You Just Met The Wrong Person

By DrReno

29.6K 4.4K 192

(Sedang di revisi) Setelah kasus kesalahpahaman tersebut, Ken harus memulai hidupnya dari awal. Pindah sekola... More

Prolog
Pink!
Pink! (2)
Affection!
Affection! (2)
True Love Comes From Family!
Pink! (3)
Pink! (4)
True Love Comes From Family! (2)
True Love Comes From Family! (3)
True Love Comes From Family! (4)
True Love Comes From Family! (5)
Professional Or Plain?
Let Me Get This Straight!
Let Me Get This Straight! (2)
Something Wrong Happened Here!
Something Wrong Happened Here! (2)
Ken Jackson!
The Scapegoat!
Them!
The Scapegoat! (3)
The Scapegoat! (4)
The Scapegoat! (5)
Silly, How It Feel!
Like We Should And Say We're Good!
Like We Should And Say We're Good! (2)
Like We Should And Say We're Good! (3)
Like We Should And Say We're Good! (4)

The Scapegoat! (2)

378 109 0
By DrReno

Masih pagi, sebelum kelas dimulai, dan seisi Ischar High sudah dihebohkan dengan kemunculan video tersebut. Hari-hari sebelumnya ada yang secara misterius mengirimkan sebuah pesan spam tentang kematian orang tua salah satu murid, dan kali ini pesan spam itu kembali dengan sesuatu yang mampu membuat keributan di koridor loker.

"Ini benar-benar gila!"

"Siapapun yang melakukannya sudah benar-benar keterlaluan."

Ada yang sudah merasa muak atas tindakan spam tersebut, tetapi hanya sedikit. Karena lebih banyak yang justru penasaran. Bukan hanya ingin tahu siapa pengirimnya, tetapi apakah video itu asli atau tidak.

"Aku katakan padamu, kalau video ini adalah benar. Tidak mungkin ada yang mau melakukan editing sampai seperti ini."

"Kalau memang benar, anak ini harusnya sudah dipenjara!"

Shiro dan dua temannya juga bergabung di koridor pagi itu. Memperhatikan setiap sudut sekolah tak berhenti membahasnya. Bahkan Sera dan Lang juga cukup penasaran untuk mencari tahu keaslian video tersebut.

"Menurutmu ini asli?"

"Kalau kau tanya pendapatku, ya. Ini pasti asli. Bung, aku tidak peduli apa kata kalian, tapi itu memang Ken."

"Lang cukup. Kau menjijikan! Hapus video itu sekarang!" Shiro menggerutu, dengan mata yang tegang menatap mereka berdua. "Ken teman kita, dan kalian malah membicarakannya seperti ini. Video itu palsu, tidak mungkin dia melakukan ... itu."

"Dia memang temanku, Shiro, tetapi sudah tiga kali kita mendapatkan pesan spam dan dua sebelumnya adalah berita yang benar. Ibu dan ayah Ken benar-benar tewas," jelas Lang.

"Lalu kenapa? Bahkan jika memang asli, itu tidak penting. Karena yang seharusnya kita cari adalah siapa pengirim spam ini sejak awal. Apa kalian tahu siapa orang itu?" tanya Shiro bergantian menatap mereka.

"Tidak. Memangnya siapa?"

"Laki-laki yang berkelahi dengan Ken kemarin. Itu pasti dia, boom. Misteri terpecahkan."

"Itu ...." Lang baru saja akan memprotes, tetapi kemudian berpikir kalau Shiro mengatakan sesuatu yang sangat masuk akal. "Baiklah, mungkin, tapi tetap saja. Sejak awal masuk sekolah ini sudah ada yang tidak beres dengan anak itu. Jangan salah paham, Shiro. Dia temanku, dan akan tetap seperti itu. Tapi kau harus mengakui kalau Ken memang aneh."

Kini giliran Shiro yang sepakat dengan Lang. Sejenak ingatannya dipenuhi saat Ken baru pertama kali tiba di sekolah sampai sekarang. Dia pernah melihatnya menangis di kamar mandi, Alisha dan Lucy juga mengatakan hal yang sama. Bahkan Ken pernah berjalan kaki di trotoar dalam keadaan berdarah-darah.

Apa yang Ken sembunyikan? Siapa sebenarnya Ken? Shiro bertanya-bertanya.

Di tengah-tengah masa berpikirnya, Shiro menyadari seluruh koridor tiba-tiba hening. Dia menemukan semua orang menatap ke pintu masuk, dan akhirnya ikut melihat ke sana. Dahinya sontak terangkat.

"Oh tidak ...." Itu Ken, masih dengan topi merah muda di kepala. Wajahnya dipenuhi kerutan saat baru melangkah, tetapi kemudian menunduk dan tanpa sedikitpun ingin menatap balik murid-murid lain di sana. Ken merasa dirinya bagai berjalan di neraka. Neraka yang senyap hingga mampu mendengar degup jantung yang serasa akan menembus dadanya sendiri.

Ken tahu mengapa seisi koridor terdiam dan mengapa mereka menatapnya seperti itu. Karena dia sendiri juga mendapatkan video itu. Pagi tadi, sebelum naik ke atas bus.

Pasti Neal pelakunya, itu yang Ken duga. Namun, masalah yang paling utama adalah siapa yang merekamnya? Ken sudah terbukti tidak bersalah, tetapi kini seseorang memiliki video rekaman yang menjadi bukti kalau dia memang telah memperkosa Gina di dalam sebuah mobil.

Ken tahu dia tak pernah melakukannya. Hari itu dia hanya mengantar Gina pulang dan tak ada yang terjadi setelahnya. Tak ada hal lain yang terjadi, Ken putus asa untuk meyakini itu semua.

Ketika Ken berhasil mencapai lokernya, keributan kembali terjadi. Di mulai dengan seseorang memukul loker di samping Ken yang cukup mengagetkan semua orang di sana.

"Hei, Topi Pink. Aku mendapatkan kabar kalau kau memperkosa seorang gadis di dalam mobil."

Ken pikir itu adalah Neal karena suaranya sangat mirip, tetapi setelah melihatnya dia bahkan tak tahu siapa laki-laki itu. "Kau murid baru di sini, kan? Apa karena itu kau pindah? Karena kau penjahat di sekolah lamamu?"

Darah Ken berdesir secepat adrenalinnya. Ini terjadi lagi. Orang-orang menuduhnya penjahat sama seperti dulu.

"Hei, kau! Pergilah dari sekolah ini. Kami tidak sudi menerima penjahat sepertimu!" Seseorang yang lain menambahkan.

"Ya! Apa kau juga akan memperkosa gadis-gadis lain di sini?" Lalu yang lain.

"Mati saja kau, penjahat!" dan lagi. Kemudian lagi. Semua orang mulai menyorakinya dengan kata-kata yang sama. Memanggilnya penjahat. Ken ingin segera pergi dari sana, tetapi dia terkepung.

Napasnya mulai tak beraturan, telinganya terasa sakit. Ken tahu kali ini adalah kenyataan, bukannya mimpi buruk seperti yang selalu terjadi. Malah Ken berharap ini adalah mimpi dan dia akan tersadar tak lama lagi.

Seketika orang pertama tadi mendorong bahunya, Ken tak lagi dapat menahan amarah. Tanpa pikir panjang dia langsung memberikan bogem mentah sampai laki-laki itu terjatuh, dan merasa masih belum cukup, Ken melompatinya lalu terus memukul remaja tersebut tak peduli dia sudah mengeluarkan darah di hidung dan mulutnya.

Murid lain berusaha untuk memisahkan mereka, Shiro dan Lang juga bergabung untuk menghentikan keduanya. Ketika tiba, Shiro hanya bisa menyaksikan sembari menahan napas. Pagi itu, dia telah menemukan orang yang sama sekali berbeda, dan tak tahu apakah ini memang adalah Ken yang sebenarnya.

***

Namanya Clay, tetapi dia bukan detektif yang Ken kenal. Dia adalah remaja yang Ken pukul sampai babak belur. Ken tahu namanya saat dibawa ke ruang kepala sekolah, mereka duduk bersebelahan dan kedua tangannya masih panas untuk memukul lagi kecuali Mr. Isaac, Mr. Stan, dan satu lagi guru lain—mungkin konselor Clay—ada bersamanya.

"Aku sangat kecewa dengan kalian. Tuan Jensen! ini ketiga kalinya aku harus memanggilmu ke ruanganku. Lalu Anda, Tuan Jackson"—Mr. Isaac menoleh pada Ken yang bersedekap—"kekerasan tidak pernah ditolerir di sekolah ini. Sebagai murid baru harusnya kau mengerti aturan."

Langsung saja Ken memprotes. "Dia yang mulai! Tiba-tiba saja mendorongku!"

"Aku hanya ingin melindungi sekolah ini dari penjahat seperti dia! Sir, dia pernah memperkosa seseorang!"

"Aku bukan penjahat!" Ken bangun dan berusaha menyerangnya kembali, beruntung Mr. Stan sudah sigap menahan mereka.

"Cukup!" Kepala sekolah berteriak, cukup untuk menghentikan mereka. "Aku tidak peduli siapa yang memulai. Kalian berdua bersalah, dan akan dihukum. Skorsing selama satu bulan. Sekarang keluar!"

"Satu bulan?!" Ken berdiri lagi untuk memprotes. Clay juga melakukan hal yang sama.

"Sir! Aku tidak bersalah. Tolong jangan skorsing aku!"

"Ini salah Topi Pink, bukan aku!"

Masih dengan satu kata, Mr. Isaac menghentikan mereka. "Cukup! Tolong bawa Jensen keluar dari sini."

Clay menatap tajam Ken sebelum pergi dari ruangan tersebut. Sementara Ken diminta untuk duduk kembali. Mr. Stan kemudian mendekat, juga terkejut dengan hukuman yang diberikan dan merasa itu terlalu berlebihan.

"Sir. Aku yakin satu bulan skorsing terlalu lama bagi mereka. Lagi pula Ken adalah murid baru di sini. Memang di catatannya tertulis anak ini pernah terlambat dan bolos sekolah, tetapi semua itu ada alasannya. Kuharap Anda mengerti."

"Aku tahu, Stan, dia memang murid baru di sini ...." Mr. Isaac menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Ken, kau ingat sebelum masuk kemari? Ibumu pernah bercerita soal alasan kepindahanmu. Kalian bilang itu tidak benar."

"Itu memang tidak benar, Sir! Aku bersumpah. Aku tidak tahu siapa yang membuat video itu, lalu mengirimkannya ke seisi sekolah." Kedua tangan Ken mengepal. Matanya terasa basah, tetapi sebisa mungkin dia menahan tangis. "Tolong percaya padaku."

Kepala sekolah terdiam sejenak, menatap Mr. Stan di hadapannya yang tidak begitu mengerti maksud pembicaraan mereka. Memang hanya dia seorang di sekolah ini yang tahu siapa Ken sebelum ini dan apa yang terjadi padanya.

Tidak lama Ken benar-benar terisak. "Tolong percaya padaku ... aku tidak mau ini terjadi lagi. Aku tidak bisa menghadapinya lagi."

Ingatannya penuh di masa-masa itu. Semua orang menuduhnya, semua orang membencinya, yang dianggap teman pun memukulnya, bahkan ayahnya sendiri menyiksa Ken tanpa ampun. Dulu masih ada ibu dan adiknya yang mendukung Ken, tetapi sekarang dia sendirian. Siapa yang akan bersamanya?

"Kurasa sudah waktunya Ken keluar dari sini, Sir, dan tolong, pertimbangkan kembali ...." Mr. Stan menarik Ken untuk keluar dari sana. Namun, saat baru melewati pintu, sudah ada teman-temannya di sana. Shiro, Lucy, Cyan, Alisha, dan Rick, tetapi mereka terlihat sangat marah.

Ken belum sempat menanyakan apapun dan Shiro maju lalu menarik kerahnya, dan melesatkan kepalan tangan paling keras yang langsung membuatnya berteriak. Ken sontak mundur, tetapi kemudian semua tiba-tiba berubah. Hanya ada wajah kebingungan.

"Ken, kau tidak apa-apa?" tanya Shiro dengan mata lebar.

Lagi-lagi mimpi. Ken tidak tahan lagi. Dia langsung menyingkir dari sana, berlari secepat mungkin untuk keluar dari sekolah.

"Ken!" Lucy mengejar, mengabaikan teman-temannya. Sebisa mungkin menyusul remaja itu hingga mencapai halaman sekolah yang sudah kosong karena jam belajar telah di mulai. Beruntung Ken berhenti di sana, dan Lucy melambat dengan napas terengah.

"Ken ...."

"Menjauh dariku, Lucy! Pergi dari sini." Lucy justru semakin mendekat, tetapi tidak sampai berdiri di sampingnya. "Sudah kubilang kita tidak bisa berteman! Aku tidak seperti yang kau kira, Lucy! Aku bukan orang baik, dan sekarang kau tahu itu."

"Kau tetap temanku, Ken!"

"Jangan berbohong padaku!" Ken berbalik. Remaja itu tak lagi dapat menahan tangisnya. "Apa kau tidak takut padaku? Aku tahu kau takut, berhenti berpura-pura. Setelah ini apa? Kau akan menyuruh Rick untuk menghajarku? Atau Shiro? Atau yang lainnya?!"

"Mereka tidak akan menghajarmu, Ken! Tidak akan ada yang menghajarmu," terang Lucy dengan putus asa, matanya juga ikut sembab. "Aku temanmu, kami temanmu, dan bukankah sudah kukatakan kalau arti menjadi teman adalah kau akan mengenal mereka lebih dekat."

Lucy mengulurkan tangan, berharap Ken akan menerimanya. Namun, dia mundur, semakin jauh darinya. "Kau bukan temanku, dan berhentilah menganggapku teman."

Ken pergi, Lucy masih berusaha mengejar tetapi hanya menemukan punggung remaja itu yang semakin mengecil saat melewati pagar sekolah.

"Ken!" Gadis itu masih meneriakkan namanya, berharap agar Ken kembali, tetapi tidak. Dia tidak pernah kembali.

***

Dari monitor di hadapannya, mata Nen lekat menyaksikan rekaman kamera pengawas yang sedang berlangsung. Nampak di sana ada Furler, di ruangan serba putih yang telah dipenuhi banyak cairan merah yang kental. Bersama laki-laki yang terikat di sebuah kursi, berteriak kesakitan karena satu lengannya baru saja dipotong sampai terlepas.

"Arrghhhhh! Tolong hentikan!"

Teriakannya sangat keras hingga ke ruang monitor. Sudah sepuluh menit sejak laki-laki itu mulai disiksa, dan di monitor yang satunya terlihat deret angka yang semakin bertambah setiap detiknya. Diikuti dengan beberapa kalimat yang bergulir dengan cepat.

"Jangan terlalu cepat."

"Potong juga sebelah kakinya."

"Lidahnya, berikutnya lidah."

Nen sudah cukup puas. Furler memang ahli dalam pekerjaannya jadi pria itu tak perlu khawatir. Dia keluar dari sana dan baru saja keluar dari pintu Nen langsung tersentak.

"Aster! Kapan kau kembali?!"

"Baru saja," jawab pria berambut ungu tersebut, kemudian menoleh ke belakang. "Kau sebaiknya bertemu dengan tamu kita."

Nen tak perlu bertanya siapa itu. Tak banyak yang tahu tempat tersebut, dan satu-satunya yang mungkin melakukan kunjungan di saat-saat seperti ini adalah pria yang kedatangannya paling tidak diinginkan. "Oh, sial."

Nen memperbaiki kemejanya, dan berjalan ke depan untuk menemukan sosok pria tua yang mengenakan jas tuxedo rapi lengkap dengan tongkat kayu hitam, sedang mengagumi interior di sekitar.

"Sepertinya kau mengeluarkan banyak uang untuk membangun tempat ini."

"Aku belajar dari ahlinya, dan selamat datang, Mr. Lam. Perjalanan kemari pasti melelahkan." Nen menyambut dengan sopan, tetapi pria itu tampak tak terpengaruh.

"Anggotamu sangat sedikit. Tiga orang?"

"Ya, tapi kami melakukannya dengan baik. Aku mengirimkan pasokan organ tubuh hampir setiap bulannya, dan Furler menikmati pekerjaannya. Kami menyumbangkan hampir sama dengan cabang #05," jelas Nen menjaga lesung pipinya tetap terlihat.

"Tapi kau tahu aturannya. Ini sudah satu tahun. Kau butuh lebih dari mereka untuk menganggap cabangmu ini sah."

"Tolong, Mr. Lam. Aku masih berusaha, tapi lihatlah hasilnya sejauh ini, kami tetap berhasil."

Kerutan segera mengisi wajah pria yang dipanggil Mr. Lam tersebut, ketika dia maju Nen merasa nyalinya seketika ciut. Pria itu lalu berbicara dalam suara paling dingin yang pernah Nen dengar.

"Aku yang membuat aturan, dan itu artinya kalian harus patuh. Jangan sekali-kali kau lupa siapa dirimu, Nen. Kenapa kau ada di sini dan kenapa kuijinkan kau membuat cabang #07."

"Ya, Mr. Lam. Maaf atas kelancanganku." Nen berusaha menjaga suaranya agar tak bergetar. "Aku tetaplah orang yang patuh."

"Aku juga mendengar kalau kau menawari seseorang beberapa minggu yang lalu, dan dia masih berkeliaran di kota. Kenapa belum membunuhnya?"

"Aku akan membunuhnya hari ini."

"Ah! Dua pelanggaran. Tidak begitu patuh bagiku."

"Ada sedikit masalah, tetapi aku bersungguh-sungguh akan membunuhnya setelah ini, Mr. Lam."

"Apa masih ada pelanggaran lain yang tidak kau akui, Nen? Sebaiknya kau mengaku sekarang sebelum kuhabisi seluruh anggotamu dan akhirnya kucabik-cabik tubuhmu itu sampai kau bahkan tak sadar kapan jantungmu terlepas."

"Tidak ada lagi, Mr. Lam," jawab Nen, berbohong. "Aku mengatakan kejujuran."

Mr. Lam maju lagi, membuat wajahnya sedekat mungkin hingga mampu merasakan napas Nen yang pendek-pendek. "Dan aku percaya padamu."

Nen mengepalkan tangannya, merasakan seluruh otot-otot di tubuhnya menegang. Meski wajahnya masih tersenyum. "Senang mendengarnya."

Pria tua itu akhirnya menjauh, dan keluar menggunakan lift tanpa mengatakan apa-apa lagi. Setelah menghilang dari pandangannya, Nen langsung mengambil hiasan kaca di dekatnya dan menghancurkan benda tersebut dengan mendorongnya ke tembok. Tak peduli meski tangannya sampai berdarah-darah.

Keributan yang terjadi sampai membuat Aster dan James keluar untuk melihat, tetapi pergi lagi karena tahu Nen sedang marah, dan tak akan ada dari mereka yang cukup bodoh untuk menghadapinya.

"Tunggu saja, orang tua. Karena aku yang akan mencabik-cabik tubuh besarmu itu."

***

Sudah gelap, tetapi Ken hanya menyalakan lampu mejanya karena terlalu malas untuk menghidupkan lampu ke seluruh rumah.

Ken berulang kali memutar kartu di tangannya. Sebuah kartu bertuliskan nomor telepon yang sudah pernah dia hubungi sebelumnya.

Otak dan hatinya saling beradu. Sebagian kesadarannya berkata bahwa menghubungi nomor itu akan menjadi jalan keluar instant atas yang terjadi padanya, tetapi sisanya membantah karena dulu Ken sudah yakin tak akan lagi meminta bantuannya.

Namun, cara apa lagi yang harus Ken lakukan? Jika memang jalan keluar dari masalah ini adalah menjadi pembunuh, maka Ken tak akan peduli meski harus menggigit lidahnya. Dia sudah tak tahan. Mereka memanggilnya penjahat, maka Ken akan menjadi salah satunya.

Masih dengan ponsel ayahnya, Ken menekan nomor tersebut dan menunggu panggilannya terhubung. Kali ini bahkan lebih lama dari yang pertama, tetapi pada akhirnya dijawab.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ken berkata, "hei, aku ingin bekerja denganmu."

Continue Reading

You'll Also Like

563K 85.4K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

329K 17.3K 32
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
2.6M 150K 40
[ isi konten telah dihapus kecuali prolog dan chapter 1-3 ]. Seperti teh, yang membuat tubuh rileks dalam memulai hari, ia tetap tampil anggun me...
37.5K 5.9K 18
Atika Kukira cuma cinta monyet. Tetapi, kenapa getarannya masih terasa setelah sekian lama? Randy si pengecut, teman masa kecil yang kutinggalkan 10...