Mentari sebentar lagi bersembunyi dibalik gelapnya malam. Itu pertanda pergantian waktu dari sore ke malam akan segera tiba. Di sebuah halte, tampak seorang gadis yang masih menunggu angkutan umum. Raut cemas terlihat jelas dari wajahnya, seiring dengan kaki yang diketuk-ketukkan ke bibir jalan.
Gadis itu terus mengecek jam hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia sadar bahwa percuma saja menunggu angkutan umum karena sejak setengah jam yang lalu, sudah batas kedatangan angkutan umum. Tapi, hanya kendaraan itu yang bisa mengantarkannya pulang. Apalagi di sekitar sekolahnya ini tidak ada ojek yang berlalu-lalang.
Akibat sekolah yang tak mengizinkan untuk membawa ponsel, ia bingung harus menghubungi orang rumah lewat apa. Teman-temannya juga sudah pulang semua. Ia jadi menyesal saat rapat anggota inti pramuka tadi, tidak langsung pulang saja saat ketua mengizinkan karena jarak rumah yang jauh dan kendaraan yang terbatas. Kalau sudah begini, ia bingung ingin pulang pakai apa.
Tin
Tin
Sebuah motor mitik tiba-tiba saja berhenti di depannya saat ini. Dari seragam putih dan celana panjang biru yang digunakan orang itu, ia tahu bahwa mereka satu sekolah. Hal tersebut terlihat jelas dari lambang sekolah yang terpampang jelas di seragamnya.
Gadis itu seketika menegang saat pria itu berjalan mendekat ke arahnya, tentu saja ini semua akibat phobia berdekatan dengan cowok asing. Walau mereka satu sekolah, tapi gadis itu tak mengenalnya.
"Gua anter yuk."
Gadis itu sedikit memundurkan langkahnya saat pria itu semakin dekat ke arahnya. Bersamaan dengan itu, ia bisa merasakan bau rokok yang lumayan menyengat. Rasanya ingin mual karena tak biasa dengan bau rokok seperti itu.
"Jam segini angkot udah nggak ada," ujarnya.
"Hm, aku dijemput," ujar gadis tersebut gelagapan sambil memainkan jarinya. Ia panik karena pria ini terlihat menyeramkan di matanya.
"Dijemput? Dari Awal kelas 7 yang gua perhatiin lu naik angkot deh," ujar pria itu.
Gadis itu seketika meneguk salivanya atas pernyataan pria di sampingnya saat ini. Jadi, pria ini sudah memperhatikannya sejak satu tahun yang lalu? Sungguh dia semakin takut.
"Santai aja sama gua," ujarnya, "lu takut ya?"
Gadis itu hanya bisa menggeleng pelan, sungguh dia ingin pergi jauh dari pria ini. Tanpa aba-aba, dia langsung mengambil langkah cepat untuk menghindari pria tersebut. Namun naas, tangannya sudah dicekal terlebih dahulu.
"Mau kemana?" tanya pria itu.
"Lepasin." Dengan kasar ia segera melepas cengkraman tersebut. Dia paling tidak suka disentuh sembarang cowok.
"Risa Risa, gimana gua mau deketin lu coba," ujarnya dengan helaan napas berat, "baru gini aja lu udah kayak liat setan."
"Mau kamu apa sebenarnya?" tanyanya ragu.
"Jadi pacar gua yuk!" ajaknya dengan senyum lebar.
Kring
Kring
Kring
Risa seketika tersentak saat jam wekernya berbunyi lumayan kencang. Ia lupa mematikan Alarm pengingat untuk belajar, padahal sekarang masih hari libur. Akibat alarm itu, kegiatannya yang sedang mengingat kejadian tiga tahun yang lalu terhenti. Dengan buku dairy yang masih dipegangnya saat ini, ia jadi mengingat kejadian itu lagi. Kejadian di mana Risa ditembak oleh pria untuk pertama kalinya.
Risa jadi mengingat hal tersebut bukan tanpa alasan. Itu semua karena pesan masuk dari nomor yang tak dikenalnya. Isinya seperti ini.
From 0812**********
Setelah gua akui ini, lu pasti sadar siapa yang bermain-main dengan lu selama ini. Itu semua salah lu sendiri yang udah nolak gua waktu itu. Gua kasih lu pilihan nih. Lu pilih tutup kasus ini dan jadi pacar gua atau sahabat kesayangan lu ini pergi dari hidup lu jauh-jauh? Gimana? Mengguntungkan keduanya bukan? Gua tunggu jawaban lu ya. See you, cantik.
Kepala Risa terasa berputar saat ini. Dia pikir pria itu sudah melupakan perasaannya. Bahkan mereka satu SMA lagi dan pria itu selama ini terlihat biasa saja dengan Risa. Malah terkesan seperti orang asing. Tapi, kenapa pria itu melakukan hal sejauh ini sampai menyabotase jawabannya. Alasannya juga cukup aneh karena pernah Risa tolak. Ini semakin aneh kenapa balas dendamnya baru Akhir-akhir ini, sedangkan tiga tahun belakangan ini pria tersebut tidak melakukan hal apa-apa. Ini nggak masuk logika, pria itu ditolak tiga tahun ya, tapi balas dendamnya sekarang? Risa tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Tapi, tunggu, ini semua juga ada kaitannya dengan Dinda bukan? Ia rasa Dinda pasti tahu alasan sebenarnya pria itu melakukan hal ini.
Akan tetapi, pria itu mengancam akan membuat sahabat Risa pergi jauh dari hidupnya bila tak menuruti kemauannya. Tapi, sahabat Risa yang mana? Ananda? Tiar? atau jangan-jangan Dinda? karena Dinda sendiri tahu kasus sabotase ini.
Tidak mau membuang-buang waktu, Risa segera bersiap-siap untuk ke rumah Dinda. Waktu masih menunjukan pukul 4 sore. Ia masih ada waktu sebelum hari benar-benar gelap.
Setelah meminta izin untuk keluar rumah kepada mama. Dengan langkah tergesa, ia segera menuju halaman rumah. Untung saja motor tidak sedang dipakai Rama.
Baru saja ingin menjalankan motornya, tapi seseorang yang baru saja memasuki pagar rumahnya membuat kegiatannya terhenti. Dari sini, Risa bisa melihat Azzam yang mendatanginya bersama seorang wanita paruh baya.
"Mau kemana, Neng geulis?" tanya Mama Azzam saat sudah sampai di dekat pintu masuk rumah.
"Ke rumah temen, Ma," jawab Risa.
"Zam, temenin sana. Udah sore banget takut malah kemalaman nanti Pulangnya," perintahnya kepada Azzam yang tengah mengangkat beberapa perkakas yang dipinjamnya dari rumah Risa.
"Eh enggak usah, Ma," tolak Risa secara halus.
"Duh bahaya loh. Biar Azzam temenin aja ya," ujarnya.
"Tapi–"
"Iya, Ris, nggak papa ana temenin. Tunggu ya, ambil motor dulu," ujarnya.
"Lah ngapain ambil motor? itu loh bareng aja naik motornya."
Azzam dan Risa hanya saling lirik beberapa detik akibat ucapan wanita paruh baya ini. Mereka sadar tidak mungkin bergoncengan, mereka tahu batasan. Cukup sekali saja waktu itu saat motor Risa mogok karena bannya bocor.
"Tunggu Azzam halalin dulu, Ma. Baru goncengan," bisiknya kepada sang Mama tanpa bisa didengar Risa. Setelah itu, ia langsung meletakan perkakas di samping halaman rumah dan pergi menuju Rumah.
"Yaudah aku berangkat dulu ya, Ma. Assalamu'alaikum," pamit Risa.
Risa benar-benar tak habis pikir dengan keluarga Azzam yang begitu mempedulikannya. Kalau seperti ini terus, ia merasa selalu merepotkan orang lain. Netranya melirik kaca spion yang menampilkan seorang pengendara motor yang mengikutinya dari belakang. Senyum tiba-tiba tersungging. Azzam benar-benar menjaganya dari jauh.
***
"Rumah Dinda?" tanya Azzam bingung saat memarkirkan motornya di halaman rumah mewah itu.
Risa yang baru memarkirkan motornya tepat di samping Azzam hanya mengangguk atas pertanyaan Azzam barusan. Ia baru sadar, adanya Azzam di sini sangat bagus karena pria ini ikut andil dalam pengungkapan kasus sabotase ini.
"Aku udah chat Dinda tadi, katanya langsung masuk aja. Dia ada di dalam."
Sebenarnya Risa merasa tidak sopan juga main masuk rumah Dinda gitu aja. Akan tetapi, sahabatnya satu itu tetap bersikeras agar Risa masuk saja seperti rumah sendiri. Kalau tidak mau tidak usah masuk sekalian.
Setelah membuka pintu dan mengucap salam, Risa diauguhi pemandangan Dinda yang sedang terduduk di ruang tamu sambil makan kacang kulit. Tidak lupa dengan mata yang masih terfokus di depan layar laptop.
"Loh, kok ada Azzam?" tanya Dinda bingung saat melihat kedatangan Azzam bersama Risa.
"Disuruh mama nya jagain aku tadi," bisik Risa saat sudah terduduk di samping Dinda.
Dinda hanya mengangguk dan mempersilakan kedua temannya untuk duduk. Setelah itu, ia segera mematikan laptopnya tersebut. Ia yakin kedatangan Risa ke sini bukan sekadar mau main-main. Tapi, ada hal yang ingin dibicarakan.
"Jadi, ada apa?" tanya Dinda ti the point.
"Sebenernya kamu tahu kasus sabotase ini, kan? Bahkan udah tahu rencana ini? " tanya Risa ragu.
Dinda hanya menghela napas lelah, "ya gua tahu, gua juga yang rencanain semenjak tahu lu bakalan tes. Tapi, gua benar-benar udah nggak niat lanjutin rencana gila itu semenjak gua mutusin buat berubah. Tapi, sialnya orang gila itu yang lanjutin rencana gua!" geramnya dengan tangan terkepal.
Azzam yang memang langsung paham kemana arah pembicaraan kedua orang ini ikut mendengarkan. Ia sudah diceritakan Rio mengenai kejadian kemarin. Mengenai Dinda yang diduga teman-temanny sebagai dalangnya karena perencana kasus sabotase ini. Tapi, dia cuma dibingungkan mengenai siapa cowok dibalik kasus ini. Sebenarnya ada satu nama yang ia curigai, tapi cukup disimpan dulu. Ia masih mengumpulkan bukti-bukti yang kuat. Bukti yang kuat itu berada di Dinda sendiri yang ikut andil dalam perencanaan kasus ini, walau katanya tidak ikut andil saat eksekusi rencananya.
"Pasti kamu tahu alasan dia lakuin hal itu?" tanya Risa.
"Dulu dia mau setuju rencana gua gara-gara gua kasih uang yang banyak," ujar Dinda.
"Rumah dia sebagus itu, masih butuh uang banyak?" heran Risa.
Dinda hanya mengangkat bahu cuek, "ya gua hanya tahu itu. Tapi kalau dipikir-pikir sekarang, nggak masuk akal juga ya gara-gara uang." Dinda jadi ikutan bingung. Bahwasannya cowok itu lebih kaya darinya.
"Ris, anti udah tahu dalangnya?"
Risa mengangguk pertanda sudah mengetahui siapa dalangnya. Seiring dengan itu, ia menunjukkan isi pesan yang dikirimkan orang tersebut kepadanya.
"Lah jadi dia Rencanain ini cuma gara-gara ditolak pas SMP?!!" tanya Dinda tak percaya.
"Gua rasa, Din. Ada alasan lain, soalnya dia pernah kirim pesan gini ke gua."
Azzam segera menunjukkan pesan yang dikirim orang itu beberapa hari yang lalu.
0831********
See, ini semua balasan karena si cewek alim itu udah jatuhin harga diri gua. Semua itu nggak jauh dari keberadaan lu juga.
Setelah membaca pesan itu tiba-tiba saja otak Dinda jalan. Mungkin dia marah bukan karena ditolak, tapi tahu kalau Risa dan Azzam saling suka. Soalnya Dinda pernah bilang ke orang itu kalau mereka saling suka. Makanya nyalahin keberadaan Azzam juga. Senyum Dinda tersungging tiba-tiba, ternyata hidup cowok itu terlihat lebih menyedihkan darinya.
"Kok dia bawa-bawa Azzam?" tanya Risa bingung.
"Iyalah orang dia tahu kalau kalian saling––"
"Saling bantu satu sama lain, Ris. Makanya nyalahin ana juga."
Dinda hanya bisa mendegus karena ucapannya dipotong. Mau sampai kapan coba suka kucing-kucing kek gini. Dia saja capek lihatnya.
"Kayaknya kita perlu mainin dia balik," ujar Azzam.
"Mainin balik?" tanya Dinda bingung.
"Rio cerita sama gua kemarin. Katanya Dinda harus lakuin bagian terakhir. Emang bagian apa?" tanya Azzam.
Dinda seketika tersenyum lebar. "Gua tahu harus apa."
"Harus apa?" tanya Risa bingung.
"Liat aja, kita bikin dia yang masuk ke dalam perangkap kita. Gua cuma minta kalian berdua yakinin si Rio kunyuk dan yang lain supaya nggak tuduh gua mulu. Bisa?"
"Aman," ujar Azzam mengacungkan jempolnya, "yang penting Risa udah tes lagi dan besok hasilnya, kan?"
"Iya, Zam," ujar Risa, "emang mau rencana apa?"
"Gua tahu harus apa, lu tenang aja. Rencana dia itu nggak berarti apa-apa tanpa gua." Dinda tersenyum licik.
Bogor, 08 Maret 2021
***
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabrakatuh.
Part ini lumayan panjang bagiku. Enggak ada yang mabok bacanya, kan?
Hayo, ada yang bisa tebak. Di sini ada satu clue sangat jelas yang menunjuk ke dalang kasus ini. Kalau kalian peka dan ingat-ingat kasus sebelumnya, pasti tahu deh dalangnya siapa? 😂😂😂😂😂