Sport ✔

Autorstwa Arriverdeci

1.6M 153K 69.6K

Jeon Ssaem mengajarkan dua jenis olahraga pada Jihan. Mau tahu? Start : 3 Mei 2020 Fin : 4 Februari 2022 Cove... Więcej

Prolog
01. First Favor
02. Warming Up
03. You're Sweet
04. Guarantee
05. Accidentally
06. Imagine a Lot
07. I See Yours
08. Chasing On You
09. Get Shock
10. So Clumsy
11. Try to Closer
12. It's Secret
13. Under The Blanket
14. Acutely Lazy
15. Personal Trainer
16. Suspicious
17. Hold My Lust
18. A Progress
19. La La Love
20. Eargasm
21. Teasing You
22. Sweet Salty
23. Pillow Talk
24. Adore You
25. Keep You Up
26. Night Talk
27. Weird Longing
28. More Than Secret
29. You Want, You Get
30. The Hidden Truth
31. Bumpy Ride
32. Fear Has Come
33. Among The Choice
35. The Regret
36. Anxiety Begins
37. Make A Peace
38. Rid The Past
39. Mommy Need Daddy
40. Their Struggle
41. People's Insults
42. A Lot Of Ordeal
43. Traumatized
44. Intimacy Test
Epilog
SEASON 2 [E-BOOK]

34. Chaotic Night

30.6K 2.7K 2.1K
Autorstwa Arriverdeci

______

Seyoung mengusap ujung kepala Naya yang nampak masih mengeratkan pelukannya ke Jihan. Melihat bibinya tadi menangis sesenggukan, Naya yang sempat mendengar keributan di atas langsung lari bersama sang kakak, ia berusaha menenangkan Jihan dengan cara memeluknya hingga bocah itu terlelap lebih dulu.

"Tidurlah, tenangkan dirimu. Besok pagi, aku yakin keadaan akan kembali membaik. Kakakmu hanya terbawa emosi saja tadi." Seyoung menenangkan adik iparnya yang masih memandang kosong dengan kelopak mata yang kian membesar karena sejak tadi Jihan belum berhenti menangis.

Gadis itu sudah menceritakan semuanya pada Seyoung tentang hubungannya dengan siapa.

"Kak Se ..." Jihan bangun dari ranjang, duduk menghadap kakak iparnya dengan tatapan penuh rasa takut, "Jihan mau pulang ke kos besok."

Keterkejutan Seyoung tak bisa dikilah, ia sontak mendekat ke arah Jihan, "Jihan dengar, kakakmu adalah rumahmu, satu-satunya tempatmu pulang. Pergi dengan cara seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah, kau akan memperburuk nantinya. Tetaplah diam di sini, hingga kau dan kakakmu bisa saling memahami."

Gadis itu menunduk, meremas pahanya dengan tangan yang kembali bergetar, "Jihan takut ..."

Melihat Jihan ketakutan seperti ini membuat hati Seyoung sedih, tapi ia juga tak membenarkan keputusan adik iparnya itu yang dengan gamblangnya meminta balik ke kos lagi. Namjoon pasti akan tambah kecewa.

"Aku tahu sekarang bagaimana perasaanmu, menghindar dari masalah bukanlah jalan keluar. Kakakmu terbawa emosi, kau pasti mengerti kenapa dia seperti itu padamu." Seyoung merentangkan tangannya, lalu mendekap Jihan yang kian merenung, "Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja."

Seyoung memang belum tahu kesalahan Jihan apa pada kakaknya, hingga orang yang sabar seperti Namjoon itu semarah itu sampai menghancurkan barang.

Wanita itu berjalan mengambil ponsel Jihan yang hancur. Jihan tiba-tiba menangis saat melihat ponsel pemberian kekasihnya itu retak dan hancur. Seyoung terdiam melihat sikap Jihan, ia mengerti bagaimana perasaan adik iparnya saat ini.

Wanita itu mengelus pucuk kepala Jihan, menenangkannya agar berhenti menangis. Lalu menyuruh untuk segera tidur, Seyoung bergegas menutup pintu kamar dan berjalanan menuju kamarnya.

Figur suaminya yang nampak duduk di sisi ranjang sembari menutup wajahnya dengan telapak tangan membuat Seyoung mematung. Ia tidak tahu harus memihak siapa, semua sama-sama memiliki salahnya masing-masing.

Seyoung mendekat, menutup pintu kamarnya sebelum mengelus punggung suaminya. Namjoon mendongak, tersadar dengan kehadiran Seyoung. Pria itu menunduk dengan tangan terkepal.

"Joon, kumohon jangan menggunakan emosi untuk menyelesaikan masalah." Seyoung melihat mimik kemarahan di wajah Namjoon, "Kau tahu adikmu belum tegas membela dirinya sendiri, tak semua hal yang ia lakukan harus sesuai dengan keputusanmu."

Namjoon semakin erat mengepal tangannya, "Aku kakaknya, kau jangan membela kesalahannnya itu! Dia belum lulus dari sekolah, aku takut terjadi sesuatu jika sampai orang lain tahu hubungan mereka. Dan lagi dia memilih laki-laki itu daripada keluarganya, tidakkah kau merasa dia kelewat batas?"

"Jika saja dari awal kau tidak menggunakan emosi saat berbicara dengan Jihan, kau tak akan mendapat jawaban itu." Seyoung duduk di samping suaminya, berbicara dengan pelan, "Adikmu masih remaja, tidak bisa mengontrol diri dan keinginan. Kau tanpa pikir panjang langsung menggebrak adikmu saat itu juga tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu."

Mendengar ucapan Seyoung yang terkesan seperti membela Jihan, membuat Namjoon naik pitam, "Kau tahu kenapa aku marah, dia berbohong seolah aku bukan siapa-siapanya selama ini. Aku tak pernah melarang Jihan berpacaran selagi ia tidak kelewat batas berhubungan dengan laki-laki. Dan kau lihat sendiri sekarang ..." Namjoon menarik napasnya, "Dia merelakan segala yang ia punya demi sebuah hubungan yang tak jelas keseriusannya."

Seyoung memang berpikir sedari awal, Jihan terlihat berbeda sejak dibiarkan tinggal sendiri. Gadis itu dulu tahu batas bersama laki-laki. Sejak punya kekasih baru, Jihan jadi agak berubah dari yang dulu. Pengaruh dari Jungkook yang notabene seorang pria dewasa dengan cara pandang yang berbeda dalam mengartikan sebuah hubungan.

Namun tak menutup kemungkinan, reaksi Namjoon yang gegabah seperti itu juga berpengaruh dengan rasa percaya Jihan terhadap keputusannya. Gadis remaja dengan karakter seperti Jihan yang takut dibentak akan lebih baik diajak berbicara pelan-pelan. Karena tak semua masalah bisa diredakan hanya dengan intonasi yang kasar.

"Dia bukan tak menganggapmu sebagai kakak, tapi dia takut untuk jujur." Seyoung menjelaskannya secara pelan, "Kalau pun dia jujur, kau akan tetap marah, kan? Mungkin reaksimu akan sama, menyuruh Jihan mengakhiri hubungannya dengan guru itu."

Namjoon memandang kosong lantai kamarnya, dengan rungu yang mendengar perkataan Seyoung. Tapi sejujurnya, jika dari awal adiknya mau berterus terang, Namjoon mungkin tak akan semarah itu.

Namjoon memejam sebentar, pancaran matanya menyiratkan sebuah dendam pada orang yang namanya Jihan sebut tadi, "Adikku sudah dibuat jadi seperti itu olehnya. Statusnya saja guru, tapi perbuatannya tak pantas untuk disebut sebagai seorang guru."

Profesi guru itu sangat mulia dan berpendidikan. Tentu bisa membedakan mana perbuatan yang dipandang tak baik oleh mayoritas orang, kan? Namjoon sangat marah dengan Jungkook, dari pertama kali melihat saja ia sudah bisa menebak bagaimana pandangan laki-laki itu saat melihat Jihan.

Namjoon tak bisa membayangkan apa saja yang laki-laki itu perbuat pada Jihan, hingga adiknya jadi orang yang seolah lupa dengan hidupnya yang sudah tertata.

"Joon ..."

Suara Seyoung yang lembut itu membuat Namjoon tersadar dari pikirannya. Ia melirik istrinya, seolah bertanya apa yang akan diucapkan wanita itu.

"Pernahkan kau bertanya pada Jihan? " Seyoung menatap suaminya lekat, "Bertanya tentang mengapa Jihan mau dengan pria itu?"

Namjoon diam. Diam dengan waktu yang lama ketika mendengar pertanyaan sederhana itu terlontar. Ia paham maksud istrinya, tentu saja Namjoon tahu adiknya tak mungkin sebodoh itu menerima Jungkook tanpa ada alasan. Bukan hanya sekadar perasaan suka sama suka, Namjoon tahu.

Sedari awal, jika Namjoon tak membiarkan Jihan hidup sendirian di tempat kecil seperti itu, mungkin ini tak akan terjadi. Adiknya kurang perhatian, tak ada seseorang yang memberinya sebuah arahan apa yang tidak atau harus dilakukan di sana.

Mungkin sekarang baru terjawab mengapa Jihan akhir-akhir ini jarang sekali meminta uang padanya. Adanya pria seperti Jungkook membuat Jihan merasa tak kesepian, terbantu dan nyaman.

Namjoon tiba-tiba bangun, air mata sudah menggenang di kelopak matanya. Pria itu keluar dari kamar, lalu berhenti di depan pintu sembari melirik Seyoung melalui ekor mata.

"Dia ingin balik ke kos, kan? Kau antar besok dia ke sana."

Seyoung bangkit dari duduknya, ia yakin Namjoon mendengar percakapannya tadi bersama Jihan di kamar sebelah, "Joon, kau membiarkan adikmu-"

"Itu keinginanannya." Namjoon memotong ucapan Seyoung, "Aku tak akan melarangnya melakukan apapun yang ia mau. Dia sudah punya pria yang siap menerimanya kapan saja, kan. Aku tak akan ikut campur."

"Namjoon!"

Usai mengatakan itu Namjoon pergi begitu saja, mengabaikan panggilan istrinya berulang kali. Namjoon masih berada dalam keadaan emosi yang belum stabil, Seyoung mengerti sekali jika sekali saja Namjoon dibuat kecewa oleh seseorang, pria itu tidak akan peduli lagi.

Malam ini, ia ikut pusing memikirkan mereka. Dua bersaudara Kim itu semua sama-sama keras kepala, Seyoung tak bisa menengahinya seorang diri.

***

Sesuai dengan apa yang Namjoon katakan. Sore ini Seyoung mengantar Jihan ke kos, diikuti kedua anaknya yang selalu mengintili Jihan kemana saja.

"Aunty, senyum dong!" Naya yang duduk di belakang bersama Jihan itu menyentuh pipi sang bibi, menarik sudut bibirnya agar membentuk lengkungan, "Aunty kalau senyum itu tambah cantik. Jangan nangis lagi, nanti stok air matanya bisa habis."

Jihan tersenyum kecil mendengar cerocosan Naya, keadaannya sekarang sedang tidak memungkinkan untuk bermain-main dengan Naya. "Aunty tidak nangis, kok."

Keadaan mobil kembali hening, beberapa saat setelahnya Jihan sampai di depan gerbang kos. Noru ikut membantu Jihan membawa tas berisi baju bibinya itu.

Dalam hati ada perasaan menyesal hinggap di hati Jihan ketika kemarin ia bilang akan balik ke sini. Namjoon seolah-olah melepas Jihan, tak akan mau peduli lagi. Dan itu membuat Jihan merasa seperti ditinggalkan.

Jihan tahu kakaknya merasa sangat kecewa memiliki adik seperti dirinya, ia tak sepenuhnya membenarkan perlakuannya ini. Mengingat kemarin saking takutnya dengan emosi Namjoon yang meledak, Jihan tanpa sadar dan spontan menyebut Jungkook di depan kakaknya.

"Jangan lupa makan, ini aku sudah beli banyak stok bahan makanan untukmu." Seyoung mengeluarkan semua barang yang ia bawa saat sampai di dalam kos Jihan. "Ini ponselnya."

Jihan menerima pemberian kakak iparnya. Kemarin ponselnya sudah hancur, Seyoung langsung membelikannya sebelum ke sini, agar sewaktu-waktu saat genting Jihan bisa menghubunginya.

"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku tahu sekarang kau dan kakakmu sedang tidak akur, kau bisa meneleponku kapan saja."

Jihan mengangguk, "Kak Se ... maaf aku terus merepotkanmu. Kau jadi ikut kena masalah karena ulahku." Kemarin Jihan ingat sekali peran kakak iparnya untuk menenangkan Namjoon.

"Kau keluargaku juga. Dan kita sama-sama perempuan, aku paham yang kau rasakan sekarang." Seyoung memeluk Jihan begitu lama, "Kalau sudah merasa lebih baik, pulanglah. Kalian berdua memang perlu waktu untuk merenung, kau juga sedang disibukkan dengan sekolah. Jangan sampai ini membuatmu tidak fokus belajar, ya?"

"Iya, terima kasih banyak Kak Seyoung."

Naya dan Noru ikut memeluk walau sebatas pinggang Jihan. Setelahnya Jihan melihat kepergian ketiga orang itu, ia sendiri lagi sekarang. Dan yah, walaupun ada kakak atau siapa pun, Jihan masih merasa ia hidup seorang diri di sini.

Ditinggal kakaknya menikah, Jihan merasa kesepian. Sunyi, tak ada yang bisa diajaknya berkeluh kesah. Lalu datang seorang laki-laki dewasa yang merangkap sebagai gurunya, memberi Jihan banyak perhatian dan kasih sayang. Pesonanya membuat Jihan terbius, merasa sudah ada orang yang bisa menggantikan posisi kakaknya dulu.

Jihan menerima Jungkook karena ia membutuhkan laki-laki itu. Bukan material yang Jihan lihat, tapi kehadirannya ketika Jihan sedang merasakan apa, laki-laki itu selalu ada-walau sering diusili.

Hal itu yang membuatnya enggan lepas dari Jungkook. Karena ia tahu, Namjoon tak hanya memikirkannya saja saat ini. Jihan sekarang sudah bukan prioritas utama kakaknya, Namjoon sudah punya istri dan anak-anak.

Jihan yakin dengan Jungkook, dan tak mau kehilangan laki-laki itu. Ia seolah sudah menemukan rumahnya, egois memang sampai memberikan apa yang selama ini ia jaga agar Jungkook tidak pergi. Tapi sudah terjadi, Jihan tak bisa mengulang. Penyesalan memang datangnya selalu belakangan, kan.

Mencoba menormalkan kejadian yang ia alami, Jihan bergegas merapikan barang-barang yang ia bawa. Besok ia masih harus sekolah, setidaknya kalau di sekolah pikiran tentang masalah pribadi bisa dialihkan dengan belajar.

Usai mengepak barang, Jihan langsung mandi karena sudah pukul enam sore. Mandi dengan waktu yang lumayan singkat, Jihan langsung mengganti bajunya.

Saat hendak duduk di kursi belajar, Jihan memandang ponsel pemberian Jungkook yang telah rusak itu. Ia belum menyimpan nomor laki-laki itu di ponselnya yang baru, untuk saat ini Jihan masih ingin sendirian dulu. Lebih baik besok saja Jihan beritahu kalau ia sudah diam di kos lagi.

Suara ketukan pintu sebanyak dua kali menyadarkan Jihan dari lamunan melihat ponselnya yang pecah. Berpikir dulu sebelum pergi untuk membuka pintu kamar, Jihan kira Jungkook tapi tak mungkin karena laki-laki itu belum Jihan beritahu.

Gadis itu beranjak dari duduknya lalu membuka pintu kamar, sempat bingung dengan seseorang yang tak Jihan duga datang ke kamarnya dengan pakaian santai.

"Yoongi?" Laki-laki itu terlihat membawa mangkuk, "Ada apa?"

Laki-laki Min itu mengerjap satu kali sembari mengangkat mangkuk yang ia bawa, "Aku boleh minta nasi?"

Jihan ingin mengatakan iya jika saja ingat kalau dirinya baru saja datang jadi tak sempat berurusan dengan isi perut.

"Aku belum menanak nasi." katanya pelan, Yoongi nampak meluruskan sudut bibir pertanda merasa sedih. "Tapi aku punya banyak makanan instan di dalam. Kalau kau mau aku akan memberikannya."

Yoongi mengangguk dua kali. "Gas di komporku habis, boleh aku masak di sini?"

Oke, alasan Yoongi aneh, keliatan ingin sekali masuk ke dalam. Tapi memang niatnya begitu, sih. Kak Namjoon itu ada-ada saja menyuruhku memantau, Yoongi membatin jengkel.

"Boleh, aku juga belum makan." Jihan mempersilakan Yoongi untuk masuk.

Dua remaja itu langsung berlalu menuju ke arah kompor, "Kau duduk saja, biar aku yang masak. Aku punya banyak nugget dan ramen."

Yoongi yang duduk bersila di bawah ranjang itu hanya menjawab omongan Jihan dengan anggukan patuh. Kalau diingat lagi, ketika mereka punya hubungan Yoongi sering sekali dibuatkan makanan oleh Jihan. Aduh, jadi mengingat masa lalu.

"Kau darimana saja dua hari ini tak kelihatan?" Karena biasanya ia selalu melihat lampu depan kamar Jihan hidup tiap malam.

"Aku di rumah Kak Namjoon." Jihan menaruh rasa curiga dengan pertanyaan Yoongi yang tahu dia pergi selama dua hari, "Kau tahu darimana aku tak ke sini dua hari?"

Yoongi menggaruk pipinya yang tak gatal, sejujurnya ia paling tidak suka basa-basi. "Pacarmu itu tiap malam sering menunggu di depan kamarmu, jadi kukira kau pergi."

Jihan langsung mengerjap, ternyata Jungkook tak berbohong bilang seperti itu padanya. Ia jadi merasa bersalah lagi pada kekasihnya, besok Jihan akan menjelaskan semua pada Jungkook. Jihan juga tak bisa menghadapi ini sendirian.

Beberapa saat setelahnya, nugget dan ramen yang Jihan buat sudah siap. Ia membawa dua porsi, dan yang satu ia berikan pada Yoongi.

"Kalau kau tidak ke sini, berarti kau hanya makan nasi saja, dong?" Jihan bertanya sembari memperhatikan Yoongi yang mengunyah makanan.

Iya juga, sih. Alasannya tadi seolah menjelaskan ia hanya akan makan nasi saja. Ia terlihat menyedihkan di mata Jihan jadinya, padahal ini hanya suruhan Namjoon. Pria Kim itu menyuruh agar Yoongi tetap bersama Jihan supaya Jungkook tidak mendatanginya. Lebih tepatnya menjaga Jihan dari kekasihnya sendiri.

Yoongi sejujurnya malas sekali menurutinya. Karena ya, untuk apa? Lagipula Jihan juga suka diapeli Jungkook, kan. Tiap malam, kalau kekasih Jihan itu datang ke kamar Jihan pasti lampu kamarnya bisa dihidupkan sampai tengah malam.

Yoongi sering memperhatikan itu, ia suka begadang soalnya. Well, tentu Yoongi tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana. Pria dewasa dengan gadis remaja di dalam kamar, tentu saja melakukan seks.

Keheningan mulai menyapa mereka, makan dalam diam membuat Jihan bertanya-tanya dengan ucapan Namjoon kemarin. "Gie, bisakah kau jujur?"

"Hm." Yoongi menjawab sekadarnya, karena sumpah, ia mengantuk sekali sore-sore seperti ini.

"Kau pernah bertemu dengan Kak Namjoon?" Yoongi mengangguk jujur, "Kak Namjoon sudah tahu aku berpacaran. Sebenarnya aku tidak menuduh, karena yang tahu aku memiliki kekasih seorang guru hanya kau, jadi kupikir kau yang memberitahu Namjoon soal itu."

Yoongi mengernyitkan alis, ia sama sekali tidak pernah bilang pada Namjoon soal hubungan Jihan dengan gurunya itu. Malah dia menyembunyikannya, karena ia sudah berjanji pada Jihan agar menutupi rahasianya ini.

"Aku tak pernah mengatakannya. Kakakmu hanya datang menuduhku melakukan hal aneh bersamamu di sini."

Jihan terdiam memikirkan ucapan Yoongi, "Oh itu, sebenarnya dia hanya salah paham denganmu. Maaf, kau jadi terbawa dalam masalahku." Jihan menunduk malu.

"Seharusnya kau jujur bilang pada kakakmu waktu itu. Masalah disetujui atau tidak, itu bisa diurus belakangan. Sekarang kau lihat sendiri, kan hasil dari menutupi kebenaranmu ini." Yoongi mulai memberi nasihat.

"Aku hanya takut ia marah waktu itu." Jihan meremat mangkuk makanan yang ia bawa.

"Lalu sekarang kakakmu tidak marah begitu? Sama saja, kan." Jihan mengulum bibirnya, tak bisa menjawab, Yoongi langsung menghela napas, "Itu kebiasaanmu yang tak pernah hilang, suka berasumsi dan khawatir lebih dulu sebelum melakukan sesuatu."

Jihan menaruh mangkuk makanannya, ia menangis. "Aku salah ..."

Laki-laki Min itu ikut mengurungkan niat makannya saat melihat Jihan menangis, "Ji, manusia itu tak luput dari kesalahan. Mulai sekarang kau harus belajar dari kesalahanmu itu." Yoongi melupakan sesuatu, "Juga kekasihmu, kukira ia tegas dan mau bertanggung jawab untuk ikut menjelaskan pada kakakmu."

"Aku yang melarangnya untuk datang." Jihan mengusap air matanya.

"Kenapa? Dari awal yang mendekatimu sudah pasti dia, kan? Kau tak bisa menanggung ini sendirian, jangan sok kuat."

Jihan diam mendengar ucapan Yoongi yang sepenuhnya benar. Ia lemah sekali dan suka takut lebih dulu. Yoongi tahu itu.

Yoongi menyadari, jika Jihan bisa sampai sesedih ini pasti Namjoon benar-benar marah padanya. Ia kira tadi Jihan tak sepilu ini baru datang, melihat mantan kekasihnya seperti ini karena masalah cinta, Yoongi jadi ikut merasakan marah.

Marah dengan pria yang menggunakan profesinya untuk berhubungan dengan murid. Menurut Yoongi itu sangat tidak etis tapi kalau sudah cinta ya, tak apa-apa. Cinta kan tidak memandang profesi dan umur. Tapi kalau ada maksud lain, tentu Yoongi tak terima.

"Aku harus bagaimana, Gie .." Jihan bersuara parau.

"Kau tak harus putus dengan pria itu jika kalian sudah saling cinta. Perasaan, kan tak ada yang tahu." Yoongi menoleh ke arah Jihan dengan mata sipit lucunya itu, "Temui kakakmu, ajak kekasihmu juga. Ingat, apa-apa kau harus memberitahu kakakmu terlebih dahulu. Dia keluargamu."

Jihan tersenyum kecil dengan mata yang masih berair, "Terima kasih ..."

Jujur, kalau saja Jihan masih sendirian dan tak bersama guru itu, pasti Yoongi sudah balikan dengan Jihan saat ini. Dan gadis ini tak akan sesedih dan serumit ini mencari restu dari kakaknya.

"Kau butuh sesuatu?" Yoongi tersenyum.

Jihan mengangguk, melihat Yoongi merentangkan tangannya. Jihan langsung memeluk laki-laki itu erat, melepas tangisnya di pundak Yoongi. Saat ini Jihan butuh dukungan, Yoongi memang benar-benar bisa membuatnya lebih baik.

"Ini pelukan semangat." Yoongi menepuk punggung Jihan pelan, mendengar gadis itu menangis, "Sebagai teman."

Jihan merasa lebih tenang dari sebelumnya, kepalanya dielus Yoongi membuat tangisnya surut. Tak sampai ia melihat pintu kamarnya terbuka tiba-tiba, menampilkan sosok Jungkook yang nampak terkejut. Senyumnya langsung luntur saat melihat kekasihnya tengah berpelukan dengan laki-laki lain.

Jihan langsung melepas pelukannya, ia menampilkan wajah syok. Yoongi langsung menoleh ke arah belakang, ikut terkejut juga dengan kehadiran Jungkook.

"Apa .. yang kalian lakukan?" mata bulat Jungkook terlihat bergetar melihat adegan tadi. Terlebih laki-laki yang memeluk kekasihnya adalah Yoongi, mantan Jihan.

Jihan langsung bangun dari duduknya, hendak mendekat ke arah Jungkook yang seolah ingin marah. Tapi Yoongi lebih dulu bicara.

"Jangan kau menyalahkan Jihan. Ia sedang sedih, butuh dukungan. Kau jangan salah paham denganku." Yoongi berkata dengan pelan.

"Hh, dukungan?" Jungkook mengetatkan rahangnya, "Dukungan macam apa yang harus dilakukan dengan cara berpelukan seperti itu? Kau ingin mencari kesempatan, kan!?"

Jihan menengahi kekasihnya dan Yoongi yang nampak saling mendelik. Ia benar-benar tidak tahu kekasihnya datang seperti ini.

"Aku temannya, salah aku melakukan itu? Jihan sedang sedih, kau tak lihat? Dan itu karenamu."

Jungkook mengepalkan tangannya, ingin sekali memukul Yoongi, "Jangan kau membawa embel-embel pertemanan dalam masalahku dan Jihan! Kau tak penting, kau sengaja datang ke sini untuk menghasut Jihan, aku tahu."

Jihan mulai merasa takut dengan penghuni sebelah mendengar pertengkaran di dalam kamarnya. Ia menahan Jungkook yang ingin menghadang Yoongi.

"Jangan suka menuduh sembarangan sebelum tahu apa yang sebelumnya terjadi." Yoongi menoleh ke arah luar pintu yang terbuka itu, "Kau membuat ribut penghuni di sini. Sudahlah, kau hanya datang membawa emosi tanpa mendengar penjelasan orang lain."

Yoongi langsung keluar, sebelum itu ia melirik ke arah Jungkook, "Jangan berani menyalahkan Jihan." Kalau saja Yoongi tak ingin agar penghuni di sini terganggu dengan bentakan Jungkook, pasti Yoongi ladeni. Tapi ia masih punya rasa malu, ia takut Jihan kena batunya karena keributan berasa dari kamar gadis itu.

Pintu kamar Jihan langsung tertutup, Yoongi berharap di dalam sana Jihan tidak dimarahi. Ia rasa tidak akan, pria Jeon itu tidak mungkin sampai memukuli. Walau terlihat berangasan, caranya memperhatikan Jihan sering Yoongi lihat. Dia memang sayang dengan Jihan.

"Ah, dasar ahjussi."

***

Di dalam kamar, Jihan yang sedang mencuci piring kotor itu terus merasa was-was. Sejak sejam yang lalu Yoongi pergi, Jungkook sama sekali belum mau mengeluarkan sepatah kata.

Laki-laki itu masih diam, duduk di sisi ranjang dengan mata yang memandang ke arah lantai kamar. Sorot matanya nampak kosong. Terus memikirkan ucapan Yoongi yang mengatakan jika Jihan sedih dan menangis adalah karenanya.

"Ssaem," Jihan yang selesai dengan urusannya itu memanggil Jungkook dengan pelan dari tempatnya berdiri.

Jungkook mendongak, menatap Jihan lekat-lekat, "Kenapa tak menghubungiku?"

Ada nada kesal di sana, Jihan tahu. "Ponsel Jihan rusak, Jihan juga baru datang sore tadi ke sini. Jadi tak sempat memberi tahu." Jihan menunduk takut dengan tatapan Jungkook.

"Dan membiarkan mantanmu itu masuk ke sini? Dan berpelukan?"

Jihan menggeleng kencang, "Yoongi datang tak sengaja, Jihan benar-benar tak bermaksud mengkhianati Ssaem."

"Sekarang aku mengerti." Jungkook menarik napasnya kencang, "Kakakmu masih tetap tak setuju jika aku memiliki hubungan denganmu. Dan dia menyuruh Yoongi untuk mendekatimu. Kau sengaja seperti ini padaku Jihan? Tak memberi kabar, melarangku bertemu dengan kakakmu, karena kau tak percaya padaku? Merasa kakakmu paling benar dan mengerti dirimu?"

"Tak ..." Jihan melangkah mendekati Jungkook, "Ssaem jangan berpikir seperti itu-"

Jungkook tiba-tiba kembali berucap, "Jika saja kau tak melarangku datang pada kakakmu, ini tak akan terjadi! Kau lemah, kau tak tegas dengan pilihanmu!"

Bibir Jihan bergetar mendengar ucapan keras kekasihnya. "Ssaem ... ini bukan salah Jihan saja-"

"Iya! Ini salahku, salahku memilih perempuan yang tak bisa berpikir dewasa sepertimu!" Jungkook emosi, urat-urat di lehernya keluar. Ia begitu marah dengan kenyataan yang ia terima hari ini.

"Kau tahu kenapa aku marah?" Jihan sudah menangis di hadapan Jungkook, "Aku marah karena kau selalu menahanku, Jihan. Seolah kau ingin menghindariku, aku sedih dan terus memikirkanmu berhari-hari dan sekarang dengan gampangnya kau memeluk laki-laki lain ketika aku tak ada. Iya, dan itu semua salahku!"

Jihan memejankan matanya, takut mendengar Jungkook membentaknya seperti itu. "Jihan takut ..."

Jungkook menarik napasnya. Melihat Jihan menangis ketakutan membuat Jungkook terdiam. Pikirannya benar-benar termakan emosi juga rasa dikhianati membuatnya tak terkontrol sampai-sampai membentak Jihan.

"Kurasa kau tak akan berani berpaling jika aku melakukan ini." Jungkook langsung menarik pergelangan tangan Jihan, ia langsung melempar tubuh kekasihnya di atas ranjang.

Wajah Jungkook benar-benar dikabut oleh emosi, Jihan bergerak acak ketika tangannya dicengkeram erat supaya tidak banyak bergerak, celananya dilepas. Jihan menangis sejadi-jadinya ketika ia dimasuki dengan paksa.

Kedua tangannya dibawa ke atas kepala, kekuatan Jungkook tak bisa Jihan lawan. Ia benar-benar tak bisa berkutik.

"Jeon Ssaem ..." Jihan menangis ketika merasakan badannya terombang ambing dengan gerakan Jungkook yang kasar, "Jangan .."

Ketika Jihan hendak berteriak, bibirnya akan dicium. Hingga Jihan kehabisan tenaga untuk melawan, air matanya terus menetes merasakan sakit yang amat sakit. Di hati dan juga di fisiknya.

Matanya meredup, melihat gurat wajah Jungkook yang menangis di atasnya. "Tetap bersamaku." katanya pelan.

Beberapa saat setelahnya, Jihan sampai bersamaan dengan Jungkook. Tangannya yang dicengekeram dilepas Jungkook, Jihan langsung memeluk kencang punggung laki-laki itu ketika ia merasakan sesuatu hangat mulai menjalar di dalam sana.

"Banyak sekali, Ssaem ..." lirihnya pilu. Jihan menangis sesenggukan di pelukan kekasihnya. Ia membuat masalah lagi.

________


Jungkook nebar bensin di atas api. Belom kelar padahal masalah yang pertama, udah ada masalah lagi. Hidup adek Jihan jadi dipenuhi masalah, aw.

Reminder guys, seberapa buruk kamu di mata orang lain, yang pertama nerima kamu apa adanya adalah keluarga. Bukan pacar:) Aku sengaja buat karakter Jihan jadi kayak gitu. Biar dia dapet side effect.

Pemikiran kalian soal hubungan mereka juga ada pro dan kontra. Kalian yang menentukan gimana pendapat kalian ngogey( ̄3 ̄)

Keadaan Jihan di dalam sana, lagi dibully dia tuh sama Juki:")

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

243K 2.8K 10
cerita ini mengandung unsur HOMO, LGBT, BDSM, GANGBANG, kalau engga suka jangan di baca. renjun yang awalnya jadi korban pelecehan, di paksa masuk k...
8M 120K 14
Ketika cinta mengalahkan rasa benci, atau benci hanyalah sebuah alasan bagi cinta? -Jonathan Antonio Bandreza- dia adalah seorang player yang suka be...
8.3K 512 44
Post seminggu sekali Beberapa bagian dari cerita ini mengandung banyak adegan kekerasan dan adegan dewasa (18+). Dimohon bijak dalam membaca ya! Ini...
42K 6K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG