Song Dain
Ulsan, 23rd October 2018
Namjoon bertanya tentang tempat terbaik untuk melihat matahari terbenam, jadi aku mengajaknya untuk naik gunung.
Kami berencana untuk berangkat sekitar pukul lima sore, namun sebelum pergi ke sana, aku memutuskan untuk ke rumah terlebih dahulu untuk meletakkan sepeda dan mengganti baju. Aku juga berniat untuk membawa beberapa roti jika tiba-tiba lapar di atas sana.
Namjoon sedang duduk di kursi pada ruangan depan saat aku keluar dari dapur untuk membawakannya segelas air mineral.
"Terima kasih," ia tersenyum saat menerima mug keramik berwarna biru pastel berukirkan inisial H&D. Mug itu adalah mug couple yang aku buat dengan Haein tahun lalu.
"Sama-sama, aku akan bersiap-siap dengan cepat," ucapku lalu berjalan memasuki kamar.
Aku mengganti pakaianku menjadi terusan krem dan jaket rajut hijau lumut, kemudian menyisir rambutku.
Kuambil ponsel lalu memutuskan untuk menelepon Haein. Salah satu tanganku memegang ponsel, mendekatkannya di telingaku, dan tangan lainnya menyisir rambut hitamku yang panjangnya di bawah bahu.
Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan, ucap suara wanita dari ponselku. Aku mengernyit, lalu mengetik pesan untuk Haein.
Dain: Bagaimana klinik hari ini? Jangan lupa makan siang.
Aku menggigit bibir bawahku saat menyadari bahwa ia belum membalas pesan sejak semalam. Mungkin dia sangat sibuk.
***
Hujan telah berhenti dan langit sudah cukup cerah saat kami berjalan ke puncak, udara terasa lebih bersih dari biasanya. Namjoon berjalan pelan di sampingku, membawa tas kecil yang aku telah isi dengan roti.
Aku menatap ke depan, memandang jalan setapak kecil tak beraspal melandai di hadapanku, serta semak dan pepohonan yang tumbuh liar di ujung jalan.
Sudah nyaris tiga puluh menit kami berjalan, puncak tidak jauh lagi.
"Aku suka aroma tanah setelah hujan," ucapku pada lelaki itu, memecahkan keheningan yang sudah menyelimuti sejak tujuh menit terakhir.
"Namanya petrichor, bahasa Yunani. Dari kata petros yang artinya batu dan ichor, cairan yang mengalir di pembuluh darah para dewa. Menarik, bukan?" lelaki itu tersenyum tipis.
Aku menaikkan alisku, "cairan di pembuluh darah para dewa? Berarti darah suci?"
Namjoon mengangguk, "bisa dibilang begitu. Ichor berwarna biru, kau tahu di beberapa budaya ada istilah bahwa bangsawan itu berdarah biru? Sebuah kebetulan yang menarik."
"Kau suka mitologi Yunani?"
"Aku tertarik dengan mitologi Yunani sejak sekolah, semua ceritanya menarik, tentang cinta, perang, gairah, kehancuran, kebangkitan, penebusan dosa.. meski kisah ini ditulis ratusan tahun sebelum masehi, tapi ada banyak elemen yang bisa dilihat di dunia kita sekarang. Karakternya juga unik, mereka dewa-dewi tapi punya sifat yang manusiawi, egois."
Angin berhembus menerpa rambutku. "Jadi para dewa-dewi Yunani tidak ada bedanya dengan manusia?"
"Ya, mereka punya hirarki, suka melakukan power abuse, tidak rasional, suka berselingkuh," lelaki itu terkekeh. "Bedanya hanya mereka bisa berubah menjadi hewan dan mengutuk manusia."
Aku tertawa mendengarkan jawaban Namjoon. "Oke, aku tertarik. Aku akan baca tentang mitologi Yunani kapan-kapan."
"Jika kau butuh rekomendasi buku, telepon aku saja." Lelaki itu tetap berjalan meski aku seketika menghentikan langkah begitu mendengar ucapannya.
Apakah ini cara lelaki itu untuk meminta nomor ponselku? Jika ya, aku akui metodenya cukup halus. Mungkin dia berpengalaman dengan wanita.
Aku memutuskan untuk tidak menjawab, lalu kembali berjalan cepat agar tidak ketinggalan.
"Selain mitologi, kau punya hobi lain?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Ia menatapku, lantas mengangguk. "Membuat lagu."
"Sungguh?"
Namjoon memamerkan lesung pipitnya, "ya, kau mau dengar?"
"Jika kau tidak keberatan, tentu saja. Tapi nanti saja, kita sudah hampir sampai."
Tidak sampai tiga menit kemudian, kami mendapati palang yang menandakan bahwa ini adalah puncak tertinggi.
Terdapat sisi yang tidak dipenuhi pepohonan, lokasi yang sangat indah untuk memandangi matahari yang nyaris tenggelam. Di sisi itu, aku dapat melihat bentangan pepohonan dari hutan di bawah sana, beberapa kebun milik warga, serta sedikit bagian dari desa dan jalanan raya yang sepi.
Aku menoleh, mendapati Namjoon tersenyum lebar kala menyebarkan pandangannya.
Ia menaikkan tangan dan menunjuk ke salah satu sisi, "ada burung yang terbang di sana."
Aku mengikuti arahannya, lantas ikut tersenyum. Dia seperti anak lima tahun, bahagia hanya karena melihat seekor burung.
Kami berdiri dalam diam untuk beberapa saat, hanya mengagumi pemandangan di hadapan kami hingga cahaya matahari mulai memunculkan warna kemerahan, membuat langit turut berubah warna.
Lelaki itu kini menatapku, "Kau ingin dengar lagunya sekarang?"
"Boleh," jawabku.
Namjoon membuka salah satu sisi jaket parasutnya dan mengambil ponsel serta kotak airpods dari dalam sana.
Ia menatap ponselnya beberapa saat, kemudian memberikanku airpods bagian kanan. "Lagu yang sudah jadi atau yang masih dalam proses?"
"Di lagu yang telah jadi, apakah kau yang menyanyi?" tanyaku.
Namjoon mengangguk.
"Putar yang telah jadi," aku tersenyum dan memasang airpods yang ia berikan, tidak sabar mendengarkan lelaki itu bernyanyi. Jika menilai dari suaranya saat berbicara, sepertinya ia akan menyanyi dengan merdu.
"Tapi jangan berekspektasi tinggi," ucapnya sembari terkekeh saat memasang airpods bagian kiri di telinganya.
"Sudah terlambat."
Beberapa detik kemudian, suara rintik hujan terdengar di telingaku. Aku menaikkan satu alis, mendengar dengan saksama hingga akhirnya suara keyboard bernada tinggi yang lambat muncul, diiringi suara dengungan synthesizer.
Tak lama, aku kemudian mendengarkan suara berat lelaki itu.
Kuharap hujan turun seharian, karena aku ingin seseorang menangis menggantikanku, begitu lirik pembukanya.
Angin berhembus dari barat. Dapat kulihat beberapa ranting bergoyang santai dan sekumpulan burung terbang berputar-putar, seolah alam pun turut mendengarkan irama itu bersamaku.
Tak seperti ekspektasiku, ternyata lelaki itu bukannya bernyanyi, tapi rap. Namun rapnya tidak agresif, malah terdengar menenangkan. Aku bukan penggemar hiphop, jadi aku tak tahu banyak tentang rap dan juga jarang mendengarkannya. Mungkin ini pertama kalinya aku menyukai lagu rap.
Selama lagu itu terputar, aku hanya termenung. Aku hanyut dalam setiap kata yang ia tuturkan dalam lagu itu. Pemilihan katanya sangat indah hingga nyaris seperti musikalisasi puisi.
Begitu lagu selesai, matahari telah meninggalkan kami. Aku selalu kecewa akan fakta bahwa matahari tenggelam begitu cepat, hanya dalam seratus lima puluh hingga dua ratus detik, kalau tidak salah ingat. Mungkin semesta menyiratkan bahwa hal yang indah memang tidak ditakdirkan untuk hadir selamanya.
Aku menoleh pada Namjoon. Meski sudah cukup gelap, aku masih dapat melihat ekspresi gugupnya karena menunggu komentarku.
"Aku sangat suka."
Mendengar ucapanku, lelaki itu menghela napas lega dan memegang dadanya. "Ah, dahaengida." (syukurlah).
"Terima kasih atas lagunya, kau membuat sunset jauh lebih indah dan damai dari biasanya," aku tersenyum tulus.
Sudah dua tahun aku hidup di desa ini, dan selama itu pula aku menemukan ketenangan di tempat ini.
Namun hari ini aku merasakan sesuatu yang lebih dari itu, lebih dari tenang. My heart is full of greatness and complete happiness; a bliss.
***
COCWIT BANGET NGESUNSET BARENG:(
aku kapan wkwkwkwk
Question of the Day: Do you like sunset or sunrise better?
AKU SUNRISE JUJUR padahal aku bukan morning person tapi kadang aku usahain bangun subuh buat liat sunrise hahahaha
ANYWAY SEE U TOMORROW
Xx,
Jysa.