ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

β€’ T E L A H T E R B I T β€’ Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

Epilog; Aksa

2.2K 405 95
By ssebeuntinn

"Kisah lama kadang ada untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk diulang. Ada yang datang untuk menetap, ada pula yang datang lalu lenyap."


Here we go again.

Masih dengan seorang Aksa Adhitama yang gagal move on, bujangan paling berumur di kontrakan, papi penggantinya Bocils, dokter pribadinya tujuh mahasiswa kucel dan kecengannya Pak Bima, si penguasa bangunan Andromeda mutlak dan yang mulia bagian penagihan uang sewa.

Gue jujur gak ngerti kenapa Pak Bima demen banget jodohin gue sama Teh Alina. Walaupun anak sulungnya itu seumuran sama gue, tetep aja berat hati gue kalau panggil dia langsung pakai nama. Bayu udah kepalang mupeng naksir sama itu perempuan, tapi Pak Bima malah kencang kirim sinyal ke gue sejak lama. Seolah stok laki-laki mulai menipis dan takut anak gadisnya itu gak kebagian. Mungkin karena faktor pekerjaan gue yang lumayan dibilang mapan dan menetap, prospeknya bagus untuk kehidupan masa depan. Apalagi di kontrakan cuman gue yang punya moge yang katanya sangar, lainnya pakai matic dan sepeda doang. Belum tahu dulu DP-nya hutang dulu ke Mama, sampai sekarang pun cicilannya masih belum lunas.

Gue juga gak ngerti kenapa mahasiswi kampus sebelah memang suka bisik-bisik ketika gue lewat mau berangkat kerja. Bukan bermaksud sok ganteng, tapi memang gue ganteng dengan alasan karena mama lahirin gue dengan jenis kelamin laki-laki bukan perempuan. Cakep itu relatif. Apa gunanya tampang tampan kalau pasangan pun belum bisa digandeng tangan?

Sumpah. Ngenes banget gue gak bisa lupa sama bini orang.

Pertemuan gue dengan Adisa sekarang bagaikan benang kusut yang gak tahu ujungnya di mana sebab gue gak bisa lagi menemukan titik awal dan titik ujung bagaimana gue harus segera mengakhiri kisah ini. Bayangan klise masa lalu selalu datang sewaktu gue memutuskan untuk mulai bergerak maju, seolah menarik gue kembali lagi dan lagi berulang kali. Dan jujur gue capek banget karena mengharapkan apa yang gak mungkin bisa lagi gue genggam. Jangankan gue genggam, berpikir bisa mengulang masa lalu aja kedengarannya sudah sangat mustahil. Mimpi doang digede-gedein, padahal realitanya sama sekali gak berpihak.

Orang dengan mudahnya bilang 'cari yang lebih baik' atau 'ngapain buang-buang waktu'. Kalau pada kenyataannya inilah titik di mana zona nyaman gue berada, mereka bisa apa? Kalau gue memutuskan untuk berdiam diri di tempat yang sama sejenak, apa mereka akan mengerti alasan gue gak ingin berpindah ke mana-mana? Apa mereka akan paham kalau Adisa akan selalu jadi tempat gue pulang selain rumah dan Andromeda?

Yang lebih lucu lagi ketika semesta menentang gue di saat gue lagi gak siap, Adisa datang lagi dengan kabar yang bikin gue jatuh sejatuh-jatuhnya.

"Aksa, lahir cewek, nih. Namanya Raisa."

Pesan itu gue dapatkan ketika jam pulang kerja. Kebetulan sore itu lagi gelap kayak mau hujan, tapi sampai besok paginya hujannya gak ada datang sama sekali. Iringan awan kelabu mengantar gue pulang dengan kehampaan dan kebisuan. Gue gak menyapa anak-anak pas sampai di kontrakan agak malaman, sekitar jam tujuh. Bayu yang peka pertama kali ketika gue masuk kontrakan dengan wajah datar dan menenteng bingkisan yang ukurannya lumayan dengan kartas kado yang motifnya berbentuk pelangi dan awan dengan background warna merah muda. Pasalnya, selama gue tinggal di sini selama beberapa tahun, dua-tiga tahunan kayaknya, gue gak pernah kasih kado ke siapapun pakai bungkus yang terbilang norak kayak gini. Biasanya pakai kotak minimalis dengan balutan warna gelap tanpa motif.

"Masak mi warkop, yuk? Tapi pinjemin dulu piring ke Pak Bima yang agak gedean. Di sini gak ada yang muat."

"Bocils sini, deh. Gue kasih tugas masing-masing biar lo lo pada gak gabut amat jadi manusia."

"Mau hujan, bagi cucian yang belum diangkat cepetan diangkat. Mampus lo besok kehabisan sempak."

Bayu mendadak jadi ibu-ibu rumah tangga yang punya anak banyak gara-gara tahu gue lagi gak siap menerima pertanyaan kenapa baru pulang jam segitu terus diem-diem aja. Gue ingat betul tatapan Bocils waktu itu yang lagi kepo tapi ditahan. Bastian disuruh ke warung beli micin, Delvin disuruh buang sampah di belakang dan Chandra disuruh siram tanaman yang ada di balkon pakai ember dan gayung. Karena dia penghuni paling muda dan tipe mau-mau aja, jadilah dia babu dadakan.

Sayangnya, Juna waktu itu ada di kamar dan gak sengaja papasan pas gue sampai di lantai dua menuju kamar gue sendiri. Dia lihat gue berhenti sebentar di tengah koridor dan gue kegep lagi buka galeri lama.

"Foto bini orang disimpen mulu lo, Bang."

Karena gue tengsin, jadinya gue berkilah. Cari alasan pokoknya supaya gak ngenes amat pandangin foto-foto lama Adisa sewaktu kita kencan. Dulu. Yah, repot kalau berurusan sama masa lalu yang bayangannya belum bisa kabur. Kenangannya menetap dan diingat, tapi orangnya udah minggat.

"Namanya aja move on. Move kan pindah artinya. Lo gak perlu maksa buat melupakan, Bang, karena ya memang gak bakalan bisa lupa. Ketika lo suka sepenuh hati sama seseorang, rasa itu bakal menetap. Tapi, lo selalu punya sisa celah buat diisi orang baru."

Bagi gue omongan Juna adalah tamparan. Alasan gue gak bisa pindah ke lain hati karena gue memang kurang niat dan selalu berharap pada siklus yang sama; Adisa bisa jadi milik gue lagi selayaknya waktu itu. Di sisi lain gue masih gak terima dengan takdir yang gue dapat. Entah karena gue terlalu lambat bergerak atau Adisa lah yang terlalu cepat memutuskan untuk meninggalkan gue dan menikah dengan orang lain. Mungkin kalau dia masih dalam status sebagai pacarnya orang, gue gak akan terlalu kayak gini.

Tapi, Adisa sekarang sudah jadi seorang ibu...

Pesannya sore itu gak gue balas. Masa bodoh dengan tanda 'terbaca' yang akan kelihatan di ruang chat. Gue hanya ingin waktu sendiri dan entah kenapa refleks gue justru berakhir berdiri di sebuah toko perlengkapan bayi dan memutuskan untuk membeli satu set peralatan makan beserta beberapa pasang baju dan keperluan mandi bayi.

Hati gue udah gak tahu kayak apa bentuknya. Selama seminggu gue biarkan bingkisan itu menganggur di atas meja kamar, tempatnya tepat di sebelah miniatur Menara Eiffel yang Adisa kasih sewaktu kita masih pacaran. Sampai pada waktunya gue datang ke rumah Adisa sebagai tamu dengan status yang memilukan.

"Sa, Raisa lagi tidur. Gak bisa lo gendong, deh."

Adisa bicara sambil bawa nampan berisi satu stoples keripik pisang yang ditaburi gula halus dan secangkir teh yang asapnya masih mengepul. Gue gak tahu kenapa alam jahatnya kebangetan kayak gini. Di saat giliran gue bertamu ke rumah Adisa, kenapa harus sederas ini hujannya? Biar gue gak bisa pulang terus lihat dua sejoli yang baru dikaruniai momongan memadu kebahagiaan? Biar luka di dalam diri gue terasa semakin nyata kayak luka ditaburi garam?

"Adam tadi mana, dah?"

"Masih mandi. Tadi sempat beres-beres pekarangan belakang terus lo dateng."

Gue berani bersumpah kalau Adisa jadi makin cantik banget ketika selesai melahirkan. Ungkapan yang katanya mantan akan kelihatan lebih cantik sewaktu putus itu aja sudah berlaku buat gue, ditambah aura-aura keibuan yang muncul semakin membuat wajah Adisa berseri-seri. Dulu, gue sering tepuk-tepuk pipinya karena dia memang gemesin. Sekarang gue tepuk-tepuk paha gue dengan alasan kedinginan, padahal sebagai pengalihan karena bisa digampar Adam kalau gue sampai pegang-pegang bininya.

Gue gak kuat, pengin nyerah.

Mau nangis aja, huhuhu.

"Dis, ada bingkisan buat Raisa." Tangan gue otomatis terulur untuk memberikan kado yang gue beli jauh-jauh hari sebelumnya. Munafik namanya kalau gue gak pengin lempar itu barang supaya Adisa paham kalau ini merupakan satu bentuk kekecewaan gue yang belum bisa menerima takdir. "Selamat datang ke dunia buat Raisa juga. Semoga dia bisa jadi anak yang bisa bawa nama baik keluarga dan jadi pribadi yang kuat ngadepin kehidupan yang suka bercanda kayak gini."

"Aksa kenapa repot-repot, sih?"

Gue jadi membantin. Julid ceritanya. Ya, kali gue ke sini tanpa bawa apa-apa entar disangka mau ketemu ibunya doang...

Walaupun konteksnya memang pengin ketemu Adisa, sih, bukan sama si Adam juga.

Tuhan... tolong maafkan hamba-Mu ini yang memang hilang akhlak masih suka istri orang.

"Itu buat Raisa kali, bukan buat lo," sanggah gue. "Jadi lo gak usah merasa sungkan. Lo sendiri yang bilang waktu itu kalau gue bakalan jadi paman... dan sekarang keponakan gue udah lahir."

Jiah... paman doang, bukan ayah biologis. Cuman keponakan, bukan anak kandung. Kasihan banget gue.

"Aksa, makasih banyak."

Adisa terlihat gembira. Ya, paling alasan gembiranya karena lahiran pastinya, bukan karena kado dari gue. Gue gak boleh merasa besar kepala walaupun Adisa memang sempat elus-elus bingkisan dari gue sebentar, mungkin menebak apa isinya. Insting cewek serem. Kemudian kepalanya mendongak. Jantung gue nyaris jatuh menggelinding di lantai ketika dia berucap lagi.

"Dan selamat ulang tahun... semoga lo juga tetap jadi Aksa yang gue kenal dan makin bertambahnya umur... semoga lo selalu menemukan kebahagiaan di mana pun lo berada."

Tanpa sadar gue diam lama. Diam yang kayak... mikir? Merenung? Kaget? Yang jelas perasaan gue mendadak jadi hangat seiring hawa dingin yang menusuk dan datang lewat pintu depan rumah Adisa. Gue bertanya-tanya, kenapa jadi semakin rumit? Kenapa jadi semakin susah untuk melepas apa yang bukan punya gue lagi?

Kalau orang bilang gue adalah sosok gentle yang kuat dan perkasa, mereka keliru. Gue justru menganggap diri gue rapuh dan gak pandai mengontrol ledakan emosi. Bukan emosi yang condong ke arah marah-marah, tapi lebih ke suasana hati yang bisa jadi berubah sangat buruk atau sebaliknya. Jujur, gue sendiri bingung kenapa anak-anak lain anggap gue sebagai sosok pemimpin di saat gue aja gak bisa mengatur perasaan gue sendiri. Gue gak bisa mengatur keinginan gue kapan waktunya lanjut ataupun berhenti. Gue bodoh memahami diri gue sendiri, tapi kenapa mereka selalu mengelu-elukan gue yang jadi manusia lemah kayak gini?

"Lo... masih inget ulang tahun gue?"

"Iya gimana gak inget... Raisa lahir di tanggal yang sama sewaktu lo ulang tahun."

Runtuh pertahanan gue. Pengin lenyap aja dari rumah Adisa dan hilang sampai gak pernah ditemukan oleh dia lagi. Adisa bodoh banget, gue gak paham lagi maksud dia apa sekarang. Oke... gue terima anggapan gue yang bodoh sewaktu ajak dia makan rawon terus bapernya ikutan. Tapi, sekarang gue anggap Adisa yang bodoh kebangetan dan egois.

"Sayangnya, bukan anak gue. Jadi gak begitu berkesan lah, ya... hahaha." Gue hanya mampu tertawa hambar.

Adisa sepertinya sadar dia terlalu banyak bicara. "Ayo, diminum dulu." Dia canggung dan juga tiba-tiba kikuk.

Akhirnya keheningan mengisi jarak di antara kita berdua. Sampai beberapa menit kemudian Adisa disibukkan dengan menatap ke arah luar, sedangkan gue pura-pura main HP. Entah aplikasi apa yang gue buka pokoknya gue gak boleh kelihatan nganggur. Sampai Adam muncul dengan handuk yang dipakai untuk menutupi kepalanya yang habis keramas. Dia senyum ke gue, walaupun gak kenal-kenal banget tapi dia pasti tahu dan paham betul gue siapa. Eksrepsinya semringah, sebuah keuntungan yang bisa gue simpulkan dan bisa jadi tanda kalau kehadiran gue di sini diterima. Tinggal gue yang harus tahu diri.

"Sa," Adam memanggil penggalan nama gue dan juga tentunya nama Adisa. Tentu saja kita berdua menoleh di saat yang bersamaan. Kemudian Adam sadar. "Maksud gue lo," ungkapnya sembari memandang gue langsung tepat di mata, "sering lupa penggalan nama kalian sama."

Gue mah haha-hihi miris aja dalam hati.

"Congrats, ya. Lo udah gol sekali, nih. Besaran dikit, bisa lo jebol lagi biar nambah satu."

Adam tertawa dengan jokes ala papa-papa muda. Dia duduk di sebelah Adisa dan gue kembali menundukkan pandangan ke arah teh hangat gue yang baru gue seruput dikit. "Tadi habis bersih-bersih, gak tahu lo datang jam segini."

"Mumpung free di apotek. Kerjaan juga udah kelar."

"Soalnya Adisa bilang kemarin lo mau mampir."

"Kemarin ada rapat dan gue harus urus beberapa hal juga. Ribet banget mana anak kontrakan juga lagi pada hectic diterpa cobaan semester akhir."

Gue gak lagi memerhatikan Adisa ketika Adam mengajak gue ngobrol. Orangnya malah masuk karena mendengar suara tangisan Raisa. Padahal gue berharap si bayi gak berbuat ulah, dengan begitu gue bisa selamat sampai pulang tanpa harus membuang waktu untuk sekadar menggendong sebentar. Sakit hati gue, cuk. Ini kepala gue sudah mau meledak rasanya.

Raisa Adithama.

Harusnya itu nama belakangnya.

Berulang kali gue menggumamkan kata tanya kenapa karena masalah di mana Adisa jadi sumbernya. Lalu kali ini gue bertanya lagi.

Kenapa anak Adisa dan Adam harus dikasih nama Raisa?

Kenapa Adisa pakai nama yang gue impi-impikan jadi nama anak gue nantinya?

Gue mulai menganggap Adisa sangat kurang ajar. Terlepas apapun alasan dan tujuannya, gue dulu pernah singgung ini berulang kali kalau gue pengin punya anak cewek yang gue beri nama Raisa. Syukur-syukur kalau Adisa sungguhan jadi ibunya dan gue jadi bapaknya, bisa jadi keluarga Triple "sa". Memang Triple "sa", sih... sayangnya, bapaknya bukan Aksa tapi Adam.

Sewaktu adisa ke kamar anaknya, gue ada inisiatif tanya ke Adam. "Nama anak lo cantik banget, artinya apa? Kedengerannya sih bagus."

"Adisa yang minta kasih nama itu, Sa."

Gue mulai membenci keadaan saat ini. "Oh, ya?" Dengan pura-pura terkejut dan antusias, gue tanya lagi. "Adisa yang kasih nama?"

"Ayesha artinya pemimpin."

Gue tahu, Adam. Percaya sama gue kalau arti nama itu gue tahu dan sangat paham melebihi lo lebih dulu.

Gue membenci Adisa mulai detik ini. Bukan benci seperti pada musuh atau lawan, tapi lebih ke arah membencinya untuk hal-hal seperti ini. Kenapa dia gak bisa menyisakan setidaknya satu kebahagiaan buat gue sewaktu dia menemukan belahan jiwanya? Kenapa Adisa selalu merenggut tanpa sisa harapan gue? Kenapa Adisa... bertingkah seolah semuanya baik-baik saja?

Apa karena gue diam jadi dia kira gue oke aja sama kenyataan yang ada?

Apa karena gue kelihatan biasa saja makanya dia bisa dengan asik bicara ini itu tanpa disaring duluan?

"Raisa mau gendong Om Aksa? Iya? Mau gendong ya?"

Sialannya, Raisa beneran bangun.

"Dis, gue takut gendong anak bayi." Belum sempat Raisa disodorin ke gue, gue menolak ujaran tersirat Adisa yang baru kembali dari kamar. Ogah gue gendong bayi yang gak mengerti apa-apa lalu membencinya juga hanya karena gue gak bisa mengatur perasaan gue yang campur aduk.

Dengan segala penolakan yang terus gue utarakan, maka Raisa gak jadi gue gendong. Gue hanya bergeser kursi lantas melihat wajah bayi Adisa dari dekat dan jelas. Gue sadar posisi gue gak pas, tapi detik itu juga gue beneran butuh ruang supaya air mata gue bisa mengalir bebas.

Gue mengirim pesan singkat ke Bayu supaya dia pura-pura telepon gue sekarang juga secara sembunyi-sembunyi. Biar ada alasan gue harus cepat-cepat pulang walaupun di luar hujan masih mengguyur deras. Untungnya Bayu senantiasa paham dengan kode rahasia gue. Dulu pas tahu Adisa sudah menikah, dia yang temenin gue di kafe tengah malam buat nge-galau. Sekarang gue butuh Bayu lagi sewaktu tahu betapa miripnya Raisa dengan ibunya.

"Halo?" Gue menyahut tepat setelah ponsel gue berdering. Bayu terdengar gusar dan cerewet dengan tanya ada apa, tapi gue tetap ngegas bicara tanpa henti. "Oke, habis ini gue ke sana. Masih hujan sih, tapi bisa gue terobos aja. Suruh Chandra nunggu di kamar, pasangin kakinya kaos kaki." Lalu teleponnya gue tutup. Entah Bayu paham sepenuhnya apa gak, yang penting semuanya bisa gue jadikan alasan untuk gak berlama-lama lagi di sini.

"Ada apa, Aksa?" Adam tanya, disusul Adisa yang juga mengalihkan pandangannya ke gue. Raisa lagi anteng banget, pengin gue cium pipinya yang gembul tapi niat itu gue urungkan.

Gue mulai beres-beres. Udah gak tahan. "Anak kontrakan gue ada yang sakit. Yang lain pada gak ngerti cara nanganinnya dan sediaan obat semuanya ada di tas yang gue bawa. Gue harus cabut jadinya."

"Loh, gue abis ini mau ajak lo makan padahal." Adam terlihat kecewa dan demi apapun dia sama sekali gak menampakkan raut wajah gak suka ke gue yang berstatus sebagai mantan pacar istrinya. "Udah gue order, paling habis ini dateng."

Giliran Adisa yang bersuara. "Sebentar aja gak bisa apa, Sa?"

"Aduh, kalau bisanya sih bisa aslinya. Cuman gue gak tega. Chandra kalau lagi demam anaknya rawan kejang. Masalahnya udah dari kemarin panasnya gak mau turun, obatnya mungkin minta diganti atau tambah antibiotik. Jadi gue mau cek dulu sebelum putusin mau bawa dia ke RS apa gak."

"Pinjam mobik gue apa gimana buat bawa temen lo ke RS? Hujan soalnya."

"Gak usah, Dam. Semoga gak kenapa-napa."

Maaf, Chan... gue bukan doain lo panas sampai kejang, ya. Tolong pahami posisi gue di sini yang udah kayak di neraka.

Gue pegang sebentar tangan Raisa sebelum pamit. Bagaimanapun, dia gak ada kaitannya sama ini semua. "Om pulang ya, cantik. Kapan-kapan main ke sini lagi bawa mainan." Seperti mengerti, Raisa bergerak dan menggeliat di balik selimut yang membungkus tubuhnya. Jari telunjuk gue dia genggam balik. "Cantiknya... gak mau Om pulang, ya? Aduh. Gemes banget, kamu pengin Om culik aja."

Pembelajaran penting, nih. Kalau lo punya daftar nama anak yang bagus dan udah saling tukar informasi tentang ini pada pasangan, jangan sepenuhnya berharap. Karena sekalinya kalian gak jadi bareng, maka nama itu akan menjadi milik salah satu di antara kalian tanpa ada perjanjian terlebih dahulu siapa yang lebih pantas pakai.

Gue gak bisa lagi kasih nama Raisa ke anak perempuan gue nanti karena Adisa memilih merebutnya. Gue gak tahu, kata merebut di sini sesuai konteks apa gak, yang jelas impian gue merajut untaian huruf untuk nama buah hati gue sudah gugur.

"Adam, Adis, gue pamit ya. Sehat-sehat kalian."

Ada harapan kalau salam barusan jadi salam terakhir sebelum gue nekat naik motor menggunakan mantelㅡyang gue rasa akan tetap kebasahan karena hujannya deras banget. Gue gak pengin putus hubungan sama keluarga mereka, tapi gue juga butuh waktu untuk menyembuhkan diri gue yang gak kunjung sembuh. Terlebih lagi, rasa-rasanya akan sulit melihat Raisa tumbuh besar dengan status sebagai anak Adam dan Adisa.

Gue memang bertahan di zona nyaman gue sekarang, yaitu menikmati proses move on yang gak tahu akan memakan waktu berapa lama. Gue memang mengakui kalau Adisa jadi tempat pulang gue, tapi mulai saat ini mindset kayak gitu harus gue ubah. Gak mungkin gue akan selalu mengejar kepemilikan orang lain. Gak mungkin juga gue terus menyakiti diri sendiri dengan melihat kebahagiaan semu yang sebenarnya justru malah jadi bumerang.

Tempat pulang gue cuman Andromeda, di mana ketika gue belum berdamai dengan dunia, di sanalah tempat paling aman untuk sembunyi dan menemukan ketenangan.

Gak perlu buru-buru sampai di kontrakan. Justru gue ingin menikmati bagaimana rasanya tetesan hujan membasahi seluruh mantel dan motor gue sampai bisa tembus ke pakaian. Gue pengin basah kuyup supaya gue bisa berpikir lebih jernih. Kalau ada obat yang aman untuk amnesia, mungkin gue udah stok banyak di kamar. Beban gue karena Adisa jadi semakin bertambah dan gue ingin melupakannya.

Tanpa sadar, untuk sekarang kontrakan juga gak lagi baik-baik saja. Baru ingat kalau Joshua melarikan diri dari anak-anak karena hubungannya yang rumit.

Tempat pulang gue tiangnya runtuh satu. Lantas kalau gue terlalu fokus sama masalah gue sendiri... siapa yang bisa kuatin anak-anak? Siapa yang pimpin mereka supaya tetap melangkah pada jalan yang seharusnya? Siapa yang akan jadi tonggak utama Andromeda?

Bayu terlihat khawatir sewaktu gue sampai garasi. Dia udah siapin payung untuk gue bawa menuju dalam kontrakan.

"Bangㅡ"

"Gue gak terima pertanyaan, Yu."

"Udah gue cegah berkali-kali, kan? Buat apa dateng ke sana? Buat apa lo jenguk anaknya? Sekarang lo yang susah, Bang. Lo otomatis akan merasa kalau semua kebahagiaan lo udah dibawa pergi sama dia. Lo keliru kalau menganggap lo bisa baik-baik aja ketika lihat anaknya. Kenapa lo terus datengin sumber sakit hati lo, sih? Goblok namanya."

Gue belum turun dari motor, hanya lepas helm yang spons bagian bawahnya kebasahan. Mantel juga belum gue lepas, tapi gue udah dapat ceramah dari Bayu habis-habisan. Sisi cengeng gue selalu keluar ketika bersama Bayu. Dulu sewaktu di kafe juga gue nangis. Sekarang gue gak bisa menahannya lagi.

"Bang, lo tau sendiri gue pulang selama beberapa hari ketika Teh Alina lamaran. Senakal-nakalnya gue, tetep gak bisa lihat orang yang gue suka pada akhirnya bareng sama orang lain. Gue saranin lo harus balik dulu, ambil cuti, Bang."

"Kalau gue balik, kasihan anak-anak. Lo lupa Joshua juga lagi gak ada?"

Bayu bungkam. Urusan Joshua begitu sensitif di kalangan penghuni sampai-sampai semuanya jadi merasa bersalah.

"Tapi lo juga butuh sembuh."

"Kisah lama kadang ada untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk diulang. Ada yang datang untuk menetap, ada pula yang datang lalu lenyap." Gue mulai menetralkan napas setelah memutuskan untuk berhenti menyesali semuanya. "Adisa udah lenyap, Yu. Yang ada sekarang cuman kalian. Gue berusaha jaga kalian sebagai media sumber penyembuhan rasa sakit gue. Adisa udah punya suami dan anak, gue cuman terus menyangkal aja dari kapan hari. Gak beneran niat buka hati lagi."

"Get well soon ajelah, Bang." Bayu menutup pembicaraan. "Jangan sampai lo sakit fisik pokoknya. Sakit hati mah urusan lo pribadi, kagak mau tau gue. Capek."

Ini nih modelan teman yang nanti bisa kena azab. Coba kalau yang datang ke garasi si Danu, pasti gue dibekalin quotes sampai telinga gue berbusa. "Enyah lo sana. Entar gue nyusul."

"Lo galak-galak gitu makin nambah tuh kerutan mata. Jadi bujang lapuk kapok lo."

Gue hanya tersenyum samar. Sepeninggal Bayu yang keluar dari garasi sambil bawa payung, gue lepas mantel dan sepatu gue yang sudah basah kuyup gak karuan. Kayaknya memang sudah kebiasaan kalau galau gue galau bawaannya langsung pesan ketoprak. Gak tahu deh itu bentukan ketoprak kayak gimana di jok motor karena gue tinggal bertamu ke rumah Adisa tadi. Kalau jadi benyek... ya sudahlah. Takdir gue hari ini sungguh banyak kesialan yang datang.

Gue melirik sekilas ke arah jok yang terbuka. Di sana terselip buku dengan sampul warna putih. Lupa gue sejak kapan ada di situ karena baru gue sadari itu salah satu buku koleksi gue dari Fiersa Besari yang memang suka gue bawa ke mana-mana. Isinya gak berat macam buku-buku yang Danu baca, tapi untuk gue buku itu masuk kategori sumber luka sekarang.

Judulnya Garis Waktu: Sebuah Perjalanan Menghapus Luka.

Bagi gue di dalam buku itu tersimpan nama Adisa yang akan jadi pengisi 'Garis Waktu' versi kisah hidup seorang Aksa.

Gue setengah tertawa. Bahkan di saat begini gue sempat-sempatnya ingat satu lagu yang semakin bikin gue bucin Fiersa, karena lirik lagu doi selalu tepat menusuk ulu hati.

Kenangan memburai bersama wangimu.
Yang singgah dikala hujan.
Tawa dan tangisan yang kita lalui.
Kini sebatas sejarah.

Kau yang terbaik.
Kau yang terindah.
Kau yang mengajari arti jatuh hati.
Kau beri harap lalu kau pergi.
Garis waktu takkan mampu menghapusmu.

Kau pernah menjadi pusat semestaku.
Segalanya kuberikan.
Sekarang kita hanya dua orang asing.
Dengan sejuta kenangan.

Sudah saatnya gue mengucapkan sepenggal kalimat penting sebagai niat utama. Semoga gue bisa baik-baik aja ke depannya.

Selamat tinggal... Adisa.



ㅡ e p i l o g ㅡ



Halo! Makasih untuk semua pembaca yang udah baca sampe chapter ini ya! Komentar kalian aku baca di tiap chapter, tapi belum sempat balas satu-satu yang jadinya bikin aku jarang interaksi sama kalian lewat sesi cuap-cuap curhatan😭

Anyway playlist Andromeda link-nya udah kutaruh di bio ya, hehe.

Continue Reading

You'll Also Like

52.9K 3.9K 31
☾ warsa OO - O1. ❝ tak selamanya yang tertawa bersama, akan selalu bersama. karena aka...
30.4K 2.7K 9
β€’Seri pertama dari serial "Detective Yoshi"β€’ Pernahkah terlintas dalam pikiran kalian bagaimanakah keseharian seorang detektif polisi? Kiyoshirou Ike...
1.4K 200 3
Ada satu orang yang menunggu untuk mati; -karena dia sudah hidup lebih lama dari selamanya.
224K 53.2K 60
bagi lino, jisu adalah satu-satunya. ft. lee know, lia. est. 2020 ⚠️ violence, murder, harsh words, lowercase, unrevised