Moonstone

By TsubasaKEI

538 36 23

[Taufan x Halilintar] Pulau Rintis adalah Utopia dalam hitam putih. Dunia teratur terbalut rasa takut yang me... More

Moonstone

538 36 23
By TsubasaKEI

Selamat datang dan selamat berbahagia. Sekarang Anda menjadi bagian dari Rintis, dan Rintis adalah Anda. Hidup panjang, sehat, dan sejahtera bersama kami!

'Sesuai apa yang tertera pada perjanjian awal, warga Rintis dimohon untuk tidak keluar rumah pada malam hari. Ingat! Dimohon untuk tetap mewaspadai serigala bulan. Wajib untuk mengontak keamanan bila Anda menemukannya. Keamanan Anda adalah prioritas kami.

Selamat memulai hidup barumu!

Salam hangat,
Manajemen Pulau Rintis.

.
.
.

Di tempat mereka biasa berkumpul, dua belas lantai di atas gedung apartemen yang tidak ditinggali satu pun dari mereka,  Taufan merogoh saku jaketnya dan menunjukkan temuan misteriusnya siang itu.

"Lihat lihat, apa yang kutemukan!" Serunya. Benda itu kecil sebesar ibu jari. Mulus, terbungkus plastik garis-garis merah hitam. Warnanya kontras ketika dibandingkan nuansa Pulau Rintis yang putih bersih. Teman-temannya segera berkerumun berdesak-desakan, mengelilingi objek itu penasaran.

"Whoah," bisik Amar kagum. Jemari bergeliat gatal ingin menyentuhnya. "Apa itu?"

Taufan menggerdikkan bahu. "Entah." Ia mengoper benda asing itu ke wajah teman-temannya. Stanley dan Amar tidak bisa menutup mulut yang menganga kagum, sementara Iwan si mental tikus berdecit kaget dan melompat mundur.

"Ish, nggak akan gigit lah." Taufan berdecak dan memberikan benda itu pada Amar yang dari tadi sudah gatal ingin menganalisa. Pelan-pelan, Amar menerima benda misterius itu dari tangan Taufan. Mengapitnya dengan telunjuk dan jempol, namun tetap digantung jauh sepanjang lengan.

"Hmm." Gumam Amar. Plastik itu memantulkan matahari siang, seolah menjadi bulan kecil dalam genggam tangan. "Kira-kira apa isinya?"

"Buka-buka!" Suruh Stanley.

"Jangan buka!" Iwan si mental tikus menjerit sebaliknya.

Taufan yang menjadi pioner setiap kali melakukan tindakan ceroboh menyabet bungkusan itu dari Amar. Menghiraukan Iwan yang menjerit histeris menutup mata dan Amar yang mengerang jengkel. Dengan memunggungi kawan-kawannya, bungkus plastik itu Taufan robek terbuka.

"Apa?! Apa isinya?" Amar menarik jaket Taufan agar pemuda itu berbalik badan. Stanley mangut-mangut penasaran. Berjinjit dan berusaha mengintip dari samping Taufan yang menutup visual dengan kepalan tangannya. Ia baru sempat melihat sekilas warna merah delima, sebelum tanpa aba-aba Taufan melahap benda itu dari pandangan.

"Alamak!"

Iwan melengking menjerit, lalu jatuh pingsan di tempat.

"Taufan! Haduh, kau ngapain?! Muntahkan!" Panik, Amar dan Stanley mengguncangkan tubuh Taufan. Menepok-nepok punggungnya dengan harapan benda itu dimuntahkan, sebelum akhirnya Taufan menarik diri dari tangan-tangan tak kenal ampun itu.

Dengan satu tangan menutup mulut, Taufan bergegas menuju tangga turun. Ia melambaikan tangan yang bebas pada kawan-kawannya yang masih terguncang dengan aksinya tadi. Iwan terkapar tidak bergerak, terlupakan di belakang namun masih bernafas.

"Eh! Um, aku nak balik duluan ye! Tok Aba minta aku datang buat —uh, bantu! Ya. Itu. Em, nggak mau kena marah lah. Daah~"

Taufan menendang pintu terbuka melompat menuruni anak tangga. Tanpa keraguan meluncur menggunakan pegangan untuk mempersingkat perjalanannya ke lantai dasar. Tentu kepergiannya tidak luput dari umpatan warna warni dari mulut Amar. Stanley berdiri tidak lagi terkejut. Ia menepuk sabar Amar . Lagi-lagi meminta sahabatnya itu untuk merelakan Taufan yang seperti biasa kelakuannya tidak bisa ditebak. Dan lagi pula tidak ada yang bisa menang adu cepat melawan langkah 'Si Kaki Angin', jadi sebaiknya objek misterius itu lebih baik dihilangkan dari pikiran.

Ketika ia sampai di lantai bawah, Taufan melangkah ringan ke pintu lobi apartemen. Sensor pintu kaca menangkap gerakan ekstravagant itu dan mengusirnya keluar sebelum Taufan bisa menodai interior serba putih lebih lama lagi.

Di samping pintu, penjaga gedung, Pak Kumar, memutar bola matanya, namun tidak bergerak untuk menghentikan Taufan. Setelah usahanya 'menegur' yang ke lima kalinya, Kumar mengangkat tangan dan menutup mata setiap kali pemuda bernuansa  biru dan 3 kera yang mengekornya masuk lewat pintu belakang yang entah bagaimana bisa mereka bobol. Setengah menyalahkan umur dan pingganya yang rapuh, si penjaga gedung memberikan Taufan kartu anggota apartemen sebagai ganti harinya dia duduk mengawasi orang tidak diganggu. Dan mungkin juga karena kue kering yang secara ajaib muncul di posnya paling tidak seminggu sekali. Kumar rasa yang kecil dengan hiasan stroberi punya rasa yang unik.

"Kau buat masalah apa lagi sekarang?" Pos tempat  Kumar berdiri memiliki kamera CCTV yang menyorot pintu masuk. Taufan menyadari hal ini. Sehingga ketika Taufan keluar dari gedung, ia berjalan dengan tempo manusia normal dan menyapa Pak Kumar layaknya ia bukan setan biru pembuat onar.

"Tidak kok bos. Cuman pulang lebih cepat." Lalu Taufan berkedip centil. Selangkah setelah ia keluar dari jangkauan pantau CCTV, Taufan membalikan badan dan memeletkan lidahnya. Pak Kumar cuman bisa menghelus dada melihat Taufan  berlegak-legok menjauh hingga ia menjadi gumpalan biru di antara pencakar langit putih.

Pulau Rintis adalah utopia —paling tidak begitu menurut pengeras suara yang selalu berkumandang tiga jam sekali. Ketika buku sejarah mendikte setiap konflik yang terjadi sebelum dibangunnya kota ini penuh dengan tragedi, tentu saja tinggal di balik dinding perbatasan yang membentang kilometer panjangnya adalah opsi yang lebih baik. Sisi di balik naungan dinding adalah reruntuhan sisa peradaban yang terlupakan. Gelap tidak tersentuh matahari akibat awan debu mengepul hampir setinggi Puncak tertinggi dinding. Paling tidak itulah tampilan yang ditunjukan tv nasional dan billboard LED setiap kali memberitakan kondisi di luar.

Taufan berjalan menghindari keramaian. Menyelip di antara jas rapih yang berjalan urgent menuju kantor. Salah satu billboard yang menyala lagi-lagi memutarkan iklan layanan masyarakat yang sama; dengan latar hitam dan silhouette putih seekor serigala bulan. Dari tampak samping lengkap dengan lolongan pilu yang mengintimidasi. Semakin Taufan menjauhi pusat kota, semakin sedikit populasi yang bertebar di jalan. Bangunan pencakar langit tumbuh lebih pendek dan luwes, warna lain selain putih dan abu mulai bermunculan di atap dan dinding bangunan. Segaris Merah di antara hitam. Mereka selalu tersembunyi di balik gang. Taufan punya beberapa ide kenapa warna mencolok seperti itu hanya berani menampakan diri dalam kegelapan. Tapi hey, pemikiran sensitif seperti itu tidak pernah berujung baik. Terutama di kota ini. Kaki ramping  bersenggauan dari satu balok marmer ke balok yang lain. Mulut yang masih terapit menebar senyum pada penduduk yang matanya terpaku pada gerak-gerik Taufan.

"Hari yang indah bukan!" Sapaan si pemuda dibalas anggukan canggung. Sebelum ada yang bisa berkomentar, Taufan sudah terlebih dahulu meninggalkan lokasi.

Berbelok menuju ujung sebuah perempatan, di sana berdiri satu-satunya bangunan kecil yang memberontak putih normatif. Toko tersebut bercahaya dengan pintu kayu merah pudarnya. Saat Taufan tiba dan mendorongnya  terbuka, bunyi lonceng berdenting dari balik pintu. Harum menggiurkan lidah menggelitik hidung. Lelaki tua yang tengah merapihkan cinnamon roll hangat dilemari pajang menghentikan kegiatannya untuk mendongak ke atas.

"Ayo yo. Datang buat malingin dagangan atok lagi? Atau kali ini mau jadi penguji rasa?" Desah Tok aba dengan senyum. Taufan menyengir. Ia berjinjit untuk mencuri sebiji putri salju dari kotak tester di samping Tok Aba dan melahapnya eksesif.

Atok menggeleng-geleng."Ah, malinging dagangan rupanya." Atok menghela pasrah. Ia mengambil tisu selembar untuk mengelap bubuk gula dari bibir Taufan. Si pemuda menggembungkan pipinya bandel. "Jadi datang ke sini hanya untuk ngemil saja?"

"Hari nga agha Tok?" Tanya Taufan dengan mulut penuh. Proyektil yang menyembur di tahan oleh telapak.

"Halilintar?" Atok membuang tisu ke tong sampah di bawah kasir lalu menggunakan jempolnya untuk menunjuk ke pintu belakang. "Ada di belakang."

Taufan membuat gerak isyarat OK dengan jarinya dan bergegas ke arah dapur yang juga berfungsi sebagai gudang bahan 'Kedai Roti Tok Aba'. Ada meja persegi besar di tengah ruangan. Adonan dan cetakan kue berjejer rapih menunggu giliran untuk masuk ke dalam oven. Menilai dari hawa hangat ruangan, Taufan berjalan menghindari tungku perapian yang tengah di panaskan dan bergerak ke pojok lainnya.  Di kompor, pot alumunium  memasak  selai  yang tentunya akan Taufan icip nanti. Menjadi pengecap pertama gumpalan manis itu memberi rasa kemenangan tersendiri untuknya.

Suara bilah pengaduk adonan berputar nyaring, menyadarkan kembali Taufan pada objektif awal. Berdiri memunggungi Taufan, seorang pemuda bercelemek merah mengoperasikan mixer. Telinga tertutup headset tebal membuatnya acuh pada Taufan; tersenyum geli mengendap-endap dari belakang. Ketika merasa cukup dekat, Taufan melempar dirinya dan merangkul erat pemuda yang merutuk kaget itu.

"Agh - Sial! Apa-apaan—?"

"Haliii!" Taufan mengelapkan pipi ke belakang leher si pemuda. Yang dikagetkan segera mematikan mesin dan mencabut gawai yang menutup telinganya. Manik merah delima mendelik emosi  ke arah koala yang menempel dan tanpa ragu mendorongnya lepas.

"Oi! Kalau kamu nyenggol tu adonan gimana, hah? Emang sanggup ganti rugi—"

"Ngga lah.  Aku Hati-hati kok! Lagi pula mana mungkin kamu biarin aku kenapa-napa."

Si manik merah mendengus, mengelap tangan yang berlumur tepung pada celemek. Si tukang roti tampak ingin menjadikan wajah Taufan sebagai lap. Matanya berpindah pada pipi Taufan; yang nampaknya berisi sesuatu. "Makan apa kamu? Nyuri kue lagi?"

Taufan menjawab pertanyaan itu dengan menyengkram pergelangan tangan si pemuda dengan tenaga yang tidak biasa. Tangan yang satu membuat gestur lain; telunjuk di depan bibir. Seketika pemuda bermanik merah membungkam mulutnya. Taufan melihat sekitar, lalu membawa mereka ke dalam celah antara kulkas da rak susun. Sinar yang menyisip dari kipas ventilasi menyetak pada dinding yang menjadi latar. Iris delima memperhatikan tangannya yang di tahan Taufan perlahan ditarik mendekati wajah. Bibir kecil yang menguncup kini milimeter jaraknya dari telapak tangan.

Sesuatu bergerak dari dalam mulut Taufan. Berpindah dari rongga pipi ketengah mulut. Netra biru Taufan tetap menjaga kontak mata ketika ia melepehkan isi mulutnya ke telapak si pemuda.

"Halilintar." Halilintar melihat telapak tangannya dengan tatapan kosong. "Kamu suka hadiahku?"

"...lelucon macam apa ini?"

"Entah?  Kenapa nggak kamu yang jelasin ke aku, Hali?" Seringai bersumbar di wajah Taufan. Wajah yang biasanya membuat  sewot Halilintar hingga dia ingin hapus dengan tinjunya. Tapi kali ini  Halilintar kembali memakai topeng acuh yang sempat hilang saat Taufan menjadi konstan dalam hidupnya.  Atau seperti ucapan Amar, 'seperti anjing setia yang tidak mau berpisah dari majikan.' Taufan mendekatkan dirinya.

Berbalur liur dan sisa remah-remah lembek si putri salju, sebuah krsital merah diletakan pada telapak Halilintar. Bentuknya tidak biasa. Setengah luluh akibat terlalu lama berdiam di rongga mulut Taufan. Bahkan jika ada yang berani menghiraukan sisa biologis yang menjijikan itu, tidak ada yang tahu bahwa mereka tengah melihat sebuah permen berbentuk serigala.

"Kamu ingin aku ngomong apa?" Suara Hali tipis. Mendesis.  Tidak mau ia palingkan matanya dari objek yang mengganggu.

Taufan bergumumam, seolah memikirkan jawabannya. "Kau tahu? Aku makan ini sebelum aku tahu ini permen. Entah apa yang akan terjadi kalau Amar, Stanley, atau bahkan si tikus Iwan yang menemukan dan melapor temuan mereka ke pihak otorias. Aku nggak sebodoh itu Hali."

"Kamu sebodoh itu kalau kamu makan benda-benda nggak jelas." Timbrung Hali pedas. Ia melihat sekeliling mencari tisu, lalu mengambil residu menjijikan itu dari telapak. menggulung menjadikannya sebatas sampah biasa.

"Lho? Tapi jelas kok. Itu permen stroberi buatanmu. Walau aku nggak pernah tahu kamu bisa bikin permen. Dasar multi talenta." Taufan melepas genggaman dan melihat tangan Halilintar terselip kaku ke dalam saku beserta gulungan tisu tadi. Untuk seseorang yang biasa menyaingi stamina dan kecepatan Taufan tiap kali mereka bercanda kelewatan batas, Halilintar butuh waktu lama untuk memproses ucapan Taufan. Dan butuh waktu lebih lama lagi sampai pemuda itu mau menatap Taufan yang berkacak pinggang.

"Hali, aku sudah mencuri kue dari loyangmu bertahun-tahun aku kenal secara intim selai stroberi yang kamu buat." Ucap Taufan. "Jadi aku tahu nggak ada orang lain di pulau ini yang bisa membuat permen dengan rasa stroberi yang khas. Yang kuheran, kenapa orang itu mau mencetaknya dalam bentuk serigala? Membungkusnya dengan plastik berisi pesan rahasia dan menebarnya di jalanan?"

Mesin kipas angin antik menambal luputnya kontribusi dialog dari Halilintar. Taufan menepuk dirinya akan unjuk kesabaran yang biasanya tidak ia miliki. Ia masih menanti adu mulut lanjutan dari Halilintar. Adu mulut yang kadang berujung kontak fisik, dan sayangnya bukan kontak yang membuat Taufan melayang jauh termabuk panas tubuh lelakinya. Ah, tapi Taufan akan beragumen kalau bentuk kasih Halilintar memang unik seperti itu.

"Kamu tahu kan? Kemana pun kamu pergi aku bakal terus nempel di pantatmu." Ucap Taufan, melangkah mengurangi jarak di ruang yang hampir nihil tempat. "Tentunya kalau kamu ingin menebarkan bibit revolusi seperti itu aku akan berada dibelakangmu juga. "

"Itu sebabnya aku nggak bilang apa-apa, bodoh." Halilintar akhirnya mengalah dan mengangkat kebisuannya. Apa lagi ketika Taufan melingkarkan lengan panjangnya ke belakang leher dan menatapnya dekat. Nafas hangat menyapu bibir. Harum stroberi yang Halilintar panen dari kebun belakang. "Melawan pulau ini otomatis mereka juga melawan balik. Beberapa orang puas hidup dalam kebohongan. Aku nggak begitu—kami nggak bisa begitu. Serigala Bulan sudah kehilangan banyak orang dalam. Kalau kamu ada di belakangku, tubuh yang dibuang ke luar dinding bisa jadi punyamu."

"Atau bisa saja kamu, Hali." Taufan bersenandung nikmat saat tangan Hali mengikat pinggangnya. Ia tidak ingat kapan terakhir Halilintar berani membiarkan emosi mengambil alih tubuhnya seperti ini. Ia tidak ingat kapan Halilintar rela menjadi rentan dan bertumpu pada dirinya.  Pikiran Taufan memanjakan diri pada kemungkinan arti kedekatan ini untuk mereka. "Mungkin sudah saatnya Pulau Rintis di dominasi warna lain selain hitam dan putih." Manik Halilintar  menyala panas, "Aku nggak keberatan jika warnamu mewarnai seluk beluk kota ini."

"Akan ada pertumpahan darah. "

"Dari dulu juga sudah. Sekarang merah itu yang akan mengakhiri. Aku lukis diriku dengan warnamu kalau itu bayaran berdiri di sampingmu. Aku habiskan detikku untukmu. Kusamai langkahmu setiap kau berlari. Lariku secepat larimu, kan? Ah, tunggu. Itu nggak benar—balapan terakhir kita aku yang menang. Bwahaha! " Tawa Taufan. Ia membanting kepalanya ke belakang, kian mendekap Halilintar dalam prosesnya. "Aku bisa bayangkan; Pulau Rintis terbakar lautan merah! Eh, tapi jangan sungguhan dibakar. Aku tetap ingin nggak ada korban jiwa. Siapa yang mengatur pergerakan ini? Kalau nggak ada aku yang maju jadi komandan!"

Halilintar terbahak. Lalu ibu jari pemuda itu berada di tulang pipi Taufan. Mengelus maju mundur yang hanya bisa Taufan artikan sebagai afektif. Tawa Taufan tergelitik. Hanya Taufan yang bisa membanting alur diskusi seperti itu. Mau di hadang bagaimanapun, Taufan akan melompat kesana kemari dengan kaki ringan. Halilintar bisa membayangkan figur ramping muncul di tengah laut revolusi dengan senyum yang membutakan. Senyum yang membuat musuhnya mundur ketakutan namun menjadi bara yang menjaga semangat pemberontakan. Dan, mengikuti narasi Taufan, tanpa sadar bayangan ragu  disamping Halilintar tergantikan dengan biru laut dan langir pagi.

"Kamu gila." Halilintar mendengus, sebuah senyum tercermin tipis di bibir.

Taufan menyengir. Ia genggam tangan Halilintar,  yang menyentuhnya lembut untuk pertama kalinya, "Aku orang gila mu," lalu memberi kecupan dalam di bibir Halilintar.  "Dan wajahmu merah."

.
.

Hari itu, pengeras suara yang mengumandangkan paragraf yang sama selama puluhan tahun  menjadi salah satu reruntuhan hasil revolusi gerakan yang disebut 'rembulan merah'.  Di pagi yang sunyi kemarin hari, sekarang dibangunkan dengan hentakan kaki gerakan pemberontakan. Mereka bergerak menjadi lautan merah dan topeng serigala yang diciptakan tangan berbagai latar belakang. Tapi, setelah dinding perbatasan runtuh, dan dunia luar yang ternyata tidak semenakutkan itu berhasil dilihat oleh semua orang; muncul satu pertanyaan. Tidak ada yang tahu tangan siapa yang pertama menulis naskah revolusi. Satu-satunya petunjuk dari testimoni saudara perjuangan adalah pesan komando yang tersebar dalam bungkus permen stroberi berbentuk serigala. Permen yang--jika boleh beropini--rasanya diluar batas nikmat.

Terlepas dari segala spekulasi sosok messiah yang tidak ingin menampilkan dirinya, manusia mengembalikan diri pada narasi dunia. Mereka menjejalkan kaki, melaksanakan peran mereka yang sempat terlupakan selama puluhan tahun, dan sekali lagi berusaha mencari kebahagiaan. Mungkin kali ini dengan cara yang benar. Sepasang dari mereka mendapatkan kebahagiaan di tengah lahan luas yang ditumbuhi kecambah muda. Tubuh merangkul mesra, Kali ini mereka berbagi kecupan tanpa beban lain selain menanti panen stroberi  dalam tiga bulan.

.
.
.

.
.
.

A/N:
Heyhoo! Ini sebetulnya submisi untuk event MonthlyFFA, cuman aku kebelet bikin cover, jadi submit ke wattpanya tertunda lamaaaa banget >_<

Ini kedua kalinya bikin oneshot boboiboy! Insting awal aku ingin banget nge jelasin pemberontakan hali & taufan, cman aku yakin pasti gak akan selesai2.

INI PERTAMA TULIS KISS SCENE AHAHAH

Gitu aja aku dah panas woii, wkwkwk. Biasanya aku nulis adegan romansa jarang banget kan ya. Aku makhluk main hintss. Cuman sanggup nebar-nebarn kayak meses coklat.

But i do hope you enjoy the story and the art :D
Doain cepat kelar wip yang lain //amin

Sekian,
TsubasaKEI,out

Continue Reading

You'll Also Like

303K 9K 30
[Geminifourth area โœ”๏ธ๐Ÿ”ž] END!! #geminifourth#gay#bxb BELUM DI REVISI TYPO BERTEBARAN!! Fourth adalah seseorang yang sangat pendiam,tidak banyak berbi...
91K 6.2K 26
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK 1YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB โš ๏ธ M...
1M 86.9K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
71.5K 13.6K 15
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ โ€ผ๏ธ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...