SINGASARI, I'm Coming! (END)

an11ra tarafından

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... Daha Fazla

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

43 - PAST

26.3K 4.6K 1.2K
an11ra tarafından

Hmm,
Nggak boleh pakai bintang - bintang lagi yaa???
🤭

Heraaaan...
Biasanya pada minta "bintang"
Lah aku kasih "bintang" mana bukan satu tapi buaaaaanyak
tanpa diminta,
Readers malah Essmossi
🤔

Ck... ck... ck...
(Bintang nggak boleh, pakai titik - titik boleh yaa???)

-----------------------------------------------------

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Eddy is seeing monkeys
Enjoy reading guys

(yang enjoy sih, kalo nggak enjoy
Hmm...

Si Dodo ke kantor Camat
Bodo amat
🤭

.

.

.

.

.

.

.

.

.

--------------------------------------------------

Aku pikir cobaanku hidupku di era Singasari sudah cukup rumit hingga terdampar di istana Ratu Ken Dedes, ternyata aku keliru. Sama seperti ketika aku diperintahkan untuk meninggalkan kediaman Pangeran Anusapati, sumpah aku takut. Begitupun sekarang, saat memandang rumah besar yang didominasi kayu di hadapanku ini.

Seperti yang aku rasakan kemarin, hari inipun aku tiba - tiba merasa sesak napas padahal aku yakin tak punya riwayat asma sama sekali. Bayangkan, aku sudah merasa betah bekerja sebagai tukang cuci dan tentu telah membiasakan diri saat berurusan dengan dinginnya air selama hampir sebulan. Apalagi lukaku sudah sembuh dan tidak bertambah lagi.

Nyi Bayaworo tiba - tiba mendatangiku. Harap - harap cemas sambil berpikir kesalahan apalagi yang telah kuperbuat? Namun ternyata beliau memerintahkan aku untuk membereskan barang - barangku. Awalnya batinku berteriak senang karena mungkin aku akan kembali ke pendopo kediaman Pangeran Anusapati.

Angan tinggal angan - angan semata, mungkin aku memang tidak berbakat menjadi cenayang karena prediksiku selalu meleset bahkan kelewat jauh. Kenyataannya, aku memang tidak akan bekerja lagi di istana Ratu Ken Dedes ataupun di wilayah istana manapun karena mulai saat ini aku akan bekerja di luar istana.

Aku bahkan agak menganga mendengar titah itu, Nyi Bayaworo mengatakan bahwa diriku akan melayani keluarga bangsawan di luar istana. Luar biasa bukan cara mereka mengusirku ke luar dari istana. Bukannya terobsesi tinggal di istana, tetapi aku tidak punya banyangan apapun tentang kehidupan di luar sana. Apa aku akan baik - baik saja di tempat baru dan asing itu? pertanyaan yang terus berputar di kepalaku dan membuatku nyaris tidak bisa tidur semalaman.

"Apa yang kau tunggu. Masuk!" perintah pria yang berpenampilan agak sangar. Dia tampaknya bekerja sebagai pengawal dari keluarga bangsawan ini. Dia pula yang menjemputku dari istana, jangan membayangkan jika aku dijemput dengan kereta kuda. Harap diingat, statusku hanya pelayan jadi pastinya kami berjalan kaki menuju rumah ini. Jika pengawalnya saja sebegini mengerikan, aku bergidik membayangkan bagaimana tuanku nanti.

"Maaf," ucapku takut - takut dan mengikutinya yang telah membuka pintu sehingga terlihat keadaan rumah yang tadi tertutup pintu kayu berukir.

Rumah ini cukup besar dan terbagi ke dalam beberapa bagian terpisah dengan arsitektur rumah joglo tradisional. Seperti banyak orang tahu bahwa joglo adalah rumah adat bukan hanya bagi Provinsi Jawa Timur tetapi juga Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Bentuk rumah joglo di Jawa Timur ini kurang lebih mirip, hanya saja karakteristiknya lebih kental. Mulai dari kayu, pintu, ruangan, hingga ukiran yang terdapat dalamnya memiliki makna tersendiri.

Jika di Jawa Tengah menggunakan banyak jenis kayu yang dipakai untuk membuat sebuah rumah tradisional, disini kayu jati merupakan bahan utamanya. Itu aturannya namun apakah dalam prakteknya semua begitu atau tidak, aku kurang tahu. Jujur, aku tidak terlalu tertarik walau ditawari beasiswa penuh untuk masuk jurusan Arsitektur maupun Teknik Sipil karena satu kata di otakku yaitu R-U-M-I-T.

Sederhananya passion-ku memang tidak di sana. Kenyataannya, mengerjakan sesuatu yang kita senangi entah kenapa membuat segalanya terasa tidak rumit. Maka jadi "rumit" mungkin karena aku tidak memiliki ketertarikan di bidang itu. Apalagi menurutku setiap profesi memiliki sisi "keren" dan "rumit" masing - masing sehingga tidak patut dibandingkan satu sama lain.

Parahnya menentukan komposisi bahan kue yang tepat aku kadang gagal apalagi menentukan komposisi bangunan. Jangan - jangan baru sebulan sudah roboh. Bukanya dapat penghargaan, mungkin aku malah dapat surat panggilan dari kepolisian. Sadar kemampuan diri kawan, karena setiap hal ada konsekuensinya...

Syukur - syukur hanya bangunan yang roboh, bayangkan jika sampai ada korban jiwa. Kemungkinan aku terancam pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu "Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun." Memikirkannya saja sudah membuatku bergidik.

Setahuku juga, ada banyak jenis rumah joglo. Paling mudah diingat menurut ukuran rumah dari yang terkecil hingga terbesar yaitu rumah joglo Sinom, rumah joglo Pangrawit, dan rumah joglo Hageng. Ketiganya memang berbeda ukuran maupun bentuk serta ketinggian atapnya. Mudahnya, tingkat ekonomi pemilik rumah menentukan bentuk rumahnya. Kata orang bahwa uang bukan segalanya, tapi masalahnya segalanya butuh uang... Eaaa

Rumah joglo juga memiliki 6 ruangan yang biasa ada diantaranya pendopo, pringitan, emperan, omah njero, sentong dan gandhok. Satu hal yang pasti untukku yaitu efek yang mirip bangunan arsitektur Belanda yaitu akan terasa 'adem' saat berada di dalamnya seberapapun panasnya udara di luar. Paling tidak itu yang aku rasakan saat ke rumah Eyang di Solo. Mama memang keturunan Jawa namun kami jarang pulang kampung semenjak kedua Eyangku meninggal saat aku masih duduk di sekolah dasar dulu. Kami malah lebih sering ke rumah Aki di Purwakarta.

Dahiku mengeryit karena rumah ini cukup sepi hanya ada beberapa pria seperti orang yang berjalan di depanku saat ini. Tak ada tatapan ramah yang orang - orang ini tunjukkan. Menelan salivaku yang seperti tersangkut di tenggorokan, apalagi aku belum minum setetes airpun sejak tadi pagi. Aku sebenarnya bekerja di tempat seperti apa?

Belum selesai mencerna keadaan di sini, kini aku dikejutkan dengan pemandangan di depanku karena ada lahan hampir seluas lahan lapangan tenis dan lebih dari sepuluh orang sedang berlatih kanuragan di sana. Berusaha terus berjalan dan tidak memandang orang - orang itu. Tak bisa kuhindari kala badanku sedikit bergidik takut, apalagi saat mendengar suara keras yang biasa terdengar saat mereka melakukan jurus - jurusnya.

Ternyata nasib sialku belum hilang juga, aku pastikan tempat ini bukan rumah bangsawan biasa. Aku malah curiga, rumah ini adalah padepokan silat. Sebenarnya itu bukan masalah. Ketakutanku yaitu jangan - jangan aku terdampar di rumah juragan kampung atau malah kediaman lintah darat sadis yang sering aku lihat di film - film kolosal. Mungkin orang - orang yang sedang kulihat ini memang sedang dilatih menjadi tukang pukul. Mapus... sepertinya aku benar - benar kurang sedekah.

Orang yang tak kuketahui namanya berhenti melangkah, telunjuknya terangkat menunjuk sebuah pendopo kecil "Masuk ke dalam, di sana ada Mbok Sinem dan dia yang akan menjelaskan tugasmu," ucapnya lalu meninggalkan aku begitu saja.

Menghembuskan napas pasrah lalu menaiki undakan namun belum sempat aku mengetuk pintu ternyata pintu keburu terbuka dan menampilkan perempuan cukup tua yang juga terlihat kaget melihatku. Jujur aku lega karena dia tampak seperti Nyi Ratri. Jangan salah paham, bukan wajah mereka yang mirip tetapi karena sama - sama terlihat bagai atasan yang baik dan tidak galak. Walau itu baru prediksiku saja tetapi tak ayal membuatku tersenyum.

"Kau pelayan baru yang datang dari istana, Nduk?"

Memberi hormat padanya lalu berkata "Benar, hamba Rengganis pelayan dari istana."

Tersenyum lebar "Ini bukan istana dan aku juga pelayan sama sepertimu, Nduk. Hormati aku bukan sebagai atasanmu tetapi sebagai orang yang lebih tua, itu sudah lebih dari cukup" mengelus kepalaku pelan "cantik sekali wajahmu, Nduk."

Bibirku tertarik lebar, siapa juga yang tidak senang saat dipuji cantik, "Terima kasih."

Mengapit tanganku untuk mengikutinya masuk ke dalam pendopo "Panggil aku Mbok Sinem," ucapnya lalu telunjuknya terangkat dan mengarah pada seorang wanita muda yang tengah memotong buncis "Itu Ayu, dia juga pelayan di sini. Sebenarnya ada satu lagi yaitu Mbok Jum tapi dia belum pulang dari pasar. Sisanya hanya datang untuk bersih - bersih atau mencuci setiap tiga hari sekali lalu pulang dan tidak tinggal di sini. Ndoro tidak suka kalau di sini terlalu banyak orang."

Dia mendudukan diriku di dipan tempat Ayu mengiris buncisnya "Senangnya punya teman sebaya, aku kira aku akan menjadi tua karena dikelilingi nenek - nenek di rumah ini," ucap Ayu yang langsung dihadiahi jeweran dari Mbok Sinem. "Auuwww... ampun Bude, sakit!" runtutnya sambil menggelus telinganya yang memerah.

"Rengganis, ingat untuk berhati - hati, jangan sampai terpengaruh oleh gadis tak waras ini!" ucap Mbok Sinem yang masih mendelik memandang Ayu.

Tersenyum melihat kelakukan mereka, bersyukur sepertinya aku akan mudah beradaptasi di sini. Minimal dengan sesama pelayan, jika dengan majikannya... Entahlah. Jujur, bayanganku masih suram dan mengerikan. "Aku bantu ya?" tanyaku setelah menaruh barang bawaanku yang sangat sedikit itu, kemudian mengambil pisau lain terdekat dan mulai memotong buncis mengikuti bentuk yang ada dalam wadah.

Aku tersentak dan otomatis menghentikan gerakan memotongku karena Ayu tiba - tiba mengapit daguku lalu menggerakan ke kanan dan ke kiri kemudian berkata, "Kau bukan pelayankan? Apa kau bangsawan yang sedang menyamar jadi pelayan, hm? Ayo mengaku?" Matanya menyipit curiga.

"Auuww..." Pekik Ayu sesaat setelah Mbok Sinem yang kembali mendekati lalu memukul kepalanya dengan sudip kayu.

"Ayu, jaga sikapmu! Dasar bocah ora waras!" ujar Mbok Sinem kesal dan aku tak bisa menahan cengiranku menyaksikan kejadian ini.

"Sakit Bude!"

"Salah sopo?"

"Iiiissh... coba saja Bude lihat sendiri, mana ada pelayan macam dia?" Telunjuknya mengarah padaku "Aku pernah ikut ke istana, tetapi tidak pernah lihat yang seperti dia. Lihat kulitnya juga putih mulus begitu, dia lebih terlihat seperti bangsawan daripada pelayan!" ucapnya bersungut - sungut sambil mengelus - ngelus kepalanya yang terkena pukulan tadi.

Aku terkekeh pelan sebelum menjawabnya, "Terima kasih pujiannya Ayu, tapi aku memang pelayan... tepatnya pelayan cuci di istana Ratu Ken Dedes. Aku cantik mungkin karena ibuku kebetulan memang cantik jadi aku harus berterima kasih padanya."

"Hmm... jangan - jangan kau bangsawan yang kena hukum lalu dijadikan pelayan di istana!"

"Aku bukan bangsawan, Ayu!" ucapku tegas walau masih mempertahankan senyumku.

Jujur, aku takut dia bertanya nama keluargaku atau nama orang tuaku. Berkata yang sebenarnya tidak mungkin karena nama Papa dan Mama akan terdengar aneh di telinga mereka. Sebaliknya jika berbohong, maka aku menjurus pada status anak durhaka karena tidak mengakui orang tuanya... Benar - benar Malin Kundang versi wanita. Hadeeeh...

"Kau pelayan cuci?" tanya Ayu memastikan perkataanku tadi.

"Iya, kan tadi aku sudah bilang," jawabku tenang.

Menengok cepat ke arah Mbok Sinem "Bude, bagaimana jika aku bertukar tugas dengan Nawang. Siapa tahu kulitku juga bisa putih mulus macam Rengganis jika sering - sering berada di air?"

"Ora waras tenan bocah iki!" umpat Mbok Sinem sambil menghela napas kesal.

"Hahaha..." Menghentikan tawaku karena dipandang oleh dua orang itu lalu berkata, "maaf"

"Tidak apa - apa, Rengganis. Heran adikku sebenarnya ngidam apa sehingga melahirkan anak macam Ayu ini."

Melihat ke arah Mbok Sinem kemudian bertanya "Mbok, apa tugas hamba di sini?" tanyaku penasaran.

"Hahaha..." giliran Ayu yang tertawa padahal jelas - jelas tidak ada yang lucu dari kata - kataku, tapi dia langsung mengatupkan mulutnya ketika mendapat pelototan dari Mbok Sinem.

Ayu berkata dengan mencoba menahan tawanya "Jangan berbicara merendah pada kami Rengganis, tidak perlu 'hamba - hamba' segala. Kau malah terdengar lucu. Yaa, tapi kau tetap harus menggunakan kata itu jika dihadapan Ndoro." suara Ayu memelan lalu melanjutkan "Tenang saja, Ndoro juga jarang berbicara jika tidak ada yang penting. Sepuluh kata itu sudah paling panjang yang aku dengar selama ikut bekerja di sini, sisanya hanya kata 'apa ada masalah?' dan 'kau boleh pergi!'. Sumpah, aku sampai hapal baik kata maupun raut wajahnya saat mengucapkan itu."

Mbok Sinem menyela, "Husss..." Memalingkan muka memandangku, "Benar kata Ayu, kita setara Nduk, jadi tak perlu sungkan. Tugasmu adalah mengurus keperluan Ndoro kecil."

"Baik Mbok, saya mengerti. Tetapi dimana Ndoro kecil itu, bukanya saya harusnya mulai bekerja sekarang?"

"Ndoro kecil belum pulang dari kediaman Resi Wentangan. Dia biasanya baru pulang sore hari. Sedangkan Ndoro belum pulang sejak kemarin. Ndoro punya banyak urusan jadi memang jarang berada di rumah." Bukan Mbok Sinem yang menjawab pertanyaanku tetapi Ayu.

Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan seperti tempat apa ini? Ndoro - Ndoro yang mereka bicarakan itu siapa namanya? Ndoro kecil yang akan aku asuh itu perempuan atau laki - lagi? Bagaimana sikapnya? Apa aku akan mendapat gaji?... Eh... Hahaha

Semua pertanyaan itu rasanya tersangkut di tenggorokan dan tak bisa aku keluarkan. Jadinya yang aku lakukan malah membantu mereka memotong sayuran dan merebus singkong yang cukup banyak. sambil bekerja aku mendengarkan cerita Ayu. Berdasarkan ceritanya, sepertinya sang tuan rumah memang kaya raya dan punya banyak usaha.

Aku juga membantu Ayu dan Mbok Sinem menyiapkan makanan untuk orang yang tadi aku lihat berlatih di halaman luar. Apalagi hingga kini anak yang aku harus asuh belum datang juga, padahal Mbok Jum telah pulang dari pasar sejak tadi dan hampir menyelesaikan masakannya. Ternyata singkong - singkong tadi juga untuk mereka. Ngomong - ngomong, berlatih seharian tetapi hanya diberi singkong dan wedang rempah, jika aku jadi mereka pastinya sudah menyerah dan ngomel - ngomel.

Sepertinya Tuhan mengirimku ke masa ini agar aku bisa lebih banyak bersyukur. Dulu saja, aku sering mengeluh ketika mendapat nasi padang saat harus mengikuti rapat di sekolah. Sebenarnya bukannya apa - apa tapi karena rendangnya lebih mirip karet karena nyaris tak bisa digigit.

Tolong maklumi sifatku ini. Walaupun bukan anak sultan tetapi aku adalah anak satu - satunya dan keluargaku juga berkecukupan... Oh, tepatnya lebih dari berkecukupan. Papa memang bukan CEO dan tidak mewariskan perusahaan pada kami. Mungkin karena tahu jika aku dan Mama akan membuat perusahaan itu bangkrut sebab tak becus mengelolanya.

Tapi Papa mewariskan kami "bisnis dingin" maksudku beliau menginvestasikan uangnya dalam bentuk properti seperti rumah, kos - kosan hingga ruko. Intinya tanpa bekerjapun uang sewa akan mengalir ke rekening. Selain itu beliau juga memiliki lahan pertanian warisan Aki yang lumayan luas. Dengan sistem bagi hasil dengan petani penggarap, membuat rekening Mama yang juga telah berisi uang warisan Eyang alias ayahnya bertambah secara rutin. Mama juga memperluas bisnisnya dengan membuat salon yang kini memiliki tiga cabang. Walaupun tidak sekaya Nia Ramadhani, tapi aku cukup bersyukur atas apa yang kupunya.

Apalagi kini aku termasuk wanita karier yang berpenghasilan stabil. Rekeningku bertambah bukan hanya dari pemerintah tetapi juga transfer Mama. Aku sering menolak tapi tak pernah dihiraukan olehnya. Mudah mendapatkan segalanya tanpa ada saudara membuat sifat congkak dan egois pasti tertanam dalam diriku, walau aku yakin tidak menanam bibitnya.

Tidak ada manusia yang sempurna kawan. Cantik, kaya, ramah, sabar, rendah hati, cerdas, beriman, dermawan, berbadan proporsional, populer dan sifat positif lain yang berada dalam satu tubuh itu hanya ada dalam cerita fiksi bahkan hanya angan - angan. Berhubung aku manusia normal jadi sisi baikku hampir berimbang dengan sisi burukku.

Membawa nampan berisi sekendi besar wedang rempah dengan hati - hati. Tidak mungkin aku biarkan Mbok Sinem yang membawanya. Berjalan di belakang Ayu dan berusaha tidak menjatuhkan kendi itu sehingga aku tak peduli sekitar. Apalagi tadi sekilas aku lihat wajah mereka sangar - sangar... Hiiiih... aku bergidik lagi.

"APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI!!!"

"Praaang... byuuuur" Kaget karena mendengar teriakan marah yang familiar di telinga, membuatku menjatuhkan nampan bersama kendinya. Mendesis pelan menahan panas di kakiku akibat terciprat... Eh tersiram mungkin lebih tepat. Sepertinya aku dan air panas memiliki hubungan yang akrab belakangan ini.

Sumpah aku tak ingin menghadap ke belakang, lagipula sekilas semua orang terdiam bagai patung sedangkan kini badanku mulai gemetaran. Menghela napas pelan lalu berjongkok karena ingin membereskan kekacauan yang aku buat. Sepertinya peribahasa keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Itulah yang aku alami sekarang. Aduh Gusti anu Agung... Please help me...

"Bangun Rengganis. Ikut aku, SEKARANG!" perintahnya geram yang tentu diakhiri teriakan yang membuatku kaget sekali lagi.

Menghela napas untuk kedua kalinya lalu berdiri "Maaf Mbok," ucapku sambil berusaha tersenyum walau nampaknya gagal. Apalagi Mbok Sinem yaris pucat pasi. Dasar orang itu memang kadang tidak peduli sekitar, sudah tahu pelayannya nenek - nenek malah teriak - teriak. Bagaimana jika mereka kena serangan jantung di tempat?

"Rengganis, CEPAT!"

Mbok Sinem buru - buru memberi isyarat untuk mengikuti Ndoro baruku itu. Dari sekian banyak keluarga bangsawan kenapa harus di sini sih aku terdampar. Berjalan dengan bahu yang terkulai lemas mengikutinya memasuki pendopo utama rumah ini. Tetap menunduk dan mataku otomatis memandang kakinya. Sepertinya dia sudah berbalik badan menghadapku.

Berjalan mundur karena dirinya tampak bergerak maju menghampiriku "Diam ditempatmu, Rengganis!" perintahnya yang membuatku seketika menghentikan langkahku.

Berjongkok sesaat setelah berada tepat di depanku. Sumpah aku risih melihatnya memperhatikan kakiku yang pastinya memerah. Heran, kenapa aku selalu tidak tampak elit dan memukau di hadapannya? Selalu saja dia melihatku saat mengalami "bad day".

"Bisa tidak, sehari saja kau tidak ceroboh, Rengganis?" nada suaranya memelan dan akhirnya mataku memandang langsung ke mata dengan iris hitam itu karena dia mendongakan wajahnya ke atas.

Memutus pandangan mataku dengannya dan mundur dua langkah "Hamba tidak apa - apa, Raden Panji Kenengkung."

"Hmm... dibanding luka di betismu waktu itu, mungkin kulit kakimu yang memerah ini tidak ada apa - apanya buatmu, iya kan? Apa aku perlu menambah lukamu lagi sehingga kau akan sadar arti kata 'tidak apa - apa' dengan baik dan benar?" tanyanya sarkas.

"Anda mengancam hamba lagi, Raden?"

Entah berkah atau malah musibah aku bekerja di sini, tepatnya di kediaman pria yang aku cintai dan tentu juga harusnya aku hindari sebisa mungkin yaitu Raden Panji Kenengkung. Berkahnya mungkin adalah aku bekerja bukan di rumah lintah darat atau juragan kampung bengis yang membuatku ketakutan sejak pagi. Tetapi nampaknya aku akan tetap ketakutan... ketakutan terbakar cemburu karena melihat dia hidup bahagia dengan istri dan anaknya.

Menghindari mereka juga tidak mungkin. Tadi Mbok Sinem bilang bahwa aku akan mengasuh Ndoro kecil, pasti Reksa yang beliau maksud. Apa aku minta bertukar tempat saja dengan Nawang sang tukang cuci seperti yang disebutkan Ayu tadi? Nampaknya sulit... Hmm... atau aku kabur saja, tapi mau kemana? Jika begini aku lebih memilih di istana Ratu Ken Dedes dengan ancaman memar dan luka di betis daripada memar dan luka di hatiku. Hadeeeh...

Menjentikan jarinya di depan wajahku "Apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begitu, hm?" Tampaknya dia sudah berdiri sejak tadi selama aku melamun.

Mundur selangkah karena jarak kami terlalu dekat "Ham____hamba tidak melamun, Raden," jawabku berkelit karena tidak mungkin juga aku bilang tadi aku melamunkannya.

"Apa wajahku semenakutkan itu hingga kau dari tadi mundur terus, Rengganis ?"

Wajah Anda justru makin tampan jika dilihat semakin dekat, namun kata - kata itu terlarang untuk aku ucapkan maka akupun berkata, "Maaf, kurang lebih begitu, Raden."

"Pletaaaak" Dia menyentil dahiku dengan kejamnya.

"Auuwww" ringisku dan membuatku otomatis mengelus bekas penganiayaannya di dahiku itu.

Berdecak lalu memandangku putus asa "Aku kira aku sudah bilang padamu, Rengganis."

Dahiku kini berkerut heran mendengar perkataan barusan "Yang mana Raden? Terlalu banyak yang Raden katakan jadi hamba tidak ingat satu persatu."

Membuka bebatan kain di pergelangan tangannya yang membuat aku mundur kembali. Apakah aku sudah bilang bahwa pria tampan, jago bela diri kadang cenderung sedikit psikopat. Paling tidak itu yang tertulis secara implisit di novel - novel milik Gia. Mataku waspada karena kain itu tak mungkin untuk membebat kedua kakiku, aku kan bukan mumi.

Belum beres aku berpikir tentang kegunaan kain itu, tanganku telah ditarik dan badanku diputar sehingga aku kini membelakanginya. Astaga... apa aku akan dicekik menggunakan kain? Aku sampai menutup mata karena takut, pasrah akan apa yang terjadi sebentar lagi.

Badanku terkesiap saat tanganya meraup rambutku yang tergerai lalu mengangkatnya ke atas, astaga aku salah paham lagi. "Raden," ucapku memperingatkannya sambil bergerak agar dia melepaskan rambutku karena bagaimana jika istrinya tiba - tiba datang. Aku belum siap dilempar uang... Eh

"Aku sudah bilang, jangan menggerai rambutmu. Apalagi di sini banyak laki - laki!" ucapnya tegas walau pelan sambil mencepol dan mengikat rambutku dengan kain tadi.

Menghembuskan napasku karena bukan salahku. Tadi rambutku memang terikat seperti ini sampai Ayu menarik ikatan kainnya. Dia beralasan ini bukan istana jadi tidak ada keharusan mengikat rambut saat bekerja kecuali nenek - nenek macam Mbok Sinem. Ucapan yang sukses membuat Ayu terkena pukulan sudip kayu sekali lagi. Dia juga tidak ingin terlihat menyedihkan karena kulitnya terlihat berbeda denganku, menurutnya kulitku lebih baik tertutup rambut.

Membalikan badanku lagi menghadapnya dengan kedua tangannya yang memegang bahuku. "Apa Mbok Sinem sudah menjelaskan apa tugasmu di sini?"

Bergerak supaya dia melepaskan tangannya dari bahuku "Bisa tolong melepaskan tangan Raden terlebih dahulu? Hamba tidak ingin ada orang yang salah paham, Raden!"

Menyeringai memandangku "Jika aku tidak mau bagaimana, hm? Ini rumahku, terserah aku mau melakukan apa?"

Dia sudah gila rupanya tapi kata - kata itu berubah saat mencapai lidahku "Apa Raden sedang mabuk... lagi?"

"Hahaha... Apa jika aku mabuk, aku diizinkan untuk menyentuhmu, Rengganis?"

"Raden merendahkan hamba rupanya." Kemarahanku tersulut "Tapi kenapa hamba bisa dipekerjakan di sini? Ini bukan kebetulan pastinya? Apa Pangeran Anusapati yang merencanakannya?" tanyaku bertubi - tubi, ketakutanku menguap entah kemana karena tampaknya mereka semua mempermainkan hidupku ini tanpa seizinku.

Matanya menatapku lama dan tangannya melepaskan bahuku "Apa mengetahui semuanya terlebih dahulu sebegitu penting bagimu, Rengganis? Memang kenapa jika Pangeran Anusapati yang merencanakan agar kau bekerja di sini? Kau keberatan bekerja di RUMAH-ku? Hmm... atau kau ingin bekerja kembali di istana kediaman Pangeran Anusapati? Ck... ck... ck... sayang sekali itu sulit untuk saat ini!"

"Bu_______"

"ROMO SUDAH PULANG!" suara teriakan yang juga familiar di telingaku membuat ucapanku terputus dan otomatis bergerak ke samping memberi Reksa jalan.

Berjongkok menyamakan tingginya dengan putranya yang sedang berlari lalu mengendongnya "Romo sudah bilang berkali - kali, jangan berteriak atau berlari - lari, Reksa!"

Tersenyum lebar "Reksa rindu pada Romo jadi_____" kata - katanya terhenti dan matanya menyipit kala menemukan keberadaanku. Mungkin karena tadi aku membelakanginya jadi dia tidak melihatku dengan jelas seperti sekarang.

"BIBI..." teriaknya lagi yang membuatku nyengir seketika.

"Reksa!" suara Raden Panji Kenengkung memperingatkan anaknya sekali lagi.

Memandang ayahnya lagi "Hehehe... maaf Romo. Tapi untuk apa Bibi ada di rumah kita?"

Menghembuskan napasnya pelan sebelum menjawab pertanyaan anaknya itu "Mulai sekarang dia bekerja di sini dan dia juga akan menjadi pengasuhmu, Reksa."

"BENARKAH???"

"Reksa!" kembali memperingatkan anaknya yang rupanya bebal itu.

"Hehehe..." terkekeh senang dalam gendongan ayahmya.

Dapatkah aku sesenang Reksa setelah tahu aku bekerja di sini? Entahlah... aku coba menulikan telinga karena di otakku rasanya ada suara yang mengatakan bahwa aku akan merasakan sakit walaupun tanpa satupun luka di badanku. Parahnya aku seperti mendengar ada soundtrack juga dalam kepalaku yang berbunyi :

Jagalah hati jangan kau kotori...

Jagalah hati lentera hidup ini...

Jagalah hati jangan kau nodai...

Hadeeeh...


-----------------Bersambung ----------------

26 Maret 2021

-------------------------------------------------------


Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

771K 95.9K 63
WARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa t...
81.8K 2.8K 26
Kayaknya kamu lupa bahwa kereta yang sudah pergi tidak akan bisa kembali lagi.
382K 24.9K 121
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
233K 10.1K 31
[PART COMPLETE] Ketika kehidupan dua gadis yang berbeda harus tertukar. Rara yang awalnya memiliki segalanya harus rela berbagi dengan reina. anak s...