."
"Enggak! Kayanya lebih ke simbiosis parasitisme. Perasaan yang rugi teros cuman gue."
"Mau pulang nggak?!" sentak Cahya sambil melotot. Ia malas debat.
Rival menggeleng tegas. Ia masih ingin memandang wajah Cahya lebih lama. "Gue mau di sini! Seenggaknya sampe dapet minum plus seperangkat makanan!" Pikirannya berubah. Entah karena apa ia jadi tak takut pada Bumi. Membuat jengkel Cahya adalah tujuannya.
"Ekhemm!!" Dehaman bernada bariton itu memberhentikan perdebatan keduanya. Mereka kompak menoleh ke sumber suara. Di sana, di depan pintu, ada Papa Cahya bernama Bumi memasang wajah garang.
Rasa takut itu muncul kembali. Rival menelan salivanya sendiri lalu mengusap tengkuknya salah tingkah. Bibirnya ia paksa tersenyum manis.
"Eh, apa kabar, Om?"
"I am fine."
Rival menyenggol Cahya agar mengartikan perkataan Bumi. Memang seperti itu, Bumi sering menggunakan bahasa Inggris agar membuat Rival merasa bingung.
"Kata Papa kabarnya baik. Lagian lo sih, makanya kalo pelajaran bahasa Inggris jangan molor!"
"Gue bisa bahasa Inggris dulu, tapi sekarang mendadak lupa."
"What are you doing here?"
"Ngapain kamu di sini," beritahu Cahya berperan sebagai google translate.
"Anu, Om. Abis nganterin Cahya."
Bumi ber-oh ria. Wajah tegasnya itu mirip dengan Guntur, bedanya hanya Bumi versi tuanya Guntur.
"Papa, kayanya kemarin abis beli pedang, ya?" ceplos Cahya agar membuat Rival segera pergi. Dengan mudahnya Bumi mengangguk.
Mental Rival breakdance. Ia meneguk salivanya sendiri gugup. Salah langkah, maka nyawanya melayang.
"Oh, iya. Buaya peliharaan Papa itu kan juga belum makan siang, ya? Buaya kayanya butuh daging seger."
"Gue pamit deh, Cay. Mau ngerjain PR. Pamit dulu ya, Om."
Sebenernya pengen manggil camer, tapi takut ditebas pake pedang.
Rival buru-buru naik motornya lalu pergi sambil membunyikan klakson sebagai tanda sapaan.
Bumi terkekeh geli. Senang sekali mengerjai cowok itu. "Udah lama nggak ketemu, makin ganteng aja tuh anak."
"Apaan, Pa. Makin nyebelin iya!"
"Bukannya anak papa juga nyebelin ya? Jadi cocok lah."
"Papa nggak tau aja. Tingkah nyebelin dia itu udah nggak bisa didefinisiin sama kata-kata. Tingkahnya juga bikin gedeg."
"Tapi kamu sayang 'kan?" goda Bumi. Ia selalu bertingkah seperti teman dengan anak-anaknya.
"Iya."
Bumi speechless. Baru kali ini Cahya mengatakan terang-terangan bahwa sayang dengan Rival.
"Iya. Sayang sama duitnya."
Bumi tertawa mendengar lanjutan kata-kata itu. Jiwa matre anaknya masih saja melekat.
****
Lego dan Gilang saling berpandangan bingung setelah melihat Rival pagi-pagi sekali membaca buku tebal di dalam kelas. Tidak biasanya cowok tengil itu bertingkah rajin seperti ini.
"Kesambet setan mana lo, Val?!" tanya Lego penasaran.
"Iya nih. Atau nggak jidat lo abis kejedot, ya?" cetus Gilang.
Rival mendengkus. Selalu saja dua manusia itu mengatakan hal-hal yang menyinggungnya.
"Gue lagi gabut. Jadi belajar."
"H-hah?!" Keduanya berteriak bersamaan. Pernyataan itu terlalu membuat kaget.
"Sejak kapan gabut lo belajar? Biasanya juga nglakuin hal negatif kalo gabut, maling mangga misalnya." Lego berkata jujur. Ia hapal betul bagaimana tingkah Rival jika sedang gabut.
Genta datang lalu mengernyitkan dahinya melihat Rival memegang buku tebal. "Lah, lo tobat jadi rajin?"
Rival memejamkan matanya sebentar berusaha untuk sabar. Manusia menyebalkan tambah satu.
"Kenapa lo baca kamus bahasa Inggris? Mau pindah ke USA?" tanya Genta penasaran.
"Ngapain si Rival ke USA? Ngemis di sana paling ya."
"Astaga. Lo semua kenapa suka banget ngehujat cowok ganteng-ganteng sedap kaya gue, sih?!"
Rival berniat belajar bahasa Inggris karena Bumi. Ia tak ingin malu jika ngobrol bersama calon mertuanya itu.
"Lo bayangin dah. Bokapnya Cahya kalo ngomong pake bahasa Inggris, gue cuman plonga-plonga diajak ngobrol. Makanya gue belajar," jelas Rival.
Ketiganya ber-oh ria. Tak ingin menghujat lagi. Setidaknya ada sedikit hal positif yang ingin Rival lakukan.
"Oh, iya. Tadi Mega nyariin lo, tuh," beritahu Lego. Tadi ia bertemu Mega di parkiran, dan langsung menanyakan Rival.
"Hm. Nanti gue samperin."
"Inget Cahya," pesan Genta.
"Mendadak forget gue kalo masih punya Cahya."
"Dasar manusia tidak berperikepacaran. Udah sana, Gen. Jadi PHO aja lo, gue dukung dahhh!" hasut Gilang lalu cengengesan.
"Hm ... Gilang. Kayanya bagus kalo kita langsung duel di lapangan sekarang."
*****
Cahya bermain ponsel di kelasnya dengan Sasa yang tertidur di sampingnya. Guru sedang rapat membuat banyak kelas jadi jam kosong. Kebahagiaan yang HQQ bagi para murid-murid.
"Oyy!"
Cahya berhenti bermain ponsel. Ia seperti kenal suara itu. Kepalanya menoleh ke jendela sumber suara. Benar dugaannya, ada Rival di sana sedang menyembul di jendela kelas.
"Apa?!"
Rival membuka jendela lalu memasukkan kepalanya ke dalam kelas agar mudah berkomunikasi dengan Cahya.
"Udah makan?"
Cahya menggeleng. "Belum. Kenapa? Mau beliin, ya?"
"Tanya doang." Rival menoleh kanan kiri, dirasa sepi ia langsung loncat melalui jendela agar bisa masuk kelas untuk menemui Cahya.
"Astaga Rival! Pintu ada, kenapa harus loncat jendela, sih?!"
"Kalo ada yang repot kenapa harus yang simple?" Rival duduk di meja menghadap Cahya. Memandang wajah cantik itu sekarang menjadi kebahagiaannya.
"Terserah lo dah. Mau apa lo ke sini?"
"Kangen."
"Hm. Sama. Tapi gue kangen duit lo doang, sih."
"Matre lo, Cay!" Di otak Cahya hanya ada uang. Rival juga heran kenapa ia bisa mempunyai pacar model seperti ini. "Inget, Cay. Uang nggak bisa beli kebahagiaan," ceramah Rival.
"Tapi bisa buat beli makanan, baju, skincare juga. Dan itu bikin gue bahagia."
"Dahlah. Gue depresot nyeramahin lo."
****
Thank you❤️ jangan lupa tekan bintang❤️❤️❤️
Gatau random banget chapter ini😭❤️