I SHALL EMBRACE YOU

By Toelisan

21.8K 1.7K 91

[FOLLOW SEBELUM BACA] "Kita itu cuma dua orang yang saling kenal terus tinggal satu atap." ucap gadis itu. ... More

ISEY || CHAPTER SATU
ISEY || CHAPTER DUA
ISEY || CHAPTER TIGA
ISEY || CHAPTER EMPAT
ISEY || CHAPTER LIMA
ISEY || CHAPTER ENAM
ISEY || CHAPTER TUJUH
ISEY || CHAPTER DELAPAN
ISEY || CHAPTER SEMBILAN
ISEY || CHAPTER SEPULUH
ISEY || CHAPTER SEBELAS
ISEY || CHAPTER DUA BELAS
ISEY || CHAPTER TIGA BELAS
ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS
ISEY || CHAPTER LIMA BELAS
ISEY || CHAPTER ENAM BELAS
ISEY || CHAPTER TUJUH BELAS
ISEY || CHAPTER DELAPAN BELAS
ISEY || CHAPTER SEMBILAN BELAS
ISEY || CHAPTER DUA PULUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER DUA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DELAPAN
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SEMBILAN
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TUJUH

ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

427 34 7
By Toelisan

Happy reading~




Tiga tahun lalu...

Teriakan menggema di dalam GOR. Hari itu sedang berlangsung turnamen basket mahasiswa se-Jawa Timur. Hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum pertandingan berakhir. Sementara itu, selisih poin dengan tim lawan cukup jauh. Vian mengamati dari luar lapangan. Saat menit awal babak kedua, ia terpaksa harus diganti dengan pemain lain karena cidera pada pergelangan kakinya. Walaupun kesal dengan keadaan, tapi ia tidak bisa bersikeras untuk tetap ikut, sebab pertandingan ini bukan hanya soal dirinya tetapi juga tim.

Di menit-menit akhir, kawan satu timnya berhasil mencetak poin. Namun tetap saja tak mampu mengejar ketertinggalan dari tim lawan. Peluit ditiup dengan keras yang menandakan pertandingan telah usai. Raut kekecewaan tergambar jelas di wajah Vian dan kawan satu timnya. Mereka harus terima tak ikut ke laga final pekan depan. Itu adalah kekalahan pertama bagi Vian. Dan dia merasa asing dengan semuanya.

Satu per satu pemain mulai menepi ke ujung lapangan. Penonton pun mulai meninggalkan arena. Vian berjalan lebih dulu ke ruang ganti. Ia menunggu timnya pun pelatih yang nampak kecewa. Tak berselang lama, semua sudah berkumpul di sana.

"Its okay. Nggak apa-apa," ucap pelatih sembari tersenyum. Pria itu menatap satu per satu anak didiknya.

"Hidup kita nggak akan berakhir hanya karena kekalahan ini." Semua terdiam. Pria itu menghela nafas. "Main kalian tadi udah bagus. Block kamu udah keren, Nji. Kamu juga Arsyad. Shooting kamu mantap Anwar, Cuma ya...akselerasi kamu aja agak kurang waktu cetak poin," ucap Rendi—pelatih basket tim Vian yang membuat semua orang yang ada di sana tertawa.

"Sebenarnya tadi mau joget kayak gini, Bang. Cuma takut provokasi aja," jelas Anwar sembari memperagakan joget yang ia maksud. Suasana mulai cair dengan suara tawa yang berderai memenuhi seisi ruang.

"Dan kamu Vian," ucap pelatih. Semua orang menatap ke arah Vian.

"Kaki kamu gimana?"

Vian menggerakkan kaki kirinya lalu mengangguk. "Tapi kita mesti cek ke rumah sakit."

"Udah mendingan, Bang. Tadi juga udah ditangani sama tim medis di sini."

"Pokoknya harus." Vian menyerah. Memangnya dia punya pilihan?

-

-

-

Vian keluar dari ruangan rumah sakit di lantai satu. Ia duduk di kursi tunggu di dekat resepsionis. Menatap nanar ke arah luar rumah sakit. Ia menghela nafas kasar. Ia menatap Dimas yang berjalan ke arahnya dengan ekspresi wajah yang sangat menjengkelkan.

"Gimana, pahlawan?" tanya Dimas sarkas saat ia sudah berdiri di depan Vian.

Vian memutar bola matanya yang membuat Dimas cengengesan tak tahu diri. "Ya...lagian ngeblok bola segitu. Poin yang dijaga cuma dua, rela banget ngorbanin kaki sampai keseleo."

Vian diam saja, malas menanggapi ocehan Dimas yang tak ada hentinya. Laki-laki itu mengambil tempat di sisi Vian. Ia mengamati kaki Vian yang diperban. "Masih sakit nggak?" tanya Dimas khawatir.

Vian melemparkan tatapan tidak suka ke arah Dimas lalu menjawab, "Ih, geli banget nanya kayak gitu."

"Namanya juga khawatir. Dokternya bilang apa?" tanya Dimas lagi tanpa mempedulikan ekspresi Vian yang terlihat horror.

"Disuruh istirahat doang. Bang Rendi aja yang lebay suruh ke rumah sakit segala."

"Bukan lebay ya," sambar Rendi yang entah sejak kapan berdiri di sebelah Dimas.

"Kaki itu aset paling berharga buat pemain basket." Tekan Rendi pada Vian. Membuat laki-laki itu megangguk lemah.

"Bisa pulang sendiri 'kan? Saya ada urusan habis ini." Vian lagi-lagi mengangguk.

Rendi menghela nafas sembari melipat kedua tangannya di dada. "Vian," ucap Rendi berusaha mendapatkan atensi dari Vian. Laki-laki itu akhirnya menatapnya. "Semua orang pasti merasa asing sama hal yang baru pertama kali mereka alami. Entah itu cinta pertama, kemenangan pertama, patah hati pertama, bahkan kekalahan pertama."

"Widih...udah cocok jadi motivator nih Bang Rendi," sambar Dimas.

Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah Dimas. "Rencana sih gitu. Tapi nanti deh kalau udah pensiun jadi pelatih."

"Intinya nggak usah terlalu dipikirin. Oke, ya?" tanya Rendi yang mendapat anggukan ringan dari Vian.

"Dua minggu ini kamu off dulu latihan. Oke saya duluan, kalian berdua hati-hati," ucap Rendi yang berlalu meninggalkan Vian dan Dimas di sana.

Vian mengeluarkan ponselnya dari saku jaket. Ia menghidupkan layar ponsel dan matanya terbelalak saat melihat ada lima panggilan tak terjawab dari Dila. Ia segera mendial nomor Dila, panggilan tersambung namun taka da jawaban dari Dila. Hingga akhirnya yang terdengar hanyalah suara operator telepon. Vian memutus panggilan itu, ia mengetik pesan ke nomor Dila.


To: Dila

Dil, ada apa?

Sorry nggak keangkat, baru buka hp soalnya.


Pesan terkirim. Vian segera memasukan ponselnya ke dalam saku jaket. Laki-laki itu berdiri disusul oleh Dimas yang membantunya untuk berjalan. "Udah nggak apa-apa ini," ucap Vian yang mencoba meyakinkan Dimas jika dia baik-baik saja.

Dimas menghelas nafas. "Terserah deh. Mau keseleo, patah atau diamputasi sekalian aku nggak peduli," ucapnya meninggalkan Vian.

Vian terkekeh melihat tingkah Dimas. Sudah hal biasa baginya melihat tingkah Dimas yang seperti itu. Laki-laki itu berjalan menyusul Dimas yang sudah lebih dulu meninggalkannya ke area parkiran.

"Itu bukannya cewek yang waktu itu ya?" tunjuk Dimas saat mereka sudah di dalam mobil.

"Yang mana?" tanya Vian mencari seseorang yang dimaksudkan Dimas.

"Itu yang lagi nelfon di depan, pakai kaos pink."

"Oh," jawab Vian acuh.

"Tapi aku suka deh sama dia," ujar Dimas sembari menghidupkan mesin mobil. Vian menoleh ke arah Dimas dengan raut bingung.

Dimas terkekeh. "Maksudnya tuh suka aja lihat pembawaannya dia. Apalagi waktu dia debat sama senior waktu ospek fakultas. Kayak...nyalinya oke juga."

Vian tersenyum samar mengingat hari itu. Matanya melirik sekilas ke arah gadis itu lalu menyandarkan punggung sembari memangku kedua tangan di dada.

"Kenapa?" tanya Dimas melihat raut wajah Vian yang nampak kusut saat mobil membelah jalanan Surabaya, bergabung dengan kendaraan lainnya.

Vian menoleh ke arah Dimas lalu menggeleng pelan. "Ke rumah Dila aja," ujar Vian mantap. Kening Dimas mengerinyit bingung. "Rumah Dila? Malam-malam gini? Mau ngapain?"

"Perasaan aku nggak enak."

"Nggak enak gimana?" kejar Dimas ingin mendapatkan penjelasan.

Vian menghela nafas. "Tiga hari lalu Dila sama Agra putus."

"Hah?!"

"Mereka pacaran?" tanya Dimas masih dalam keterkejutannya. Vian mengangguk lemah. Ia mengusap wajahnya.

"Kamu 'kan tahu Agra bajingan!" kesal Dimas.

"Ya tahu. Tapi kan—"

"Kenapa dibiarin? Nggak dicegah gitu?" cerca Dimas nyolot.

"Gimana mau cegah? Orang mereka sama-sama suka." Vian memberikan pembelaan pada dirinya yang sejak tadi disudutkan.

"Kamu kan bis—"

"Oke aku salah. Aku salah karena udah ngenalin bajingan itu ke Dila. Puas?" potong Vian cepat.

"Sorry. Maksud aku tuh...." Dimas tidak lagi melanjutkan perdebatannya dengan Vian. Ia mempercepat laju mobil yang dikendarainya. Ia tahu hari ini Vian sudah mengalami banyak hal. Hanya keheningan yang mendampingi dua laki-laki itu di sepanjang perjalanan.

Sedan hitam itu berhenti tepat di depan rumah Dila. Vian segera keluar dari dalam mobil. Laki-laki itu berdiri di depan pagar rumah sembari terus menelfon nomor Dila. Ia menyerah pada panggilan kedua. Laki-laki itu memperhatikan sekelilingnya. Tak ada yang aneh dari rumah bercat cokelat itu. Beberapa lampu ruangan di rumah sudah padam sebab tak ada lagi pantulan cahaya dari jendela kaca. Ia menghela nafas lalu berbalik hendak masuk ke dalam mobil. Tapi langkahnya terhenti saat menyadari sesuatu yang janggal. Vian menolehkan kepalanya. Tatapannya berhenti tepat di jendela kamar Dila.

"Kenapa?" tanya Dimas mengintip keadaan luar dari dalam mobil.

"Lampu kamar Dila mati."

"Mungkin aja udah tidur," jawab Dimas asal.

"Dila takut gelap. Dia nggak pernah matiin lampu kamarnya."

"Ya...siapa tahu aja dia lagi nggak di rumah. Dia lag—"

"Mau tetap di sini atau ikut?" potong Vian cepat. Laki-laki itu melangkah membuka pagar rumah Dila yang tidak dikunci. Disusul Dimas yang mau tak mau mengekor di belakang Vian.

Jantung Vian berdetak tak karuan saat melihat pintu rumah Dila yang tak tertutup rapat. Vian langsung berlari ke lantai dua begitu pun Dimas yang nampak heran dengan keadaan rumah. Keadaan sekeliling terasa gelap, hanya beberapa lampu yang masih menyala.

"Dil...," langkah Vian terhenti di ambang pintu kamar Dila. Matanya membelalak lantas spontan menunduk saat melihat keadaan Dila yang tengah menangis di atas tempat tidur.

"Tungguin napa," protes Dimas pada Vian. Laki-laki itu mengintip keadaan kamar dan setelahnya langsung berbalik memunggungi Vian yang berdiri sembari tertunduk lesu.

Vian berusaha mengontrol emosinya yang sudah memuncak. Ia perlahan masuk ke dalam kamar, sembari melepas jaket yang tengah ia kenakan. Laki-laki itu dengan cepat menutupi tubuh Dila yang terekspos. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu memungut selimut yang tergeletak di lantai. Vian kembali menutupi tubuh Dila dengan itu.

Kepala Vian tertunduk. Berjuta rasa bersalah memenuhinya saat itu. Vian merengkuh tubuh Dila yang masih bergetar dalam pangkuannya. Membiarkan Dila menumpahkan semuanya di bahunya. Gadis itu terisak. Pilu sekali mendengar tangisnya malam itu.

"Siapa, Dil?" tanya Vian saat derai tangis Dila mulai reda.

Gadis itu tak menjawab.

"Jangan bilang...," terka Vian sembari menatap lurus kedua mata Dila. Tangis Dila pecah lagi dan rasanya itu cukup bagi Vian membuktikan segalanya. Tangan laki-laki itu mengepal hebat. Ia bangkit meninggalkan Dila yang masih menangis dalam kehancuran.

"Jagain Dila," pamit Vian pada Dimas yang masih memunggunginya.

"Mau kemana?" tanya Dimas bingung. Vian tak menjawab, laki-laki itu berlari ke arah mobilnya yang terparkir di depan rumah.

"Vian?!" teriak Dimas bingung dari lantai dua.

Vian segera menyalakan mesin mobil. Rasa sakit yang mulai terasa di pergelangan kakinya tak membuat urung menuntaskan kekesalan malam itu. Laki-laki itu mengambil ponselnya. Ia mencari kontak seseorang lalu menekan tombol hijau di bawah info kontak. Tak lama panggilan itu tersambung.

"Halo, Bim,"

"Kenapa, Vi?" tanya Bima dari seberang.

"Agra di sana nggak?" tanya Vian to the point.

"Agra? Enggak. Dari tadi siang dia...eh, tuh baru dateng. Ken—"

Vian langsung memutus panggilan itu. Rahangnya mengeras. Laki-laki itu memacu mobilnya. Semua berkecamuk dalam dirinya. Kesal, marah, entahlah. Vian tak tahu perasaan apa yang mendominasinya saat itu, yang jelas ia ingin menuntaskan semuanya malam itu juga.

Vian berhenti di sebuah kedai kopi milik Bima. Suasana di sana cukup ramai oleh beberapa muda-mudi yang ingin membunuh waktu di sana. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya. Ia menemukan Agra dan beberapa temannya yang lain tengah duduk di pojok kanan pintu masuk. Tanpa basa-basi Vian langsung memberikan satu pukulan pada wajah Agra yang membuat laki-laki itu tersungkur.

"Ada apa, Bro?" tanya Bima yang ikut duduk di sana.

Agra bangun sembari mengelus salah satu sisi pipinya. Ia tersenyum remeh sembari menatap Vian siap memberinya satu pukulan lagi.

"Thanks ya, udah ngenalin dia. Nggak nyangka dia semurahan itu,"

"Brengsek!" teriak Vian naik pitam. Ia menendang dada Agra sampai laki-laki itu tersungkur ke belakang. Mencengram erat kerah baju Agra lalu melayangkan pukulan ke wajah laki-laki itu. Siapa pun yang ada di sana tak berani mendekat. Hanya menyaksikan suasana yang berubah chaos dalam sekejap.

---

See ya!



Vv, June 2023

Toelisan,-

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
589K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
638K 24.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
291K 27.1K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...