Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]

By LindaUtami919

4.5M 390K 32.1K

CERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya me... More

Prolog.
H.U.A satu🍓
HUA dua🍓
HUA tiga🍓
HUA empat🍓
HUA lima🍓
HUA enam 🍓
HUA tujuh🍓
HUA delapan🍓
HUA sembilan🍓
HUA sepuluh🍓
HUA sebelas🍓
HUA dua belas🍓
HUA tiga belas🍓
HUA empat belas🍓
HUA lima belas🍓
HUA enam belas🍓
HUA tujuh belas🍓
HUA delapan belas🍓
HUA sembilan belas🍓
HUA dua puluh🍓
HUA dua puluh satu🍓
HUA dua puluh dua🍓
HUA dua puluh tiga🍓
HUA dua puluh empat🍓
HUA dua puluh lima🍓
HUA dua puluh enam🍓
HUA dua puluh tujuh🍓
HUA dua puluh delapan🍓
HUA dua puluh sembilan🍓
HUA tiga puluh satu🍓
HUA tiga puluh dua🍓
HUA tiga puluh tiga🍓
HUA tiga puluh empat🍓
HUA tiga puluh lima🍓
HUA tiga puluh enam🍓
hi, ust Agam [proses terbit]
give away novel Hi, ust Agam!
PO novel Hi, ust Agam!
yok ikutan PO
Edukasi
HUA spesial offer
Webseries Hi ustad Agam
tayang + PO hi ust agam

HUA tiga puluh🍓

76.9K 10.6K 1.8K
By LindaUtami919

Hari ini adalah hari dimana tinggal beberapa jam lagi Houl Majemuk dan Akhirusanah Pondok Pesantren At-Ta'aruf.

Tenda megah sudah berdiri di tengah lapangan sekolah Madrasah Aliyah At-Ta'aruf. Pagar besi yang dijadikan pembatas antara siswa dan siswi sudah dibuka. Karpet merah pun juga turut serta dalam mempercantik acara ini. Nuansa green white adalah tema utamanya.

Di acara ini baik santriwan maupun santri wati dikumpulkan menjadi satu. Tentunya ada jarak satu meter sebagai jalan juga pembatas pembeda antara laki-laki dengan perempuan.

Seluruh santri sudah tampak rapi terlebih mereka yang akan berpisah. Ini adalah buah yang di petik dari usaha keras yang mereka lalui selama ini. Wajah-wajah bahagia dan bangga turut menghiasi seluruh orang tua.

Mungkin di antara ribuan orang ini hanya satu orang yang hatinya gelisah, sakit, hancur. Dahulu ia sangat ambisi untuk menjadi yang terbaik namun sekarang ia sudah tak peduli lagi.

Gadis itu mengenakan dress muslim soft green dengan renda di bagian dada hingga lengan juga ada helaian kain tile di kedua sisi bahu yang memberi aksen karakter tersendiri. Sedangkan untuk hijab, hanya memakai pasmina warna senada dengan gaya berlayer memberi kesan playful tapi tetap manis untuk suasana formal.

Meski sederhana yang di kenakan, justru membuat ia semakin terlihat elegan dan dewasa. Namun sayang, wajah lesu terlalu mendominasi.

Bagaimana tidak! Satu-satunya laki-laki yang mampu menarik perhatiannya, mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik lagi, laki-laki yang pernah menjadi mimpi untuk menjadi imam di sholatnya nanti, ternyata jodoh kembarannya sendiri.

Sakitnya menembus jantung, membelah hati menjadi kepingan koral. Apakah ia sanggup menerima ini semua? Laki-laki yang dianggap spesial sebentar lagi akan menyandang status kakak ipar.

Dan bukan tidak mungkin lagi mereka berdua akan tinggal serumah dengannya yang otomatis memaksanya untuk menyaksikan rumah tangga kembarannya dengan laki-laki yang sampai saat ini masih setia singgah di hatinya. Membayangkan saja sudah membuat hati Cita sesak, nyaris tak bisa bernapas.

Cita duduk di tempat yang sudah di sediakan. Masih terlalu sepi. Gadis itu hanya diam menatap nanar tulisan yang tertera diatas panggung tanpa membaca.

Tak sengaja ekor matanya menangkap sosok saudari kembarnya. Gadis itu tampak memukau dengan dress rempel tile serba putih. Hijab syar'i dengan aksen mahkota kecil serta waltz veil yang panjangnya sampai betis. Sangat terpancar aura calon pengantinnya.


Perlu di ketahui bahwa pernikahan mereka sudah di ketahui seantero pesantren dari tiga hari menjelang hari H. Disitulah hati Cita semakin di uji. Sudah dikatakan kalau Cita tak suka dikasihani.

Nara berjalan di dampingi oleh sang Mami. "Gue mah orangnya mandiri, gak manja," gumam Cita menatap Nara sinis.

Cita memutar bola mata malas mendapati Nara duduk tepat di sampingnya. Menghembuskan napas lelah, seandainya ia tak merasakan lemas di tubuhnya sudah dapat dipastikan ia tak ingin duduk berdampingan dengan si calon pengantin. Mengingat kata calon pengantin saja sudah membuatnya muak.

Yang Cita lakukan hanyalah menganggap Nara orang asing. Iya tahu, Cita salah, tak seharusnya ia bersikap seperti ini. Apalagi mereka saudara kandung bahkan kembaran yang ikatannya sangat erat.

Gadis itu hanya tak mau kalimat pedas akan terlontar jika ia terus berbicara dengan Nara, ia takut lepas kendali.

Rena menghampiri Cita, mengusap pipi dan menciumnya. "Anak Mami cantik banget, hmm. Mami bangga sama kamu." Cita hanya membalas dengan senyum tipis.

Make up yang dipakai, sukses menutupi wajah pucatnya, mengelabuhi semua orang. Tak lama setelah Rena melenggang acara-pun dimulai.

Acara demi acara sudah dilalui, kini tiba saatnya para siswa kelas 6 MI, 9 Mts, 12 MA akan di wisuda beserta pemberian piagam untuk para santri.

Cita merasa kepalanya mulai berdenyut, pandangannya sedikit kabur. Ia memijit pangkal hidungnya.

"Dek kamu gak papa kan?" tanya Nara saat menyadari mata sayu Cita. Nara menyentuh tangan sang adik namun di tepis oleh sang empu.

Cita mengangkat tangan rendah, memberi isyarat agar Nara tidak menyentuh atau pun terlalu dekat dengannya. "Gue gak papa."

"ANANDA NACITA ARYA SALIKA, PUTRI BAPAK RAKA ARYANDI DHIRGANTARA." Cita sedikit terjingkat begitu namanya dipanggil.

Ia berdiri, sebelum melangkah Cita menarik napas dalam, menghembuskannya pelan. Matanya mengerjap.

Gadis itu berjalan dengan anggun naik ke atas panggung, senyum manis menghiasi wajah ayu-nya.

Di atas sudah ada moderator, pembawa nampan samir, dan K.H. Abdul Muhaimin selaku pengasuh pondok pesantren yang akan mengalungkan samir di leher wisudawan dan wisuda wati.

Deg

Jantung Cita berdecak kencang, ketika samir hendak di kalungkan. Gadis itu merasa ada yang mengalir dari salah satu lubang hidungnya.

"Plis jangan sekarang," batin Cita berteriak gelisah. Kedua tangannya terkepal. Inilah yang ia takutkan sedari tadi.

Salah satu tangan terangkat, jari telunjuknya menyentuh hidung yang basah di atas bibir. Mata Cita terbelalak, sebuah cairan merah pekat nan kental menempel di jarinya.

Sontak tangan kiri Cita menutup hidung, sedikit mendongak bersamaan dengan bertenggernya samir di leher.

"Kenapa, Nduk?" tanya Kyai mendapati Cita membekap hidung dengan punggung tangan. Pembicaraan mereka tak luput dari pandangan para peserta wisuda juga yang lainnya. Terlebih ketiga putra Kyai.

Gadis itu tersenyum lalu menggeleng. "Ndak papa Abah. Ndak pakek foto boleh kan Bah? Soalnya Cita lagi gak enak badan."

Kyai mengangguk seraya tersenyum. "Ndak papa, semoga cepat sembuh ya Nduk."

"Makasih Abah. Assalamualaikum."
Biasanya para wisuda dan santri memang diperkenankan atau diberi kesempatan untuk foto berdua bersama Kyai.

"Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh," balas Kyai.

Sahutan dan pekikan memekakkan telinga. Tubuh Cita oleng ketika kakinya menginjak anak tangga pertama. Beruntung ada sang Papi yang menangkap tubuhnya. Iya, sedari tadi perasaan Raka sudah tak enak melihat gerak-gerik putrinya.

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Raka.

"Papi," gumam Cita.

"Iya ini Papi," balas Raka.

"Nduk kamu ndak papa?" tanya Kyai.

"Ndak papa Abah. Cita baik-baik aja," jawab Cita dibantu turun oleh Raka.

Rena datang menghampiri putrinya. "Astagfirullah Cita, kamu mimisan sayang."

"Cita gak papa Mi." Cita menatap Raka. "Pi, anterin Cita ke asrama."

Niat Cita hanya ingin dipapah tapi sang papi justru menggendongnya. Ingin meronta namun tenaganya sudah tak mampu. Ia hanya bisa pasrah menenggelamkan seluruh wajahnya di balik dada Raka.

🍀🍓🍀

Dua puluh menit Cita tertidur tak mau dibawa ke dokter maupun menginap di ruang kesehatan. Kedua orang tuanya juga masih setia menunggunya.

Ia terbangun dari tidur, hal pertama kali yang di tangkap netranya adalah sosok surga dunianya yaitu Rena. Duduk di samping seraya mengusap rambutnya lembut, di samping Rena juga ada Raka. "Mami, Papi," gumam Cita.

"Iya Sayang. Udah kamu istirahat aja, Mami jagain kamu," ujar Rena.

Cita mengubah tidurnya bersandar di tembok dengan satu bantal di belakang punggung. "Kok Papi sama Mami masih ada disini?"

"Mami sama Papi jagain kamu."

"Akad nikahnya kapan Mi?" tanya Cita.

"Setengah jam lagi," jawab Rena.

"Terus Papi sama Mami ngapain masih ada disini? Harusnya nemenin kak Nara, kasian sendirian," ujar Cita. Cukup menyesakkan tapi dia juga tak bisa egois, Nara juga membutuhkan sosok orang tua di hari sakralnya.

"Masih lama sayang. Gak papa Mami temani kamu."

Rena menatap Cita menyelidik, ia paham jika sudah keluar darah dari sela hidung sudah dipastikan ada hal mendalam yang dipikirkan. Ini adalah turunan dari sang Oma, ibu dari Rena yang diturunkan kepada Cita. "Jujur sama Mami! Apa yang kamu pikirin sampai kayak gini?"

Cita terdiam, ia tak mungkin memberi tahu tentang semuanya. "Gak ada kok Mi. Cuma mikirin ujian aja. Efeknya sampai hari ini, hehe."

Rena tak mudah percaya. "Kamu jangan bohong sama Mami."

"Ih Mami mah gitu, mentang-mentang Cita sering bohong gak percaya. Tapi beneran, Cita kepikiran gimana bisa bikin Mami sama Papi bangga sama Cita gitu aja," cetus Cita.

Penjelasan Cita sukses menusuk jantung kedua orang tuanya. "Dek, Papi sama Mami gak pernah nekan kamu untuk menjadi yang terbaik. Kerjakan semampu kamu, jangan dipaksa. Justru Papi gak suka liat kamu sakit gara-gara ngejar prestasi. Cukup kamu menjadi anak yang sopan dan bisa menghargai orang saja sudah lebih dari cukup," ujar Raka.

"Tuh dengerin kata Papi. Mami dan Papi sayang sama kamu, kami gak ingin kamu terjerumus pergaulan bebas," imbuh Rena.

Rena tersenyum. "Tapi kamu gak sia-sia sayang. Kamu berhasil meraih lima besar ahli bahasa Arab. Kami bangga sama kamu."

Cita hanya tersenyum. Dulu ia sangat terobsesi untuk mendapat juara demi Agam akan tetapi sekarang rasa itu sudah hambar, seperti air mineral yang tak ada rasanya. "Alhamdulillah."

"Ya udah gih susulin Nara, bentar lagi ijab kabul. Cita udah sehat kok," lanjutnya.

"Biar Papi aja yang kesana. Mami disini."

Cita menggenggam tangan Rena. "Mami, Cita udah gak papa. Cita pengen istirahat. Lagian ini asrama, kalau ada Mami sama Papi santri lain gak berani masuk."

Dengan berat hati Rena dan Raka menyetujui permintaan Cita. Ibu muda dua anak itu mencium puncak kepala Cita diikuti sang suami. "Cepat sembuh sayang, Mami pergi dulu. Nanti begitu ijab kabul selesai Mami kesini lagi." Dibalas anggukan.

Dirasa kedua orang tuanya sudah pergi Cita terdiam menatap lurus. "Kenapa gue harus mimisan kalau pikiran gue lagi kacau? Kenapa juga darah itu keluar setiap kali gue ada di depan banyak orang. Dasar lemah lo Cit!"

Entah sudah ke berapa kalinya ia menghela napas berat, rasanya sudah tak terhitung lagi. "Tinggal beberapa menit lagi status kita akan berubah."

Cita mendongak, kedua tangan disilangkan didepan dada, matanya menatap langit-langit asrama. Sendirian, semua sibuk dengan acara. "Apa gue sanggup nerima ustad Agam sebagai kakak ipar gue?"

"Kenyataan kenapa sepahit ini? Gue udah berusaha move on tapi gak bisa. Semakin ingin hilangkan nama ustad Agam dari hati gue justru semakin dalam rasa cinta ini."

Kesendirian hanya membuat hati dan pikirannya tertuju kepada Agam saja. Cita butuh teman untuk bicara, teman yang akan mengalihkan perhatiannya.

Dan disinilah Cita berada, ditempat dimana Ajeng bertugas. Yaitu gerbang utama bersama Tania yang duduk disampingnya.

Ajeng kaget melihat Cita sudah berdiri disamping meja. "Loh Cita. Bukannya kamu sakit? Kok ada disini?"

"Cita bosen Mbak. Boleh gak, Cita ikut duduk disini?" izin Cita.

Ajeng menghampiri Cita berdiri disampingnya. "Bukannya gak boleh, tapi kamu lagi sakit. Yang ada nanti tambah sakit kalau disini."

"Mbak plis."
Melihat wajah melas Cita, akhirnya Ajeng mengiyakan dan menyuruh Tania untuk melakukan hal lain. Sekarang hanya ada mereka berdua. "Ya udah kamu duduk diam aja disini temani aku."

Bibir pucat itu tertarik. "Makasih ya, Mbak."

Ajeng membalas senyuman Cita. Ia iba dengan gadis yang akhir-akhir ini kehilangan keceriaan karena orang yang dicinta akan menikah dengan orang yang di sayang. Akan tetapi Ajeng tak mau bertanya akan hal itu.

Sudah ada teman saja pikiran Cita masih ada di titik yang sama. Matanya berkaca-kaca begitu mendengar suara Mikrofon, aba-aba ijab kabul akan dimulai.

"Ananda Agam Maulana Bin almarhum KH. Abdurrahman. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya Tanara Arya Salika dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan emas seratus gram, Tunai."

Jantung Cita semakin berdetak kencang begitu mendengar ijab yang dilantunkan oleh sang ayah. Tak lama suara sahutan mulai mengalun, masuk melalui telinga hingga turun ke jantung.

"Saya terima nikah dan kawinnya Tanara Arya Salika Binti Raka Aryandi Dhirgantara, dengan maskawin tersebut, tunai."

Deg

Napas Cita tercekat. Runtuh lah harapannya. Hancur bersamaan dengan kalimat kabul yang di terima oleh laki-laki yang sampai saat ini tak mau berpindah dari hatinya. Semua sirna, tak ada lagi alasan untuk mencintai Agam yang sekarang sudah berstatus menjadi kakak iparnya.

Suara penghulu mengiringi. "Bagaimana para saksi? Sah?"

"SAH."

Tubuh Cita semakin membeku, air matanya lolos tanpa ada suara isakan. Ia termangu, tatapannya kosong, lurus seperti orang tak bernyawa.

Ajeng mendekap erat gadis yang ada di sampingnya. "Cita yang sabar ya." Ajeng terus mengusap punggung Cita. "Nangis aja. Bahu aku terbuka buat kamu."

"Gue udah mati rasa," gumam Cita kecil.

TBC

Gue cuma mau bilang kalau kisah cinta Cita masih panjang, jadi pesan gue buat kalian yang berhenti baca pas ada sadnya... ... ... ... ... Yah pokoknya itu lah.

Oh iya kalau mau tanya-tanya seputar HUA bisa DM di IG @hayy.linndaa72 . Kalau gak mau ketinggalan info bisa follow akun WP aku.

Continue Reading

You'll Also Like

515K 48.5K 113
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
6.5K 146 100
Berisi ilmu yang insyaallah bermanfaat untuk kita semua, aamiin.... Yuk dibaca ya....
1.5M 115K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
6.8M 959K 52
[SEQUEL OF A DAN Z] Tumbuh dewasa tanpa kedua orang tua dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar, terlebih harus menjadi sosok orang tua untuk k...