NAMANYA ARUM.

By ElAlicia

130K 23.7K 2.9K

Kota Pelabuhan, 1965 Arum adalah seorang gadis pantai yang gesit dan trengginas selayaknya ombak di kala huja... More

INTRO
PROLOG
2. RUMOR
3. DANU
4. MAMA SINTHA
5. PERASAAN TAK BIASA
6. BISKUIT AYAH
7. RUMAH MAS DANU
8. SURAT
9. HARI TERAKHIR
10. KOTA KEPENDUDUKAN
11. SATU RANJANG
12. SENI RAKYAT
13. MALAM BERSAMA
14. PAGI HARI
15. KEPERCAYAAN
16. KABAR BAIK
17. KEJELASAN
18. KEBENARAN
19. PAKSAAN HALUS
20. SURAT
21. KOTA PELABUHAN
22. JANGGAL
23. KETAKUTAN
24. MIMPI BURUK
25. DILEMA
26. BOHONG
27. BANTUAN
28. FRUSTRASI
29. SEBELUM MELAUT
30. KESEPAKATAN
TENTANG NAMANYA ARUM

1. SAWAH PAK TARNO

5.4K 853 66
By ElAlicia

Matahari mulai terbenam di balik bukit dan meninggalkan jejak oranye di lautan. Beberapa nelayan mulai mengeluarkan jala mereka dari gubuk sederhananya. Ada pun nelayan yang mulai memeriksa perahu kayunya, sebelum malam hari tiba. Para istri, mulai menyiapkan santapan malam dan juga kudapan untuk suami mereka yang sebentar lagi akan melaut. Ada pun anak-anak dan remaja yang tengah bermain di pinggir pantai dengan bola yang terbuat dari serabut kelapa sederhana. Toko kelontong, dan kantor pemerintahan mulai bersiap-siap untuk tutup. Pedagang keliling pun juga mulai berjalan pulang mendorong gerobak mereka, setelah seharian berkeliling mencari nafkah.

Bukannya semakin sepi, kota pelabuhan itu semakin ramai ketika menjelang malam. Tempat hiburan mulai dibuka di saat seperti itu, seperti layar tancap, pelacuran dan kesenian rakyat mulai digelar.

Malam itu, ayahnya tidak melaut, membuat Arum semakin gencar membujuk ayahnya agar ikut menonton layar tancap bersamanya di alun-alun kota. Film yang diputar malam ini adalah salah satu film kesukaan Arum; Tiga Dara. Saking bagusnya, tak terhitung berapa kali Arum membujuk ayahnya untuk ikut ke layar tancap dan menonton film yang sama berulang kali. Lagu dari film itu pun sampai dihafal Arum dari awal hingga akhir tanpa cela.

Ayah sebenarnya tidak masalah menonton layar tancap, hanya saja selesainya pasti cukup larut dan letak rumah mereka cukup jauh dari alun-alun kota itu sendiri. Ayah hanya khawatir dengan orang-orang jahat yang mungkin masih marajai jalanan di tengah malam. Belum lagi, matanya semakin tidak terang dan pencahayaan untuk ke rumah pun cukup minim. Hal itu seringkali membuat sepeda yang ia kendarai oleng seperti saat ini.

"Ayah! Jangan lewat situ!" seru Arum panik dan ketakutan.

"Udah, ndak papa. Lewat sawah lebih cepat," ujar Ayah sembari melajukan kayuhan sepedanya, mengejar agar mereka bisa segera sampai rumah.

Arum mengeratkan pelukannya di tubuh Ayah dengan rasa was-was mulai menjalari dirinya. "Katanya sawahnya Pak Tarno berhantu. Nggak terhitung berapa kali orang kepleset dan jatuh di situ -EH!"

Belum sempat Arum menyelesaikan perkataannya, benar saja sepeda Ayah oleng dan mereka jatuh tepat di sawah Pak Tarno. Hal itu membuat Arum semakin mempercayai mitos orang-orang desa mengenai sawah Pak Tarno yang ada genderuwonya. Mungkin Ayah juga akan percaya padanya kali ini, mengingat Ayah selalu bersikukuh mengatakan jalan setapak di sawah Pak Tarno memang licin dan terjal.

Berbeda dengab Arum yang marah, Ayah malah tertawa keras, padahal keadaan Ayah tak jauh lebih baik darinya. Pria paruh baya itu dipenuhi lumpur hingga ke lehernya, begitu juga dengan Arum. Bedanya, Arum lebih tenggelam lagi dalam lumpur. Mereka baik-baik saja, hanya sikut Arum sedikit lecet.

Arum meringis kecil sembari menatap sikutnya yang lecet dengan pencahayaan yang berasal dari bulan saja. Namun, sudut matanya menangkap ada seseorang yang mendekatinya. Arum yang awalnya mengira itu Ayah langsung mendongakkan kepalanya. Matanya melebar penuh ketakutan ketika melihat sesosok tinggi besar hitam yang kini berada di hadapannya. Arum pun menjerit hebat, membuat Ayah semakin tertawa keras, sebab Ayah tahu pasti jika yang menghampiri Arum adalah manusia.

"GENDERUWO! AYAH, GENDERUWO!" teriak Arum dengan segenap hatinya. "JELEK SEKALI!"

Genderuwo itu malah tertawa pelan bersama Ayah. Tawanya terdengar lembut dan baik, membuat Arum sedikit curiga akan entitas di depannya. Tidak mungkin bukan genderuwo bisa punya suara tawa selembut itu. Sebelum, Arum sempat berteriak lagi, sikutnya sudah ditarik untuk berdiri. Kini, ia berdiri berdampingan dengan genderuwo itu. Arum memberanikan dirinya untuk mengintip dan mendapati jika di sebelahnya hanyalah pria biasa yang mengalami nasib buruk sepertinya; jatuh di sawah Pak Tarno. Berbeda dari Arum, pria itu berlumur lumpur cukup banyak hingga ke wajahnya.

"Mana yang lecet?" tanya pria itu sembari menarik tangan Arum untuk melihat luka di sikutnya.

"Jatuh juga, Mas?" tanya Arum perlahan.

Pria itu mengangguk. Arum tidak bisa melihat jelas wajah pria itu, karena gelapnya malam. Namun, ia bisa melihat siluet pria yang menyerupai genderuwo itu, berkat bantuan sinar bulan. Pria itu tinggi -jauh lebih tinggi dari semua penduduk di kota kecil itu. Arum bahkan hanya sampai di pundak pria itu. Tubuhnya cukup bidang, sehat dan kuat seperti nelayan-nelayan muda di kotanya -hanya saja sejauh yang Arum tahu tidak ada pemuda nelayan yang setinggi pria di depannya. Sekarang, katakan pada Arum, dengan figur seperti itu, bagaimana bisa ia tidak menganggap pria di depannya genderuwo?

"Lecetnya cukup parah," ucap pria itu tenang dengan telaten membersihkan lumpur di luka sikut Arum.

"Mas juga terluka?" tanya Arum dengan nadanya yang perhatian.

Pria itu terdiam menatap Arum. Tatapan pria itu begitu teduh dan tenang seperti halnya laut ketika memasuki surut. Lalu, seulas senyum sopan tersungging di wajah pria itu. "Saya baik-baik saja. Lebih baik memperhatikan diri kamu sendiri terlebih dahulu. Kasihan, gadis cantik harus memiliki lecet di sikutnya."

"Mas Danu," sapa Ayah sopan yang ditanggapi dengan anggukan sama sopannya dari sang pemilik nama. Arum menarik kembali sikutnya dari genggaman pria itu dengan pipinya yang memerah. Ia mundur dan bersembunyi di belakang Ayah, membuat pria itu tampak mengintip sedikit ke arahnya, sebelum kembali menegakkan tubuh 'genderuwo'-nya.

"Ini Mas Danu, Rum. Dia yang tinggal di sebelah kita. Nelayan barunya Pak Kusno. Dia yang akan menemani Ayah melaut ke depannya," gumam Ayah, memperkenalkan pria genderuwo itu pada Arum dan mengenalkan Arum pada pria genderuwo itu. Pria itu baik dan santun. Arum bisa merasakannya.

Karena malam semakin larut, Ayah pun hanya bisa berbincang sedikit dengan Mas Danu dan meminta untuk dilanjutkan di rumah saja. Ayah menaikkan sepedanya ke atas jalan setapak lagi, begitu pun dengan Mas Danu. Ketika Arum ingin naik ke atas sepeda ayahnya, suara Mas Danu langsung menghentikannya.

"Biar sama saya saja Arumnya. Jalannya cukup terjal dan licin, saya khawatir Bapak ndak bisa menahan bobot," ucap Mas Danu sesopan mungkin, membuat Arum mengerutkan kening tidak terima, karena secara tidak langsung dikatai berat.

"Oh nggih, nuwun, Mas," ucap Ayah dengan nada ramahnya.

Mas Danu menganggukkan kepala dengan sopan sebagai balasannya dan menuntun sepedanya menghampiri Arum. Ia lebih dulu naik ke atas sepeda itu, sembari menunggu sang penumpang duduk di jok belakang. Arum pun dengan ragu-ragu ikut duduk di atas jok sepeda ontel itu. Ia bingung harus menempatkan tangannya di mana, sebab tidak mungkin bukan ia memeluk pria asing di depannya.

"Kemari," bisik Mas Danu selembut dan sesopan mungkin yang dijawab dengan wajah melongo dari Arum. Senyuman tipis menari di wajah pria itu. Dituntunnya tangan Arum agar berpegangan di pinggangnya. Genggaman pria itu kuat, hangat dan kokoh, membuat jantung Arum berdegup tak terkendali. Untuk beberapa detik, Arum bisa merasakan usapan lembut di punggung tangannya, sebelum pria itu akhirnya melepaskannya.

"Supaya ndak jatuh," lanjut pria itu, menambahkan alasannya agar Arum tidak curiga. Mas Danu langsung melajukan sepedanya mendahului Ayah, sebab Ayah rabun ayam dan Mas Danu satu-satunya harapan.

Arum bukanlah seorang gadis polos yang merindukan pangeran, namun entah mengapa sepanjang perjalanan dari sawah ke rumah pipinya terus bersemu merah. Bisa dibilang, ini adalah pengalaman pertamanya berboncengan dengan seorang pria yang bukan ayahnya.

TBC...

Kota Pelabuhan, 1965

Kota kecil yang diapit bukit, sawah dan laut.

Kota pelabuhan di cerita ini nggak aku sebutkan secara detail, tetapi yang pasti dia berada di Pulau Jawa. Sebenarnya ini hanya kota khayalan seperti Halimunda di "Cantik Itu Luka".

Foto yang aku gunakan letak aslinya adalah di Satarmese Barat, Narang, Manggarai, NTT.

Selamat menikmati✨

Jangan bosan-bosan yaaa❤

Continue Reading

You'll Also Like

184K 11.2K 38
"𝐀𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐮 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐢𝐤𝐚𝐧𝐦𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐬𝐚𝐥𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐛𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚" -𝐀𝐥𝐢𝐜𝐞 #1 in pangeran [04-06...
401K 59.6K 84
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
1.5M 110K 73
(Bakal direvisi kalo authornya gak males.) Selena, seorang perempuan nolep yg pinter, dia ber transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di buku novel...
MAZAYA By Muyassirah Muhsin

Historical Fiction

333K 17.7K 38
Bagaimana jadinya jika seorang ceo muda meninggal dunia akibat kecelakaan, malah bertransmigrasi ke tubuh seorang bayi yang baru saja berumur 40 hari...