Menalar Intuisi

Autorstwa nikniknuraeni

1K 71 29

Membatalkan rencana pernikahan merupakan keputusan tergila yang pernah Via ambil. Ia merasa ada yang salah pa... Więcej

2 | Hōmu Livin
3 | Intuisi
4 | Sahabat
5 | Bastian

1 | Mimpi

150 10 14
Autorstwa nikniknuraeni

"Hati-hati dengan kalimat berulang yang kau yakini, karena kalimat itu dapat berubah menjadi doa dan mengubah hidupmu suatu hari nanti."
- Via -


Tubuh Via menggeliat dengan gelisah di atas kasur berukuran double dalam balutan selimut tipis berbahan katun. Butiran keringat mulai membasahi anak rambut yang menempel pada dahi, lalu menjalari pelipis dan meluncur melewati cuping telinga.

Padahal suhu ruangan seharusnya bisa membuatnya menggigil. Selain hujan yang mengguyur Surabaya sepanjang malam, pendingin ruangan yang ia nyalakan semenjak tiba tadi sore di sepetak kamar kosan itu masih menunjukkan angka delapan belas derajat Celsius.

Kelopak mata Via yang terpejam kembali berdenyut. Sesekali bola matanya bergerak-gerak, seiring gerakan kepala yang semakin gelisah. Lalu tanpa aba-aba, sebelah tangannya terulur menggapai udara, seperti hendak meraih sesuatu yang jauh dari jangkauan. Via meringis. Mulutnya terbuka seraya menggumamkan sesuatu.

Pada detik berikutnya, dalam sekali hentakan, seketika saja tubuhnya terhenyak, dengan seluruh jiwa yang seperti dipaksa masuk kembali ke dalam jasad. Ia membuka mata dan mendapati dirinya sudah bermandikan keringat.

Via mengerjap, lalu bergeming untuk waktu yang cukup lama. Setelah menyakinkan diri bahwa yang membuat hatinya nyeri hanyalah sebuah mimpi, ia mengelap wajah dengan sebelah tangan, sambil meredakan napas yang masih tersenggal. Kepalanya mendongak pada jam dinding yang praktis berada dalam garis pandang, sebelum bangkit duduk dan menenggak air dalam botol minum yang selalu ia siapkan di samping tempat tidur.

Namun, tidak ada yang dapat ia ingat dari mimpinya.

Via cercenung. Mimpi itu terasa nyata, bahkan masih meninggalkan sesak dalam dada. Namun, kenapa semua detail mimpi itu hilang seperti ditelan sepertiga malam tanpa menyisakan satu bagian pun dalam kepala?

Untungnya, seiring dengan bergulirnya sang waktu, Via berhasil melupakan misteri itu dan mulai tenggelam dalam rutinitas pagi. Ia tidak lagi memikirkannya saat membereskan tempat tidur, saat berada di dalam kamar mandi, saat menyiapkan sarapan, bahkan saat menyantap sarapannya seorang diri. Seolah mimpi itu tidak memiliki arti dan dampak apa-apa baginya. Seolah mimpi itu seremeh mimpinya yang lain. Hanya mampir sebagai bunga tidur.

Hal yang wajar jika seseorang tidak bisa mengingat mimpinya setelah ia terjaga, bukan? Via pernah beberapa kali mengalaminya, walau tidak di setiap kali ia bermimpi.

***

Perasaan Via menjadi tidak karuan tanpa sebab. Ada sesuatu yang mengganjal dan mengganggu pikirannya semenjak mendapat telepon dari Tian tadi malam. Padahal Tian hanya menghubunginya untuk menanyakan kabar. Tidak ada obrolan penting lain, karena laki-laki itu harus segera berkemas untuk penerbangan pulang ke Jakarta, setelah rapat dua hari yang panjang dengan salah satu kliennya di Pekan Baru.

Via terus terlarut dalam pikirannya, hingga ia baru menyadari jika tidak membawa payung untuk menghadapi pagi yang mendung, setelah tetesan hujan pertama mengenai kepalanya.

"Mbak, kamu baik-baik saja?" Itu komentar Nana yang dengan terang-terangan memandang Via dari atas kepala sampai ujung sepatu, saat mereka bertemu di depan pintu lift. Via mengibas bagian atas pakaiannya yang basah, karena tadi nekat menerjang gerimis yang tetesannya mendadak berubah menjadi besar di setengah perjalan terakhir. "Tadi jalan dari kosan nggak bawa payung?"

Via mengedik cuek.

"Sepandai-pandainya Mbak Via meramal cuaca, akhirnya kena hujan juga." Bagas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka ikut berkomentar.

"Apaan, sih?" Via menahan tawa, lalu melangkah masuk ketika pintu lift di depan mereka terbuka. "Memangnya aku peramal?" Tangannya menekan tombol angka lima untuk mereka bertiga dan segera mundur supaya penumpang lift lainnya bisa menekan tombol lantai tujuan mereka.

"Tapi jarang banget lihat Mbak Via kehujanan pagi-pagi begini, kan, Gas?" Nana melirik Bagas yang kini berdiri di sampingnya untuk meminta persetujuan. Rupanya Nana masih berminat untuk melanjutkan pembahasan itu di dalam lift yang sedang bergerak naik. Beruntung Bagas hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan.

"Cepat dikeringkan dulu, Mbak. Biar nggak masuk angin."

Bagas menyikut Nana. "Memangnya bisa? Ada yang bawa pengering ke kantor?"

"Apanya? Ngeringin baju? Ya, bisa lah. Apa, sih, yang nggak bisa kalau lagi kepepet? Di toilet kan ada pengering." Nana memutar bola mata.

"Itu kan pengering buat tangan, mana bisa buat baju basah," gumam Bagas setengah mencibir. "Aneh-aneh aja memang isi otaknya perempuan."

"Pantesan sampai sekarang kamu masih jomlo aja, Gas."

"Kok jadi bahas status?"

"Kamu duluan yang bahas gender." Nana membelalak galak.

"Hello, Gaes. Mau turun nggak, nih?" Via melambaikan tangan di depan keduanya. "Atau mau ikut ke lantai tujuh dulu?"

Nana menyikut Bagas dan menyusul Via yang sudah keluar dari lift terlebih dulu.

"Pagi ini kita ada rapat mendadak." Kemal yang baru keluar dari ruangan Pak Kris memberi pengumuman, bahkan sebelum Via mencapai mejanya.

"Ada yang gawat, Mas?" Bagas mulai penasaran.

"Nanti juga kamu tahu sendiri," jawab Kemal, walau matanya tertuju pada Via. "Tapi saran aku,"-tangannya mengacung ke arah pakaian Via yang basah-"perbaiki dulu penampilan kamu, sebelum mood Pak Kris pagi ini bertambah hancur."

Via mendelik sebal dengan pemilihan kata yang Kemal pakai.

"Sepertinya hari ini bukan harinya Mbak Via." Nana berdecak sambil menggelengkan kepala, pura-pura merasa iba.

Setengah jam kemudian Via harus setuju dengan ucapan Nana, bahkan Kemal. Pak Kris sudah memasang wajah kusut di balik kursinya saat Via menjadi orang yang terakhir masuk ke dalam ruang rapat, walau rapat itu tidak dihadiri seluruh anggota divisi.

"Kita mendapat pesanan spesial dari pusat," ujar Pak Kris setelah membuka pertemuan mendadak itu dengan sedikit tegang. Bahkan kata "spesial" ditekankannya dengan sangat jelas. "Seorang kerabat orang penting di Jakarta,"-Pak Kris berdehem-"minta dibuatkan desain interior rumah hunian. Masalahnya, kita harus bekerja cepat dan bisa memenuhi semua permintaannya."

Sebelum ada yang berani menyela untuk bertanya, pak Kris melanjutkan. "Waktu yang tersedia sekitar dua bulan, untuk luas bangunan lima ratus meter persegi. Dua lantai dengan enam kamar tidur dan lima kamar mandi."

Terdengar beberapa helaan napas yang sempat tertahan.

Sebenarnya waktu dua bulan masih bisa diusahakan, jika tidak banyak perbaikan dan, tentu saja, tidak sedang padat proyek seperti sekarang ini.

"Dengan terpaksa, saya harus mengambil seseorang dalam tim yang sudah ada, minus Hadi yang pekan ini akan mengakhiri masa magangnya."

Semua yang hadir dalam ruang saling bertukar pandang. Melihat gelagat dari pembawaan Pak Kris yang tampak kurang nyaman, sepertinya klien kali ini bukan orang yang mudah untuk dihadapi.

"Saya memutuskan," Pak Kris sengaja menjeda kalimatnya. "Via yang akan memegang proyek hunian di wilayah Pakuwon ini." Pandangannya beralih pada Via yang duduk di sebelah Nana.

Nana malah sempat menyenggol Via yang tanpa sadar membulatkan matanya, tidak percaya. Masalahnya, proyek apartemen yang ia pegang masih dalam tahap persiapan dan, terlebih, dua bulan yang akan datang Via harus fokus dengan ....

"Via sudah terbiasa melayani klien ibu kota selama bekerja di Jakarta, kan?" Pak Kris memutus lamunan Via. "Jadi saya harap, tidak akan terlalu sulit untuk bisa memenuhi permintaan pusat kali ini." Pak Kris hanya melakukan kontak mata yang sangat singkat, lalu melanjutkan, "Pekerjaan Via sebelumnya di proyek apartemen akan diambil alih oleh Bagas dan anak magang yang baru nanti. Sementara itu, tim proyek apartemen lainnya dan tim proyek rumah sakit akan berjalan seperti sebelumnya, di samping proyek-proyek lainnya yang sedang dikerjakan."

Secara praktis, karyawan kontrak yang berada di divisi Desain Interior kantor cabang Surabaya dan berjumlah delapan orang itu terbagi menjadi dua tim besar.

"Kamu keberatan keluar dari tim dan mengambil proyek ini, Via?"

Via menggeleng, hanya bisa pasrah. Selain proyek kafe dan satu rumah hunian yang sedang digarapnya, proyek salon juga sudah masuk ke dalam daftar proyeknya bulan depan. Lalu sekarang? Ditambah dengan pesanan "spesial", rasanya Via ingin bergidik ngeri walau dengan membayangkannya saja.

"Ada pertanyaan?"

Tidak ada yang membuka suara, hingga tiba-tiba sebuah tangan teracung.

"Ya?" Pak Kris mempersilahkan Kemal.

"Apa tidak sebaiknya dikerjakan oleh dua orang atau lebih supaya bisa cepat selesai?"

"Nah, ini masalah lainnya." Berbeda dengan perkataannya, wajah Pak Kris malahan berangsur cerah. "Kita memenangkan proyek gedung perkantoran di pusat kota, jadi ada beberapa orang yang akan dimasukkan ke dalam proyek baru ini, di samping proyek yang sudah berjalan. Termasuk kamu, Kemal, salah satunya. Jika tidak ada pertanyaan lagi, kita akan beralih ke pembahasan proyek gedung perkantoran ini."

Setelah menunggu beberapa detik, Pak Kris mulai beralih topik.

"Kok tadi nggak protes, sih, Mbak?" tanya Nana setelah rapat berakhir dan mereka kembali ke meja yang bersebelahan.

"Bawahan mana bisa protes kalau dikasih tugas atasan saat porsi pekerjaan lagi banyak-banyaknya, Na."

"Tapi, kan, seenggaknya Pak Kris harusnya mikir kalau Mbak sedang mempersiapkan acara pernikahan dalam dua bulan lagi."

"Perkataan kamu itu seolah menyiratkan kalau Pak Kris tidak berpikir dulu sebelum memutuskan keputusan tadi, Na." Via berusaha menyungging senyum untuk menggoda Nana. Namun senyumnya lenyap seketika saat Nana balik bertanya.

"Mbak sendiri mikirin persiapan pernikahannya, nggak, sih? Kalau aku jadi Mbak, nih. Kalau aku jadi Mbak, ya. Maaf-maaf." Nana melirik hati-hati. "Aku bakalan ambil cuti sebulan sebelumnya dan balik ke Jakarta. Kalau nggak di-ACC, aku ngajuin surat pengunduran diri."

"Nggak semudah itu, Na. Apalagi setelah apa yang sudah aku lalui sejauh ini." Pandangan Via menjadi menerawang. Sebenarnya pertanyaan Nana sukses menohok dan menampar kesadarannya.

Apakah ia memikirkan persiapan pernikahannya sejauh ini? Via menggeleng lesu.

***

Sebuah panggilan membuat ponsel Via berderit saat tangannya sedang sibuk menyocokkan palet warna kain dengan gambar kerja yang dibentangkan di atas meja panjang. Via memutar kursi dan mendorongnya hingga mencapai meja yang tadi ia belakangi, lantas menyambar ponsel di samping keyboard. Sebuah nama yang muncul pada layar membuat dahinya mengernyit. Telepon di jam kerja yang biasanya berkolerasi dengan pekerjaan membuatnya tidak sempat menyangka jika panggilan itu berasal dari Ibu.

Via mengangguk kepada dua rekannya yang masih mengelilingi meja panjang. Sambil menunjuk ponsel di tangan lainnya, ia memberi isyarat jika akan pamit sebentar untuk mengangkat telepon. Mungkin ada hal mendesak yang membuat Ibu menelepon, pikirnya, bahkan sebelum jam makan siang seperti ini.

Setelah mencapai pantry yang hanya belasan meter dari mejanya, Via segera menggulir tombol hijau pada layar. "Ada apa, Bu?" Ia berusaha mengucapkannya setenang mungkin, tahu jika bukan kabar baik yang akan didengar.

"Ibu baru pulang dari penjahit." Dari suaranya, Via bisa membayangkan wajah Ibu yang sedang merengut. "Hasilnya sangat sangat mengecewakan sekali, Via." Ibu bahkan sampai memboroskan kata untuk menekankan perasaannya itu.

"Mengecewakan bagaimana?" Suaranya masih dibuat setenang mungkin.

"Pokoknya hancur! Kebaya ibu hancur!"

Via mengangguk, mengerti. Rupanya perkara kebayalah hal yang mendesak itu, hingga ia tergesa meninggalkan meeting dengan tim kecilnya barusan. Bagai mimpi buruk yang lain di hari ini.

"Ya. Terus, jadinya bagaimana? Masih bisa diperbaiki, bukan?"

"Kekecilan! Mau diperbaiki kayak gimana lagi? Ditambal?" Dengkusan Ibu terdengar sampai di telinganya. "Padahal bulan lalu ngukurnya udah benar kata pegawainya. Tapi kenapa hasilnya bisa jadi nggak sesuai? Apa dia ngukur badan maneken? Masa nggak muat waktu dicoba. Ibu sampai nahan napas tadi, tetap aja nggak bisa dikancingkan."

Via ingin tertawa tapi takut dosa.

"Ibu mau nulis review aja di kolom komentar IG-nya, kalau hasil jahitannya mengecewakan."

Kali ini Via segera menyahut. "Bukannya tubuh Ibu yang melebar? Mungkin bulan depan sudah bisa muat lagi."

"Ish! Kamu, ya. Naik satu atau dua kilo kan seharusnya nggak kentara. Dilebihin sedikit, kek, jangan terlalu ngepas."

"Dulu Via, kan, pernah bilang kalau jahitnya mending bareng di tempat jahit kebaya Via aja, atau di langganan Ibu sekalian." Bukan tidak pernah mengingatkan, tapi Via terlalu lelah jika setiap masukannya harus berujung dengan perdebatan. Sesekali ia mencoba untuk menahan diri. Dan lihatlah, batin Via, ujung-ujungnya juga seperti ini lagi.

"Iya, seharusnya Ibu dengerin kamu waktu bilang kalau tempatnya kurang meyakinkan. Ibu hanya percaya review bagus di IG-nya tanpa survey dan riset lebih jauh."

"Ya mau gimana lagi. Sudah terjadi. Beli kainnya lagi aja, jahit di tempat langganan. Kan masih lama, masih dua bulanan lagi." Lagipula, kenapa Ibu harus repot-repot menyiapkan dari jauh hari, sih? Kan belum tahu besok gimana-gimana, pikir Via yang segera dihapus dengan kalimat istigfar.

"Ya sudah. Ibu mau pikirkan dulu bagaimana baiknya. Coba tanya penjahit langganan, siapa tahu masih bisa diperbaiki."

"Begitu lebih baik," jawabnya lega, yang berarti sekarang ia bisa segara pamit. "Via harus balik ke meja, Bu. Anak-anak udah nungguin, tuh." Dari pantry, Via melongok ke arah ruangan yang tersekat oleh kaca besar.

"Nanti malam Ibu telepon lagi, ya, kalau begitu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawabnya sambil menderap langkah kembali ke ruang kerja.

Perasaan Via bertambah tidak karuan setelah lintasan pikiran tadi sempat masuk ke dalam kepalanya.

Bagaimana kalau besok gimana-gimana?

***

"Kamu baik-baik saja?" tanya Ibu setelah Via mengabari jika sudah sampai di kamar kosannya.

Via tertegun sejenak. Apa memang ada yang salah denganku hari ini?

"Ya," jawabnya kemudian, sambil berusaha menghapus pikiran-pikiran buruk yang benaknya coba kait-kaitkan. Pasti bukan apa-apa, yakinnya dalam hati.

"Syukurlah," jawab Ibu. Ada nada lega dalam suaranya. "Suara kamu kayak yang capek banget. Jangan terlalu memaksakan diri, Via."

"Iya," jawabnya lagi pendek.

"Jadi pulang, kan?" tanya Ibu setelah jeda yang cukup singkat.

Via menggigit bibir bawah dengan rasa bersalah, karena tahu kalau Ibu, bahkan Tian dan orang tuanya, sudah menunggu hingga ia mengiyakan untuk pulang dan mengurus beberapa persiapan pernikahan mereka pekan ini. Namun, siapa sangka jika proyek baru akan membuatnya berubah pikiran, atau setidaknya harus mencari alternatif lain. "Minggu ini ternyata aku-"

"Via," potong Ibu cepat. "Penjahitnya udah minta kamu fitting kebaya pengantin dari kapan hari. Kalau nggak cepat pulang, mungkin kebayanya nggak bisa kelar sesuai rencana," ucapnya defensif, seolah bisa mengetahui kelanjutan kalimat Via tadi. "Seharusnya kamu tahu itu."

Nah, sekarang siapa yang berbalik memintanya untuk memaksakan diri?

"Kalau tanpa fitting kebaya, bisa aja, kan? Tubuh aku masih belum melar semenjak diukur tempo hari, kok." Kali ini Via merajuk.

"Memang penjahitnya bisa ngira-ngira ukuran tubuh kamu setelah sekian lama?"

"Baru aja sebulan lalu," Via mengingatkan. Lagi pula, Via sempat mengusulkan untuk menyewa kebayanya, seperti beberapa gaun lain yang akan dipakai saat resepsi nanti. Bahkan Tian saja tidak keberatan. Toh hanya dipakai selama sehari-bukan, mungkin hanya beberapa jam. Namun, Ibu berkeras untuk memesan, dengan alasan kebaya itu bisa dijadikan kenang-kenangan atau diwariskan. Lagi-lagi, Via hanya tidak ingin berdebat.

"Ya, sebulan lebih." Ibu membetulkan dan terdengar tidak mau kalah.

"Kasih foto terbaruku, misalnya. Sekalian tinggi dan berat badan. Kalau penjahit profesional, pasti bisa-"

"Via!" Suara Ibu tiba-tiba menggelegar dari seberang sambungan, sampai-sampai Via harus menjauhkan benda pipih itu demi menyelamatkan gendang telinganya. "Nggak begitu! Masa iya kamu mau pakai kebaya hasil tebak-tebakan ukuran buat hari sepenting itu dalam sejarah hidup kamu? Jangan sampai nyesel karena kejadian kayak kebaya Ibu."

Suara Ibu masih terdengar dengan jelas dalam jarak serentangan tangan antara telinga dengan ponselnya, bahkan saat Via menutup sebelah telinganya sekalipun.

"Penjahit seprofesional apapun dia nggak mungkin bisa bikin kebaya yang pas banget di badan kamu tanpa melakukan beberapa kali fitting." Ibu terdengar yakin dan tidak ingin dibantah. "Memangnya kamu nggak malu nanti pakai kebaya kesempitan atau kedodoran, hah?"

Padahal Via tidak akan keberatan seandainya terpaksa melakukannya pun. Namun, tentu bukan waktu yang tepat untuk menyatakan kesediaannya sekarang, tidak saat kemarahan Ibu hampir meledak.

Via menunggu Ibu melanjutkan, tapi wanita itu kini terdiam. Omelan yang diakhiri dengan kata "hah" sebagai pengganti kata tanya itu sepertinya sengaja dijeda supaya Via segera merespon pertanyaannya. Lantas Via segera mendekatkan ponselnya ke telinga. Ia sempat menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan nada pasrah, "Oke, akan Via usahakan."

Ajaibnya, hal itu berbanding terbalik dengan tanggapan sang ibu. Jawaban Via berhasil memulihkan kembali moodnya dengan begitu cepat. Via bahkan bisa merasakan wanita itu tengah tersenyum penuh kemenangan ketika berseru dengan riang, "Nah, itu baru anak Ibu."

Via kembali menghela napas panjang selepas panggilan berakhir, sementara kepalanya mulai dijejali berbagai rencana perubahan jadwal yang masih mungkin ia lakukan. Seperti memperbaharui janji temunya dengan vendor dan menggeser jadwal meninjau lokasi kafe yang sudah masuk ke tahap konstruksi, demi bisa memulai proyek baru yang sudah mendapatkan detail dengan cepat dari klien. Walaupun, pikir Via, hal itu akan membuat proyek lainnya terkena imbas.

Atau, pikir Via lagi dengan enggan, aku bisa meminta bantuan Kemal.

Sedetik kemudian, Via tengah berusaha menghapus pilihan itu dari kepalanya.

Kemal mungkin saja tidak keberatan untuk memberinya bantuan, tapi Via merasa kalau hal itu sedikit terdengar kurang profesional. Meskipun, bukan berarti tanpa ada kompensasi atau kesepakatan yang akan Via tawarkan. Sebab, tidak ada makan siang yang gratis bagi Kemal yang sangat teliti dan perhitungan.

Via kembali menimbangnya dengan hati-hati.

Di antara rekan kerja yang dekat dengannya, menurut Via, sayangnya hanya Kemal yang bisa diandalkan untuk urusan itu. Namun dengan begitu, Via juga harus bisa menahan diri terhadap tingkah Kemal yang suka tiba-tiba usil tanpa alasan.

Ya, walau paling tidak, menghadapi Kemal tidak akan semengerikan menghadapi Ibu yang sedang marah.

Sambil menekan nomor kontak Kemal, Via mulai memikirkan kesepakatan apa yang akan ditawarkannya.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

696K 6K 19
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
330K 2K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
61.8K 5.2K 42
Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan akuntansi ingin kehidupan kuliahnya seperti...
SCH2 Autorstwa xwayyyy

General Fiction

127K 17.9K 47
hanya fiksi! baca aja kalo mau