Boulevard Revenge

By CrimsonAzzalea

1.9M 89.7K 4.7K

Irina lulus dari pendidikannya dan meraih gelar dokter spesialis bedah Thoraks Kardiovaskular di umur yang re... More

Warning Before Reading
Ice Prince And Fire Heart
Emergency Decision
Unpredictable Meeting
Hidden Hate
Past Mistake
Melting Ice
The Failure and Tears
Edel's Secret
Unforgetful Mistake
Red Moonlight
Confuse and Deep Feeling
Jigzaw Puzzle
Strong Wind
Pure Love and Little Piece Of Memory
Retrouvailles,White Lotus and Storm
Epilog
Advertised
Announcement For Ghost Campus Story
Unit 13 Team

Unlock Door and Secret Reveal

101K 4.4K 312
By CrimsonAzzalea

" Bragaa!!" Jerit kekagetan empat dokter Boulevard menyaksikan reuni memilukan sepasang insan yang dipisahkan secara paksa oleh nasib dan keegoisan orang tua.

Bara dan Bastian berlari menghampiri dan menopang tubuh Braga yang ambruk tak sadarkan diri lalu menariknya agar tidak membebani Joanna. Edel dan Irina yang sama kagetnya ikut menghampiri.

Rasa khawatir menghinggapi diri Joanna. Dia tidak menyangka kondisi pria yang dicintainya bisa sampai seburuk ini. Muncul pikiran yang mempertanyakan apakah keputusan untuk meninggalkan Braga adalah pilihan yang sudah tepat? Ia tidak tahu jawaban apa yang akan menyahut dipersimpangan jalan.

Pandangan Joanna tidak bisa lepas dari Braga yang tampak tak berdaya dalam rengkuhan Bara dan Bastian. Keadaan memaksa mereka untuk berpisah. Tak ada restu untuk dapat bersatu. Ia takut jika keberadaan Cedric diketahui lalu jadi pusat perhatian pria yang seharusnya bisa anak itu panggil dengan sebutan kakek. Kebencian Gerard membuat ia takut. Takut Cedric akan dirampas seperti saat Braga ditarik paksa dari sisinya.

" Aku harus menahan perasaanku. Begitu Braga dibawa pergi dari sini, selesai pula pertemuan kami. Demi mempertahankan Cedric tak ada pilihan lain. Maafkan aku, Braga. Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersatu saat ini atau pun nanti , aku tidak tahu. Suatu saat aku pasti akan mempertemukanmu dengan Cedric tapi tidak sekarang. Kamu tidak siap begitu juga aku." Ratapan hati Joanna. Terasa sungguh menyiksa.

" Maaf, Joanna. Kami harus segera membawa Braga kembali ke rumah sakit. Braga perlu mendapatkan pemeriksaan dan tindakan cepat. Takut kondisinya serius dan fatal." Ujar Bara memberikan penjelasan.

" Tak apa. Bawalah dia ke tempat yang seharusnya. Tidak usah memikirkanku. Keselamatan Braga lebih penting." Jawab wanita berkalung teratai putih itu dengan senyum setengah terpaksa.

" Kamu tidak ikut dengan kami ke rumah sakit? Kamu bisa menemani Braga sampai nanti dia siuman?" Irina menawarkan.

Joanna terdiam mendengar pertanyaan Irina. Dia sangat ingin pergi menemani. Dia ingin tahu kondisi Braga. Ingin mendampingi pria yang dicintainya. Pria yang tak terlupakan bahkan setelah melewati waktu panjang. Bagai berada di gurun pasir yang luas dan kering. Sendirian. Ditemani luka dan nestapa.

Mata Edel memicing menatap gelagat aneh pada diri Joanna. Wanita ini seperti menahan sesuatu. Ada kesan protective. Pada siapa? Braga? Ah, bukan sepertinya. Justru setiap ingin menyentuh Braga wanita ini ragu dan takut. Bahasa tubuh dan mimik wajahnya juga menunjukkan orang yang berada di tengah keputusan sulit. Dia menduga ada rahasia yang disembunyikan oleh Joanna.

Mata Joanna tanpa sadar melirik ke arah kamar Cedric. Bimbang antara ikut atau tinggal. Bagaimana Cedric kalau ia ikut? Pikir Joanna. Kebimbangan ganjil itu berhasil tertangkap oleh mata laser Edel. Dia ikuti arah lirikan mata Joanna. Menajamkan pandangan ke arah kamar tempat keberadaan putera Braga. Sekilas wajah tampan anak itu terlihat.

Terkejut dirinya diperhatikan, Cedric menutup jendela dengan tirai cokelat mocca kamarnya.

" Siapa? Barusan aku melihat ada orang dibalik gorden. Seorang anak laki-laki. Siapa dia? Kerabat Joanna? Atau anaknya?" Gumam Edel dalam hati. Menebak-nebak identitas Cedric.

Perasaan cinta yang cukup kuat menggiring Joanna kepada pilihan untuk ikut. Sambil terus menatap wajah tak berdaya Braga, Joanna mengambil keputusan sulit namun mantap. " Baiklah. Aku akan ikut ke rumah sakit. Menemani Braga hingga siuman" Jawabnya.

" That's great. Banyak yang perlu kalian bicarakan setelah dia siuman. Right? " sahut Bastian cukup puas dengan jawaban Joanna. Dia tahu Braga membutuhkan kehadiran Joanna saat ia sadar nanti.

Bara bersama Bastian membawa masuk tubuh Braga yang tak sadarkan diri ke dalam mobilnya. Disusul Irina yang naik di kursi penumpang depan disebelah Bara. Joanna duduk di kursi penumpang tengah bersama Braga. Menyandarkan kepala sang pria tercinta dipangkuannya. Sedangkan Edel dan Bastian naik di mobil terpisah. Edel membawa mobil sang suami. Dan Bastian membawa mobil Braga.
Joanna mengirimkan pesan teks pada Cedric. Mengabari dirinya yang harus pergi untuk urusan darurat. Cedric menerima pesan sang ibu. Anak itu paham bahwa sang ibu hendak menolong temannya. Yang dia tidak bisa paham adalah pemandangan janggal saat pria berwajah hangat yang barusan ia perhatikan memeluk erat ibunya. That's weird, pikir Cedric dengan gaya ala detektif favorit. Menempelkan jari telunjuk dan ibu jari ke dagu berbelahnya.

Setelah menempuh perjalanan gila bak pembalap formula one selama kurang lebih satu jam, mereka sampai di rumah sakit. Renno telah menunggu. Karena diberitahu oleh Edel tentang kondisi Braga, dia melesat secepat supersonic menuju rumah sakit. Melalui pintu darurat belakang, dua orang suster pria dan satu orang suster wanita diperbantukan oleh Renno untuk membawa Braga menuju ruang khusus di divisi syaraf menggunakan tempat tidur beroda.

Di ruang isolasi tersebut, Renno dan Edel segera bergerak memasang alat dan melakukan tindakan untuk memeriksa kondisi Braga. Melakukan tes pada syaraf kepala beserta bagian vital lainnya. Bara, Bastian dan Irina mengamati dari posisi yang sekiranya tidak mengganggu.

Joanna berdiri tidak jauh dari mereka. Khawatir bercampur getir. Ada ketakutan jika Gerard muncul tiba-tiba lalu memergoki dirinya ada di dekat Braga. Bukankah dulu dia juga yang setuju untuk pergi? Sudah sewajarnya begitu batang hidungnya terlihat, dia akan langsung kena maki.

Tidak! Dia kesini bukan berniat kembali. Dia hanya ingin berpamitan. Memberikan salam perpisahan yang telah lama tertunda. Tertunda selama 10 tahun. Lagipula dia ingin memastikan keadaan pria yang ditinggalkannya akan baik-baik saja atau tidak. Meski dia sedikit meragukannya.

Renno dan Edel saling bertukar pandang begitu usai membaca hasil tes gelombang otak Braga. Senyum lega tersungging di bibir mereka. Melihat reaksi kedua koleganya, mengipasi rasa penasaran Bara.

" Bagaimana, Del, Ren?" Tanyanya tidak sabaran.

" Kita bisa bernapas lega. Gelombang aneh di otak kakakmu sudah tidak ada lagi. Aku rasa ingatannya sudah bisa pulih. I think " jawab Renno.

" You think? Maksudmu hanya dugaan atau kepastian?" Tanya Irina ragu mendengar jawaban playboy jadi-jadian dihadapan mereka.

" Maksudnya, menurut data seharusnya Braga sudah bisa mengingat semuanya. Tapi kepastian benar atau tidaknya baru bisa kita lihat saat ia sadar" sambung Edel mengambil alih penjelasan.

" Kira-kira berapa lama lagi sampai Braga bisa sadar?" Tanya Bastian.

" Soon " sahut Renno penuh keyakinan. Tak peduli dengan tatapan mencemooh yang dilemparkan Irina.

Bara hanya terdiam. Entah dari mana datangnya, dia merasakan firasat yang teramat buruk. Seakan datang pertanda angin ribut baru bersiap menerjang mereka. Semoga itu hanya pikiran negatifnya saja yang berlebihan.

" Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa keadaan Braga bisa sampai begini? Maksudku, pasti ada sesuatu, kan?" Tanya Renno penasaran.

Irina dan Bastian menoleh ke arah Bara seolah menunggu persetujuan. Bara sebaliknya, justru menoleh ke arah sang kakak sebelum memutuskan untuk menceritakannya pada Renno. Toh, akan ketahuan juga, pikir Bara.

" Akan kuberitahu. Ayo kita bicara di luar. Joanna aku titip Braga" ujar Bara.

" Baik" jawab Joanna menyanggupi.

Bara, Renno, Edel, Irina dan Bastian keluar ruangan. Bara menceritakan semuanya. Singkat dan padat. Renno mencerna tanpa berkomentar. Dirundung kekagetan, dokter spesialis syaraf itu memandang satu persatu wajah mereka. Ini sungguhan? Pikirnya.

" Jadi. Braga seperti ini karena efek samping peristiwa 10 tahun lalu?" Tanya Renno mengulangi penuturan Bara.

" Yes. Bisa dikatakan begitu" jawab Bara membenarkan.

" Horrible! " seru Renno terbelalak. Melipat kedua tangan di depan dadanya.

Tiba-tiba telepon genggam Bastian berbunyi. Nama yang tertera pada layar cukup mengejutkannya. Pada screen handphone terpampang nama Gerard. Dihubungi oleh dalang utama kekacauan saat ini membangunkan insting kewaspadaan Bastian. Sudah pasti berhubungan dengan masalah yang sama.

" Halo. Selamat siang, pak Gerard" jawab Bastian sebagai salam pembuka sambil mengatur tekanan suaranya agar terdengar senormal mungkin. Otak geniusnya berpacu cepat. Memikirkan strategi yang harus dipersiapkan guna menghadapi si pak tua Gerard.

" Kebetulan saya sedang berada di rumah sakit, pak. Ada sedikit keadaan darurat makanya saya datang. Untuk beberapa jam ini saya belum dapat meninggalkan rumah sakit. Baik, pak. Akan saya tunggu" sambungan telepon usai. Bastian sudah mengambil sebuah keputusan beresiko. Membiarkan Gerard hadir di saat-saat krusial.

Menurutnya, sudah tiba waktu pendeklamiran perang terbuka. Tidak ada lagi rahasia yang bisa disembunyikan Gerard. Semua bukti sudah ada ditangan mereka. Termasuk ingatan Braga yang akan segera pulih.

Sayangnya, asumsi Bastian meleset. Rahasia terbesar masih terkunci rapat dalam kebekuan memory Braga. Kejutan terakhir siap menyambut mereka.

Bara menemani Bastian ke ruang pribadi sang ayah. Irina tadinya hendak mengikuti Bara dan Bastian tapi ditahan oleh sang kekasih. Bara memintanya mengawasi Joanna dan Braga.

Renno dan Edel masih mendiskusikan beberapa hal terkait hasil tes di ruang khusus yang terhubung langsung dengan sebuah pintu dari tempat Braga saat ini terbaring. Menganalisa segala kemungkinan. Renno ingin memastikan tidak ada kerusakan dalam jaringan otak sang sahabat. Tentu tidak lucu jika seorang dokter secerdas Braga sampai mengalami masalah di bagian otak. Reputasi dirinya sebagai spesialis syaraf yang menjadi taruhannya, Renno bersumpah dalam hati.

Di dalam ruang steril, Joanna duduk termenung disebelah Braga yang masih belum sadar. Dia pandangi wajah tampan berkulit kuning bersih itu. Dia telusuri setiap jengkalnya dengan sentuhan lembut jari-jari tangan. Dahi lebar, alis panjang nan tajam, kelopak mata tegas terkatup rapat, hidungnya mancung, bibir yang sedikit tebal pada bagian bawah, lalu turun ke dagu berbelah persis sama dengan bentuk dagu Cedric. Dipadu rahang kokoh menambah kesan maskulin pada paras pria yang sampai detik ini belum mampu dia lupakan.

Jika menilik menggunakan cara berpikir para wanita bodoh nan naif, siapa yang bisa menolak pria seperti Braga? Fisik sempurna, karir cemerlang, keturunan keluarga terhormat dan harta berlimpah. Masalahnya bukan ketiga kategori tersebut yang mereka berdua perlukan. Kesempatan, waktu serta restu adalah penghalang tersulit. Menjadi obstacle terbesar pemisah cinta mereka. Segala kesempurnaan Braga membuat mereka tak dapat bersatu. Kesempurnaan merupakan sebuah beban. Mengidap sejuta kekurangan adalah anugerah yang sesungguhnya dalam kehidupan.

Air mata Joanna meleleh tak tertahan lagi. Sambil mengusap wajah Braga, dia berucap " Braga. Mungkin cinta kita tidak mendapatkan restu dari semua pihak. Tidak diberi kesempatan untuk bersatu. Keinginan kita tidak terwujud. Tapi aku yakin Tuhan sudah menggariskan yang terbaik untuk kamu, aku juga Cedric. Jangan menyalahkan siapa pun apalagi Tuhan atas kisah cinta menyakitkan kita. Maafkan aku menyembunyikan Cedric dan harus pergi meninggalkan kamu. Jangan salah paham padaku. Aku sangat mencintai kamu. Sangat. Cedric akan kuberitahu siapa ayahnya. Ayahnya adalah pria baik yang telah menjadi penyelamat nyawa ibunya dengan berkorban banyak hal. Pria hebat yang meski seisi bumi menyudutkan dan menolak keberadaan kami, dia pasti akan tetap mempertahankan. Sekali lagi maafkan aku. Jika suatu saat tiba kesempatan kita untuk bertemu lagi. Aku berharap keadaan bisa membaik untukmu, untukku dan Cedric. Aku berjanji. Akan menjaga Cedric dan mendidiknya menjadi laki-laki sehebat kamu. Dia akan datang mencari ayahnya. Kami pamit pergi, Braga. Jaga dirimu baik-baik. Semoga kamu sehat, dilindungi Tuhan dan Tegar dalam mengahadapi apapun rintangan dalam hidupmu. Selamat tinggal kekasih tak sampaiku. I love you. Always."

Bersamaan dengan ucapan perpisahan memilukan itu Joanna mengecup dahi Braga. Butiran bening air mata Joanna menetes jatuh ke wajah pria malang yang akan ditinggalkannya. Joanna menangis terisak-isak menempelkan dahi dan hidungnya dengan dahi dan hidung Braga. Lalu menyandarkan kepalanya memeluk dada pria itu. Mendengarkan degupan jantungnya. Sangat berat untuk pergi. Kakinya seperti dirantai oleh jangkar kapal yang beratnya ribuan ton.

Irina sejak tadi menyaksikan perpisahan sarat duka itu. Tanpa bisa ditolak air matanya ikut tumpah. Bisa merasakan apa yang mereka rasakan dan alami. Namun ia sadar tidak berhak ikut campur. Irina hanya bisa berdiri menonton peristiwa penting dalam hidup keduanya. Berharap dan berdoa Tuhan berbelas kasihan pada dua insan ini. Rasa benci pada pria bernama Gerard Isaac Witchlock bertambah. Bukan hanya dia dan Bara yang menderita. Bahkan anak sulungnya sekalipun menanggung derita lebih parah lagi akibat ulahnya. Memang tidak ada hal baik yang bisa dilakukan oleh kakek tua itu? Punya hobi kok menciptakan produk macam-macam penderitaan, Keluh Irina.

Dengan mengerahkan segenap kekuatan dan power of will , Joanna melepaskan pelukannya. Berbalik. Berjalan menuju pintu. Air matanya meleleh. Langkahnya terhenti saat melihat Irina berdiri dengan sorot mata prihatin.

" Kamu mau pergi?" Tanyanya iba.

" Iya. Aku tidak bisa tinggal. Sudah cukup masalah yang timbul. Braga tidak perlu disusahkan lagi oleh masalah karena aku" jawab Joanna menghapus air mata dari wajah pucatnya.

" Bukankah berada disisinya dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi semua masalah itu? Pergi bukan solusi. Tidakkah terpikir olehmu bahwa yang kamu lakukan ini akan semakin menyengsarakan Braga?" Tambah Irina berusaha menahan kepergian Joanna. Braga pasti butuh keberadaan wanita yang dicintainya. Seperti dirinya yang semakin kuat karena keberadaan Bara.

" Kami tidak bisa bersama. Situasi dan keadaan tak memihak padaku dan Braga. Ini adalah satu-satunya pilihan terbaik sekarang. Aku pergi semata-mata bukan melarikan diri atau meninggalkannya. Aku ingin mengurangi beban Braga. Menunggu waktu dan kesempatan untuk bisa kembali dan bersatu" jawaban miris wanita berambut panjang kecokelatan itu.

Irina menatap dalam kedua iris cokelat Joanna. Alasan yang masuk akal. Tak ada keegoisan sama sekali dalam diri wanita ini. Dia kagum. Pantas Braga bisa secinta itu pada Joanna. Sosok wanita tegar berhati mulia.

Senyum kekaguman tersungging di bibirnya. " Kamu hebat. Dalam keadaan terhina sekalipun masih bisa memikirkan orang lain. Tidak dikuasai oleh emosi. Aku ingin seperti kamu. Hidup ikhlas tanpa memikirkan sakit hati" ujar Irina berangan-angan.

" Aku bukan hebat. Aku pasrah, Irina. Biar Tuhan mengatur hidupku. Bukan tidak egois. Seumur hidup, aku tidak memiliki hak untuk egois. Sekalinya berlaku egois, aku menyebabkan penderitaan untuk orang yang paling kucintai. Aku jera. Saranku untukmu. Buang jauh-jauh dendam dan sakit hati demi orang yang kau cintai. Jangan sampai kamu kehilangan lebih banyak sedangkan kamu tidak dapat apa-apa dari dendammu" nasihat Joanna menusuk langsung ke relung hatinya. Merelakan dendam demi cinta? Demi Bara? Bisakah? Pikirnya.

" Bagaimana caranya?" Tanya Irina.

" Bandingkan antara kehilangan dendam dan kehilangan orang itu. Mana yang paling membuatmu menderita. Disitulah isi hatimu yang sebenarnya berada" jawab Joanna.

Petuah singkat wanita blasteran Rusia itu bagai air dingin yang menyiram Irina dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menyadarkan kelima inderanya. Termasuk indera perasa. Mana yang lebih penting? Dendam atau Bara? Gumam Irina dalam hati menimbang-nimbang.

" Buka hati jangan hanya pikiranmu. Hati lebih banyak benarnya dari pada kepala. Untuk itulah dia diciptakan. Aku pamit pergi. Aku titip Braga padamu dan Bara. Tolong hibur dan nasihati jika dia melakukan sesuatu yang salah. Tolong hentikan juga jika dia berkeras ingin mencariku. Sampaikan permintaan maaf dan cintaku padanya. Selamanya dia adalah laki-laki yang paling aku cinta. Sampai jumpa, Irina. Wish the best for you " ucap pamit Joanna.

" Kemana kamu akan pergi? Boleh aku tahu?" Tanyanya.

" Aku mungkin akan pergi ke daerah Bandung. Tapi maaf tidak bisa memberikan detail lokasinya" ujar Joanna.

" Aku mengerti. Terima kasih atas nasihatnya. Akan kusampaikan pesanmu. Aku dan Bara juga pasti akan menjaga dia agar tidak bertindak gegabah. Tapi aku tidak janji mau menghentikan usahanya untuk mencari kamu. Aku tak bisa berlaku sejahat itu. Aku berdoa untuk hubunganmu dan Braga. Semoga terbuka jalan lurus bagi kalian agar dapat bersatu kembali. Good luck, Joanna" ujar Irina mengulurkan tangannya untuk berjabatan.

Joanna menyambut uluran tangan Irina. Kedua wanita itu bersalaman selama 5 detik. Saling melemparkan senyum kemudian melepas tautan tangan masing-masing. Joanna beranjak pergi. Berjalan selangkah demi selangkah. Menegarkan hati agar tidak menoleh lagi. Diiringi doa disetiap pijakan. Menggenggam erat kalung berliontin teratai putih di lehernya. Pemberian terakhir Braga. Meninggalkan semua sulur ikatan dari masa lalu.

Irina termenung. Berusaha menyortir dan menyerap kata-kata Joanna. Mungkin benar. Dendam tidak memberikannya apa-apa selain rasa sakit bertabur derita. Namun menghilangkannya juga tidak semudah membalikkan telapak tangan.

" Sebaiknya aku menguping percakapan Bara dan Bastian dengan si tua itu. Aku penasaran apa yang ingin dibicarakan mereka bertiga" gumam Irina dalam hati. Sebelum menuju ke ruang Gerard, dia memberitahukan Edel dan Renno yang berada di ruang sebelah untuk menjaga Braga. Sekaligus menginfokan kepergian Joanna. Awalnya mereka terkaget-kaget. Namun setelah diberi penjelasan tentang alasan kepergian Joanna, mereka mengerti. Renno bahkan sempat-sempatnya berkomentar berlebihan.

" God! Your life is freacking tragic, dude! Did you have a curse? " seru Renno menoleh jahil ke arah Braga yang belum juga sadar. Edel gemas dan langsung mencubit lengan si drama king. Irina hanya memutar bola matanya. Merasa sebal dengan aksi heboh Renno yang membawa-bawa kata kutukan segala dalam masalah serealistis ini.

" Aku akan menyusul Bara dan Bastian dulu. Urusanku dengan si tua Gerard sudah tidak bisa menunggu lagi. Sekarang saat yang tepat untuk menyelesaikan semuanya. Kalian tunggu disini saja, ya. Siapa tahu Braga sadar" ujar Irina.

" Jangan gegabah dan terbawa emosi, Rin. Kita semua tahu dan mengerti perasaanmu. Tapi emosi akan menumpulkan pikiranmu. Keep calm. Selesaikan baik-baik. Bisa, kan?" Sahut Edel khawatir Irina tak akan mampu mengatur ledakan emosinya saat berhadapan dengan Gerard.

" Jangan khawatir. Di sana ada Bara dan Bastian. Apa yang bisa kulakukan untuk melawan dua pria besar seperti mereka? Aku titip Braga" jawab Irina sedikit bercanda untuk menenangkan kegusaran sang sahabat.

Saat Irina akan berbalik pergi, terdengar suara lenguhan dari arah tempat tidur. Dua dokter wanita yang tadinya tengah terlibat percakapan serius, mengalihkan perhatian mereka ke arah sumber suara. Renno sudah lebih dulu berdiri di sisi tempat tidur mengamati tanda-tanda kesadaran pada diri Braga.

Jari jemarinya mulai bergerak. Kelopak matanya mengerjap lemah. Perlahan-lahan kesadaran mulai menguasai. Suara erangan pelan meluncur dari bibir pria blasteran Amerika itu. Sepasang mata hangat terbuka menatap langit-langit ruangan. Pandangannya kosong. Edel dan Irina langsung menghampiri di kedua sisi tempat tidur. Mengamati kondisi serta grafik pada alat yang sengaja dipasang sebagai pemantau.

" Kondisinya stabil. Tidak ada tanda-tanda grafik yang aneh" lapor Renno sambil mengamati grafik kondisi Braga.

Mendengar tidak adanya kejanggalan pada laporan Renno, Edel bergeser agar dapat berdiri tepat di hadapan Braga. Menoleh menatap alat denyut jantung guna memastikan skala ketegangan dan tekanan.

" Braga? Kamu kenal siapa aku?" Tanya Edel memberikan pertanyaan untuk mengetes kesadaran dan ingatan Braga. Memastikan pria itu tidak dalam fase disorientasi.

Braga menoleh dan menatap Edel dengan tatapan bingung. " Edel" jawabnya singkat.

Sebelum Edel mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan, ekspresi Braga berubah drastis. Ketakutan. Bingung. Dahinya berpeluh. Matanya mengernyit seperti orang kesakitan. Kedua tangan memegangi kepalanya. Sinar kepanikan terlihat jelas dari pancaran mata berbola mata deep brown itu.

" Aku membunuhnya! Aku membunuhnya!!" Ujarnya dengan napas memburu. Merubah posisi dengan cepat ke posisi duduk, Braga bertingkah setengah histeris. Menangis. Matanya terbelalak. Kedua tangannya mencengkeram kepala dan rambut. Mulutnya komat-kamit bak mbah dukun yang tengah membacakan mantera sakti.

Renno ternganga menyaksikan 'aksi' sahabat karibnya yang sudah seperti orang gila stadium lanjutan. Oh, no!

Irina juga tercengang. Shock. Tak menyangka reaksi Braga bisa sedahsyat ini. Apakah ini alasan Gerard menghipnotis Braga? Karena sedepresi inikah maka ingatannya sampai perlu disembunyikan? Dipikir-pikir jadi Reasonable, celetuk Irina dalam hati.

Lain hal dengan Edel yang terbiasa menghadapi pasien-pasien gangguan jiwa. Dia sudah expert dalam penanganan jenis kegilaan paling extreme sekali pun. Bahkan dia pernah memanjat pembatas atap rumah sakit hanya untuk meladeni pasien Anoreksia Nervosa yang hendak bunuh diri. Tentu teriakan dan tingkah histeris Braga belum apa-apa untuk psikiater sekaliber dirinya. Dengan kehebatan ahli jiwa bernilai outstanding dipadu the power of superwoman nya, Edel mencengkeram kedua bahu Braga dan mencondongkan tubuhnya menatap langsung kedua mata pria itu.

" Jangan panik, Braga. Apa yang ada dalam pikiranmu itu tidak benar. Kamu tidak membunuh siapa-siapa. Tenangkan dirimu. Tarik napas dalam lalu buang. Everything is gonna be alright. Tidak ada yang menuduhmu menjadi seorang pembunuh" seru Edel berusaha membujuk dan menenangkan Braga.

Bagi Renno, arahan Edel lebih terdengar seperti perintah ibu tiri dibanding nasihat. Seram sekali, pikirnya menelan ludah. Ngeri mendengar nada bicara Edel saat mensugesti Braga.

" Aku yang bertanggung jawab atas kematian ibu! Dia sakit tapi aku tidak tahu! Dia butuh ginjal dariku tapi aku terlambat tahu! Kenapa dia harus memilih bunuh diri demi menutupi keadaan yang sebenarnya?? Kenapa tidak ambil saja ginjalku yang tinggal satu ini?? Aku yang harusnya mati!!" Jerit penyesalan Braga. Matanya memerah.

" Itu bukan kesalahanmu, Braga. Kamu tidak salah jika mendonorkan ginjal demi orang yang kamu anggap penting. Tapi mengorbankan nyawa demi ibumu, bukan keinginan dia. Lihat seberapa sayangnya dia padamu dan Bara? Jangan jadi seperti ini. Jangan sia-siakan pengorbanan ibumu. Semuanya sudah terjadi menurut ketentuan takdir Tuhan. Ibumu pasti sengaja merahasiakan kondisinya agar kamu dan Bara tidak khawatir. Semua ibu di dunia ini akan melakukan hal yang sama seperti yang ibumu lakukan. You need to be strong for her. Tunjukkan padanya bahwa kamu bisa bangkit dan kuat menjalani hidupmu demi dia. Buatlah ibumu bangga" bujuk Edel meyakinkan Braga.

" Bagaimana ibu bisa bangga? Aku ini seorang pembunuh yang pengecut! Pecundang yang lari dari kesalahannya! Pembunuh yang tidak punya hati! Apa yang membanggakan dari anak seperti aku??" Teriak Braga bertambah kacau. Mengibaskan cengkeraman Edel pada kedua bahunya.

Kesal melihat tingkah Braga yang mulai meracau, Renno mengambil tindakan. " Easy, dude. Jangan menuduh dirimu sebagai pembunuh untuk kejadian yang bukan seratus persen salahmu. Ketidaktahuan tentang kondisi ibumu dan pengorbanan untuk wanitamu itu bukan kesalahan. Tidak ada pecundang yang berani mendonorkan salah satu organ tubuhnya demi seorang wanita. Tidak ada pengecut yang mempunyai ibu setangguh tante Delilah. Berani berkorban nyawa demi kewarasan puteranya. Tante Delilah meninggal karena pilihannya sendiri. Pembunuh apaan, sih? Kalau kamu masih merengek-rengek soal bunuh membunuh begini tanpa peduli pengorbanan banyak orang, I will actually kill you! " seru Renno menjambret bagian depan kemeja Braga dan menyemburkan nasihat-nasihat 'maut' dari mulut kebanggaan yang sudah blong remnya.

Edel tidak berusaha menghentikan atraksi yang sedang dilakoni sang casanova. Menurutnya, ocehan frontal Renno sangat masuk akal dan bijak. Meski tetap ada sabda khusus ala Renno di selipan kata perkatanya. Menggunakan ancaman di akhir nasihat pada orang depresi? Stupid playboy! Umpat Edel.

" Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini sekarang, Braga. Joanna pergi. Dia meninggalkanmu agar kamu punya ruang bernapas menyelesaikan semua permasalahan ini. Dia ikut merasa bersalah atas kematian ibumu. Sama seperti kamu. Merasa jadi pembunuh. Kamu tidak bisa putus asa dan terpuruk begini setelah pengorbanan dua wanita hebat seperti mereka! Kuatkan dirimu! Hadapi kenyataan!" Seru Irina akhirnya mampu angkat bicara. Membeberkan kepergian Joanna beserta alasannya.

" Joanna pergi? Dia pergi karena aku? Dia merasa jadi penyebab ini semua?? Kenapa??" Tanya Braga panik. Napasnya bertambah berat. Dadanya sesak bagai terhimpit benda berat. Kepala berdengung. Seakan seisi langit runtuh menimpanya.

" Iya. Dia merasa seperti itu. Tapi dia bilang ini bukan perpisahan selamanya. Dia akan kembali jika saatnya sudah tepat. Untuk itulah kamu perlu move on. Bangun, Braga! Mimpi burukmu pasti akan berakhir. Berganti dengan kenyataan yang indah" tambah Irina lagi terus memotivasi.

Tubuh Braga lunglai tak bertenaga. Tak bertulang. Hilang semangat. Ditatapnya Renno dengan pandangan memelas. Bak boneka tali yang putus, dia menangis. Kalau bukan karena bagian depan bajunya masih dalam cengkraman Renno, mungkin hidung mancungnya sudah patah akibat terjun bebas ke lantai dingin bangsal rumah sakit. Renno yang ngeri jika sang sahabat akan mengamuk atau bertingkah konyol lain, malah mengusap punggungnya. Menahan tubuh yang berbobot hampir seimbang dengan dirinya. Memberikan dukungan moril meski dia sendiri bingung harus bagaimana mendukung situasi hopeless semacam ini.

Irina duduk di tepi tempat tidur. Mengusap bahu kanan Braga dan mengucapkan kalimat-kalimat menenangkan. Cemas jika pria itu mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidup. Terlepas dari tanggung jawabnya yang diberi permintaan tolong oleh Joanna untuk menjaga Braga.

Sejak awal Braga siuman, Edel merasa ada keganjilan pada penuturan Braga. Khususnya pada larik: pecundang yang lari dari kenyataan? Maksudnya apa ya? Ada maksud samar yang tersirat dari kalimat itu, Edel berasumsi.

" Jangan putus asa, Braga. Pasti akan ada titik terang di kegelapan sepekat apapun. Badai pasti berlalu. Di padang pasir sekalipun oasis bisa exist. Semuanya pasti akan selesai jika saatnya sudah tiba. Termasuk saat dimana kamu akan bersatu lagi dengan Joanna. Jalani hidupmu dengan baik. Bara yang tersandung kasus malpraktek saja tidak menyerah. Dia berusaha membongkar semuanya. Bersabarlah. Kendalikan emosi dan kekalutanmu agar nurani dan pikiran tidak hilang. Kamu bukan pecundang. Bukan pembunuh ataupun pengecut" sahut Irina memegangi bahu lebar Braga.

" Kalian tidak tahu apa yang sudah aku perbuat!! Aku ini benar-benar sudah jadi pembunuh! Bukan hanya menjadi penyebab kematian ibu, aku juga menjadi penyebab kematian yang lainnya!" Raung Braga dengan suara meninggi. Kalut. Tatapan mata liar menyapu sekeliling. Menatap kedua telapak tangannya dengan mata melotot. Mengigil ketakutan. Ciri nyata orang yang tengah mengalami depresi berat.

Sementara di ruang kerja Gerard. Bastian dan Bara menunggu kedatangan lawan bicara mereka nanti. Memperkirakan apa yang akan dibicarakan. Mereka bisa menebak topik pembicaraannya tidak akan jauh dari masalah malpraktek itu. Bara sudah siap jika harus berdebat sengit dengan sang ayah.

Bara sengaja tidak mengikutsertakan Irina karena tidak mau luka hatinya pada sang ayah bertambah dalam. Dia kenal betul bagaimana watak ayahnya dan tahu persis bagaimana tabiat Irina. Saat emosi bisa saja dia membongkar identitasnya sendiri. Situasi akan mencapai puncak kalau itu sampai terjadi.

Selang waktu setengah jam, Gerard tiba. Cukup kaget dengan kehadiran putera bungsunya disana. Sepersekian detik keduanya bertemu pandang. Dilihat dari sudut pandang netral, ayah dan anak ini memiliki kemiripan wajah lebih banyak dibanding si sulung. Terutama di mata. Sama-sama bertatapan kuat. Membara bagai kobaran api.

" Selamat sore, pak" sapa Bastian berbasa basi meski merasa enggan.

" Sore, Bas. Kamu juga Bara. Tumben sekali kamu mau menemuiku? Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" Tanyanya pada Bara sambil melangkah menuju kursi kerja.

" Banyak sekali yang perlu aku bicarakan pada ayah. Terutama tentang penyakit ibu dan ingatan Braga. Kenapa ayah menyembunyikan kondisi ibu? Dan kenapa ayah memanipulasi ingatan Braga? Jelaskan padaku!" Ujar Bara memberi tekanan pada kata 'perlu'.

Gerard yang sedang berdiri membelakangi karena sibuk menata jasnya di senderan kursi, langsung berbalik. Menatap sang anak dengan tajam. Tak menyangka semua rahasianya bisa terkuak.

" Dari mana kamu tahu?" Seru mantan dokter bedah jantung utama yang telah pensiun.

" Tidak penting aku tahu dari mana. Aku butuh penjelasan dan jawabannya, ayah" sahut Bara.

Gerard duduk di kursi kerjanya. Wajah penuh kegelisahan. Badan menegang. Tangannya mulai dingin dan berkeringat. Matanya hilang fokus. Jika Edel ada disana, dia pasti langsung bisa membaca tanda-tanda kegelisahan pada orang tua itu. Bastian menutup rapat mulutnya untuk sementara. Memantau progress pada percakapan ayah dan anak yang mungkin akan berubah jadi ajang saling teriak.

" Kenapa? Ayah tidak bisa menjawab? Atau tidak mau menjawab? Braga sebentar lagi akan sadar dan mengingat segalanya. Sekalipun ayah tidak mau mengaku, aku akan tetap tahu dari kesaksian Braga!" Ancam Bara.

Jantung Gerard berdesir. Kalimat barusan lebih mengejutkan serat mengancam baginya. Braga akan ingat? Mungkinkah? Bagaimana caranya Bara membuat ingatan Braga kembali? Alarm tanda darurat menggaung dalam kepalanya.

" Apa? Braga akan ingat? Apa maksudmu, Bara?" Tanya sang ayah bertambah takut.

" Ya. Ingatan Braga akan kembali. Ingatan yang ayah rampas demi kepentingan ayah. Untuk menyelamatkan muka bersalah ayah! Ayah telah merampas banyak hal berharga dalam hidup Braga! Aku akan mengembalikan semua yang dirampas darinya! Termasuk Joanna" tambah Bara meninggikan suaranya. Tak gentar sama sekali.

Sudah cukup satu persatu kemalangan menimpa sang kakak. Dia tidak menyalahkan atas kematian sang ibu. Mereka sama - sama bersalah karena tidak tahu tentang penyakit yang menggerogoti kesehatannya. Dia marah. Sangat marah. Kenapa masalah seserius itu disembunyikan daru mereka? Pergelutan hati Bara.

" Kenapa masalah ibu disembunyikan? Ayah juga yang mengarang alasan kepindahan ibu ke Oxford, kan? Membuat aku dan Braga sempat salah paham. Menyangka ibu sama sekali tidak peduli pada kami!! Jadi alasan ketidakhadiran ibu selama 15 tahun terakhir hidupku dan Braga, karena dia mengidap penyakit mematikan yaitu gagal ginjal? Begitu??" Sembur Bara mengeluarkan semua kekecewaannya.

" Bukan begitu, kami hanya-.."

" Hanya apa? Hanya karena ayah adalah orang paling hebat? Merasa sesumbar mampu menangani semua masalah tanpa melibatkan dan mendengar opini kami sebagai anak? Jadi ayah tidak perlu repot-repot meminta bantuan kami? Sekedar memberikan kabar saja tidak. Ayah tidak memikirkan betapa aku dan Braga merasa jadi anak paling tidak berguna di dunia?? Kami berdua dokter spesialis lulusan Harvard dengan Indeks prestasi Cumlaud tapi tidak mampu melakukan apapun untuk menyelamatkan hidup ibu kandung yang memiliki masalah dibidang yang kami kuasai?? Ironis. Semua title dan prestasi berlogo Harvard yang aku dan Braga sandang jadi tidak ada artinya!! Jas putih kami tak lebih berarti dari kain kafan!!" Seru Bara tak sanggup lagi menahan gelora emosi dalam dadanya. Kalau tidak diucapkan? Dia bisa meledak saking marah dan kecewa. Matanya merah. Berkaca-kaca.

" Aku tidak menganggap atau memperlakukanmu dan Braga sebagai anak yang tidak kuperlukan opininya. Apalagi membuat kalian berpikir jadi anak yang tak berguna. Kondisi saat itu sangat sulit. Ibu kalian tidak ingin membuat kalian khawatir di waktu harusnya fokus pada pendidikan di Harvard. Dia ingin melihat kalian sukses dan bahagia. Untuk itulah ibu kalian meminta pindah ke Oxford agar penyakitnya tidak kalian ketahui. Kamu harus tahu Bara. Keputusan yang diambil ibumu sangat berat. Seorang ibu tidak menemui anaknya selama bertahun-tahun bahkan tak hadir saat mereka wisuda itu sangat menyakitkan. Ibu kalian berusaha bertahan bukan hanya karena penyakitnya tapi juga untuk menjaga kebahagiaan kalian. Aku sudah membujuknya agar melakukan tes kecocokan ginjal denganmu atau Braga. Aku bahkan sudah memperkirakan ginjal Braga yang berpeluang besar cocok jika ditilik dari kesamaan golongan darah. Namun dia menolak ideku. Dia tidak mau membuat anaknya cacat hanya demi menyelamatkan hidupnya sebagai wanita tua. Dia ingin melihat kamu dan Braga hidup bahagia dan sehat dengan fisik yang sempurna. Selang beberapa tahun memantau, kondisinya semakin memburuk. Membuatku ketakutan. Tanpa sepengetahuan ibu kalian, aku mengarang alasan bagus untuk melakukan tes kecocokan ginjal antara Braga dan ibumu. Untungnya Braga percaya dan bersedia ikut tes. Hasilnya cocok. Aku pergi memberitahukan ibumu tapi dia berkeras menolak donor dari Braga. Segala cara kuupayakan untuk meyakinkannya bahwa donor ginjal tidak akan membuat Braga menjadi cacat atau memiliki hambatan dalam beraktifitas. Usahaku membuahkan hasil. Ibumu akhirnya setuju. Namun sungguh di sayangkan, waktunya sudah terlambat. Braga telah lebih dulu mendonorkan ginjalnya untuk wanita bernama Joanna. Yang aku tidak bisa mengerti, ibumu malah merasa bahagia karena mengaggap Braga telah mengambil keputusan yang sangat gentlement " tutur Gerard memaparkan alasan dibalik kerenggangan hubungan dirinya dan Braga dengan sang ibu sebelum kematian merenggutnya.

" Makasih sekali. Semua penjelasan ayah semakin membuatku merasa jadi pecundang kelas kakap. Aku sempat beranggapan buruk tentang ibu. Mengira dia tidak memperdulikanku dan Braga. Mengira dia adalah ibu yang egois. Mengira dia sama dengan wanita sosialita tukang gosip dan hura-hura yang tidak punya ruang untuk memikirkan hal lain selain menghambur-hamburkan uang. Ternyata dibalik kedangkalan prasangkaku dan Braga itu, dia sedang bergulat dengan kematian karena berusaha menjaga kelangsungan hidup kami! Hidup kami yang bisa dikatakan gagal total! Lihat apa yang bisa kuperbuat?? Melakukan kekonyolan di meja operasi dengan salah menggunakan donor yang berbeda golongan darah! Setelah itu bersembunyi diketiak ayahku yang so awesome, can do anything to cover up my stupid mistake? Itu yang ayah mau kami lakukan? Sedangkan di luar sana ada dua orang anak tidak bersalah menangis sepanjang sisa hidupnya. Memandang hidung congkak para dokter berjas putih rumah sakit Boulevard!! Putera seperti kami yang mau ayah pertahankan masa depannya?? Bagaimana bisa ada masa depan cerah sedangkan meluruskan kesalahan masa lalu saja kita tidak punya nyali??" Umpat Bara. Wajahnya memerah. Hidungnya mendengus. Matanya berkaca-kaca. Rahangnya mengeras. Suaranya semakin serak oleh gelombang rasa bersalah yang hampir meloncat keluar dari tenggorokannya.

Gerard speechless. Semua kata-kata Bara benar. Kalimat itu tepat sasaran. Saking tepatnya, menusuk langsung ke jantungnya. Mereka memang bersalah. Dengan langkah terhuyun-huyun, dia bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri putera bungsunya. Mencengkeram kedua lengan kokoh sang anak, dia menyandarkan bobot tubuh rentanya. Menundukkan kepalanya berambut putih sambil menangis penuh penyesalan. Bastian menyaksikan segalanya. Tapi hanya diam seribu bahasa. Sang raja telah menjatuhkan senjatanya tanda menyerah. Bendera putih berkibar menyudahi perang panas yang dimulai dari 10 tahun lalu.

Lutut Gerard gemetar. Tak kuat lagi menopang bobot tubuh yang terasa semakin berat oleh beban perasaanya. Perlahan-lahan tubuh tua yang semakin dimakan usia itu jatuh berlutut tepat di hadapan sang anak bungsu. Bara berdiri tegak. Menatap lurus sang ayah. Air matanya juga mulai turun. Dia bukan tipe pria yang mudah menangis tapi kali ini, dirinya tak kuasa lagi menahan air mata. Kolaborasi antara kemarahan, sakit hati dan kekecewaan berintegrasi jadi rasa bersalah level parah. Mengalahkan keteguhan hatinya sebagai pria kuat. Tidak tahu lebih marah pada sang ayah atau pada dirinya sendiri.

Sebenci apapun dia, Bara tetap anak yang punya hati nurani. Emosi tidak membutakannya untuk berlaku sepantasnya kepada orang tua. Dia ikut berlutut di depan sang ayah. Kedua pria bermarga Witchlock beda generasi itu seakan takhluk oleh takdir yang siap menghakimi mereka. Mengusap bahu renta sang ayah. Saling berbagi duka.

Sampai di batas ini, sudah bukan waktunya lagi Bastian untuk tinggal diam. Dia maju menghampiri dua orang yang tengah kacau. Bersimpuh memegang bahu keduanya. Menarik berdiri mereka.

" Jangan disesali dan menyalahkan apapun yang sudah terjadi. Jika masing-masing dari anda dan Bara merasa memiliki kesalahan. Sebaiknya saling memaafkan dan bekerjasama untuk memperbaikinya" ujar Bastian dengan suara lembut. Tersirat rasa iba pada suaranya.

" Bagaimana memperbaiki kesalahanku yang sudah sebesar gunung ini, Bastian?" Tanya Gerard dengan suara parau dan wajah memelas.

" Kunci utama permintaan maaf anda dan Bara yang paling tepat saat ini adalah mengakui dan meminta maaf langsung, pak" jawab Bastian menyadarkan orang tua berkepala batu dengan status atasannya itu.

" Masih bisakah hal itu dilakukan? Setelah sekian banyak hal buruk yang kulakukan?" Tanya Gerard lagi.

" Tidak ada kata terlambat jika anda benar-benar tulus mau meminta maaf dan memperbaikinya, pak. Saya yakin masih ada kesempatan untuk merubahnya jadi lebih baik dan benar" lanjut Bastian meyakinkannya.

Bara menarik napas dalam-dalam. Menghapus sisa air mata di kedua mata dan wajahnya. Lalu berdiri dengan penuh keyakinan.

" Ayah dan aku tidak bisa memutar waktu kembali ke masa lalu. Semua yang telah terjadi anggap saja kebodohan. Sekarang saatnya keluar dari sangkar persembunyian kita dan maju. Hancurkan topeng pelindung ayah. Buang jauh-jauh harga diri dan ego ayah yang menjadi asal muasal kesalahan kita. Mari hadapi apapun vonis dan hukuman yang harus kita tanggung" ajak Bara mengulurkan tangan memberikan bantuan pada sang ayah untuk berdiri kembali.

Gerard pada akhirnya pasrah. Kalah oleh keberanian sang anak dalam menghadapi konflik super rumit ini. Konflik yang bersumber dari kesalahannya. Dari kesombongannya. Dia menyerah. Pada nasib dan kebenaran. Disambutnya tangan sang anak untuk bisa berdiri. Bastian turut membantu. Sedikit. Tak mau menghancurkan moment penting keduanya.

" Ayah juga harus membiarkan Braga berhubungan dengan Joanna lagi. Wanita itu tidak bersalah atas kematian ibu. Ayah sendiri yang bilang bahwa ibu senang akan pilihan yang diambil Braga. Ibu akan sedih jika pengorbanannya sia-sia. Braga sengsara tanpa Joanna. Dia butuh kehadiran kekasihnya. Kepercayaan diri Braga bisa habis beranggapan bahwa kematian ibu merupakan kesalahannya. Ini jadi tanggung jawab ayah dan aku untuk mengembalikan Braga seperti sediakala" ujar Bara menambah list pengakuan dosa yang wajib mereka laksanakan.

Gerard berkeringat dingin begitu diingatkan tentang anak sulungnya. Dengan ekspresi ngeri mencengkeram bagian depan kemeja hitam si bungsu.

" Aku bingung harus bagaimana untuk menyelamatkan kakakmu. Jangan biarkan ingatannya kembali, Bara. Tolong bantu ayah melindunginya. Aku tidak mau melihat dia jadi gila! Kakakmu bisa frustasi berat begitu ingatannya kembali" ujar sang ayah diserang kepanikan.

" Apa maksud ayah? Braga akan jadi gila? Kenapa?" Tanya Bara bingung pada kepanikan sang ayah. Bertukar pandang dengan Bastian yang sama bingungnya.

" Braga adalah pelaku malpraktek pasien transplantasi jantung. Kesalahan teknik 10 tahun yang lalu." Jawab Gerard setengah bersungut-sungut tak berdaya.

" Apaaa???" Jerit kekagetan Bara dan Bastian secara serentak. Terhenyak mendengar kabar menggemparkan dari mulut Gerard.

Bersamaan dengan terkuaknya identitas asli pelaku malpraktek ayah Irina disisi Bara dan Bastian. Kondisi yang dihadapi Edel, Irina dan Renno tidak kalah serunya.

" Menjadi penyebab kematian lainnya? Apa maksudmu?" Tanya Irina. Timbul firasat buruk tentang apa yang akan dikatakan Braga selanjutnya. Semoga intuisinya tidak benar. Degup jantung Irina tiba-tiba menjadi cepat. Renno lain lagi. Dia sama sekali tidak punya dugaan apa-apa. Hanya menatap sahabatnya dengan bingung. Menunggu penjelasan dengan penuh minat. Edel tampak sudah punya dugaan sendiri. Hatinya mencelos. Bersiap mendengar kabar mengerikan sesuai prediksinya.

" Aku adalah pelaku dari malpraktek 10 tahun lalu, yang seharusnya jadi pasien ayah. Bernama Arya Wiguna. Akulah yang melakukan operasi itu. Bukan ayahku" jawab Braga dengan suara parau. Panik. Takut. Sesal. Berpadu jadi satu. Menciptakan tekanan maha dahsyat dalam benak dan jiwa Braga.

Bagai disambar petir Zeus, sang raja dewa. Irina, Edel dan Renno terperanjat bukan kepalang. Mata ketiganya membelalak. Mulut menganga. Lidah berubah kaku. Mereka tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Pengakuan terakhir ini bisa masuk daftar kabar paling kontroversial selama sejarah rumah sakit Boulevard.

"Apaa??" Seru kekagetan Renno membahana seantero ruangan. Edel membekap mulutnya dengan kedua tangan. Irina terguncang hebat. Menatap Braga dengan kedua mata membuka lebar. Sekujur tubuh mendingin. Sistem syaraf otaknya berhenti bekerja.

Ruang Direktur rumah sakit Boulevard.

Bara dan Bastian butuh beberapa saat untuk meregister keterangan yang baru saja diberikan oleh Gerard. Target berubah 180 derajat ke arah yang mereka anggap bukan sasaran lempar. Jadi selama ini, mereka semua salah paham. Salah duga. Salah tuduh. Peran Braga dan Gerard ternyata tertukar. Gerard yang dituduh menjadi pelaku ternyata merupakan saksi hidup. Sedangkan Braga yang diduga saksi hidup ternyata adalah pelakunya. What the hell?? Umpat kedua pria berdarah Amerika itu.

" Braga pelakunya? Bagaimana bisa?" Ujar Bara. Dia tahu betul betapa bodoh tampangnya saat itu. Who care? Kakaknya baru saja dideklamirkan sebagai pembunuh ayah kekasihnya. Apa keadaan bisa lebih tragis lagi dari ini? Pikirnya.

" Braga yang menangani pasien bernama sama dengan pasienmu saat masuk ke ruang UGD akibat tabrak lari. Dia menangani bersama dokter Hana. Setelah di tangani ternyata pasien mengalami kerusakan jantung akibat patah tulang dada. Jalan satu-satunya adalah tranplantasi jantung. Braga mengirimnya untuk diobservasi dan dicarikan donor jantung. Nasib baik donornya cepat ditemukan hanya butuh beberapa hari saja. Kondisinya tiba-tiba drop. Saat itu aku sedang tidak ditempat karena mengurusi kondisi ibu kalian yang memburuk. Aku mengarang cerita tentang menangani pasien di salah satu cabang. Aku akui waktu itu aku egois. Sekali dalam hidup, kita pasti akan berlaku egois demi orang yang kita cintai, bukan? Braga bingung dan terdesak. Kondisi pasien sudah tidak bisa menunggu lagi. Operasi harus segera dilakukan kalau tidak nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi. Braga mengambil keputusan darurat. Ia pun nekat melakukan operasi itu tanpa merubah administrasi awal yang tercatat dengan namaku. Hanya para kru operasi yang mengetahui siapa yang melakukan tindakan. Operasi sukses. Para anggota operasi senang dan tidak mengatakan apa-apa. Selang waktu sekitar 6 hari pasien itu baru menunjukkan gejala-gejala ketidakcocokan organ. Aku yang melakukan tindakan begitu kondisinya sudah hampir mati. Mencoba menggunakan donor yang benar. Bersamaan denganmu, Bara. Dan itu masih gagal. Pasien meninggal dunia di meja operasi. Braga menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian yang disebabkan olehnya. Kesalahan fatal itu telah mengguncang jiwa Braga. Belum lagi setelah itu dia tahu kamu juga gagal. Berbanding lurus dengan dirinya. Donor kalian berdua tertukar. Ditambah fakta asli kematian ibu kalian yang merupakan pukulan tambahan. Dia tak sanggup menanggung beban rasa bersalah yang bertubi-tubi itu." Tutur Gerard secara lengkap.

Bara membeku di tempat. Kenapa situasi tambah bercabang? Dalam hatinya.

" Berarti ada kemungkinan, saat siuman nanti hal itulah yang akan diingat oleh Braga" Sahut Bastian melakukan hipotesa ditengah kekagetannya.

" Pasti. Ingatan tentang itu yang tampaknya paling esensial. Di-..." kata-kata Bara berhenti ditengah. Dia ingat sesuatu. Braga sedang bersama Irina sekarang. Dia bisa siuman kapan saja. Gawat!! Bagaimana dia bisa lupa?

" Irina sekarang bersama Braga. Kalau dia sadar dan mengakui kejadian yang sebenarnya, akan ada bom waktu yang meledak lebih cepat dari perkiraan" ujar Bastian menyebutkan dugaan yang sama dengan isi pikiran Bara.

Tanpa menoleh lagi, Bara meluncur pergi menuju divisi syaraf, tempat akan terjadi peristiwa ledakan maha dahsyat. Sehebat bom nuklir. Bastian mengekor dibelakangnya sambil membantu Gerard. Orang tua itu masih bingung tentang kaitan Irina dalam masalah Braga.

Ruang pemeriksaan khusus divisi syaraf.

Irina berdiri dan mundur beberapa langkah menjauhi Braga. Bagai disengat oleh gelombang listrik bertegangan tinggi. Tangannya gemetar. Sendi-sendi tulangnya terasa ngilu. Jantungnya seperti mau meloncat keluar. Matanya memanas. Telinganya tidak salah, kan? Terakhir ikut pemeriksaan THT, kualitas pendengarannya masih sangat normal.

" Bisa kamu katakan sekali lagi?" Pinta Irina masih tak percaya pada indera pendengarannya.

" Aku pembunuh ayahmu, Irina. Akulah pelakunya" sahut Braga mengulangi dengan suara jauh lebih depresi.

" K-kamu berbohong, kan? Kamu tidak sedang bercanda, kan? Ini tidak lucu sama sekali! Jangan main-main, Braga!" Seru Irinai ikut histeris.

Sekonyong-konyongnya Bara, Bastian dan Gerard muncul di lokasi kejadian. Keempat dokter itu menoleh ke arah mereka. Mata Braga beradu pandang dengan Gerard. Sorot mata asli si sulung sudah kembali bersamaan dengan ingatan juga luka hati yang terkubur selama 10 tahun.

Bara menangkap ekspresi shock pada wajah sang kekasih. Ekspresi frustasi pada wajah sang kakak. Juga ekspresi penuh kengerian pada wajah Edel dan Renno. Mereka terlambat. Bomnya sudah meledak.

Bastian beradu pandang dengan sang istri. Dibalasnya dengan anggukan. Bagus sekali. Kerusuhan babak kedua, keluh Bastian.

Gerard menerka-nerka pemandangan di hadapannya. Dia tahu Braga sudah ingat dan mungkin telah membongkarnya pada seisi ruangan. Namun ada yang ganjil pada cara pandang Irina. Tatapan penuh kebencian bercampur kaget terpancar pada kedua bola mata bulat besarnya.

Mata itu tidak asing. Dia seperti pernah melihatnya entah dimana. Ada seorang gadis yang menatap dirinya sebenci itu dulu. Siapa namanya, ya? Luna? Hana? Bukan. Haruna. Ya benar. Haruna namanya. Anak perempuan pasien malpraktek Braga 10 tahun lalu. Gadis bermata besar, kulit putih dengan wajah cantik khas gadis Sunda.

Tunggu. Haruna? Irina? Nama panjang dokter Irina adalah Irina Aruna Yasmine. Hampir sama persis dengan gadis itu. Nama tengahnya berbeda satu huruf. Kalau itu bisa saja dimanipulasi agar tidak sama persis. Dia amati secara seksama, memang ada kemiripan wajah yang cukup kontras antara keduanya. Bagaimana bisa dia baru sadar sekarang? Mungkin karena pensiun membuat otaknya menjadi tumpul, pikir Gerard.

Melihat wajah orang yang dibencinya, Irina mendelik lalu maju menghampiri. Dengan emosi membeludak, dia berujar " Katakan padaku Gerard. Kamu pelaku malpraktek ayahku. Yang dikatakan Braga itu omong kosong, kan? Yang dia ingat itu juga hasil tipu muslihatmu, kan? Bukan sungguhan? Iya, kan??" Suaranya sedikit bergetar. Jarinya menunjuk ke arah Braga yang memegang kedua sisi kepalanya seperti orang yang menderita sakit kepala parah. Edel dan Renno berusaha menenangkan di kedua sisinya.

" Semua yang dikatakan dan diingat Braga-. Adalah benar, Haruna. Itu kenyataannya. Braga memang pelaku malpraktek ayahmu yang sebenarnya. Kalau kamu ragu. Aku bisa menunjukkan bukti rekaman cctv sebelum. Waktu itu Braga memasuki ruang operasi dan belum menggunakan masker operasi lagi" jawab Gerard setuju menyudahi skenario drama tragis yang disusunnya selama 10 tahun terakhir.

Irina tersenyum pedih. Selama ini dirinya telah salah mengira. Mendendam pada orang yang salah. Dia kena tipu selama 10 tahun. Ironis sekali. Mengesalkan! Keluhnya.

" Huh, menyebalkan. Setelah sekian tahun kamu bersandiwara menjadi orang terkejam dalam hidupku. Sekarang kamu juga yang mengatakan bahwa itu hanya pura-pura dan pelaku sesungguhnya adalah anak sulungmu. Apa itu tidak terlalu seenaknya, tuan Gerard yang terhormat?" Ujar Irina setengah mati menahan kemarahannya.

" Maafkan aku, Haruna. Aku tidak bermaksud mempermainkan hidupmu. Aku mengakui keegoisanku yang hanya mementingkan keluargaku tanpa peduli padamu dan Ladya. Bukan hanya kalian berdua. Aku ikut menjadikan hidup beberapa orang seperti bola pingpong yang bisa diatur sesukaku demi melindungi Bara dan Braga. Aku tidak punya pilihan lain. Hanya itu yang terpikir olehku untuk melindungi mereka. Aku tidak ingin masa depan kedua puteraku hancur. Aku punya janji pada istriku untuk menjamin kebahagiaan mereka berdua yang sudah dipertaruhkan habis-habisan olehnya" ujar Gerard dengan nada memohon.

" Aku pun puteri dari seorang ayah. Anda harusnya juga bisa mengerti bagaimana perasaan ayahku saat anaknya diperlakukan semena-mena oleh anda! Aku tidak akan menuntut anda atau rumah sakit semegah Boulevard seandainya kalian tidak memperlakukanku seperti serangga pengganggu. Aku hanya ingin menuntut permintaan maaf anda, dokter yang melakukannya dan rumah sakit ini. Aku butuh pengakuan bahwa ada kesalahan yang menyebabkan kematian ayah. Aku dan gadis bernama Ladya itu bisa mendendam pada anda dan rumah sakit bukan hanya karena malprakteknya. Tapi karena perlakuan yang kami terima dari anda dan rumah sakit. Kami tahu tidak akan ada gunanya menuntut. Keputusan yang anda pilihlah yang membentuk dendam di hati kami berdua!" tutur Irina. Suaranya nyaring tapi sarat kepedihan. Matanya berlinangan air mata.

Nasihat Joanna tentang dendam cukup mempengaruhi cara berpikir Irina teradap masalah dendam. Ditambah pengakuan Braga dan penjelasan alasan Gerard. Sebagian hati dan pikirannya menuntut pengampunan untuk ketiga pria Witchlock. Demi Bara.

Seluruh pasang mata memandang ke arah Irina. Mereka paham perasaan gadis itu. Bahkan Renno yang tidak tahu menahu tentang duduk permasalahan yang sebenarnya. Ikut terdiam. Memandang iba dan prihatin.

Napas Braga mulai kembali beraturan. Meski terlihat seperti orang yang tidak fokus, dia mendengar dan memahami semua pembicaraan antara ayahnya dan Irina. Dengan sedikit memaksakan, Braga menegakkan tubuhnya. Melepas berbagai alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Untung saja tidak ada infus yang menusuk pembuluh darah. Sehingga tidak perlu ada adegan konyol melepaskan jarum infus segala. Kancing kemejanya dalam keadaan terbuka memperlihatkan bentuk tubuh atletis proposionalnya. Kedua kaki menyentuh lantai dingin. Melawan rasa pusingnya, Braga berjalan menghampiri Irina.

Edel dan Renno entah mengapa seperti menerima isyarat. Mereka tidak berusaha menghentikan Braga. Bahkan mundur dua langkah menjauh.

Irina terpana memperhatikan tindak-tanduk pria yang baru saja mengaku sebagai pembunuh ayahnya. Bingung harus bersikap bagaimana. Tidak mengerti perasaanya terhadap pria ini.

Begitu keduanya sudah saling berhadapan, Braga jatuh berlutut di depan Irina. Kepalanya tertunduk seperti orang yang pasrah hendak menerima hukuman. Kening gadis itu berkerut. Bingung. Akalnya macet. Selama beberapa saat, pikirannya kosong. Sedang apa Braga? Apa yang dia lakukan? Pikirnya. Para hadirin yang menyaksikan ikut terperangah pada perbuatan Braga.

" Aku memohon maaf padamu. Maafkan aku yang telah lalai sehingga menjadi penyebab kematian ayahmu. Maafkan aku yang telah merenggut satu-satunya orang tua dan keluargamu. Maaf jika hidupmu berantakan karena aku dan keluargaku. Maaf atas kesengsaraan, sakit hati dan penderitaanmu. Tolong maafkan ayahku juga. Jangan libatkan Bara karena kesalahanku. Jika kamu ingin menghukum atau menghakimi, silahkan lakukan padaku. Kamu minta nyawa sebagai tebusannya, akan aku berikan" ujar Braga sangat merasa bersalah.

Kalimat terakhir Braga mencekik leher Irina. Kerongkongannya terasa mengering bak di padang pasir. Tangan mengepal hingga kuku jarinya memutih. Kenapa dia tidak merasa puas atau senang? Pembunuh serta musuh besarnya telah bertekuk lutut memohon maaf padanya. Lantas apalagi yang kurang? Kenapa dia justru merasakan sesak dan hampa? Pundaknya bagai memikul beban berat. Membuat kedua lututnya hampir menyerah.

Perlahan tapi pasti, Gerard menghampiri putera sulungnya. Mengusap punggung sang anak sepenuh hati. Kepongahan dalam diri seorang Gerard Isaac Witchlock sirnah tak bersisa. Bara membisu ditempatnya. Kemudian tersadar dan berjalan menghampiri Irina. Namun gadis itu tidak bergeming sama sekali. Masih menatap nanar ayah dan anak dihadapannya.

" Seenaknya. Egois. Kenapa? Kenapa begini??" Gumam Irina berkomat-kamit sendiri tanpan melepaskan pandangannya pada Braga dan Gerard. Kepalan kedua tangannya semakin erat. Bara tidak berusaha menghentikan atau melunakkannya sama sekali. Dia ingin kekasihnya itu melepaskan amarah dan kesedihan dalam hatinya.

Memegangi dadanya yang sesak Irina berlari keluar ruangan. Dia tak kuasa lagi menahannya. Napas tercekat. Tubuh gemetaran. Yang dia inginkan hanya satu. Pergi dari situ. Menjauhi segala masalah dendam mendendam yang tak kunjung usai. Dia lelah. Ingin pergi kemana pun kaki membawanya melangkah. Tak mengidahkan suara panggilan rekan-rekannya, Irina melesat secepat roket. Telinga Irina berdengung. Suara disekelilingnya hanya terdengar samar-samar.

Sebuah lengan kuat dan besar menarik tangan Irina. Menghentikan larinya. Mematri kembali kedua kakinya untuk berpijak. Wajah tampan Bara menatapnya dalam dan seksama. Raut kesedihan terpampang nyata pada mata elang pria pujaannya itu.

Irina Mengibaskan pegangan tangan Bara sekuat-kuatnya. Namun cengkramannya lebih kuat. Tak bergeming sedikit pun. Emosi Irina meningkat. Menarik kembali tangannya. Hasilnya justru semakin menarik untuk mendekat ke arah si penahan. Sekali sentakan, tubuh Irina tertarik hingga hanya berjarak beberapa centi dari tubuh jangkung di depannya.

" Tatap aku!" Seru Bara mencengkram kedua lengan kekasihnya.

" Apa lagi yang mau kamu katakan? Minta maaf? Mengulang kata-kata ayahmu atau kakakmu? Menyalahkan sikap ngototku? Mengejek dendam salah sasaranku? Meminta pengampunan untuk mereka padaku??" Rentet Irina di sela-sela isakan tangisnya.

" Aku tidak akan menuntut satu pun dari hipotesamu itu. Jadi berhentilah merajuk seperti anak kecil begini. Dengarkan aku!" Seru Bara menghentikan aksi tarik menarik mereka.

Kaget mendengar tekanan dan volume suara Bara, Irina pun terdiam. Tangisannya tak berhenti. Mendongak menatap Bara.

" Irina. Bukan. Haruna. Aku mungkin akan mengatakan kata-kata yang paling kamu benci jika aku mengucapkannya. Maafkan aku. Maafkan ayah dan kakakku. Maafkan kami karena menyebabkan banyak kesusahan dalam hidupmu. Kami sadar telah melakukan kekhilafan besar ditambah keegoisan kami yang menghancurkan perasaanmu. Tidak ada kata dan perbuatan yang mampu kami lakukan untuk menebus kesalahan ini. Tidak ada yang bisa membayar rasa sakitmu. Kecuali Tuhan. Keputusan untuk menerima permintaan maaf kami ada di hatimu. Aku tak akan memaksa dengan memanfaatkan hubungan kita. Apapun keputusanmu, perasaan dan pandanganku terhadapmu tidak akan berubah. Tentukanlah yang terbaik. Kamu bebas memilih. Jangan lari atau menghindar. Persoalan ini harus diakhiri, Haruna. Tuntas. Adil. Baik" ujar Bara.

Air mata gadis itu semakin menjadi mendengar ucapan Bara. Seakan setiap kata menorehkan goresan sengilu irisan sembilu. Sakit. Amat sakit.

" Aku bingung. Sangat bingung. Rasanya hampa. Gelap dan dingin. Aku harus melakukan apa, Bara???" Irina menangis tersedu-sedu di dada Bara. Pria itu hanya bisa memeluk erat tubuh gadis yang tengah dirundung kesedihan dalam dekapannya. Sembari ikut menanggung separuh derita yang harus dipikulnya. Bara mengecup puncak kepala Irina lalu menyandarkan dagunya di ubun-ubun sang kekasih. Air mata Bara juga tak kuasa diblokade agar tidak ikut-ikutan tumpah. Tangisan Irina terdengar seantero lorong rumah sakit tempat keduanya berdiri. Dua insan yang sama-sama menanggung luka masa lalu.

Usai sesi menangis berjamaah mereka, Bara mengantar Irina pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam membisu seribu satu bahasa. Bara sibuk menyetir dan Irina sibuk berpikir. Bisa dikatakan melamun tak tentu arah. Begitu mobil Bara berhenti di depan gerbang rumahnya, Irina mulai buka suara.

" Sejak awal kamu tahu bahwa Braga yang membunuh ayahku?" Tanyanya lirih.

" Tidak tahu. Beberapa menit yang lalu reaksiku tidak jauh lebih baik darimu. Aku juga terkejut, Braga pelakunya. Kamu menyangka aku menyembunyikannya darimu?" Bara balik bertanya.

" Hampir" jawab Irina singkat.

" Penyakit impulsifmu kambuh lagi. Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Sekarang apa yang akan kamu lakukan? Baik ayahku dan Braga sudah menyampaikan rasa bersalahnya padamu. Sebenci apapun, aku yakin kamu pasti terenyuh melihat kejadian tadi terutama kondisi Braga" tanya pria beralis tebal itu.

" Aku. . bingung, Bara" jawab Irina ragu-ragu. Tak berani memandang wajah Bara.

" Baiklah. Aku akan katakan sejujurnya. Seandainya kamu memilih untuk memelihara kebencianmu kepada ayahku ataupun beralih membenci Braga, mungkin aku tak bisa melakukan apapun lagi. Membantu mengungkapkannya, sudah kulakukan. Menjaga perasaan saat dirimu membenci keluargaku, sudah aku janjikan. Bisakah setidaknya kamu menahan kebencianmu sedikit saja untukku? Biarkan aku mengurus sisanya. Kamu cukup mempercayakannya padaku" pinta Bara dengan suara lembut bernada setengah memohon.

" Apa maksudmu?" Irina otomatis mendongak. Keningnya mengernyit bingung.

" Jangan melakukan apapun lagi yang berhubungan dengan balas dendam. Ayahku dan Braga tidak akan kabur atau berdalih macam-macam. Aku jamin. Aku yang akan mengakhirinya. Berjanjilah untuk berhenti. Coba hidup lebih baik dan sehat." ujar Bara.

" Kenapa?" Tanyanya lagi. Terbersit rasa curiga.

" Kamu tidak bahagia. Harusnya kamu sadar. Keinginanmu sudah terwujud hari ini. Aku akan membereskan sisanya. Jangan sia-siakan lebih banyak waktumu hanya untuk berpusat pada sakit hati. Berbahagialah, Haruna" ujar Bara.

" Jangan panggil aku dengan nama Haruna! Gadis itu sudah mati dibunuh oleh ayahmu selingkuh tahun lalu. Nama itu sudah kubuang saat menceburkan diri dalam kolam balas dendam. Mendengarmu menyebutkan nama itu, aku jadi merasa mendengar ayahmu yang mengucapkannya. Aku baru sadar betapa miripnya kamu dengan dia." sahut Irina tidak suka dipanggil dengan namanya yang dulu.

" Baiklah. Irina. Dan jangan coba mencocokkan setiap detail diriku dengan ayah seakan-akan kami ini anak kembar dempet. Jadi apakah kamu mau mengikuti saranku? Maksudnya, permohonanku barusan?" Bara sejak dulu tak pernah suka jika ada orang yang menyebut-nyebutkan kemiripan dirinya dengan sang ayah. Komentar macam itu membuatnya serasa jadi barang duplikat dimana mutunya perlu diperiksa. Asli atau imitasi. Menjengkelkan.

" Aku paham kamu tidak ingin aku terlibat lagi dalam masalah malpraktekmu dan Braga. Jujur aku pun lelah dengan semua ini. Tapi kamu juga harus mengerti, situasinya masih gamang. Aku belum bisa menerimanya secara utuh. Ini terlalu tiba-tiba. Hatiku belum siap. Ijinkan aku berpikir sejenak. Ka-. ." Kata-kata Irina kembali dipotongnya.

" Setidaknya berjanjilah untuk tidak menciptakan kekonyolan part dua. Semisalnya melakukan perlawanan atau tindakan nekat lainnya. Satu lagi jangan melarikan diri. Setuju?" Sahut Bara seakan meminta perjanjian.

Irina memandang Bara dengan tatapan sebal. Kenapa Bara berkata seperti ini? Memangnya dia troublemaker yang perlu diikat oleh perjanjian anti kenakalan segala.

" Please, Irina. Mundur sementara waktu" tuntut Bara lagi.

" Baiklah, aku berjanji untuk mengikuti kata-katamu. Aku akan menunggu sesuai keinginanmu itu. Asal jangan buat ayah dan kakakmu menyembah-nyembah di kakiku seperti tadi lagi. Itu membuatku jengah. Awalnya aku merasa itu keinginanku tapi saat mengalaminya, aku justru merasa jadi pelaku kejahatan. Petuah-petuah kalian mungkin benar. Sudah saatnya aku merenungi dan mengevaluasi hidupku. Apa yang akan kulakukan pada ayahmu dan Braga belum terbersit dalam benakku. Perasaanku terhadap mereka kacau. Akan kucoba menggali ulang keinginan terbesarku. Jangan mengucapkan kata maaf lagi! Aku benar-benar muak mendengarnya" jawab Irina akhirnya setuju.

" Thanks. Kamu mau menahan diri dan berjiwa besar. Oke. Aku tidak akan minta maaf lagi. Ayo kuantar kamu masuk. Sebaiknya kamu istirahat" Bara menawarkan jasa antarnya.

Di rumah sakit Boulevard. Braga dipindahkan ke ruang rawat inap kelas suite room super spesial yang bentuknya lebih mirip kamar hotel bertempat tidur rumah sakit. Dia hanya duduk di tempat tidur dengan tatapan kosong. Diam tak bergeming. Bagai patung batu dengan pahatan sempurna. Wajahnya pucat seputih kertas. Edel dan Renno mulai menyukai diri Braga yang mengamuk beberapa saat lalu dibanding Braga yang diam seperti itu. Renno berdoa jika sahabatnya sampai menangis meraung-raung berguling sana sini, dia justru akan langsung sujud syukur. Keduanya hanya bisa pasrah menunggu reaksi Braga.

Bastian mendapat tugas mengurusi pria tua berstatus terguncang di ruang rawat kelas khusus bersebelahan dengan putera sulungnya. Kondisi Gerard tidak separah Braga. Meski tanda-tanda depresi tak luput dari raut wajah keriputnya. Gerard naik ke tempat tidur dengan bantuan Bastian. Lalu duduk bersandar pada bantal yang telah disusun membentuk sandaran. Penyesalan menghantui. Merongrong jiwa terdalamnya. Bastian jadi tidak tega melihatnya. Meski perbuatan Gerard salah, sebagai sesama ayah yang memiliki putera, dia bisa memahami bagaimana kuatnya dorongan untuk selalu melindungi anak terkasih. Harus menyeberangi kawat berduri pun akan dilakukannya. Tapi cara mewujudkannya saja yang harus dipilah lebih tepat. Keduanya sama-sama diam menikmati kesunyian.

Setelah mengantarkan Irina, Bara kembali ke rumah sakit dan menghampiri kamar rawat Braga. Kedatangan sang adik rupanya mampu menarik perhatian Braga.

" Maaf, Del, Renno. Bisa tinggalkan kami berdua sebentar? Ada yang perlu aku bicarakan empat mata dengan Braga" pinta Bara. Edel dan Renno menyetujui permintaan Bara. Tanpa berkomentar lebih banyak, mereka berdua keluar meninggalkan kakak adik Witchlock dalam suasana extra serius. Kemudian menutup pintu dari luar.

" Bagaimana Irina? Apa dia memaafkanku? Apa dia mengatakan sesuatu? Atau dia ingin aku melakukan sesuatu untuk menebusnya?" Sejak terakhir berlutut memohon pengampunan pada Irina di ruang pemeriksaan, baru itu Braga mau membuka mulut lagi

" Jangan meninggikan harapanmu. Aku juga tidak akan berkata yang manis-manis hanya untuk menghiburmu. Aku tahu bukan itu yang kamu inginkan. Dia masih bingung. Setidaknya dia tidak berniat menggorok lehermu atau ayah. Aku bisa pastikan itu. Tinggal waktu yang akan menyembuhkan hatinya. Perlahan-lahan" jawab Bara seterus terang mungkin.

" Begitukah? Aku sangat terhibur mendengarnya" sahut Braga sedikit asal bicara.

" Sudah kamu pertimbangkan?" Tanyanya lagi.

" Ide yang kau kirimkan via pesan tadi? Kamu tahu? Jika bukan aku penerima teks pesan berisi ajakan yang hanya terdiri dari satu baris kalimat abstrakmu itu, sudah pasti smsmu itu dikira pesan nyasar dari orang sinting yang senang mengirim teks tanpa memastikan nomor penerimanya" canda Braga mulai kembali ke dirinya yang seperti biasa.

" Karena kamu yang menerima makanya kuketik seaneh mungkin" sahut Bara membalas ledekan sang kakak.

Braga tergelak. Tawanya terhenti oleh beban batin yang masih terasa sangat menghimpit.

" Aku setuju dengan rencanamu. Hidup membawa dosa bukan keinginan terbesarku. Bermimpi juga tidak pernah. Kapan kamu siap?" Ujar Braga kembali muram. Sinar keberanian samar-samar mulai terpancar kembali di kedua mata tegasnya.

" Tommorow. Are you ready? "Sahut Bara tak ada kegentaran sedikit pun.

" Lebih cepat lebih baik. Sepertinya kita akan sama-sama terjatuh lumayan keras, Bara. Bagaimana dengan Irina? Apa dia sudah tahu tentang ini?" Tanya Braga.

" Aku tidak memberitahunya. Dia akan tahu sendiri saat sudah selesai. Kalau tahu, dia bisa bertindak sembrono. Biarkan saja dia tahu belakangan" jawab Bara menghela napas panjang.

" Maafkan aku tekah membuat posisimu jadi serba salah. Harusnya-. ."

" Sudahlah. Aku juga punya kesalahan yang sama besarnya. Kita berdua melakukan dosa yang persis sama. Tidak bisa saling menyalahkan. Bukankah kamu lebih menderita dariku. Meski setelah esok terlewati dan akan kehilangan sangat banyak, aku tidak kehilangan Irina. Tapi kamu benar-benar kehilangan segalanya, Braga. Irina sudah menceritakan kepergian Joanna padaku. Kamu tidak ingin mencarinya?" Ujar Bara memandang sedih sang kakak.

Braga tersenyum miris. " Aku sudah mempertimbangkan semua resiko yang akan kutanggung sebelum mengiyakan rencanamu barusan, Bara. Setelah semua peristiwa ini terjadi, aku merasa perlu memulai hidup baru yang jauh lebih baik. Mungkin salah satu awalnya harus kehilangan segalanya dulu. Aku akan berusaha bangkit lagi sedikit demi sedikit. Masalah Joanna. Aku tak punya niat untuk menyerah. Saat aku sudah jadi Braga yang lebih baik, aku baru punya muka untuk menemuinya. Selama proses merangkak naik nanti, aku baru akan mencarinya. Tentu saja setelah segala urusan kita berdua selesai" jawab Braga penuh keyakinan. Matanya berkilat tajam saat mengutarakan rencana hidupnya kedepan.

Bara tersenyum. Lega mendengar sang kakak telah menemukan kembali tujuan hidupnya. Ketakutannya sirnah. Kekuatan untuk menebus dosa-dosanya semakin memacu adrenalinnya. Tampaknya semua akan baik-baik saja, pikir Bara.

" Kamu lebih tabah dari yang aku duga. Apapun keputusanmun, aku pasti dukung. Tentang Joanna, akan kubantu sebisaku. Oia. Irina bilang, Joanna pergi ke daerah Bandung. Setelah masalah terkutuk ini selesai, kita bisa mengobrak-abrik seantero Bandung" ujar Bara membesarkan harapan Braga.

" Benarkah?? Untung saja hanya sebatas Bandung. Kukira sampai harus terbang dengan roket ke luar angkasa. Siapkan dirimu juga. Terutama reaksi Irina nanti" sahut Braga mengingatkan Bara.

" Aku tahu. Aku sudah terbiasa menangani kekeras kepalaannya. Untuk itulah aku tidak memberitahukannya sebelum rencana terlaksana. Aku akan pulang ke apartemenku dulu. Setelah itu ke rumah untuk membereskan beberapa berkas yang disembunyikan ayah. Barusan ayah sudah memberitahukan letaknya. Kamu ingin kubawakan apa?" Tanya Bara.

" Good. Tolong bawakan aku setelan baju untuk besok saja. Dan satu tangkai mawar putih milik ibu" pinta Braga.

" Baik. Sampai bertemu besok pagi. Sisanya aku yang urus. Kamu istirahat saja dan nikmati masa-masa sebelum perang esok. Bye " Bara pamit dan melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Di kursi tunggu depan lorong kamar, Edel dan Renno menunggu dengan sabar. Melihat Bara keluar, keduanya langsung berdiri dan menghampiri.

" Braga sudah lebih tenang dan baik. Aku akan pulang untuk mengurus beberapa hal. Tolong titip Braga. Aku pergi dulu" ucapan mohon pamit Bara menggelitik rasa curiga Edel dan Renno. Mereka merasakan ada yang tidak beres pada nada bicaranya. Dibanding berpamitan, kalimat barusan lebih mirip salam perpisahan.

Bastian muncul dan menghampiri kedua orang yang tengah asik menebak-nebak isi pikiran Bara. Merangkul bahu sang istri, membuyarkan lamunan Edel. Setengah terkejut menoleh ke arah sang suami.

" Kamu mengagetkan saja. Bagaimana kondisi pak Gerard?" Tanya Edel mengelus dada akibat terkejut.

" Sudah lebih tenang dan masih muram. Dia akan baik-baik saja setelah beristirahat. Yang penting dia sudah menyerah. Semua bukti sudah dikatakannya pada Bara. Masalah malpraktek ini akan segera selesai" ujar Bastian menyampaikan analisanya.

" Syukurlah. Meski baru tahu beberapa jam lalu, aku sudah stress dibuatnya! Apalagi menyaksikan sahabatku yang so perfect like a prince charming itu berubah jadi orang setengah tidak waras. Mengerikan!" Sahut Renno dengan gaya melebih-lebihkan.

Bastian memutar bola matanya. Penyakit hiperbola playboy kabel yang satu ini belum sembuh juga ternyata, keluhnya.

" Jangan berlebihan. Braga masih sangat waras" sahut Bastian.

" Ya benar sekali. Braga sangat waras, benar. Aku yang hampir jadi sinting berada di lokasi terjadinya moment klimaks konflik rumit berumur 10 tahun lebih!" Sahutnya.

" Tutup mulut beo mu itu. Kita masih sibuk memastikan kondisi Braga. Jangan komentar macam-macam. Awas sampai masalah ini kamu bocorkan sehingga jadi gosip kemana-mana, ya?" Ancam Edel. Ngeri jika Renno sampai keceplosan bicara.

" I keep my mouth shut " jawab Renno memperagakan menutup resleting mulutnya. Lalu masuk ke kamar rawat Braga.

Sepeninggalan Renno, Bastian tampak sedang berpikir dalam.

" Apa yang mengusik pikiranmu?" Tanya Edel yang heran melihat wajah merengut sang suami.

" Aku merasa ada yang aneh pada sikap Bara. Dia sepertinya merencanakan sesuatu" ujar Bastian mencurigai Bara.

" Persis. Aku juga merasakan hal yang sama. Bara seperti berpamitan. Tadi dia juga ijin berbicara berdua saja dengan Braga. Pembicaraan mereka tampaknya serius" ujar Edel

Bastian memicingkan kedua matanya. Tingkat kecurigaannya mencapai puncak.

Setelah mengambil beberapa barang dari apartemen, Bara tiba di rumahnya. Rumah yang telah beberapa tahun ia tinggalkan. Rumah yang menjadi saksi bisu kebahagiaan keluarganya. Sebelum satu persatu permasalahan muncul memecahkannya menjadi kepingan-kepingan kecil lalu menguap di udara. Sambil menekan perasaan sakit di relung hatinya, Bara mengambil langkah lebar menuju ruang kerja di kamar sang ayah yang berada di lantai dua.

Selama hampir 2 jam dirinya berkutat mempersiapkan segala barang bukti yang disembunyikan sang ayah. Surat asli bertanda tangan Irina dan gadis bernama Ladya. Surat mutasi beberapa orang yang kemungkinan berkaitan pada kasus ini. Rekaman cctv saat kejadian malpraktek dirinya dan Braga. Diberanikannya diri untuk menonton ulang rekaman tersebut. Tangan Bara gemetaran saking menyesalnya. Ingin berteriak pada dirinya di video itu agar memeriksa ulang donor jantungnya. Hampir. Dia sadar betapa bodohnya pikiran itu.

Pada video kejadian Braga, dia bisa menangkap sosok Irina yang masih berumur 17 tahun. Gadis polos bermata besar. Begitu melihat tangisan Irina remaja pecah sejadi-jadinya, rasa ingin melindunginya timbul. Degupan jantung Bara berdentum-dentum dalam dadanya usai menonton habis rekaman kejadian naas yang kemudian merubah hidup banyak orang. Melihat ekspresi penuh derita Irina di video, membulatkan tekad Bara untuk menutup lembaran terakhir buku perjalanan hidupnya sebagai dokter. Bara memegangi dadanya yang perih sambil menutup kedua mata. Seakan menahan sakit yang tak tertahankan.

Bukti-bukti telah terkumpul semua. Bara bergegas meninggalkan ruangan siap menjalankan misi bunuh dirinya. Melangkah dengan langkah berat. Menikmati setiap detik, menit serta jam. Memandang sekeliling rumah yang amat dirindukannya. Sekelebat bayangan kebahagiaan di setiap sudutnya, membelai hangat indera penglihatan Bara.

Dia sampai di halaman belakang. Matanya terpatri pada hamparan bunga mawar putih. Dihampirinya bunga indah kesayangan sang ibu. Bara menatap rindu bunga berbau lembut itu. Dipetiknya dua tangkai. Yang satu akan diberikannya pada Braga sesuai permintaan. Yang satunya, untuk dirinya. Srbagai pengingat dan penguatnya menghadapi hari esok.

" Mother. Give us your strenght. Yang akan kami lakukan hal benar, kan mom? Kami benar-benar minta maaf, ibu. Maafkan kedua putera useless mu ini" Gumam Bara dalam hati meminta restu sang ibu. Air matanya tumpah ruah. Lututnya menekuk hingga jatuh berlutut di depan hamparan bunga berarti cinta suci itu. Isak tangis Bara terdengar lirih sekeliling taman bernuansa country.

Pagi hari di Boulevard International Hospital. Bara dan Braga terlihat sudah rapi menggunakan jas hitam dipadu kemeja putih dan celana panjang hitam. Dasi hitam bergaris silver menambah kesan formal pada penampilan keduanya. Mereka tampak terlalu amazing untuk ukuran orang yang akan melakukan tindakan 'bunuh diri'.

" Kamu sudah siap?" Tanya Braga dengan rambut tertata rapi kebelakang. Membuat wajah tampan aristokratnya semakin menonjol. Bida viih

" Sudah. Ayo" sahut Bara. Tatanan rambutnya serupa dengan sang kakak. Hanya saja mata tajamnya berkilat.

Dua pria jangkung bermarga Witchlock berjalan tegap menuju ruang konferensi khusus bertema Auditorium. Di dalam ruangan telah penuh oleh wartawan surat kabar dan media informasi lainnya. Suara kasak kusuk membahana sekeliling ruangan luas berwarna cokelat. Begitu kedua tokoh utama memasuki ruangan, keadaan langsung sunyi senyap. Semua pasang mata mengikuti gerak gerik Bara dan Braga yang telah duduk di podium utama.

" Selamat pagi para hadirin. Saya Bara Darren Witchlock dan disebelah saya, Braga Dereck Witchlock akan menyampaikan beberapa hal terkait kejadian kurang menyenangkan yang telah terjadi di dalam rumah sakit kami. Mari kita mulai acara konferensi pers ini. Penuturan awal akan disampaikan oleh kakak saya, Braga. Silahkan" Bara membuka jalannya konferensi. Usai memberikan kata sambutan singkat, memberikan microphone pada Braga sebagai pembicara pertama.

Di waktu yang sama, Irina belum mengetahui tentang tindakan nekat yang dilakukan Bara bersama Braga. Dia bangun dan mandi seperti biasa di rumahnya. Berhubung hari itu adalah hari minggu, dirinya tidak perlu terburu-buru untuk pergi kerja. Menikmati waktu santainya di meja makan. Sandwich tuna dan jus jeruk menjadi menu sarapan pagi pilihan Irina. Baru satu gigitan sedang pada roti berlapis tuna, telepon genggamnya berbunyi. Dengan mulut yang masih mengunyah, Irina mengangkat telepon masuk dari Edel.

" Ya, Del. Ada apa?" Sahutnya.

" Apa?? Televisi? Sebentar, aku nyalakan dulu" ujar Irina berjalan ke arah ruang tengah dan menyalakan televisi sesuai perintah Edel. Mengganti channel ke stasiun televisi yang diberitahu sahabatnya.

Mata Irina terbelalak saat melihat sang kekasih dan Braga muncul di siaran langsung. Ada apa ini? Gumamnya tercengang kaget.

" Jangan berani-beran, Bara" gumam Irina. Tanpa pikir panjang, dia melesat mengganti pakaian seadanya kemudian melesat keluar memacu mobil secepat mungkin menuju rumah sakit.

" Praaankkkk!!!" Suara vas bunga kaca terjatuh dilantai sebuah rumah sederhana yang minimalis.

Joanna menatap televisi dengan wajah tercengang. Braga sedang mengumumkan kasus malpraktrek yang telah dilakukannya dihadapan publik. Cedric yang sedang duduk di sofa depan televisi ikut terperanjat dan menoleh menatap sang ibu dengan tatapan bingung.

" Kenapa, ma? Mama??" Sahut Cedric menanyai ibunya.

Joanna terlalu shock untuk mendengar pertanyaan anaknya. Matanya tak bisa lepas dari layar televisi dimana Braga mengakui kesalahannya. Meski tidak mengerti hukum, dia tahu usai pengakuan ini, Braga akan menjalani proses hukum yang cukup pelik. Terutama untuk ijin prakteknya sebagai dokter juga akan terancam dicabut. Bagaimana keadaannya? Apakah dia akan baik-baik saja disana? Bisakah semuanya berjalan lancar? Berbagai pertanyaan meletup-letup di kepala Joanna. Khawatir akan keselamatan Braga.

Cedric sedikit cemberut karena tidak dihiraukan ibundanya. Perpaling menatap televisi dan menyimak isi pengakuan Braga. Dia ingat betul itu adalah pria yang pernah dilihatnya berpelukan dengan sang ibu. Sejak awal melihat pria ini di depan rumahnya, Cedric merasakan sensasi rasa hangat dan rindu yang tidak dimenyenangkan merebak memenuhi hatinya. Kenapa bisa begitu, ya? Pikir Cedric.

Sekilas matanya melirik ke arah cermin berukuran sedang tidak jauh dari televisi. Pantulan wajahnya sendiri hampir bersebelahan dengan wajah Braga yang sedang tersiar di televisi. Kok mirip? Pikir Cedric. Dia baru sadar alasan dirinya merasa tak asing pada pria itu terletak pada kemiripan wajah mereka berdua. Sebuah ide mencuat di otak encernya.

" Mungkinkah?" pikirnya. Menoleh kembali pada sang ibu yang masih terpana menatap televisi.

" Ma, apa pria itu adalah ayahku?" Sahut Cedric sembarangan berbicara.

Pertanyaan Cedric kali ini tidak bisa diacuhkan oleh Joanna. Dengan mata tak percaya dia menatap ke arah sang anak.

Irina sampai di rumah sakit Boulevard. Melesat lurus menuju ruang konferensi utama. Di depan pintu ramai staff divisi jantung termasuk profesor Ilyas, Renno, Bastian dan Edel. Gerard tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. Ekspresi wajahnya seperti orang panik. Napasnya terengah-engah. Profesor Ilyas menghalangi Gerard untuk masuk. Mereka takut para awak media akan menodongnya dengan ribuan pertanyaan, atau bisa sampai menghakimi jika keadaan menjadi tidak terkendali.

Saat Irina berusaha memasuki ruangan, sudah tiba giliran Bara yang memberikan pernyataan. Sayang pernyataannya hampir mencapai penghujung kata. Bastian dan Edel menahan Irina agar tidak nekat menerjang naik ke atas podium dan membuat kerusuhan. Menariknya ke balik pintu agar tidak menarik perhatian.

" Jangan, Rin. Aku rasa ini sudah keputusan Bara dan Braga. Sebaiknya kita hargai itu" ujar Edel menenangkan sahabatnya yang hampir kena serangan jantung mendadak.

" Tapi ini keputusan gila, Del! Mereka tidak akan bisa jadi dokter lagi!" Seru Irina ngotot.

" Setidaknya dengan melakukan ini, kemungkinan hukumannya bisa saja diperingan. Bara dan Braga pasti sudah memikirkan tentang resikonya. Percayakan saja pada mereka" sahut Bastian coba berlogika dengan Irina.

" Bara melakukan ini disaat aku sudah memutuskan untuk membuang dendamku demi dia" ujar Irina dengan mata berkaca-kaca. Seketika tenaganya bagai menguap terbang bersamaan dengan pengakuan demi pengakuan yang terlontar dari mulut sang kekasih.

" Semua peristiwa yang sebenarnya sudah kami berdua ceritakan. Kami mohon maaf atas tersembunyinya masalah ini hingga 10 tahun lamanya. Tidak ada maksud disengaja ataupun ingin lari dari tanggung jawab. Banyak faktor dan situasi yang membuat masalah ini jadi berlarut-larut. Kami akan mundur dari posisi dokter bedah jantung rumah sakit Boulevard agar tidak memberikan image buruk bagi keseluruhan bagian rumah sakit. Besar harapan kami dengan keputusan gantung jas ini bisa membuat pandangan buruk terhadap rumah sakit sedikit terobati. Sekali lagi kami berdua mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga pasien bapak Arya Wiguna beserta keluarga. Terutama kedua anak korban, yaitu Nona Ladya Sakila Wardhani dan nona Irina Aruna Yasmine" Bara dan Braga meletakkan jas putih mereka yang terlipat rapi di depan lututnya lalu memberi tanda permintaan maaf dengan gaya khas negeri sakura. Duduk bersimpuh di lantai podium lalu menurunkan kepala hingga dahi mereka menyentuh lantai. Kedua tangan menekuk seperti posisi sujud dalam sembahyang agama Islam.

Suasana hening. Senyap. Irina, Edel, Bastian dan Renno menyaksikan dengan hikmat. Keempatnya membeku di tempat. Waktu seakan berhenti berputar untuk sejenak. Selama sepersekian detik para awak media seperti melupakan tugas mereka disana. Terhipnotis oleh kesungguhan kedua narasumber mereka. Satu persatu mulai tersadar dan mengambil foto serta rekaman gambar moment spektakuler sepanjang sejarah medis belakangan ini. Bunyi kasak kusuk beredar seantero ruangan.

Selesai memberikan sujud permintaan maafnya, Bara dan Braga berdiri tegap kembali. Dengan tatapan tegar, Bara siap menutup acara jumpa pers suram mereka.

" Saya dokter Bara Darren Witchlock dan dokter Braga Dereck Witchlock bersedia mengikuti semua proses hukum yang seharusnya dan menerima hukum kedokteran yang berlaku. Terima kasih untuk kesediaan anda semua. Mau meliput dan mendengarkan pengakuan serta penyesalan dua orang dokter yang telah lalai dalam tugasnya. Selamat siang semuanya" ujar Bara. Keduanya menuruni podium dengan wajah tertunduk. Dikawal beberapa polisi dan team keamanan rumah sakit menuju area yang aman di belakang ruang konferensi. Suara berisik membahana. Berasal dari para wartawan yang mulai bertanya-tanya.

Di dalam ruang kosong tidak jauh dari latar belakang auditorium, Bara dan Braga disembunyikan menunggu jemputan mereka selanjutnya. Edel, Irina, Bastian dan Renno sudah berada disana duluan. Ekspresi keempat orang itu sangat mengerikan. Benar-benar tidak jelas karena berbagai perasaan yang berperang dalam diri mereka. Lain hal dengan Bara dan Braga. Untuk ukuran orang yang akan segera menjalani proses hukum, dua pria bermarga Witchlock ini seperti tidak punya beban. Mereka berdua terlihat jauh lebih tenang dan lega.

Irina langsung menghampiri Bara dan mencengkram kedua lengannya. Menatap pedih dan panik sang kekasih. " Kenapa kamu melakukan ini?? Kenapa, Bara??" Ujarnya.

" Ini keputusan terbaik yang bisa aku lakukan, Irina. Kamu benar soal pengakuan dan permintaan maaf langsung untuk keluarga korban. Hal itulah yang sekarang sedang aku dan Braga lakukan. Kami bersalah. Jadi biarkan kami menebusnya dengan cara yang benar" jawab Bara memegang kedua tangan Irina.

Gerard menerobos masuk ingin menemui kedua puteranya yang baru saja melakukan pengakuan dosa besar-besaran. Sebelum sang ayah menuding mereka sekuat-kuatnya, Braga memeluk sang ayah.

" Maafkan kami berdua, ayah. Mengambil keputusan tanpa meminta ijin dan pertimbanganmu. Padahal begitu banyak yang telah ayah dan ibu lakukan demi menyelamatkan kami. Kali ini saja. Biarkan kami menghadapi masalah sendiri. Menanggung resiko sendiri. Dan bangkit dengan kekuatan sendiri. Ayah cukup melihat serta mendukung kami sambil tersenyum. Tak perlu mengotori tangan lagi hanya demi menyelamatkan kepalaku dan Bara. Saat ini, hanya itu yang kami butuhkan, yah" ujar Braga dengan suara dalam yang sedikit serak oleh air mata tertahan.

Gerard tak bisa berkata apa-apa. Hanya menangis sedih memeluk anak sulungnya. Selepas pelukan Braga, Gerard beralih menghampiri si bungsu. Memeluknya sambil menangis. Bara menyambut pelukan sang ayah dengan senang hati. Hubungan mereka kembali membaik di saat semuanya berakhir setengah ricuh.

Profesor Ilyas disusul dengan seluruh anggota team bedah jantung memasuki ruangan menyaksikan pemandangan mengharukan keluarga Witchlock. Mereka semua paham, salah satu alasan Bara dan Braga melakukan ini sekaligus membuat pengumuman resmi tentang pengunduran diri mereka adalah untuk menyelamatkan nasib rumah sakit Boulevard. Demi kelangsungan karir mereka semua disana.

Tak lama acara berpelukan yang mengharu biru, empat orang polisi memasuki ruangan. Bersiap membawa Bara dan Braga ke kantor polisi untuk memulai proses hukum mereka. Bastian memapah dan menarik Gerard yang mulai lemas melihat kedua putera kebanggaannya dijemput oleh pihak berwajib. Profesor Ilyas dibantu oleh Bumi dan Takhrit mengangkat tubuh pingsan sang direktur rumah sakit Boulevard keluar ruangan. Renno memeluk Braga sebagai tanda dukungan sebagai seorang sahabat. Edel memberi isyarat mata tanda simpati dan dukungannya meski sedikit terisak-isak.

" Sebentar, pak! Saya perlu bicara sebentar saja!" Seru Irina menghalau polisi yang akan memborgol kedua tangan Bara.

Bara meminta ijin untuk bicara dengan sang polisi. Polisi tersebut mengerti dan memberikan ijinnya. Lalu mundur beberapa langkah

Irina menghambur memeluk leher Bara. Membuat pria jangkung itu menunduk. Menelungkupkan wajahnya ke bahu Irina. " Kenapa jadi begini?? Kenapa kamu memilih jalan ini disaat aku sudah bisa membuang dendamku demi kamu? Aku tidak mau begini. Lagi-lagi keadaan berubah berlawanan dengan harapanku. Karena masalah yang sama aku ditinggalkan lagi oleh laki-laki yang penting untukku. Bagaimana selanjutnya nanti? Bagaimana kita nanti, Bara?" Isak tangis Irina menempelkan hidung dan dahi mereka. Memegang kedua sisi wajah Bara.

" Semua akan berubah jadi lebih baik setelah jalan penuh duri ini terlewati. Percayalah pada takdir Tuhan. Percaya juga padaku. Aku akan baik-baik saja. Jaga dirimu untukku. Tunggu aku kembali, Irina" ujar Bara dengan suara lirih. Kemudian mengecup dahi Irina sepenuh perasaan sebagai tanda perpisahan.

" Always. ." Jawab Irina berjanji akan menunggu kepulangan Bara.

Bara dan Braga kemudian menghampiri Edel, Bastian dan Renno.

" Aku titip ayah dan rumah sakit, Bas. Tolong pandu dan arahkan teamku dan Braga selama kami belum tahu bisa kembali atau tidak." Pinta Bara.

" Jangan khawatir. I Will be. Keputusan yang kalian ambil sangat berani. Sangat tepat. Good luck. Semoga Tuhan menyertai setiap langkah kalian" ujar Bastian menepuk Bahu Bara dan Braga. Tersungging senyum kekaguman di bibirnya.

" Renno. Aku minta tolong carikan informasi tentang alamat Joanna di Bandung. Jika ada info tolong kabari aku" pinta Braga pada sang playboy.

" Siap bos! Detektif Renno segera beraksi! Kamu dan Bara baik-baiklah disana. Kutunggu kabar baik dari kalian" sahur Renno. Tersenyum tulus.

" Aku juga akan bantu mencari Joanna. Kamu tenang saja" sahut Irina mulai bisa menguasai dirinya.

" Pikirkan saja diri kalian. Kami-kami tidak perlu dikhawatirkan" sahut Edel menyeka air matanya.

" Terima kasih semua. Kami pamit. Sampai jumpa lagi" jawab Bara dan Braga hampir berbarengan melambaikan sebelah tangannya pada kerumunan anggota team mereka yang tak sanggup mengucapkan apa-apa. Mereka membalas dengan mengacungkan jempol, anggukan, senyuman, tangisan serta ucapan selamat tinggal, semoga sukses yang tak beraturan akibat diucapkan berbarengan.

Menghampiri si polisi. Kedua tangan Bara dan Braga diborgol lalu diboyong menuju kantor peradilan. Jas putih keduanya terlipat rapi di dekapan Irina. Air mata belum usai turun membasahi tiap langkahnya. Dimulai dari kesalahan 10 tahun lalu di rumah sakit bernama Boulevard.

Continue Reading

You'll Also Like

Jimin Or Jimmy By arzy

Science Fiction

512K 2.9K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
17K 334 21
Berisi kutipan-kutipan pendek dari puisi Aan Mansyur dalam buku Melihat Api Bekerja Salah seorang sastrawan berasal dari Indonesia yang sudah menulis...
511K 55.9K 25
(PART TIDAK DIHAPUS) Glacie : Aku pernah mencintainya. Sekarang, mungkin aku masih mencintainya. Aku menikahinya bukan karena kesepian. Dia laki-laki...
2.4M 206K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...