Sebuah tepukan kecil pada bahu gue membuat gue yang menenggelamkan wajah gue di tangan yang gue lipat diatas meja mendongak untuk mengetahui siapa yang menepuk bahu gue tadi.
Namun setelah gue tau siapa orangnya, gue kembali menenggelamkan muka gue enggan meladeni cowok yang udah nyari masalah di awal pertemuan gue sama dia.
"Woi. Gue tau lo nggak seneng sama gue, tapi seenggaknya lo harus nurutin kata guru kalo lo yang jadi pemandu gue istirahat ini." ucapnya disambut dengan tangan yang kembali menepuk-nepuk bahu gue.
Gue yang merasa terganggu pun kembali mendongak dan memasang wajah malas menatapnya jengah.
"Maupun itu suruhan guru atau bukan. Selama orang itu adalah elo, gue nggak bakalan mau." ujar gue yang kemudian berdiri dari duduk gue.
"Awas." tambah gue menyuruhnya bergeser karena gue ingin keluar dari kelas setelah mengingat ada hal yang harus gue lakukan setelah beberapa hari yang lalu selalu gue tunda.
Vino emang bergeser. Tapi dia malah ikutan berdiri yang membuat gue memandang heran ke arahnya.
"Mau ngapain lo?" tanya gue. Vino tanpa ragu menjawab.
"Ngikutin lo lah. Lo mau ngajak gue keliling kan?" ujarnya. Gue segera saja menggeleng pelan.
"Enggak tuh. Gue ada urusan, makanya mau keluar kelas. Tapi kalo lo mau ikut ya gue nggak masalah. Orang gue cuma ke satu tempat doang." ucap gue.
Iya, gue mau ke satu tempat yang mana udah dua tahun ini gue selalu kesana setiap kali jam istirahat berbunyi ataupun adanya jam kosong.
Apalagi kalo bukan ruang musik. Ruangan paling tenang karena sangat jarang murid yang mau kesana kalo bukan waktunya ekskul musik dimulai. Gue selalu masuk ke ruangan itu untuk menenangkan diri dan terkadang belajar saat ujian mau berlangsung. Bukan cuma untuk nenangin diri aja sih, gue emang ikut ekskul musik selama dua tahun gue belajar disini.
Dan beberapa hari yang lalu udah diumumin kalo murid-murid kelas 12 harus mengundurkan diri dari ekskulnya karena sudah waktunya fokus belajar.
Gue belum sempat melakukannya karena kesibukkan dirumah dan berita yang bikin gue syok kemarin. Jadi gue ingin mewujudkannya sekarang mumpung hari ini kegiatan ekskul dimulai dengan ketua klub yang baru.
"Masih jauh ya?" tanya Vino di belakang gue yang ternyata dia beneran ngikutin gue dari tadi.
Gue nggak menjawabnya dan terus berjalan tanpa memperdulikannya yang mulai menyusul untuk berjalan berdampingan sama gue hingga akhirnya gue sampai diruangan musik yang sudah ada beberapa orang di dalamnya.
Nggak memerlukan waktu yang lama, karena setelah gue masuk ke dalamnya gue langsung mendatangi ketua klub tersebut dan mengasih tanda tangan gue untuk mengakhiri keanggotaan gue di klub tersebut. Setelahnya gue kembali keluar diikuti Vino yang masih setia berjalan di samping gue.
Selama perjalanan nggak ada satupun yang ngomong antara gue maupun Vino. Karena gue emang nggak mau ngomong sama dia, jadi gue diem aja sampai akhirnya Vino membuka suara dengan kalimat yang membuat gue cukup tertarik.
"Lo mau tau alasan gue nggak mau pindah kelas walaupun kursi yang tersisa cuma ada disamping elo?" ujarnya. Gue nggak menjawabnya tapi gue tetep mendengarkan dan menunggu ucapannya selanjutnya.
"Ada seseorang yang gue sukai dikelas itu. Dan itu juga yang menjadi salah satu alasan kenapa gue pindah kesini." tambahnya dengan nada suara yang memelan begitu juga langkah kakinya yang perlahan berhenti sehingga membuat gue ikut menghentikan langkah gue untuk berbalik menatapnya yang menunduk.
Sebenarnya gue nggak berminat. Tapi karena ngeliat dirinya yang kayak tertekan, gue berjalan menghampirinya dan berdiri tepat di hadapannya. Gue nggak mengatakan apapun untuk membuatnya sedikit tenang, tapi malah dia yang mengucapkan beberapa kalimat yang membuat gue cukup membuka mata gue lebar setelah mendengarnya.
"Gue...suka sama salah satu cowok yang ada di kelas itu." ucapnya.
Gue awalnya masih mencerna ucapannya. Tapi setelah gue paham kalo dia baru aja ngucapin kata cowok yang mana dirinya juga cowok, gue jadi syok dan menatapnya tidak percaya dengan segala pikiran yang akhirnya tertuju pada gue.
"Lo...jangan bilang kalo lo...suka sama gue?" ucap gue lalu menggunakan satu tangan gue untuk menutup mulut gue dan menggunakan tangan satunya untuk menunjuk dirinya yang perlahan mendongak menatap gue. Detik berikutnya bisa gue rasakan tamparan kecil pada kepala gue yang dilayangkan oleh Vino yang membuat gue tercengang.
"Lo kira gue cowok apaan sukanya cowok kayak elo. Mikir kali. Lo nggak menarik sama sekali." ucapnya yang tepat mengenai hati gue yang menghela napas memilih untuk melupakan ucapannya barusan.
Lalu setelahnya gue berbalik dan berniat meninggalkannya karena ternyata nggak ada hubungan apapun sama gue akan masalahnya. Tapi gue kembali menghentikan langkah kaki gue saat Vino kembali berkata dengan ucapan yang nggak kalah membuat gue terkejut mendengarnya.
"Liwa!" ucapnya dengan sedikit berteriak. Dia berlari kecil untuk menyusul gue dan berhenti tepat di belakang gue.
"Cowok yang gue suka namanya Liwa. Cowok yang kemaren nikah sama elo." ujarnya.
Jantung gue berdebar kencang dengan perasaan takut yang menghampiri gue saat menyadari kalau Vino sangatlah berbahaya karena sudah mengetahui hubungan gue sama Liwa walaupun semua itu hanya paksaan. Dan karena itu pula, gue dengan cepat berlari meninggalkannya untuk mencari Liwa yang entah dimana keberadaannya.
Sayangnya sampai waktu pulang sekolah tiba. Sosok Liwa nggak gue temui dan gue kembali berkahir bersama Vino dan berjalan berdampingan bersamanya keluar menuju parkiran sekolah.
Gue nggak ngomong apa-apa karena tiba-tiba merasa canggung setelah mengetahui kalau Vino adalah salah satu tamu yang hadir kemarin. Tapi Vino lah yang mengawali percakapan diantara kami dengan mengajak gue ke salah satu cafe untuk membicarakan perihal fakta yang beberapa jam lalu dia ucapkan.
Gue sih oke-oke aja. Lagian gue juga mau ngomong sesuatu sama dia, mau minta supaya dia nggak ngumbar apalagi ngasih tau ke orang lain perihal pernikahan gue sama Liwa.
"Oke. Jadi apa yang mau lo omongin?" tanya gue begitu Vino telah selesai memesan minuman yang entah apa namanya.
Vino menatap ke arah gue dan memasang senyuman yang kentara sekali kalo dia memaksa senyuman itu.
"Nggak banyak sih. Gue cuma mau lo rahasiain tentang perasaan gue ke Liwa. Gue nggak mau dia tau dan pada akhirnya gue nggak bisa ngeliat dia lagi." ucapnya yang membuat gue berpikir cepat sebelum akhirnya bertanya.
"Sebenarnya lo sama Liwa tuh saling kenal nggak sih?" tanya gue heran. Karena kalo emang Vino suka sama Liwa, pastinya mereka saling kenal kan? Tapi pas perkenalan maupun pas istirahat tadi Liwa nggak ngasih tanda-tanda kalo dia kenal sama Vino. Nyapa pun enggak.
Vino menggeleng pelan. "Enggak. Gue sama dia nggak saling kenal kok. Gue jatuh cinta sama dia pas nganter Ibu gue ke pernikahan kalian. Gue yang emang homo langsung suka ngeliat ketampanannya. Jadi ya gue putusin untuk pindah sekolah buat ngejar cinta gue." jelasnya. Gue menaikkan satu alis gue menatapnya.
"Lo mau ngejar Liwa padahal lo sendiri tau dia udah nikah?" tanya gue heran.
"Nggak usah bawa-bawa pernikahan kalian kalo lo sama Liwa sendiri nggak menganggap pernikahan itu ada." ucapnya dengan nada malas dan kedua bola matanya yang berputar.
Gue yang mendengar itu tentu saja terkejut. Gue terkesiap dengan satu tangan yang menutup mulut gue memandangnya tidak percaya.
"Gi-gimana lo bisa tau?" tanya gue sedikit terbata.
"Ibunya Liwa cerita banyak sama Ibu gue. Termasuk tentang lo yang dijual sama Ibu lo sendiri." ujarnya yang membuat gue membuka penutup mulut gue dan merasa lemas karena pada akhirnya semua itu bukan rahasia keluarga lagi.
Gue menunduk dan berkata dengan suara yang sangat pelan.
"Apa selain lo, ada lagi murid di sekolah yang tau?" tanya gue.
"Enggak ada kok. Tenang aja, gue juga nggak berniat ngasih tau ke yang lain. Gue ngajak lo kesini karena selain minta lo jangan kasih tau Liwa, gue juga mau lo bantuin gue supaya gue bisa deket dan jadian sama dia." ujarnya. Gue kembali mendongak lalu menghirup napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Setelahnya gue menggeleng pelan merasa lelah di permainkan sama nasib yang menjebak gue ke dunia seperti ini.
"Kalo yang satu itu gue nggak bisa bantu. Gue nggak punya banyak waktu, lagian Liwa nggak homo. Dia masih normal dan ceweknya banyak. Tapi kalo lo mau berusaha, silahkan lo lakuin sendirian gue nggak minat bantuin lo." ucap gue, lalu kemudian berdiri dari duduk gue untuk berlalu pergi meninggalkannya keluar dari cafe itu.
Untungnya Vino nggak mengikuti gue, membuat gue merasa lega dan melanjutkan perjalanan gue menuju ke suatu tempat untuk mencari pekerjaan paruh waktu yang sangat gue butuhkan saat ini.
Tapi gue harus menghentikan langkah gue sebentar begitu ponsel gue berbunyi dan menampilkan beberapa digit nomor yang nggak gue kenali. Gue awalnya ragu, tapi tetep gue angkat untuk mengetahui siapa yang menelpon.
"Ha-"
"Lo dimana?" ujar suara di sebrang telpon yang memotong ucapan gue yang ingin menyapanya.
Mendengar suaranya membuat gue langsung tau siapa yang nelpon. Siapa lagi kalo bukan Liwa. Menyadarinya membuat gue ingin sekali memutuskan sambungan telpon itu.
"Darimana lo dapet nomor gue?" tanya gue dengan nada yang ogah-ogahan. Gue masih menahan sambungan telpon itu untuk menanyakan ini.
"Nggak penting. Lo dimana sekarang, biar gue jemput. Nyokap Bokap gue ada dirumah. Mereka mau lo sama gue pulang sekarang." ucapnya.
"Kenapa harus sama gue?" balas gue.
"Ya kenapa lagi? Lo kan menantu mereka. Udah sih, bacot banget lu. Cepetan kasih tau dimana posisi lo. Biar gue jemput sekarang." desaknya, membuat gue nggak ada pilihan lain selain memberitahukan lokasi gue dan mematikan sambungan telepon itu untuk menunggunya disalah satu kursi yang ada di dekat bawah pohon besar.
Gue menungguinya disana sampai akhirnya sebuah motor besar berhenti dihadapan gue dengan sang pengendara yang membuka kaca helmnya dan menampilkan sosok Liwa yang terlihat berantakan dengan bajunya telah berganti menjadi pakaian yang celananya robek-robek.
"Naik." ucapnya. Gue berdiri dari duduk gue dan menghampirinya.
"Mobil yang lo bawa tadi mana?" tanya gue yang sebenarnya nggak butuh jawaban karena gue cuma basa-basi aja.
Tapi Liwa tetap menjawabnya dan mengatakan kalau mobilnya ia titipkan di tempat perkumpulannya yang nggak mau gue tau dimana itu. Yang jelas gue cuma ngangguk, lalu naik ke motor itu yang seketika membuat gue merasa aneh karena merasa pantat gue ke angkat dan memaksa gue untuk nungging dengan tubuh gue yang condong ke depan.
Karena nggak mau tubuh gue bersentuhan sama Liwa. Gue pun berusaha menegakkan tubuh gue dengan kedua tangan yang berpegangan pada bagian belakang tempat duduk.
"Udah, jalan." ujar gue karena sudah merasa siap naik di motor itu.
Namun bukannya jalan, Liwa malah menoleh ke belakang dan menatap gue heran.
"Lo nggak pegangan?" tanyanya, lalu matanya menelusuri gue sampai akhirnya berhenti ke arah tangan gue yang dua-duanya menghadap ke belakang.
"Sialan. Malu-maluin banget lo naik motor beginian pegangannya disitu. Lepasin. Bikin gue malu aja." ucapnya menyuruh gue yang segera saja gue tolak dengan gelengan kuat.
"Gue nggak mau ya. Gue tau lo pasti nyuruh gue buat meluk lo terus lo mau modus-modus ke gue kan?" ujar gue yang membuatnya menatap gue dengan mata yang sedikit melebar.
"Wahh...gue nggak tau lo bisa berpikiran kayak gitu. Denger ya, maupun lo meluk gue terus nempelin tetek lo ke punggung gue. Gue nggak bakalan napsu. Lo cowok anjir. Ngapain lo mikir sejauh itu? Atau jangan-jangan lo yang berharap gue modusin?" ucapnya dengan satu jari yang menunjuk ke arah gue.
Gue yang melihatnya dengan cepat menggigit jari itu cukup kuat, membuatnya meringis kesakitan dan mengibas-ibaskan tangannya untuk meredakan rasa sakit yang dia rasakan.
"Anjing lu!" marahnya.
Gue nggak membalasnya dan malah tersenyum cukup lebar lalu kemudian berkata.
"Ayo, istriku. Kita berangkat. Jangan banyak bacotnya, nanti bagian lain bisa gue gigit juga." ucap gue pelan, namun gue beri sedikit ancaman di dalamnya.
Liwa terlihat nggak terima dan menatap gue tajam. Tapi kemudian dia membalikkan kepalanya ke arah yang seharusnya lalu kemudian menyalakan mesin motornya setelah berkata.
"Pokoknya gue nggak tanggung jawab kalo lo jatoh pas gue ngebut." ucapnya, lalu detik berikutnya gue hampir ngejengkang jatuh kalo aja gue nggak sigap untuk melingkarkan tangan gue memeluk tubuhnya.
Jantung gue serasa ingin copot dan berdetak sangat cepat karena Liwa yang langsung menancap gas dengan kecepatan diatas rata. Gue mencak-mencak, memaki dirinya dengan kata-kata kasar.
Namun Liwa tidak mengindahkannya dan terus ngebut menyisahkan gue yang berharap-harap cemas supaya gue selamat dari perjalanan ini. Tapi apapun itu, gue bersumpah bakal balas perbuatan Liwa yang satu ini. Lihat aja.
• • •
tbc.