Salah satu ciri khas si kembar sejak lahir adalah satu sakit, maka semuanya juga ikut sakit.
Dan ya, saat si kembar berusia 5 bulan, mereka sakit secara bersamaan. Awalnya hanya Juna yang sakit demam, tapi setelahnya malah diikuti Shaka, Haikal, serta Nanda.
Memang ya, mereka berempat adalah saudara kembar yang kompak.
Namun, kali ini berbeda. Hanya Juna yang merasakan sakit. Sementara yang lainnya tidak. Sebab, sakitnya dikarenakan hal yang lain dari lainnya.
...
Tidur terlentang dengan selimut tebal, sesekali mengerang karena rasa sakit di tubuh, terutama perut. Pemandangan seperti i ni yang mampu menusuk hati bunda saat melihat Juna jatuh sakit.
Pasalnya, Juna adalah orang yang jarang sakit. Dan sekalinya sakit, pasti akan membuat orang rumah panik.
"Juna, bangun sayang. Makan dulu yuk." Ajak Bunda seraya menyibak poni anak sulungnya yang kini telah memanjang.
Juna membuka matanya perlahan saat merasakan usapan lembut pada jidatnya, "Bunda."
Ia menatap sayu ke arah bunda nya. Rasanya Juna ingin memeluk dan bersandar pada bahu bunda. Tapi, tenaga nya terlalu lemah untuk sekedar mengatakan keinginan tersebut.
"Kenapa, hm?" Bunda mengelus pipi tirus Juna.
Juna melengkung kan bibirnya ke bawah, "Peluk." Katanya lirih.
Bunda tersenyum, "Uluh-uluh, anak bunda lagi pengen manja."
Secara perlahan bunda membantu Juna agar bersandar pada kepala ranjang. Dan dengan senang hati bunda langsung memeluknya.
"Kaos kamu basah?" Tanya bunda saat mengelus punggung si kakak, ia merasakan basah pada tangannya.
Juna hanya bergumam tak jelas. Dirinya terlalu nyaman berada dipelukan bunda. Sehingga enggan untuk menjawab pertanyaan bunda.
Bunda mengelus punggung Juna lembut, "Kakak ganti baju dulu, ya?"
Juna hanya mengangguk, namun ia enggan beranjak dari pelukan bunda.
"Kalo gitu bangun dulu dong. Biar bunda bisa ambil ganti kamu." Bujuk bunda seraya mendorong Juna pelan agar bersandar pada kepala tempat tidur.
Juna menatap bunda sendu. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik bunda. Dirinya takut jika ditinggalkan sendiri saat sedang dalam kondisi lemah seperti sekarang.
Tok! Tok! Tok!
Cklek.
"Kak."
Juna menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka, disana muncul Haikal yang datang membawa kresek hitam.
Pantas, tekanan berat yang Juna rasakan sejak tadi langsung hilang, ternyata karena adiknya datang. Dan tubuhnya terasa lebih mendingan ketimbang semalam.
"Eh, ada bunda juga disini." Celetuk Haikal saat melihat bunda berdiri di depan lemari kakaknya.
Bunda menoleh karena merasa disebut. Ia memperhatikan interaksi kakak beradik yang kerap terlihat tak akur itu. Memang bukan pemandangan yang asing lagi sih jika Juna dan Haikal baku hantam. Namun, hati bunda merasa lebih tenang saat melihat keduanya saling peduli seperti yang ia lihat sekarang.
"Lo udah makan, kak?"
"Udah. Lo sendiri?"
Haikal menggeret kursi yang biasa digunakan kakaknya sebagai tempat duduk ketika belajar, "Gue baru pulang, kak. Lo kan tau kalo gue anak organisasi."
Juna mengangguk paham.
"Itu apaan?" Tunjuk Juna seraya melirik kresek hitam di genggaman adiknya.
Haikal menyodorkan kresek hitam ke arah Juna, "Oh, ini ada titipan madu dari Pak Darwin. Katanya, biar cepet sembuh, terus bisa ngajarin anaknya ngaji di masjid."
Juna menerima kresek hitam dengan senang hati. Jujur, ia merasa senang saat mendapat sesuatu dari tetangga favorit ayah nya itu. Sebab, sekali nya Pak Darwin memberi sesuatu, pasti sesuatu tersebut selalu bermanfaat.
"Iya, makasih." Ucap Juna tulus. Ia meletakkan di samping nakas dan lanjut memperhatikan bunda yang telah berjalan ke arahnya.
Bunda meletakkan 1 setel ganti di pangkuan Juna, "Kakak ganti baju dulu ya. Ditemenin sama Haikal."
"Bunda mau kemana?"
Bunda Wendy tersenyum, "Bunda masak makan siang sayang."
Juna menatap sendu bunda. Ada perasaan tak ingin ditinggalkan oleh bunda nya. Ayolah, dirinya sedang sakit, tapi dirinya juga tak boleh egois. Juna jadi terlihat jahat kalau menahan bunda untuk menemaninya, sementara disampingnya ada Haikal.
"Kamu ditemenin Haikal, ya?"
Juna mengangguk pelan, "Iya, bund."
...
Saat kondisi tubuh Juna lemah, bisa dipastikan ia akan bersama Haikal untuk waktu yang lama.
Sebab, saat Juna bersama Haikal, dirinya merasa seperti dijaga dari mereka.
"Enggh."
Haikal melirik kakaknya yang melenguh diatas kasur, mungkin sebentar lagi orangnya akan sadar setelah tertidur panjang.
Bagi Haikal, untuk pertama kalinya dalam tahun ini, ia melihat Juna tertidur dalam waktu yang lama. Walaupun dalam tidur nya sesekali mengerang kesakitan.
"Udah mendingan lo?" Tanya Haikal sembari melihat-lihat sketchbook milik Juna.
"Hm. Lumayan." Sahut Juna sebelum berbalik memunggungi adiknya.
"Dari tadi cuma lo sendiri yang disini?"
"Ya jelaslah. Bunda lagi masak sama adek, terus Bang Shaka lagi sama ayah di garasi. Tinggal gue yang nggak ada kerjaan." Jelas Haikal tanpa diminta. Padahal Juna hanya bertanya soal Haikal, tapi ya sudahlah.
Juna menguap terlebih dahulu, sebelum bertanya lebih lanjut, "Hoamm. Sekarang jam berapa?"
Haikal memeriksa jam tangan yang melingkar ditangan kirinya, "Jam 5 sore."
Sejenak ia memperhatikan punggung kakaknya yang tertutup selimut, "Lo nggak gerah?"
Juna merubah posisi tidurnya menjadi terlentang dan menyibak selimut tebalnya, "Nggak, yang ada malah dingin."
"Aneh."
Juna melirik sinis Haikal, "Ngomong apa lo?!"
Haikal tersenyum manis dan menggeleng, "Nggak. Gue ngomong sama Upin, kak."
Juna beralih melirik kucing kesayangan Shaka yang bermanja di kaki Haikal. Dasar prajurit kecil. Kemanapun Haikal pergi, pasti ketiga kucing Shaka akan ikut.
"Bisa-bisanya itu kucing ada disini? Emang Shaka nggak ngamuk?" Desis Juna saat melihat salah satu kucing milik Shaka berupaya menaiki tempat tidurnya dan duduk dipangkuannya.
Haikal mengelus dua kucing lain yang masih betah bermanja pada kakinya, "Bisa, kan ngikutin gue. Bang Shaka nggak bakal ngamuk, orang dia nggak tau."
"By the way, nanti malem abis sholat isya', kita bakal ke rumah nenek." Lanjut Haikal sembari menatap Juna serius.
Juna mengerutkan keningnya, "Ngapain?"
Haikal menyisir rambutnya kebelakang, "Menurut lo?"
"Ck." Decak Juna malas. Ia mempunyai firasat jika penyebabnya adalah dirinya sendiri.
Sembari mengelus Opet yang berada dipangkuannya, Juna melihat sekitar, merasa ada keanehan pada kamarnya, "Sejak kapan ada konsol game di kamar gue?"
Haikal menutup sketchbook dan tersenyum lebar sampai memperlihatkan giginya, "Gue butuh temen, kak. Ya kali gue cuma liatin lo tidur, mana betah gue."
Mendengar alasan Haikal, salah satu alis Juna terangkat. "Nggak di omelin bunda?"
Haikal menghela nafas pasrah, "Yaa di omelin."
Ia bangkit dan pindah duduk di karpet yang berada di kamar Juna.
"Kapan sih bunda nggak ngomel kalo liat kamar yang berantakan?" Haikal menatap malas kakaknya.
Juna mengangkat bahunya acuh. Ia sudah hafal dengan kebiasaan bunda yang satu ini. Kebiasaan yang tidak bisa melihat kamar anak-anaknya berantakan, jika bunda sampai tahu kalau salah satu kamar anaknya berantakan, selamat mendengarkan kalimat bijak hingga berjam-jam.
"Mau main nggak?" Tawar Haikal pada kakaknya.
Juna mengangguk, "Oke. Asalkan lo pindah ke sini." Ucapnya seraya menepuk tempat yang kosong disampingnya.
Haikal menurut. Dan sore menjelang maghrib saat itu, Juna tidak didatangi mereka. Penyebab mereka tidak datang tentu karena kehadiran Haikal di sisinya.
Semoga.
Semoga saja sakitnya ini tidak bertambah sakit.
...
Buset!
Alurnya kenapa jadi aneh gini astaga😭😭😭