Rival dengan rombongannya kebut-kebutan di jalan bertujuan untuk mengejar rombongan Kenzo. Ia masih kesal dengan perangai bocah itu. Untung, Ducatinya bisa diajak ngebut. Genta, Lego, Gilang membuntuti Rival dengan kecepatan yang sama.
Rival, dulu sering balap liar, jadi kebut-kebutan di jalan sudah biasa. Apalagi hanya mengejar modelan Kenzo. Dengan gesit Rival menyalip lalu berhenti di tengah jalan sepi untuk menghalangi Kenzo dan satu temannya.
"BERHENTI LO KENZO! SKUY BAKU HANTAM!" seru Rival lalu melepaskan helmnya. Tangannya bergerak menyugar rambut sok keren. Ketiga temannya bak bodyguard yang senantiasa berdiri di sampingnya.
Kenzo dan satu temannya masih di atas motor dengan tertutup helm. Bukan fokus ke Kenzo, Rival malah fokus ke motor temannya Kenzo. Ia baru sadar, motor itu mahal sekali. Pasti bukan kaleng-kaleng yang punya.
Kenzo dan satu temannya melepaskan helm. Mata Rival membelalak kaget, mulutnya terbuka cengo menatap temannya Kenzo. Manusia itu ... pemegang gelar sad boy sepersultanan.
"Lo ngajak ribut gue?" tanya Rafan dengan gaya tengil. Rafan adalah temannya tapi berbeda sekolah, ada satu lagi sepupunya juga bernama Raka. Dulu, bahkan sampai sekarang mereka selalu dijuluki Tigo R.
Rival tertawa ngakak. "Ogah. Lo kalahan. Gue sentil pake jari aja tepar."
"Lo kenal, Val?" tanya Genta penasaran.
"Ck. Dia Rafan, orang yang gue ceritain itu. Pemegang gelar sad boy."
Lego dan Gilang meledakkan tawanya mendengar itu. Padahal menurut mereka, Rafan itu tampan dan keren sekaligus, mendekati kata sempurna.
"Heh mulut lo! Minta diulek!" ancam Rafan gregetan. Bacotan Rival selalu membuat rugi dirinya.
"Lo kenal dia, Fan?" tanya Kenzo.
Rafan mengangguk. "Sepupunya Raka."
"Hah?! Kok bisa Raka galak gitu, punya sepupu tukang bacot kek dia?" heran Kenzo. Ia juga dekat dengan Raka. Cowok itu sering nongkrong bersama Rafan, karena itu Kenzo juga kenal dekat.
"Woi mulut lo gue jahit juga ye!" pekik Rival tak terima.
Rafan tertawa ngakak. "Gue juga heran."
"Jadi gimana? Lo ngajak ribut gue?" tanya Kenzo pada akhirnya.
"Lo ngapain ngajak ribut dia, Val?" tanya Rafan. "Jangan bilang karena gabut! Gue hantam juga lo kalo bilang gabut."
"Mukanya dia songong. Pengen gue tonjok." Rival berkata dengan entengnya.
"Sahabat gue Cahya. Dia pacarnya," beritahu Kenzo santai.
Rafan tersenyum smirk. "Tunggu apa, Ken?! Rebut woi rebut! PHO in aja kan dapet pahala. Biar dia nemenin gue jadi sad boy."
"ANJENG SEKALEE! SETAN LO FAN!"
Rafan tertawa ngakak. Karena dari dulu yang selalu bernafsu menghinanya hanya Rival. Wajar saja ia ingin balas dendam.
Dering ponsel Rival terdengar nyaring. Dengan gesit Rival mengangkatnya saat melihat nama Si Matre terlihat.
"RIVAL!" pekik Cahya di seberang telepon. Refleks Rival langsung menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Santai woi! Ngapa lo teriak-teriak gue nggak budeg ye!"
"Gue pengen Bakso," ungkap Cahya dengan nada pelan. "Dari tadi gue kelaperan ga dikasih makan sama Abang gledek."
"Ngapain lo lapor gue? Gue bukan mas-mas tukang Bakso."
"Astaga. Kita pacaran harusnya simbiosis mutualisme, saling menguntungkan gitu!"
"Cod bacod."
"Astaga kasarnya! Kalo gue disitu, mulut lo udah gue tampar bolak-balik sampe monyong."
"Setengah jam gue sampe."
Cahya berteriak kegirangan. "Tambahin seblak, pizza, burger, red velvet, sekalian camilan ya, Val. Sangkyuuu."
"Setengah jam gue sampe rumah gue sendiri maksudnya."
Cahya mematikan sambungan sepihak. Mungkin cewek itu kesal. Rival terkekeh gemas sambil melihat wallpaper foto Cahya. Semua orang cengo melihat itu.
"Lo gila?" cetus Rafan tak habis pikir.
Rival menggeleng lalu memikirkan alasan yang pas untuk pergi. "Ributnya dicancel okey! Gue mau jalanin tugas negara." Rival naik Ducatinya kembali dengan raut santai. Tanpa basa-basi ia langsung mengendarai motor dengan kebut.
Lego, Gilang, dan Genta tak budeg. Ia jelas mendengar percakapan di telepon tadi.
"Mari kita susun rencana buat bunuh tuh orang!" usul Lego gregetan.
*****
Rival dengan susah payah menenteng segala makanan yang dipesan oleh Cahya. Tadi, dia sempat pulang untuk mengganti Ducati dengan mobil punya si kembar, agar mudah membawa barang. Dengan sogokan duit, dan segala rayuan, adiknya dengan pasrah meminjamkannya.
Pintu terbuka menampilkan wajah songong Guntur. Cowok berkulit sawo matang itu menelisik penampilan Rival dari atas sampai bawah.
"Astaga Gledek! Gue nggak bawa boom yakin deh. Gue juga udah mandi. Sekarang minggir gue mau masuk. Keburu Cahya kelaperan."
Guntur cengo melihat bawaan Rival, sangat banyak. "Lo mau jualan di sini?"
"Enggak! Gue ke sini mau mukulin lo," sinis Rival.
"Abang awas ih! Rival mau masuk," suruh Cahya yang baru saja datang. Dengan gesit langsung menyingkirkan Guntur.
"Lo jangan durhaka sama gue, Cay!" ingat Guntur.
"Durhaka aja, Cay. Abang macem apa dia, adeknya laper malah diem aja." Rival masuk ke dalam rumah sambil sengaja menubruk punggung Guntur.
"Untung gue sabar," puji Guntur pada dirinya sendiri lalu mengikuti kedua orang itu. Bahaya jika dibiarkan berduaan.
Cahya tersenyum girang melihat banyak sekali makanan. Ia tak menyangka Rival menuruti permintaannya.
"Lo nggak nyolong kan, Val?"
Rival berhenti lalu menatap sinis Cahya. "Gue ngemis di pinggir jalan!"
"Hah beneran?!"
"Ya enggak lah! Ya kali gue ngasih lo dari hasil minta-minta."
"Berarti lo nyolong?" Cahya berkata itu dengan teganya. Jujur, ia masih tak percaya, manusia yang suka ngutang macam Rival punya duit untuk membelikannya kuota dan jajan.
"Astaga Cahya, hina banget pikiran lo!"
"Gue mastiin. Nggak mau nanti sakit perut karena nggak halal."
"Halah sok-sokan. Lo gratisan dikit aja langsung embat."
Cahya menyengir. Kenyataannya memang seperti itu. Dia kaum gratisan.
"Gue mecahin celengan babi yang warna emas itu," ungkap Rival pada akhirnya. Ia tidak punya uang cash tadi. Daripada minta dengan si kembar, yang ada ia dihina. Papanya juga masih di kantor.
"Babi kan haram, Val! Duitnya ikut haram!" ucap Cahya sok tau.
"Astaga, begonya kebangetan. Itu celengan Cahya, bukan babi beneran."
Cahya menyengir sesaat. Lalu tertegun ketika menyadari sesuatu. "Lo ... sampe segitunya mau beliin makanan buat gue?"
"Nggak sih. Pengen aja mecahin celengan. Lagian celengan gue masih banyak, celengan brangkas juga belom dibuka. Itung-itung sedekah kepada kaum gratisan."
Cahya mengembuskan napasnya lelah. Ia sedang malas berdebat.
"Sini, gue bantuin," tawar Cahya melihat Rival kesusahan.
Rival menyerahkan semuanya ke tangan Cahya tanpa ragu-ragu. Cewek itu terlihat kesusahan.
"Ya nggak semuanya Rival!" geram Cahya. Ia menyesal telah menawarkan bantuan.
"Simbiosis mutualisme!" ingat Rival sambil cengengesan.
"Ini mah simbiosis parasitisme! Lo parasit! Merugikan!"
Rival tak peduli dengan ocehan Cahya, ia memilih pergi menuju ruang PlayStation milik Guntur.
Keduanya akur jika bermain game bersama. Rival dan Guntur fokus game di layar. Mereka bertanding untuk menunjukkan siapa yang hebat. Walaupun Rival, sih, yang sering kalah.
Cahya datang sambil membawa Pizza. Ia langsung mengambil tempat duduk di tengah-tengah antara Guntur dan Rival. Dengan santai memakan pizza sambil menonton permainan.
"Ekhemm ...." Rival berdeham keras sebagai kode.
Cahya paham lalu menyuapinya potongan Pizza dengan telaten. Baru kali ini, ia menyuapi cowok tengil itu. Dalam hati Rival berteriak kesenangan. Kalau gini caranya, ia rela semua celengan dibongkar.
"Gue bunuh juga lo berdua!" geram Guntur.
Keduanya masih tak peduli. Cahya fokus menyuapi Rival sambil sesekali mengelap saus di ujung bibir Rival dengan jarinya. Sedangkan Rival masih fokus nge-game dengan jantung yang jedag-jedug.
"Rasa-rasanya gue lagi cosplay jadi udara, ya?" gumam Guntur.
*
***
Thank you❤️ jangan lupa tekan bintang❤️