Rockerfeller Music Festival sukses besar, dan pengunjung stage 4 membludak karena dipenuhi oleh fans Exolysion.
Band yang dibentuk tiga tahun lalu itu mendadak viral karena salah satu lagu dari album terbaru mereka dijadikan soundtrack film.
Karena kesuksesannya itu, mereka menggaet banyak penggemar baru sekaligus menjadi magnet Rockerfeller tahun ini.
Dengan mata kepala sendiri, Chaeyoung melihat bagaimana band yang sempat ia bantu dalam urusan penulisan lagu itu sudah berkembang pesat; dari materi lagu yang mereka buat hingga segi penampilan, semuanya menjadi lebih matang.
Chaeyoung bangga.
Karena bagaimanapun, ia sempat menghabiskan waktu di studio—bersama anggota Exolysion—untuk membuat demo lagu atau sekedar jamming bersama.
Andai, Chaeyoung dan Chanyeol berpisah secara baik-baik, ia ingin sekali datang ke ruang tunggu Exolysion untuk sekedar mengucapkan selamat.
Tapi sayang, akhir hubungannya dengan Chanyeol bagai keramik yang terjun bebas dari lantai tujuh—hancur lebur.
Satu bulan setelah pelaksanaan Rockerfeller Music Festival, Chaeyoung resmi cuti.
Ia sangat bersyukur bisa menghabiskan trismester ketiga kehamilannya di rumah, karena sejujurnya ia sudah mulai sulit beraktifitas.
Keluhannya dalam masa kehamilan tuanya juga semakin bertambah; mulai dari susah tidur, susah bergerak, susah makan, dan anggota tubuh yang membengkak semua sedang dialami oleh Chaeyoung.
Menurut artikel kehamilan yang Chaeyoung lihat di internet, hal sepeti ini sangat wajar terjadi. Ibu hamil juga sangat dianjurkan untuk terus bergerak untuk membantu jabang bayi bergerak ke posisi ideal untuk melahirkan nanti.
Makadari itu, meski sering kelelahan dan napas yang kadang tersendat-sendat, Chaeyoung tetap melakukan kegiatan seperti biasa; beres-beres rumah, jalan-jalan di taman bersama Hank, dan tentu saja yoga ibu hamil.
Hari Minggu ini Chaeyoung berencana untuk beres-beres dapur, namun sahabatnya—yang berstatus model naik daun—sedang berkunjung dan membuat Chaeyoung menunda niat awalnya.
" ... ya, aku tahu kalau aku itu orang asing di negara mereka. Tapi, bukan berarti mereka bisa seenak jidat bersikap sombong dan nggak sopan, dong. Apa salahnya be kind and be humble? Apa mentang-mentang mukaku Asia banget makanya mereka songong seperti itu sama aku?"
Lisa mengomel sambil mengaduk-aduk krim sup yang Chaeyoung buat siang ini sebagai makan siang.
" ... Aku suka banget sama negara Perancis, tapi tidak dengan masyarakatnya. They are all racist."
"Nggak semuanya seperti itu kali, Lis," sergah Chaeyoung yang ternyata membuat Lisa semakin emosi.
"Memang kamu pernah ke Paris, atau setidaknya bertemu dengan orang native Perancis?"
"Eee...," Chaeyoung kehilangan kata-kata. "Ya, nggak pernah, sih."
CLANG
Lisa menaruh sendok alumuniumnya dengan kasar ke meja.
"Tuh, kan, kamu belum ngerasain gimana jadi aku yang hidup satu bulan di Paris, dan harus berusan dengan orang Perancis. Mereka semua nyebelin, Chaeng."
"Sabar..., Sabar..." Chaeyoung menyodorkan segelas air putih ke hadapan Lisa yang terlihat begitu emosi.
Gelas itu berakhir hanya dilirik tapa disentuh.
"Mereka bahkan ngomongin jelek soal aku, di depan mukaku sendiri. Memang aku nggak sepenuhnya mengerti bahasa yang mereka pakai, tapi aku yakin banget mereka ngomongin aku!"
"Separah itu?" Chaeyoung menatap sahabatnya khawatir.
Satu bulan yang lalu, Lisa ada pekerjaan di Paris selama satu bulan, dengan Ten—lagi. Saat berangkat ke Perancis, Lisa sangat antusias, tapi ketika pulang malah seperti ini.
"Iya! Chaeng! Makadari itu aku kesel banget," ucap Lisa.
"Yasudah, sekarang kan kamu sudah kembali ke Korea, bulan di Perancis lagi."
Lisa menghembuskan napas, lalu menyambar gelas air yang semula disodorkan Chaeyoung kemudian menenggaknya.
"Aku pusing."
"Biasanya kalau kamu lagi pusing begini obatnya hanya shopping."
"PAEK CHAEYOUNG!"
"APA?!" jantung Chaeyoung hampir merosot sampai ke betis saat mendengar teriakan Lisa.
"Itu ide yang sangat cemerlang. Ayo kita shopping." Lisa mulai berdiri dan membereskan piring dan gelas ke tempat cuci piring.
"Sekarang?" tanya Chaeyoung sembari memperhatikan sahabatnya yang sedang mondar-mandir untuk memunguti barang-barangnya.
"Ya, sekarang mau kapan lagi? Ayolah."
"Ah, tapi...,"
"Chaeng! Kamu ingat baby stroller yang minggu lalu kamu kirimkan fotonya padaku?"
Kening Chaeyoung berkerut untuk mengingat. "Yang bisa dibongkar pasang jadi atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang itu?"
"Iya, benar yang itu." Lisa mengangguk semangat.
"Kenapa?"
"Aku lihat stoller yang itu sedang diskon di Mom and Babies."
"Apa?" Chaeyoung langsung berdiri dari duduknya. "Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?"
"Aku lupa. Aku ke sini mau memberitahu kamu soal itu, tapi karena terlalu asik mengobrol sampai terlewatkan."
"Ayo, Lis. Cepat tidak usah make up lagi. Kamu sudah cantik," ucap Chaeyoung yang sekarang sudah berdiri di dekat pintu untuk memakai sepatu.
"Dasar!Kenapa sekarag jadi kamu yang lebih bersemangat?" dumal Lisa sembarimemoles liptint di bibir biar terlihat lebih presentable.
***
Kira-kira empat puluh menit kemudian, Chaeyoung dan Lisa sampai di salah satu pusat perbelanjaan di Seoul.
Meski dengan beban perut yang mengganjal, Chaeyoung masih sangat lincah ke sana ke sini mencari barang yang sebenarnya tidak terlalu penting; karena hampir semua kebutuhan si kembar dan Chaeyoung pasca melahirkan sudah tersedia lengkap—kecuali stroller tentu saja.
Setelah hampir dua jam keluar masuk toko, Lisa bukannya lelah malah semakin kalap.
"Lis, kamu masih lama?" Chaeyoung bertanya sambil memegangi punggungnya yang mulai terasa pegal.—hal yang memang sering terjadi kalau Chaeyoung terlalu lama berdiri.
"Chaeng! Sebentar lagi, oke. Aku masih mau cari blouse untuk pasangan rok yang tadi kita beli di Miu-Miu tadi."
Chaeyoung melihat jam tangannya. "Lis, kalau aku ke Mom and Babies dulu bagaimana? Aku penasaran ingin lihat stroller-nya."
"Tidak mau menungguku sebentar saja?"
Chaeyoung menggeleng. "Aku tahu kamu masih mau lama-lama disini, kalau ada aku kamu jadi terburu-buru," ucap Chaeyoung sambil membenarkan letak tasnya di bahu.
"Kamu benar bisa sendirian?"
Chaeyoung memutar matanya.
"Aku hanya hamil, bukan sakit. Jangan berlebihan."
"Oke, oke." Lisa mengangakat tangan tanda menyerah. "Selesai di sini aku akan menyusulmu di Mom and Babies."
"Hubungi aku saja, ya."
Lisa mengacungkan jempolnya, dan Chaeyoung langsung melangkah menuju toko yang menjadi incarannya di lantai tiga.
Tidak sulit menemukan toko perlengkapan bayi tersebut. Saat Chaeyoung masuk, baner bertuliskan SALE terpampang dimana-mana.
"Ada yang bisa kami bantu, Mom?" seorang penjaga toko bertanya dengan ramah kepada Chaeyoung.
"Aku mencari twin stroller."
"Oh, untuk stroller ada di sisi kanan toko, Mom. Apa perlu saya antar?"
"Tidak perlu. Saya bisa sendiri, dan sekalian ingin lihat-lihat yang lain," tolak Chaeyoung dengan sopan.
Pelan tersebut mempersilahkan Chaeyoung untuk berkeliling ke dalam toko.
Melihat baju-baju dan sepatu mini membuat Chaeyoung gemas sendiri.
Ya Tuhan, kuatkan hatiku untuk tidak menghabiskan uang tabungan dan memborong semua printilan menggemaskan di toko ini.
Kalimat di atas adalah do'a Chaeyoung lima belas menit, sebelum keranjang belanjaannya penuh dengan topi rajut, sarung tangan, dan celemek bayi—masing-masing sepasang.
Do'a itu sudah pasti hanya akan berakhir seperti angin lalu.
Chaeyoung sekarang sedang berada di barisan sepatu bayi.
Sepatu itu memang tidak akan langsung dipakai oleh si kembar saat mereka lahir, tapi Chaeyoung sangat gemas melihatnya.
Sepatu-sepatu itu terlihat seperti mainan.
Dan rasanya sangat aneh saat memikirkan kalau ada sepasang kaki manusia yang muat memakai sepatu-sepatu itu.
"Tidak boleh, Chaeyoung. Kamu tidak boleh boros. Si kembar belum butuh sepatu seperti ini." Seakan baru tersadar dari sihir, Chaeyoung menaruh kembali sepatu bayi yang ia genggam.
Namun karena kecerobohannya, tangan Chaeyoung malah menyenggol sepatu lain dan membuatnya terjatuh ke lantai.
"Oh, tidak." Chaeyoung melihat empat sepatu di lantai, dan kebingungan.
Perutnya sudah sangat besar, sampai-sampai ia bahkan sulit untuk menyentuh lututnya sendiri, apalagi lantai.
Mata Chaeyoung melihat ke kiri kanan untuk mencari bantuan, tapi kosong. Di lorong itu hanya ada Chaeyoung.
Chaeyoung memegang perut buncitnya lalu menunduk, berniat untuk menggapai sepatu-sepatu yang jatuh, tapi belum sempat ia menyentuhnya, sepasang tangan lain mengumpulkan empat sepatu kecil itu.
"Terima ka—" kalimat Chaeyoung menggantung saat ia melihat siapa pemilik sepasang tangan itu.
Mata coklat, rambut hitam,, dan pipi yang memiliki lesung saat ia terseyum.
"Jaehyun?"lirih Chaeyoung.
.
To Be Continued