ANDROMEDA

ssebeuntinn द्वारा

223K 36.9K 15.7K

• T E L A H T E R B I T • Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... अधिक

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[+] Lintas Jejak; Memori

2.3K 490 146
ssebeuntinn द्वारा



"Memori itu ada buat apa?"

Chandra termenung di kursi dekat gerbang kontrakan subuh ini. Sembari menunggu mamang jualan tahu lewat, pikirannya berkelana ke mana-mana. Sebelah tangannya memegang mangkok plastik berwarna hijau cerah dan satunya lagi memegang uang sepuluh ribuan. Kakinya setengah dia angkat dan ditekuk untuk penyangga badan. Udara lagi dingin-dinginnya kala itu dan Chandra dipaksa abang-abangnya menunggu seperti patung dengan hanya memakai kaos sangsang putih dan boxer ungu. Bahkan matahari belum sepenuhnya muncul, hanya semburat kekuningan mengintip di celah langit Timur.

Semenjak kepergian Joshua yang entah ke mana tujuannya, kontrakan rasanya gak seasik dulu. Chandra memang dipinjami laptop oleh Aksa, tapi bukan itu masalahnya. Atmosfernya sudah berbeda seolah ada celah kosong yang berusaha ditutup, tapi gak bisa. Jovi lebih banyak diam sekarang. Chandra pikir itu wajar karena sedikit banyak pemuda satu itu pastilah merasa bersalah walaupun sudah clear masalahnya. Gak ada dendam, tapi penyesalan yang hinggap gak kunjung sirna. Membuat kontrakan kini hanya punya dua belas tuan, satu tuan memutuskan enyah tanpa tahu kembali kapan.

"Memori itu ada buat apa?"

Kembali suara Danu terngiang-ngiang mengiringi suara jangkrik yang masih terdengar di hari menjelang matahari terbit. Kala itu Chandra hanya bertanya pelajaran sejarah untuk tugas sekolah yang belum usai. Pertanyaanya hanyalah siapa perdana menteri negara Inggris yang diangkat pada tahun 1940. Padahal jawabannya hanya sebatas nama, tapi Danu yang kebetulan sedang baca-baca ringan di jam enam pagi sebelum sarapan mendadak kembali jadi penasehat.

"Jawabannya Winston Churchill, kalau gak salah sih itu. Gue ingat nama dia sering disebut di cerita Dunkirk dan Pearl Harbor yang kejadiannya sekitar tahun 1940-an."

Chandra hanya mengangguk beberapa kali. Antara gak mau tahu tapi tetap harus sopan sama yang lebih tua, jadinya dia mendengarkan tapi gak terlalu fokus kebangetan. Atau justru sungguhan gak ngerti apa yang Danu bicarakan. Namun, Chandra jadi terbawa suasana ketika Danu mulai memberikan pernyataan yang menyimpang dari pertanyaan tugas.

"Ada kutipan dari dia tuh, agak lupa gimana bunyinya. Pokoknya katanya, semakin seseorang melihat ke belakang, maka sebenarnya dia juga akan semakin jauh melihat ke depan. Gue tahu kutipan itu dulu banget sewaktu bingung ambil jurusan kuliah, jadilah gue pilih Sejarah karena mengingat ke belakang juga jadi bahan pertimbangan penting buat ke depan."

Lalu Chandra berakhir dengan menemani Danu bicara di sisa pagi itu dengan perasaan campur aduk.

"Ada lagi nih, Chan. Churchill pernah bilang juga kalau katanya lo gak akan pernah sampai di tempat tujuan lo kalau lo terus berhenti dan lempar batu ke setiap anjing yang lagi menggonggong."

Ada masanya ketika tiap lontaran kalimat tamparan semacam itu mengingatkan Chandra pada ayah maupun kondisi keluarganya yang gak tahu kapan akan jadi baik seperti keluarga normal. Ungkapan Danu tentang memori dan tempat tujuan jadi bumerang kembali bagi Chandra yang juga masih merangkai banyak mimpi di masa depan.

Kapan sekiranya waktu itu akan datang?

Apakah nanti dia akan merasakan bahagia yang lengkap tanpa ada satu pun perasaan kurang walaupun cuman sebentar?

Bastian gak pulang dalam durasi waktu yang cukup lama dan itu membuat Chandra merasakan perasaan bersalah. Dia pikir karena dirinya, satu keluarga utuh mengalami perselisihan meskipun Bastian bilang keadaan rumah baik-baik saja. Sewaktu sakit beberapa waktu yang lalu pun Chandra juga sempat bertukar sapa dengan ayahnya lewat video call atas inisiatif Bastian dan rasanya tetaplah gak begitu banyak perbedaan meskipun jelas terlihat ada perubahan.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, ayah Chandra bertanya kabar terlebih dahulu.

"Kamu sudah baikan?"

Chandra gak menjawab, dia justru menangis di kursi makan. Terlepas itu ucapan tulus atau bukan, hatinya merasa lega luar biasa. Satu ungkapan yang ingin dia dengar dari dulu kini sudah dia dapatkan.

Chandra mulai menerka-nerka sekiranya jawaban apa yang pas untuk pertanyaan Danu yang kurang kerjaan kasih PR tambahan versi dirinya sendiri. Kalau sedang dalam kondisi yang down, pertanyaan semacam ini sebenarnya akan jadi momok lebih karena bagaimanapun juga jadi pemicu otak mengingat hari-hari yang sudah dilewati, tapi juga dapat membantu memberikan kekuatan dari sisi lain.

"Chan, tukang susu dah lewat belum?" Bastian terlihat kesulitan mencari pasangan sandalnya di dekat pintu utama. Dia juga mendapat tugas khusus dari Aksa hari ini dan dipaksa ikutan menunggu bersama Chandra di dekat gerbang. Dia mengeluh, pasangan sandalnya belum bisa ditemukan padahal pandangannya sudah menyisir ke mana-mana. "Buset! Sandal tali kuning sebelahnya di mana ini woi!"

Chandra menoleh lalu menyahut. "Palingan Mas Haikal yang pakek, lagi beli galon di sebelah."

"Buta warna dia, ya? Kenapa beda warna dipakek aja?" Maklum, sandal kontrakan beli satu lusin gratis satu. Yang membedakan hanya warna atau ukuran, bentuknya semuanya sama. Paling hal lainnya yang bisa dijadikan perbedaan hanyalah sol sandalnya sudah tipis atau masih tebal karena terlalu sering dipakai buat lari dari kenyataan.

"Gak tahu. Lagian gak apa-apa buta warna, daripada buta hati."

Bastian mencibir sembari mengerutkan hidung samar. Dia mendekat ke arah Chandra dengan sandal tali kuning di sebelah kanan dan tali hijau di sebelah kiri. Gak tahu punya siapa. "Sawan dia kali. Perasaan bikin kisruh mulu kalau ngapa-ngapain."

"Iya, Mas, bener. Aku jadi curiga Mas Haikal jadi beneran ngupil sewaktu minta tidur di sebelah tembok. Ya gitu... dielap-elapin."

"Gue juga curiga kalau dia yang sering putusin tali sandal kontrakan."

"Itu mah Mas Dika yang suka putusin. Dia cowok, tapi kurang pinter pakek sarung. Keserimpet mulu kek anak gadis pakek rok kebaya."

Pagi-pagi sarapan dengan julid dan gibah memang sudah mendarah daging di lingkungan anak-anak kontrakan tercinta. Apalagi Chandra yang mudah terpancing. Padahal kalau lagi nimbrung di grup jarang balas karena isi chat hanyalah sumpah serapah dari para bujang. Kalau gak gitu isinya PAP alias post a picture cucian yang menumpuk dan belum diangkat dari jemuran.

Bastian duduk di sebelah Chandra. Sama-sama menunggu mamang jualan susu dan tahu macam bapak parkir yang kurang gerak. Memori keduanya berkelana sewaktu kunjungan terakhir bagaikan magnet yang ujungnya saling terkoneksi. Mungkin karena mereka punya sumber aliran darah yang sama, atau memang takdir selalu suka bercanda dengan memanfaatkan kebersamaan sebagai ajang pengingat sumber luka lama.

"Ayah lagi apa, Mas, kalau jam segini di rumah?" Pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut Chandra tanpa rem. Seolah bibirnya dilapisi pelumas sehingga tiap pemikirannya gak disaring terlebih dahulu untuk diucapkan.

Bastian tentu saja gak terlalu terkejut. Dia pun juga kini tengah memikirkan hal yang sama. "Mandiin motor kalau kerjaan di dalem rumah udah beres. Kadang nyantai aja di depan kolam ikan."

Chandra dirundung perasaan iri. Hendak dia berkata kalau dirinya juga ingin berada di dalam suasana keluarga utuh, tapi dia tahan. Sebab itu juga bisa dikatakan sebagai hal egois. Takdirnya dan Bastian berbeda. Lalu perbedaan takdir itu memang sudah digariskan dari awal.

"Ibu undang lo ke rumah."

"Hah?" Chandra jadi sedikit beringsut. "Ibunya Mas Bas? Diundang ke mana?"

"Ke rumah. Makan bareng. Minggu depan pas pulang."

"Ada ayah?"

"Iya. Kita sekeluarga bakalan ada."

Chandra diam membisu. Batinnya kembali bergejolak karena terkejut sekaligus merasa aneh. Undangan makan bersama gak pernah dia dapatkan kecuali dari beberapa temannya yang ulang tahun di kelas, itu pun sebatas jajan snack di kantin atau beli sarapan nasi bungkus. Bahkan sepertinya Chandra gak tahu rasanya makan di meja makan secara berkelompok kalau bukan karena tinggal di kontrakan.

"Makan apa, Mas? Makan malam?"

"Gak ngerti juga. Pokoknya makan." Bastian menyahut sembari mengangkat bahu samar. "Kalau lo masih belum bisa menerima kehadiran ayah, tolak aja gak apa-apa buat sekarang. Ibu begini karena pengin lihat lo."

"Pasti ibunya Mas kasihan lihat aku, ya?"

"Pengin tahu lo kayak gimana, gitu aja kok. Gak ada maksud apa-apa."

Lagipula buat apa ngarepin kehadiran aku dengan status sebagai anak buangan? Apa yang pengin ibunya Mas Bas tahu kalau aku ada di sana? Apa mungkin aku yang akan disalahin untuk perbuatan yang bahkan gak pernah aku harapkan? Gimana kalau nanti aku yang dicaci-maki hanya karena ibu adalah simpanan ayah?

Chandra menunduk, memerhatikan ujung kakinya yang gak menarik. Dia begitu bingung kalau dihadapkan dengan keadaan yang mengharuskannya bertemu dengan ayahnya untuk waktu yang lama, gak sekadar basa-basi lalu hilang lagi. Kembali dia menggumamkan berbagai macam cabang pemikiran. Di sisi lain Chandra ingin menuntut haknya sebagai anak, tapi dia gak tega kalau itu berakibat timbulnya keretakan dalam sebuah keluarga lain. Cukup Zidan dan dirinya saja yang menjalani kehidupan berbatu karena orang tua yang gak sejalan, Chandra gak mau yang lain juga ikut merasakan hal yang sama.

Terlalu takut untuk menolak, akhirnya Chandra berasalan lain. "Minggu depan aku ada janji sama Erika nugas sih, Mas."

"Bisa diundur. Ibu bisa nunggu waktu luang lo kapan."

"Sibuk akhir-akhir ini aku, Mas. Kelas ada tugas bikin kerajinan tangan juga."

"Lo masih gak bisa damai sama ayah, ya?"

Chandra ingin melarikan diri saja sekarang. "Gak juga."

"Kalau lo ingin menerima ayah dengan tangan terbuka, jangan lari. Katanya lo pengin membuktikan kalau tanpa ayah pun lo bisa berdiri dengan kaki lo sendiri." Bastian berkata tanpa menatap lawan bicaranya. "Ini bukan tentang gue, Chan. Gue udah menerima kesalahan ayah dan gue juga pengin buktiin kalau lo juga berhak dianggap anak. Kalau lo lari, terus gue berjuang buat apaan?"

Ada saat di mana manusia seringkali salah paham bahwasannya luka dalam yang gak terlihat harus diketahui terlebih dahulu dari mana sumbernya. Tujuannya penting, supaya pengobatannya pun tepat sasaran dan gak berefek pada bagian lainnya.

Begitu pula masa lalu yang pahit.

Chandra bergumam. "Aku gak pernah bisa makan enak kalau ada ayah."

"Kan ada gue," sahut Bastian. "Kalau bisa dibilang, gue disayang banget sama ayah, Chan. Ayo bantu gue bagi kasih sayang ayah buat lo juga. Syukur-syukur kalau ibu juga bisa menerima lo dengan baik."

"Kayak anak pungut aku, Mas." Tawa hambar Chandra terdengar memilukan.

"Sekali aja, Chan. Kalau lo pengin berubah jadi lebih baik di mata ayah, bukannya harusnya lo gak takut sekarang? Yang sakit-sakit udah berlalu dan sekarang lo ketemu gue sama anak-anak. Masa lo mau sedih mulu sama rasa sakit lo itu?"

Kemudian Chandra teringat kembali akan pertanyaan Danu seputar definisi memori yang mana merupakan sebuah bentuk kumpulan dari kejadian yang telah berlalu. Sebuah kumpulan kilas balik yang dimiliki oleh setiap manusia baik maupun buruk. Sebuah ingatan yang lekas lekang oleh waktu yang gak tentu durasinya berapa lama, atau justru tetap bertahan dan mendekam dalam otak manusia tanpa pernah terhapus total.

Chandra menyadari kalau mengingat keburukan ayahnya terus-menerus gak akan membawa dampak apa-apa. Seperti orang kebanyakan, Chandra pun juga termasuk dalam definisi manusia yang pandai berkata tapi bodoh dalam bertindak. Seolah syarafnya mati dan gak menyisakan tenaga apapun untuk memulai lagi. Seolah dirinya terjebak dan berputar tanpa henti dalam lingkaran yang gak pernah mati.

Semburat jingga yang dulu dia idamkan akan menjadi momen yang menyenangkan untuk mengukir kisah sebagai ayah dan anak ternyata gak berlaku pula bagi Chandra. Kalau pagi biasanya anak lelaki suka bersenda gurau dengan si ayah sembari memandikan motor, merawat hewan peliharaan atau bahkan mendapat bagian tugas sama yang dititahkan oleh para ibu seperti membantu menyapu atau menjemur baju. Lain lagi kalau sore tiba. Kadang ditemani dua cangkir teh dan makanan ringan yang renyah, antara ayah dan anak akan mengobrol santai sembari bertukar pikiran tentang hobi atau masa depan.

Sayangnya yang mendapat momen itu semua adalah Bastian, bukan Chandra walaupun konteksnya mereka satu ayah.

"Aku gak bisa menjamin, Mas. Kasih aku waktu buat mengiyakan."

"Santai aja," tukas Bastian. "Kemarin lo vidcall aja udah jadi langkah perubahan yang besar."

"Memangnya ayah apa mau semeja?"

"Harus mau, Chan. Kenapa gak mau? Lo bukan penjahat."

Gak ada yang bisa disebut penjahat di sini sebenarnya. Chandra jadi bermonolog. Ingin dia mengakhiri pembicaraan ini supaya terbebas dari bahasan mengenai si ayah. Tapi, mamang jualan tahu sialnya masih gak ada lewat.

"Orang perlu adaptasi juga kalau mau nerima perubahan. Aku yakin aja ayah gak bisa secepat itu menerima aku semeja. Untuk urusan bertatap muka, mungkin gak terlalu parah."

Bastian jadi sedikit sebal karena Chandra yang bebal. "Berhenti napa ya mikir jelek mulu. Sugesti buruk bisa nambah pikiran dan beban. Tinggal dateng doang, gimana reaksi orang dipikir belakangan."

Chandra hanya terlalu banyak menerima penolakan sehingga ketika ada kesempatan bagus untuk memperbaiki kehidupannya, dia jadi skeptis sendiri. Terlalu banyak sampai-sampai ketika dia diterima di kontrakan, rasa-rasanya dia ingin gak cepat lulus supaya bisa selalu tinggal di bawah atap yang sama bersama penghuni lain. Namun, waktu terus berjalan dan kehidupan berubah. Chandra gak bisa berdiam di tempat dan melihat orang-orang yang disayanginya mulai merajut mimpi di tempat yang lebih tepat. Dia juga harus bergerak mengikuti arus kehidupan, tapi kenapa rasanya berat?

Kadang untuk jadi dewasa butuh banyak sekali pemahaman. Dipaksa mengerti keadaan padahal toleransi pemahaman kita begitu terbatas.

Maka Chandra berniat kembali ke dalam saja dan beralasan kalau mamang tahu gak jualan. Dia ingin mendekam di kamar dan gak masuk sekolah, tapi lalu dia ingat akan mimpinya lulus dan punya pekerjaan yang mapan. Chandra juga ingat nanti kalau dia bolos bakal kena marah Erika yang super cerewet dan suka mengatur kehidupan belajarnya. Ada tugas Kewirausahaan yang harus dikumpulkan hari ini dan ada jadwal berenang rutin nanti sepulang sekolah yang diagendakan guru olahraga.

Jika bisa dihitung, apa semuanya sepadan?

Gak bisa... ini salah.

"Oke, Mas," sahut Chandra. Tubuhnya berdiri dan hendak melangkah masuk. Ditatapnya Bastian yang masih tampak menginginkan persetujuan. "Aku setuju ikut. Untuk terakhir kali, aku akan pertimbangkan reaksi ayah. Misal sama aja, aku mundur. Ayah bisa buat Mas semuanya dan anggap aku temenmu aja, Mas, bukan saudara seayah."

"Lo menyerah buat dapetin hak lo?"

"Gak juga," Chandra merenung sebentar. "Ngerasa aja kalau aku udah ngebuang banyak hal hanya untuk ngemis perhatian ayah. Sampai lupa kalau kadang dalam hidup memang ada beberapa hal yang layak buat dilepasin, bukan dipertahanin. Ada hal yang harus lebih diperhatiin daripada terus-terusan menggali lubang sumber sakit yang sama berulang kali."

Mulut Bastian terkatup rapat. Topik 'ayah' selalu jadi bahasan sensitif di antara mereka walaupun keduanya juga sama-sama saling memberi batasan untuk gak terlalu terbawa perasaan. Berpikir juga harus tetap rasional dengan mengedepankan akal dan logika.

"Capek aku, Mas. Aku ngerasa kayak kehilangan momen bagus semasa sekolah hanya karena pikiranku selalu berpusat pada ayah. Aku gak bisa menikmati rasanya cinta-cintaan masa remaja karena selalu takut gak bisa kasih ayah sebuah kebanggaan. Tanpa sadar aku gak bisa bikin diri aku nyaman, gak pernah kasih diri aku sendiri penghargaan karena udah ngelaluin banyak masa-masa sulit sendirian."

"Maaf." Ucapan singkat Basian membuat Chandra mengernyit. Nyatanya Bastian kini sangat merasa bersalah karena sempat iri hati sebab Chandra yang selalu jadi objek pusat perhatian di sini.

Namun, Chandra tetap gak kunjung mengerti. "Maaf karena ayah tingkahnya begitu?"

Bastian enggan membuka mulut. Dia justru berkata dalam benak; maaf karena gue egois.

Lalu alasan permintaan maaf Bastian sungguhan gak bisa terucap sebab atensi keduanya beralih pada dua orang yang datang bersamaan memenuhi pandangan di dekat pintu pagar. Bukan mamang tahu dan bukan pula mamang tukang jualan susu yang motornya dipasang speaker. Tapi, dua orang perempuan dengan penampilan yang begitu berbeda.

"Mbak yang ini aku kenal... yang ini..." Chandra yang paling dekat posisinya dengan dua perempuan itu tampak bungkam sebentar. Pasalnya dia bingung mau memanggil apa. Satunya jelas seorang anak kuliahan yang pakai sepeda mini, satunya lagi... pakai motor dan di belakangnya ada pula bocah yang rambutnya dikuncir asal-asalan.

"Dika ada?"

"Arjuna ada?"

Kedua perempuan itu saling bersahutan di waktu yang bersamaan.

Percayalah. Topik yang tadinya berat dan membawa atmosfer jadi suram dan runyam sekarang jadi penuh euforia. Seolah ada ledakan kembang api yang meletup-letup memenuhi imajinasi Chandra dan Bastian sebagai pemicu kejulidan.

"Loh, Mbak-Mbak," Chandra bersuara kembali. Kaget dia mana yang harus dia jawab terlebih dulu ucapannya. Ditemani Bastian yang ikut berdiri, kepalanya menoleh bergantian beberapa kali. "Kalian janjian mau apa di jam sepagi ini? Mas-Mas masih pada molor di kamar masing-masing."

"Mbak Raya ngapain? Dan Mbak ini juga mau ngapain?" Bastian ikut dilanda rasa gembira yang di luar batas, sebab dengan kejadian ini akan ada bahan untuk ledekan. Pura-puranya gak tahu si perempuan yang bonceng anak itu siapa, padahal dari ciri-cirinya saja sudah ketahuan kalau itu kecengan Juna yang sengaja disembunyikan tapi gagal total.

"Gue disuruh Dika ke sini janjian mau jogging, udah chat kok barusan."

Kemudian ada suara teriakan Dika yang membahana memenuhi teras depan. "Bentaaar, anjiiir! Udah gue bilang tunggu lima belas menit malah udah ke sini." Kakinya melangkah dengan tergesa-gesa, ngebut layaknya dikejar soang nyasar. Dia berlalu ke arah garasi, mendorong sepeda Bastian keluar kontrakan. "Pinjem, Bas. Lo ke sekolah pakek motor gue aja hari ini, oke?"

Beginilah orang jatuh cinta tapi gak mau modal. 

Kalau sepeda Chandra sering dipinjam Zidan, maka sepeda Bastian sering dipinjam Dika. Di antara Bocils yang susah dipinjam sepedanya hanya Delvin, soalnya orangnya protektif. Tapi Bastian nyaman-nyaman saja, soalnya ke sekolah pakai motor jatuhnya lebih enak karena bisa lebih cepat sampai dan waktunya gak habis untuk di perjalanan. Kompensasi yang sungguh menguntungkan.

"Bensinnya masih ada gak, Bang?"

"Sisa satu strip keknya, cukup buat PP lo. Gak usah rewel, ya." Maka Dika langsung injak pedal menjauhi area kontrakan sambil  memberikan kode pada Raya supaya cepat mengikutinya. Namun, matanya juga gak lepas dari eksistensi perempuan yang bonceng bocah di atas joknya. Dika juga sudah menduga dia siapa, sih. Cuman pura-pura bodoh adalah jalan ninjanya saat ini. "Ini Mbak mau cari siapa ya? Tumben ada yang ke sini jam segini kecuali dia nihㅡ" Dika menoleh pada Raya sesaat, "ㅡdari sananya emang akhlaknya dah hanyut lewat parit sawah."

Gayanya gak kenal, padahal sudah tahu itu Athaya. Perempuan yang jadi spotlight gara-gara bikin hati Juna mleyot mirip jelly waktu ditowel-towel jari.

"Oh, semalam Juna pesan cake di cafe saya, Mas. Katanya buat kejutan, tapi lupa kirim karena stoknya tadi malam sempat menipis dan kafe juga lagi rame sampe tengah malam. Katanya gak apa-apa dikirim hari ini."

"Loh, Mbak... Kejutan dalam rangka apa, ya?" tanya Chandra spontan.

"Saya gak boleh bilang."

"Di kontrakan ini dari kemarin sama hari ini gak ada yang ulang tahun, gak ada yang lulusan apalagi syukuran. Jadi cake-nya buat apa..."

Bastian berbisik. "Ini sih fix modus." Dia terkekeh-kekeh samar di sebelah Chandra. Aduh, puyeng lihat kelakuan abang-abangnya.

"Mau dipanggilin Bang Juna atau mau titip aja ke aku, Mbak?" Bastian melanjutkan kemudian.

Belum sempat Athaya menjawab, bocah perempuan yang duduk di atas jok motor bersuara sembari menunjuk ke arah balkon. "Itu Om ada di atas, Ma!"

Mampus.

Pagi ini kontrakan jadi berantakan.

"Om! Sini turun! Mama mau kasih kue!"

Di titik Juna berdiri yaitu di balkon lantai dua, pemuda itu lari kocar-kacir ke dalam kontrakan. Gak peduli tiap pasang mata yang menatapnya di bawah secara spontan dengan berbagai macam pandangan. Dominan pandangannya lebih arah mencibir sekaligus menggoda, sih.

"Riweuh atuh kalau begini. Gue tinggal dulu yak, kasihan anak orang dah digantungin, kelamaan nunggu. Nasi uduk paginya keburu habis entar buat sarapan."

Sahutan Dika barusan dibalas oleh Raya yang bersiap menginjak pedal sepeda. "Lo kan memang payah urusan peka, Di. Gak usah sok kecakepan, ye."

Wah, rupanya semakin gencar saja intuisi anak manusia saling senggol demi mendapat perhatian lawan. Bastian dan Chandra hanya ketawa-ketiwi girang, padahal tadi sempat bergalau ria karena masalah orang rumah. Melihat Dika dan Raya berlalu dengan bersepeda beriringan, semakin menjelaskan keadaan kalau keduanya sama-sama mau tapi masih ragu. 

"Mbaknya ini jualan kue yang kebetulan deket sama Mas Juna atau rekan, ya?" Chandra mulai kepo-kepo manja. "Biasanya kenalannya yang ke sini cowok semua, bawa surat kontrak sama barang-barang yang di-endorse. Baru kali ini ada yang bawain makanan selain mamang gofud."

"Temen kok, Mas. Kebetulan kenal aja, gak sedekat itu."

"Aduh, jadi maksudnya dekatnya di hati gitu tah?"

"Dekat sebatas tau. Temen, Mas. Serius."

"Teman hidup?"

Juna akhirnya mendarat dengan napas terengah-engah seolah sungguhan habis terjun dari balkon. Padahal ngibrit melewati tangga lantai satu dan ruangan lain. "Chandra, dipanggil Aksa suruh gosok WC. Bastian juga disuruh masuk, giliran nyapu dapur."

"Ehehehe."

"Ehehehe."

Baik Chandra maupun Bastian hanya terkekeh-kekeh menanggapi omongan Juna.

"Bang," sahut Bastian. "Pilihan lo lumayan mantep."

"Hehㅡ"

"Pilihan kuenya, Mas. Dari bungkusnya aja udah keliatan enak." Gak lupa juga Chandra ikut menambahi. "Gila bener. Ngincar satu, dapetnya dobel. Mana yang kecil manis bener."

Bastian untuk terakhir kalinya masih ikut bicara sebelum sungguhan balik ke dalam. "Maksudnya bonusan kuenya itu loh... krimnya kan dobel... manis rasanya."

Juna mau naik pitam rasanya karena anggota Bocils adalah definisi bocah ingusan yang minta dipites saja mulutnya.

Meninggalkan Juna yang kemungkinan sibuk mengatur jiwa dan raga supaya sinkron dengan ekspresi wajahnya, Chandra dan Bastian masuk ke kontrakan dengan topik julid baru yang siap disebar kepada seluruh penghuni kontrakan. Gak mau tahu karena kejadian barusan memang wajib jadi berita utama yang akan menghiasi obrolan anak-anak beberapa hari ke depan.

Dapat Chandra simpulkan sekarang kalau sesungguhnya memori itu adalah ukiran lintas kehidupan yang membawa jejak di masa mendatang. Banyak kejadian yang hadir silih berganti tanpa pernah bisa diprediksi. Tugas kita sebagai manusia hanya sebatas menikmati dan menyikapi. Yang baik diterima dan yang buruk jangan diambil hati. Karena proses menuju lebih baik membutuhkan berbagai hal yang kadang sungguh sulit untuk dimengerti.

Memori ada untuk media refleksi diri.

Dan Andromeda selalu jadi tempat bagi para penghuninya untuk jadi diri mereka sendiri hingga di titik menemukan jati diri.

ㅡㅡㅡ



Setelah setengah bulan menghilang, mari kembali berjumpa dengan anak-anak kontrakan.

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

Sebuah Coretan Buangan LISA द्वारा

किशोर उपन्यास

14K 1.7K 18
(Selesai)✔ Tiga belas kumpulan cerita pribadi sederhana bikinan penulis yang kalau dibuang beneran 'eman-eman,' Kalau mau luangin waktu untuk ikut ga...
Dear, You! Izza Jun द्वारा

फैनफिक्शन

1.7K 125 11
[SUDAH TERBIT] - TXT AU - Surabaya terasa lebih berwarna ketika aku bisa melihatmu tersenyum bahagia menghidupi mimpi-mimpimu. Bulan, pantai, senja...
122K 26.5K 16
taman bunga tumbuh di dadanya. mekar dengan perasaan terlampau besar. ☽ / / hwang hyunjin (황현진) au, COMPLETED, lowercase intended
4.9K 788 19
where have you been all this time? zhanghao ft. yiren, seven years later.