Lie

By hambaba

110K 12.3K 1.1K

Satu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghu... More

Prolog
Dock
Mind
Euphoria
Afraid
Lowkey
Kindness
Untold
Let Go
Trust
Upset
Disappointed
Denial
Alive
Broken
Recognizance
Selfish
Different
Escape
Begining
Promise
Please
Sacrifice
Newborn
Memories
Enough
Crack
Thought
Choice
Opposite
Gone
Hardest
Missed
Snatch
Sorry
Home
Left
Finding
Found
Sincere
Chance
Bonchap

Omake

4.1K 322 34
By hambaba

A YEAR LATER

.
.

"Tadaima." Naruto melangkah masuk ke dalam kediaman keluarga Hyuga. Ia mengerutkan kening saat tak ada istri atau anaknya yang menyambutnya pulang setelah berlayar.

"Ah, Tuan sudah kembali." Sambut seorang pelayan paruh baya yang tengah membawa keranjang pakaian.

"Bi, dimana Hinata dan Bolt?" Tanya Naruto seraya meletakan tas besarnya di ruang tengah.

Ya, sejak musim dingin tahun lalu dirinya mulai tinggal disini bersama anak dan istrinya. Sesuai dengan keinginan Ayah Hinata. Hubungannya dengan Hinata berkembang menjadi jauh lebih baik, saling terbuka dan menghargai satu sama lain. Dirinya mulai mengerti keinginan Hinata begitu pula sebaliknya, segala permasalahan di bicarakan bersama agar tak ada selisih paham seperti yang sudah-sudah dan ternyata hidup menjadi jauh lebih mudah setelahnya, saat bisa saling memahami satu sama lain.

"Bolt sedang berenang di belakang, Nona Hinata ada di atas sedang beristirahat." Jawab pelayan itu dengan sopan.

"Ah begitu, baiklah terima kasih, Bi." Naruto melangkah ke pintu samping kediaman keluarga Hyuga.

"Kakek, lihat aku bisa melakukannya kan?" Boruto berujar sambil tertawa ke arah Kakeknya.

"Bolt semakin pandai berenang!" Ujar Hiashi dengan bangga, ia duduk di kursi yang ada di pinggir kolam sambil mengawasi cucunya berenang. Usianya baru tujuh tahun, namun bakat renangnya luar biasa. Minggu depan dia akan ada turnamen, jadi cucunya itu banyak berlatih belakangan ini.

"Bolt?" Naruto melangkah ke arah kolam sambil tersenyum tipis. Ia menoleh ke arah Aya Hinata sekilas dan membungkuk sopan untuk menyapanya.

"Ayah.." Boruto berenang ke bibir kolam untuk menghampiri ayahnya. "Ayah sudah pulang?" Ia menatap ayahnya yang masih mengenakan seragam di balik jaket hitam yang dikenakannya.

Naruto berjongkok di tepi kolam sambil menyingkap surai putranya yang menutupi wajah. "Hm, baru saja."

"Ayah pulang cepat kali ini." Ujar Boruto dengan senyum lebar di bibirnya.

"Ayah kan sudah janji ingin datang ke turnamenmu minggu depan." Ujar Naruto sambil tersenyum.

"Yeay!" Bocah berusia tujuh tahun melompat senang di dalam kolam.

"Bagaimana latihannya?" Tanya Naruto seraya menatap ke arah kolam luas yang sengaja ia bangun untuk putranya, tentu saja atas izin Ayah Hinata sebelumnya. Entahlah, ia merasa kemampuan berenang putranya bukan sekedar hobi saja, jadi ia hanya berusaha menunjang bakat itu.

"Sangat menyenangkan, pelatihku akan datang besok untuk latihan." Bolt bercerita dengan semangat. Memang sejak setahun terakhir ia mulai mengikuti pelatihan yang sebenarnya.

"Tunjukan pada Ayah, besok oke?" Ujar Naruto sambil mengusap surai putranya.

"Tentu saja." Ujar Boruto, dengan mata berbinar. Ia tak sabar menunjukan pada Ayah  soal kemajuannya.

"Baiklah, kembali berlatih. Ayah akan bicara dengan Kakek dan Ibu dulu." Naruto bangkit berdiri dari bibir kolam.

"Iya." Boruto kembali berenang ke tengah kolam.

"Kau sudah kembali?" Hiashi bersandar di kursinya sambil menatap ke arah menantunya itu.

"Ya, semalam kapalnya tiba di dermaga." Ujar Naruto, ia baru saja berlayar di kapal niaga. Setahun belakangan ia kembali berlayar karena Hinata mengizinkannya, wanita itu sudah bisa menerima hal itu sebagai gantinya, Naruto hanya mengambil pelayaran-pelayaran singkat saja sebulan atau dua bulan untuk menjaga perasaan istrinya agar tidak merasa ditinggalkan lagi, apalagi dia tengah mengandung sekarang.

"Syukurlah, Hinata sudah menunggumu." Ujar Hiashi sambil tersenyum simpul, ia menatap ke depan sambil mengembuskan napas berat. "Dia sangat cemas akan melahirkan tanpa kau disini."

"Apa dia baik-baik saja?" Tanya Naruto dengan khawatir.

Hiashi mengangguk "ya, Hinata baik-baik saja, temuilah dia dulu."

Naruto mengangguk, ia menatap Ayah mertuanya itu "Ayah, terima kasih sudah menjaga anak dan istriku selama aku pergi." Setelah satu tahun berlalu, ia akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan Ayah mertuanya itu.

Senyum simpul terpatri di bibir Hiashi "tentu saja, jangan khawatir."

...

Naruto membuka pintu geser kamarnya dan melangkah masuk. "Tadaima."

Hinata yang tengah duduk bersandar sambil membaca buku sedikit terkejut. "Okaeri, kau sudah kembali?"

Naruto menghampiri istrinya itu dan duduk di tepi ranjang, ia menatap istrinya dari ujung kaki hingga kepala. Wanita hamil itu nampak cantik namun wajahnya sedikit pucat. "Kau terlihat pucat, sudah minum vitamin?" Ia mengecup kening Hinata sekilas dan menyentuh lengannya.

"Belum, aku mual sekali hari ini." Hinata bergumam pelan seraya mengusap perutnya yang sudah membesar.

"Kita ke Dokter saja hari ini, bagaimana?" Ia mengusap pelan pipi pualam istrinya. Entahlah, melihat Hinata dalam kondisi hamil besar begini membuatnya tidak tega. Kakinya mulai membengkak, mualnya pun beberapa kali kambuh.

"Besok saja, kau harus beristirahat." Ujar Hinata, ia tahu suaminya itu pasti lelah. Lihatlah kantung matanya itu, dia pasti kurang tidur selama berlayar.

"Baiklah, besok." Ia tidak ingin banyak membantah ucapan Hinata. Ia membungkukan tubuhnya sambil mengecup perut berisi bayinya itu. "Ayah sudah pulang, apa kau baik-baik saja di dalam sana?" Ia berbisik pelan seraya mengusap perut besar Hinata.

Hinata mengusap helaian pirang suaminya yang masih mengecupi perutnya. Ia selalu terenyuh dengan sikap pria itu. Sejak pindah kemari banyak hal berubah, namun tentu saja ke arah yang lebih baik.

"Saat berlayar, Ayah menemukan nama yang bagus untukmu." Ujar Naruto dengan masih berbisik. "Uzumaki Himawari."

Hinata menyunggingkan senyum tipis di bibirnya "Himawari?"

"Bagaimana menurutmu?" Naruto bangkit duduk dan meraih tangan Hinata.

"Itu bagus, dia lahir di musim panas jadi nama itu sangat cocok."

"Sudah kuduga kau akan setuju." Naruto tersenyum lembut ke arah istrinya. Saat tahu anak kedua mereka adalah perempuan, Hinata nampak sangat senang begitu pula dengan dirinya. Seperti sebuah pelangi setelah hujan, bayi itu hadir hanya beberapa bulan sejak mereka mulai tinggal disini, kehadirannya membuat semua ini menjadi sempurna.

"Terima kasih Naruto-kun." Ujar Hinata dengan tulus sambil menatap suaminya.

"Terima kasih? Bukankah harusnya aku yang mengatakan itu?" Naruto merasa, dirinyalah yang harus mengatakan terima kasih berkali-kali pada Hinata.

"Kau memperbaiki segalanya." Hinata hanya tersenyum sendu.

"Kekacauan yang pernah terjadi dulu, semua itu karena diriku jadi sudah seharusnya aku bertanggung jawab." Saat ini yang ada di kepalanya hanyalah kebahagiaan keluarganya, ia akan berusaha menjaga itu sampai kapanpun.

Tanpa terasa setetes air mata Hinata jatuh menuruni pipi. Ia teringat sudah sejauh apa mereka melangkah sekarang.

"Hey, kenapa menangis?" Naruto menghapus air mata di pipi istrinya.

"Apa kau ingat, suasana musim panas di Hokkaido dulu? Aku merindukannya." Gumam Hinata sambil terkekeh pelan dan mengusap sudut matanya yang berair.

"Kita biasa pergi berkencan ke Ladang Tomita untuk melihat lavender mekar."

"Naik balon udara, mengendarai sepeda, dan makan es krim. Aku masih ingat semuanya." Tambah Naruto, ah begitu banyak kenangan. Hokkaidao akan jadi kota yang amat bersejarah untuknya dengan Hinata, begitu pula dengan Sapporo, dan sekarang Toyama.  Ia tak sabar untuk mengukir lebih banyak kenangan bersama wanita itu, wanita yang telah memutar dunianya yang begitu hampa menjadi lebih berarti, dia Hinatanya.

...

Flash Back

"Naruto-kun, aku takut ketinggian!" Hinata memegang lengan Naruto dengan erat matanya terpejam dan kakinya gemetar. Mereka berada pada ketinggian 30 meter di atas tanah, tepat di atas balon udara.

Naruto hanya terkekeh pelan sambil merangkul pinggul Hinata dengan erat. "Pejamkan saja matamu."

Hinata mengangguk dan tak membuka matanya sama sekali. Ia hanya merasakan angin kencang menerpa tubuhnya.

Naruto menatap ke bawah. Hamparan ladang lavender nampak begitu indah dari atas sini. "Di bawah sana ada ladang lavender yang begitu indah."

Hinata masih memejamkan mata dengan ketakutan.

"Tak perlu membuka mata jika kau ketakutan, aku akan memberitahumu apa yang ada di bawah sana." Naruto masih menggenggam tangan Hinata dengan erat.

"Em, katakan saja Naruto-kun." Hinata mengatur detak jantungnya yang menggila.

"Langit sore berwarna orens, sangat kontras dengan ladang lavender di bawah sana yang berwarna ungu. Aku tidak tahu kenapa, tapi itu terlihat indah." Naruto membelai pipi Hinata dengan lembut.

Hinata tersenyum tipis, meski tak melihatnya ia bisa membayangkan apa yang Naruto katakan tadi.

"Apa kau yakin tak ingin melihatnya? Kita mungkin bisa kemari musim panas tahun depan, tapi aku tidak bisa berjanji. Apa kau ingin melewatinya begitu saja?" Bisik Naruto di telinga kekasihnya.

Ucapan Naruto membuat Hinata merasa resah, bagaimana jika tahun depan tak bisa kemari lagi? Ia terlalu takut melewatkan keindahan itu dan juga momen ini.

"Buka matamu, perlahan-lahan aku memegangmu kita akan baik-baik saja." Naruto mengusap punggung tangan Hinata dengan lembut.

"Baiklah." Hinata memegang lengan Naruto dengan erat dan perlahan membuka matanya. Kakinya masih gemetar karena ketakutan namun apa yang ia kihat setelah membuka kelopak mata begitu indah.

Naruto memutar pelan tubuh gadis itu menghadap ke arah sunset lalu memeluknya erat dari belakang. "Bagaimana, tidak seburuk itu kan?"

Hinata menggigit bibirnya dan mengangguk, ia jadi merasa malu karena begitu ketakutan. Ia bisa melihat hamparan lavender nampak begitu indah dari atas sini.

Untuk beberapa saat hanya ada keheningan di antara mereka, hanya tengah berusaha mengukir dan membagi momen indah bersama-sama.

"Naruto-kun, berjanjilah kita akan melalui musim panas bersama tahun depan." Gumam Hinata.

"Aku janji." Naruto meletakan dagunya di pundak Hinata seraya memeluknya dari belakang. "Kita akan menghabiskan waktu bersama lagi di hari jadi kita tahun depan."

Hinata tersenyum simpul, musim panas memang amat berkesan untuk mereka berdua. Ia harap akan ada musim panas seperti ini di tiap tahunnya.

Naruto membalikan tubuh Hinata menghadap ke arahnya. "Terima kasih, untuk tahun pertama yang begitu indah ini. Ku harap bisa melalui lebih banyak lagi musim panas bersamamu."

"Aku harap juga begitu." Jawab Hinata dengan tulus.

Naruto mengikis jarak di antara mereka, kemudian mendaratkan bibirnya di atas bibir Hinata. Hanya kecupan ringan dan lumatan lembut yang dilatari matahari tenggelam.

Keduanya memejamkan mata sambil tersenyum di tengah tautan bibir itu. Siapa sangka harapan sederhana mereka sore itu benar menjadi kenyataan. Tepat di musim panas mereka yang ke sepuluh semuanya terasa begitu sempurna.

...

Officially End

Continue Reading

You'll Also Like

6.6K 201 6
Status : Completed ***** Kehidupan Naruto mulai berwarna ketika Hinata hadir dalam kehidupannya sebagai seorang istri. Tiada detik waktu yang terlepa...
168K 6.5K 14
Malam yang mengubah segalanya Malam yang membuatnya membenci pria yang begitu dicintai Namun itu tak bertahan lama, karena keteguhan Naruto 'Aku mem...
Wattpad App - Unlock exclusive features