Tok
Tok
Tok
"Chika? Please buka pintunya!"
Tok
Tok
Tok
"Chik—"
Mira menghentikan ucapannya kemudian terkesiap, tapi detik berikutnya dia mendesah kecewa ketika yang membuka pintu bukanlah Chika, melainkan Bi Ani yang sedang menatapnya kebingungan.
"Iya, kenapa Mbak?"
"Chika-nya ada, Bi?"
"Non Chika udah keluar dari tadi siang."
"Dia belum pulang sama sekali?"
"Belum, saya gak lihat Non Chika pulang."
Helaan napas berat Mira keluar, dia terdiam sejenak lalu mengangguk kecil pada Bi Ani yang masih menatapnya heran. "Ya udah, makasih, Bi."
Sesudah Bi Ani menjawab dengan anggukan, dia lalu berbalik dan berjalan kembali ke dalam mobil. Setelah dari mall, Mira langsung menginjak pedal mobilnya menuju rumah Chika, tapi sayangnya gadis itu ternyata tidak pulang ke rumah. Dan Mira sekarang kebingungan ke mana gadis itu pergi.
Dia membuka pintu mobil lalu duduk di balik kemudi. Kembali Mira menarik napas dalam lalu membuangnya. Tentu saja dia khawatir, karena sejak tadi Chika tidak mengangkat satu pun panggilan teleponnya, pesan-pesan yang Mira kirim pun juga diabaikan begitu saja.
Kepalanya terasa pening, pipinya yang baru saja mendapat tamparan keras dari Vivi pun juga masih terasa perih dan panas. Tapi dibanding rasa sakit yang dia rasakan di pipi, rasa sesak di dadanya jauh lebih besar.
Mira sedari tadi masih berusaha untuk tetap tenang, tapi tetap saja dia merasa takut. Apalagi tadi Chika benar-benar mengucapkan kalimat yang sangat dia benci. Kalimat yang bisa membuat hubungan mereka berhenti saat itu juga.
Ucapan Chika tadi masih terngiang-ngiang di otak Mira. Membuat air mata yang sedari tadi dia tahan, kini ingin keluar dari pelupuk matanya. Dia tau dia salah, tapi Mira tidak menyangka kalau Chika sampai memutuskan hubungan mereka seperti ini.
"Anjing."
Kata-kata umpatan itu lagi-lagi keluar dari bibir gadis itu, dia lalu menenggelamkan wajah di antara kedua tangannya yang terlipat di atas setir mobil. Perlahan suara isakan Mira terdengar, air mata itu akhirnya tidak bisa dia tahan lagi. Dia sadar mungkin selama ini dia telah kelewatan.
Satu kebohongan yang pernah dia ucapkan dulu justru menjadi langkah awal dari kebohongan-kebohongan selanjutnya. Mira terlalu fokus pada orang lain hingga dia tanpa sadar malah melupakan pacarnya sendiri.
Niat awalnya memang baik, dia ingin menolong dan membuat Oniel agar tidak merasa sendirian dalam menghadapi masalahnya. Tapi sekarang niat baik itu justru malah membuatnya terjerumus ke dalam masalah lain.
Beberapa menit kemudian Mira kembali mengangkat kepala, kedua matanya masih memerah. Dengan sedikit kasar dia menghapus sisa-sisa air matanya dan beralih mengambil ponsel. Di saat seperti ini dia butuh seorang teman, dan satu-satunya orang yang ada dipikiran Mira sekarang hanya Ara seorang.
Dia lalu mencari kontak gadis itu dan meneleponnya. Beberapa detik hanya terdengar nada sambung sebelum kemudian panggilan itu diangkat oleh si penerima.
"Kenapa, Mir?"
"Lo di rumah?"
"Iya, kenapa?"
"Gue boleh ke rumah lo gak?"
"Dih, kenapa pake nanya segala? Biasanya juga langsung dateng-dateng aja lo kayak maling."
Mira terdiam, tidak tertarik dengan lawakan yang Ara lontarkan. Pikirannya terlalu semrawut untuk sekedar menertawakan atau membalas ucapan gadis itu.
"Oke," ucap Mira lalu mematikan panggilan telepon begitu saja.
Setelah itu dia kembali menyalakan mobil dan pergi meninggalkan pekarangan rumah Chika.
Jarak dari rumah Chika ke rumah Ara tidak begitu jauh, dia hanya perlu menempuh perjalanan sekitar lima belas menit untuk sampai di sana.
Setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah, Mira kemudian berjalan menuju pintu dan mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka, menampilkan muka bantal Ara yang sepertinya baru bangun tidur.
"Pasti lo kangen—"
Baru saja Ara akan menggoda gadis itu, tapi dia urungkan ketika melihat wajah sembab Mira. Dari tatapan Mira dia tau kalau sahabatnya itu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Tanpa banyak bicara, Ara kemudian mempersilahkan Mira untuk masuk ke dalam rumahnya.
Sebelum bertanya, dia terlebih dahulu ke dapur untuk mengambilkan minum. Lalu kembali lagi ke ruang tamu dengan segelas air putih di tangannya.
Beberapa menit mereka hanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mira sedari tadi hanya menatap nanar ke depan, sedangkan Ara masih bingung menemukan kata-kata yang pas untuk memulai percakapan.
"Chika mutusin gue, Ra."
Baru saja Ara akan membuka mulutnya, tapi terpotong oleh ucapan Mira yang tiba-tiba. Kini kedua matanya melebar dengan mulut yang masih terbuka, terlalu kaget sampai-sampai Ara mematung di tempat.
"Chika mutusin lo?! Kenapa?!"
Ara tentu saja kaget, dia tidak pernah melihat dua orang itu bertengkar dan sekarang Mira tiba-tiba memberitahunya kalau mereka putus.
Helaan napas berat Mira terdengar, dia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut. "Chika ngira gue selingkuhin dia, padahal enggak."
"Kok bisa Chika ngira gitu? Lo abis ngapain emang?"
Mira terdiam sejenak, sebelum kemudian menjawab pertanyaan gadis itu.
"Gue jalan sama Oniel."
"Bego!"
Umpatan itu terlontar begitu saja dari bibir Ara begitu mendengar jawaban pelan Mira.
"Lo ngapain jalan sama dia anjir?"
Mira mengangkat kepalanya kemudian menatap Ara serius. "Gue cuman pengen nemenin dia doang. Dulu gue pernah mergokin dia nangis di ruang basket, terus dia cerita masalah keluarganya. Oniel gak punya temen, Ra, jadi gue pengen nemenin dia biar dia gak ngerasa sendirian lagi."
Mira menjeda penjelasannya, dia lalu menelan ludah dan kembali menghela napas berat. "Tapi gue selalu bohong ke Chika tiap gue nemenin Oniel jalan atau nganterin dia pulang. Gue bilang ke Chika kalau gue lagi banyak tugas, gue ketiduran, gue lagi sibuk. Padahal gue lagi nemenin Oniel. Dan tadi tiba-tiba Chika mergokin gue sama Oniel di mall, padahal sebelumnya gue bilang kalo gue lagi di rumah. Chika langsung mutusin gue gitu aja, gue samperin ke rumahnya tapi kata Bibinya dia belum balik. Gue gak tau di mana dia sekarang, gue telpon gak diangkat, gue chat gak dibales."
Entah sudah berapa kali helaan napas berat keluar dari mulut Mira. Kedua bahunya melemas. Matanya kembali memerah menahan air mata yang ingin keluar dari pelupuk mata, sampai-sampai dadanya terasa sesak karena terus-menerus menahan air mata itu.
Perlahan tetes demi tetes air mata mulai membasahi pipinya. Mira memang bukan tipe orang yang bisa menangis di depan orang lain, dia lebih suka menumpahkan air matanya saat sedang sendirian. Tapi kali ini dia membuang semua gengsinya, Mira sudah tidak bisa menahan air mata itu lagi.
Ara tadinya ingin sekali memaki-maki gadis itu, tapi begitu melihat air mata Mira, dia mengurungkan niatnya. Ara lebih memilih untuk mengusap-usap punggung Mira lembut, memberi ketenangan yang pasti sangat Mira butuhkan sekarang.
"Gue gak mau putus, Ra. Gue sayang banget sama dia."
Ucapan lirih itu hanya dijawab anggukan oleh Ara. Dia tau Mira tidak berbohong dengan ucapannya. Ara tidak pernah melihat gadis itu menangis hanya karena masalah cinta seperti sekarang. Dulu ketika Mira putus dengan Vivi, Ara bahkan tidak melihat gadis itu menangis sama sekali. Dan sekarang Mira sampai menangis seperti ini, berarti dia memang benar-benar mencintai Chika. Dia benar-benar tidak mau melepaskan gadis itu.
Beberapa menit kemudian tangisan Mira telah reda, dia mengusap bekas air matanya dengan menunduk. Rasa sesak yang dia rasakan tadi kini sedikit berkurang setelah menangis hampir lima belas menit lamanya.
"Chika pasti kecewa banget, Mir."
Celetukan Ara tidak dibalas, Mira hanya ingin mendengarkan apa yang akan selanjutnya gadis itu ucapkan.
"Kenapa lo mesti bohong sih? Kenapa lo gak jujur aja kalo lo lagi sama Oniel?"
"Lo tau sendiri Chika kayak gimana, dia cemburuan banget. Gue gak mau kalo dia ngambek trus diemin gue," jawab Mira, membuat Ara berdecak pelan.
"Tapi lo sadar gak sih kalo lo egois?"
Mira langsung menoleh dengan dahi berkerut. "Egois?"
Lagi, Ara mengangguk. "Iya, lo egois. Lo selalu ngelarang Chika deket-deket sama Vivi, sama cewek-cewek lain. Tapi lo sendiri malah diem-diem jalan sama Oniel. Jelas Chika pasti marah banget lah, Mir."
Mira kembali terdiam, mau mengelak atau membela juga percuma karena yang dikatakan Ara memang benar adanya.
"Tapi niat gue cuman pengen nemenin Oniel doang, Ra, bukan selingkuh. Gue bahkan gak pernah kepikiran buat ngelakuin itu."
"Iya niat lo baik, tapi cara lo salah. Lo harusnya bisa jujur sama semuanya. Inget, bohong demi kebaikan itu gak ada. Yang ada kalo lo bohong, seterusnya pasti lo bakal bohong lagi buat nutupin kebohongan lo sebelumnya. Apalagi dari cerita lo tadi, lo malah lebih prioritasin Oniel daripada Chika yang jelas-jelas pacar lo."
Untuk kesekian kalinya Mira kembali terdiam, otaknya tengah mencerna ucapan Ara. Sebelum kemudian dia mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Terus gue harus apa, Ra? Gue gak mau putus."
Tangan Ara terangkat untuk menyentuh bahu Mira dan menepuknya pelan. "Biarin Chika sendiri dulu, dia pasti butuh waktu. Nanti kalo dia udah tenang, lo ajak dia ketemuan. Jelasin semua sedetail-detailnya, jangan ada yang lo tutup-tutupin lagi. Dan satu lagi, mending mulai sekarang lo jaga jarak sama Oniel. Bukan berarti gue ngelarang lo temenan sama dia, tapi lo juga harus mikirin perasaan Chika juga. Jangan sampe niat lo mau bantuin orang lain malah jadi nyusahin diri lo sendiri."
"Tapi kalo Oniel minta tolong ke gue lagi gimana?"
"Tolak aja baik-baik. Jangan jadi gak enakan, ntar orang-orang malah seenaknya sama lo."