ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

• T E L A H T E R B I T • Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[+] Lintas Jejak; Kontradiksi

2.4K 508 267
By ssebeuntinn



Apabila menilik ke belakang, mari kita telusuri sebuah contoh nyata dari kata kontradiksi yang dapat memecah pemahaman stereotip orang awam.

Si kembar kontrakan. Danu dan Dika.

Si pendengar dan si pembicara.

Golongan manusia yang berpura-pura baik-baik saja padahal tidak.

Dulu, sewaktu datang ke Andromeda, gak semua penghuni ngeh kalau mereka berdua berbagi uterus sebab mereka juga bukan tipe kembar yang identik. Tipe dua manusia yang bertolak belakang. Satunya sedikit nyentrik, satunya lagi terkesan kurang asik. Walaupun cara berpakaian gak selalu menentukan sifat seseorang, tapi hal tersebut jadi patokan utama ketika bertemu kali pertama. Sekadar visualiasi singkat yang ditangkap mata lalu diproses oleh otak manusia.

Danu dulu pakai baju super rapi, lebih mirip mau menghadiri rapat himpunan alih-alih main. Jeans warna dongker dengan kaos yang dilapisi jaket kulit, kacamata, sepatu putih, tas punggung dan jangan lupakan rambut rapi yang gelnya masih kelihatan mengkilap mirip lelaki perlente. Tutur bahasanya apik, bahkan Pak Bima langsung kepincut mau daftarin dia jadi calon mantu. Itu kata Pak Bima, sih. Tipe bapak-bapak yang suka kepincut kalau ada pemuda ganteng, rapi dan wangi serta kelihatan rajin, pintar dan bijaksana. Padahal menurut testimoni anak kontrakan, Danu malah lebih mirip pegawai koperasi simpan pinjam bagian penagihan. Rewel dan suka suruh yang lain ini dan itu supaya katanya hidup mereka lebih disiplin sedikit.

Kalau Dika hanya pakai kaos jersei sepasang dengan bokser selutut warna dongker. Gak pakai sepatu sebab dia justru lebih memilih alas kaki berupa sandal kulit warna hitam macam bapak-bapak. Sewaktu datang, dia disangka anak futsal komplek sebelah yang nyasar sehabis latihan. Gayanya petakilan dan sukanya lupa angkat jemuran kalau pas hujan, apalagi tarik kabel TV sewaktu guntur menggelegar. Kesan pertama Pak Bima sewaktu lihat Dika, katanya dia pemuda yang alim sebab nyaris tiap waktu keluar kontrakan selalu pakai sarung. Biasalah, stigma orang tua memang begitu. Padahal suka kesandung kaki sendiri dan bikin sandal jepit kontrakan habis karena talinya putus.

Namun, tentunya ada hal yang sama-sama disukai keduanya. Sebagai anak kembar, tentunya hal tersebut sudah lumrah dan bukan jadi bahan tanda tanya. Misalnya sama-sama suka makan mi instan kuah yang ditambah irisan daun bawangㅡkalau adaㅡdan pakai mangkok gambar ayam jago. Suka game meskipun dengan genre yang berbeda; Danu dengan game berbau tembak-menembak atau perang-perangan semacam Call of Duty dan Hitman, sedangkan Dika suka game berbau horror survival semacam Outlast dan The Evil Within. Ya... walaupun Dika suka kesetanan sendiri sewaktu main karena kaget lihat hantunya muncul atau ngeri karena ada adegan tubuh manusia yang dicabik dan dipotong.

Pernah sekali Danu dan Dika mencoba bermain game buatan anak bangsa. Namanya DreadOut. Sudah jangan ditanya, Dika sampai nyaris semaput pas hantunya suka muncul mendadak memenuhi layar. Apalagi hantunya lokal alias ada sungguhan di budaya Indonesia. Jadilah Dika parno setengah mati, padahal Danu santuy saja alias pasang muka datar. Entah memang gak bisa berekspresi lebih atau memang bawaannya dia yang suka bodoh amat-an.

Pada akhirnya di depan komputer hanya makan camilan saja, gak jadi main game apalagi memahami alur ceritanya untuk mengatur strategi. Malah nonton saluran video cat funny moments compilation karena kangen Nudi, kucing jantan peliharaan keluarga Pranadipa di rumah. Dika yang kasih nama, berasal dari singkatan namanya sendiri dan nama kembarannya. Lalu saling berfoto untuk dicetak dan diberikan ke ibu yang sudah kangen setengah mati sama Ardan dan Ardi-nya.

Aduh, panggilan sayang mah memang beda.

"Dek, ayo saling foto lubang hidung terus kirim ke Ibu."

"Gue kalau senyum sambil tanggannya begini bagus gak, Bang?"

"Bagus. Jangan terlalu alay entar lo kek cowok letoy."

"Abang, lihat sini."

"Suapin gue dong, gue males ambil sendiri."

Paling anteng kalau sudah mendekam di kamar berdua. Terdeteksi juga sebagai kandidat roommate paling akur seantero Andromeda.

Ada lagi beberapa kesamaan si kembar yang memang baru-baru ini saja kelihatan.

Mereka cenderung mengekspresikan diri dan apa yang mereka rasa lewat media anonim tanpa menampakkan wajah.

Dan... 'mungkin' sama-sama menyukai perempuan yang sama. Pakai tanda petik satu dan garis miring sebab hati manusia mudah terombang-ambing, jadi masih buram betul sungguhan atau bukan.

Walaupun begitu, ada kisah masing-masing yang terselip dalam benak. Tanpa terduga apalagi terbaca. Danu dan Dika adalah definisi dua manusia yang manipulatif. Pandai memakai topeng dan seringkali terlalu peka memahami situasi sekitar, tapi tidak untuk diri sendiri. Kadang-kadang naif, tapi juga di beberapa kesempatan pemikiran mereka dapat mengubah persepsi orang lain. 

Suatu ketika, Dika tiba-tiba ingin bertanya sesuatu yang sedikit gak masuk akal untuk didengar Danu yang lagi sibuk menulis jurnal harian. Perut mereka sudah kenyang selepas memuaskan diri dengan nasi uduk tadi sore di warung Bu Ijah. Tentu saja Danu pesan menu lain karena baginya nasi uduk seperti sebuah kutukan yang harus dihindari seumur hidup, pamali kalau sampai makan sebutir. Gak seperti Dika yang bucin sampai mampus sama nasi berbumbu santan dan rempah-rempah tersebut sampai kadang juga nambah seporsi. Jadi Danu lebih memilih pesan nasi rames lengkap saja dengan segelas air putih yang harganya pas sesuai kantong mahasiswa kebanyakan.

"Abang, gue mau kasih bahan diskusi," kata Dika yang langsung nyusrug di atas kasur. Tubuhnya yang dibalut kaos jersei merah cerah nyentrik begitu berisik dengan berguling ke sana kemari demi mencari posisi yang pas.

Danu yang duduk di meja belajarnya menjawab dengan nada datar. "Diskusi apa? Berbobot gak?"

"Berbobot dong," tukas Dika lagi. Tangannya mulai meraih ponsel untuk melihat notifikasi baru yang sedari tadi berada di dekat bantal, tenggelam bersama dengan tumpukan selimut dan juga sarung sisa tadi siang. "Gue kalau ngobrol sama lo, bawaannya pinter mulu."

"Lo kan memang pinter, sih." Danu masih enggan menoleh. Baginya hanya membuang waktu saja ketika Dika mengajaknya bicara di saat dia sedang rajin menulis hal apa saja yang akan dikerjakannya besok. Kemudian Danu melanjutkan. "Pinternya itu pinter ngibulin orang rumah."

"Jangan dibahas lah, Bang. Gue udah baik-baik aja lagian. I mean, beneran baik, sehat dan bugar. Lihat gue kinclong nih, tanda-tanda hidupnya bahagia. Gak kayak Haikal yang udah ada kerutan mata... kasihan... dia pasti banyak pikiran kejar si ayang."

Danu tersenyum tipis. Dia ingat betapa berantakannya Dika beberapa waktu lalu karena mentalnya yang lagi berada di fase sulit. Kalau saja...

Ah... jangan inget itu lagi, Danu.

Jangan inget lagi.

Tapi, benak Danu gak bisa berbohong kalau sembuhnya Dika juga ada campur tangan seseorang. Lalu pada akhirnya, dia pun mau gak mau mengakuinya tanpa sadar.

Kalau aja Raya waktu itu gak ke sini dan bilang ke gue buat cek isi tasnya... gue akan jadi manusia yang paling gak guna karena telat sadar.

Cepat-cepat Danu menutup buku jurnal hariannya karena mendadak pikirannya jadi buntu akibat mengingat satu nama. Dia mengalihkannya dengan melempar pertanyaan pada Dika. "Tadi mau diskusi apa? Katanya berbobot?" Sempat Danu khawatir juga akan topik yang Dika angkat. Takut kalau-kalau ajakan diskusinya merujuk seputar kehidupan menuju dewasa.

Sejenak Dika mengerutkan kening. Dia sedikit bingung harus mulai dari mana. "Anuㅡ" katanya diselingi kekehan kecil, "besok kalau gue dapet jodoh kira-kira barengan gak ya sama lo? Satu pelaminan ada dua pasang kursi gitu, Bang... biar tamunya gampang sekali dateng bawa dua amplop. Hemat transport."

Menyesal Danu jadinya kini berdiri dan mau bergerak ke arah kasur. "Dasar sinting."

"Menikah muda kayaknya enak, Bang."

"Memangnya lo udah kerja? Udah pinter ngurus diri sendiri? Udah bisa bertanggung jawab penuh atas keputusan yang lo ambil? Yang lo bawa nanti bukan hal sembarangan, tapi anak orang yang udah dibesarin mati-matian sama orang tuanya."

Kan... sudah dibilang Danu itu memang jelmaan pegawai koperasi bagian penagihan. Rewel.

Dika menggerutu sedikit. "Gak gitu... Kalau nikahnya sama Raya enak deh kayaknya. Dia sekarang aja udah jadi sesuatu yang penuhin diri gue pas lagi kosong-kosongnya, apalagi nanti sewaktu kita misal jadi sah."

Di saat-saat seperti inilah kemampuan Danu menampakkan wajah datar sungguhan diuji. Sebab kali ini dia mulai gak nyaman. Dia ingin mendesah berat. Ingin menghindar, tapi tentu saja gak semudah yang dibayangkan. Danu kini masuk ke wilayah yang gak seharusnya dia masuki karena ini sudah di luar kendalinya sendiri. Dengan berat hati dia melanjutkan langkah ke arah tempat tidur. Sebab kalau kembali duduk dan membelakangi Dika rasanya akan konyol mengingat gak ada alasan Danu bisa berbuat seperti itu untuk lari dari topik yang tengah dibahas.

"Katanya lo gak ada apa-apa sama Raya."

"Abang pasti tahu istilah klasik witing tresno jalaran saka kulina." Dika jadi menyunggingkan senyum sedikit lalu menggosok perutnya sendiri sembari tetap berbaring. "Katanya cinta dateng karena terbiasa. Gue sampai anggap nasi uduk yang sering dia traktir dikasih jampi-jampi pelet makanya gue bisa begini."

Danu sudah duduk di tepi ranjang, tapi dengan posisi membelakangi Dika. Kini dia pura-pura ambil stok camilan di kardus yang ada di bawah tempat tidur padahal lagi gak nafsu juga. "Kalau Raya... suka sama orang lain gimana?"

"Keknya dia suka gue deh, hehehe."

Suara kekehan Dika lagi-lagi terdengar. Danu hanya tersenyum tipis lantas memilih camilan wafer cokelat di antara pilihan lainnya. "Jangan punya ekspektasi lebih. Gue gak mau lo kayak waktu itu lagi misal apa yang lo rangkai sekarang, hasil akhirnya gak berhasil."

"Gue jadi lupa kenapa dulu gue ngelakuin selfharm."

"Karena lo terlalu berharap sama dunia dan manusia di dalamnya," sahut Danu. "Lo berharap orang-orang selalu melihat lo dalam keadaan sempurna, padahal gak mungkin. Manusia selalu punya cacat dan cela. Sempurnanya manusia itu ketika lo menghargai apa yang udah Tuhan berikan dan berusaha buat memaksimalkannya."

"Gue ngobrol topik menikah karena gue ada pikiran ke sana, Bang." Dika jadi putar arah lagi ke topik awal. Berbicara dengan Danu harus siap risiko akan tamparan dan petuah tentang pilihan kehidupan dan Dika gak lagi ingin membahas hal-hal tegang.

"Gue bilang itu karena bisa aja nanti setelah lo lulus, Raya akan berubah."

"Lupa sama gue gitu, Bang? Nemu temen baru?"

"Dia bakalan diambil orang, terus gak bisa lo jangkau lagi kehadirannya."

Dan bisa aja itu gue orangnya...

Danu akhirnya terpaksa memakan camilan yang dia pegang sebelumnya dengan rasa yang hambar. Bertanya-tanya pula di mana sosoknya yang dulu mati-matian menjaga Dika dari jahatnya semesta? Di mana Danu yang dulu suka mengalah atas hal-hal yang membuat Dika lebih bahagia?

Dika kembali membuka pembicaraan setelah lama diam. "Iya gitu? Masa gitu, sih... harusnya gak begitu..."

"Perasaan seseorang kan gak bisa lo kendalikan."

"Tapi dia pernah bilang ke gue kalau punya wishlist buat ajak gue ke observatorium dan dia suka kumpulin gambar Sirius di kamarnya. Dia suka nemenin gue bikin podcast, dia juga yang pertama dan satu-satunya orang yang tahu waktu itu kalau gue mulai tertarik sama benda-benda aneh. Terus... lo orang kedua yang tahu. Bastian juga tahu kayaknya, tapi dia masih ragu dan gak berani menyimpulkan."

"Banyak orang yang datang dan pergi berulang kali tanpa pernah kita duga. Cara kerja kehidupan memang begitu."

Dika masih belum sadar kalau nyatanya Danu berkata demikian bukan tanpa maksud. Malahan Dika justru berpikir dalam dengan landasan logika seadanya yang terlintas. Menerka apa Danu benar lalu dia hanya menyangkalnya saja? Atau Danu hanya berkata demikian secara umum supaya dia bisa terhindar dari rasanya patah hati yang gak berkesudahan?

Namun, Dika juga berpikir dari mana Danu mendapatkan kesimpulan demikian padahal dia dan dirinya juga sama-sama jarang berkecimpung dengan perempuan? Poin tambahan Dika hanya dekat dengan Raya, nah abangnya itu justru seperti anti perempuan di matanya karena gak pernah mau pergi kencan. Jangankan kencan, Dika merasa Danu tampaknya belum pernah beli jajan cilok mamang pinggir jalan bersama perempuan. Yang suka diajak selalu Chandra setiap saat. Sudah seperti perlakuan ibu asuh pada anak angkat kesayangan.

Di mata Dika, Danu merupakan orang yang hangat tapi kaku di saat yang bersamaan. Sempat pula Dika takut baca buku banyak-banyak, dia gak mau jadi kayak Danu yang pintar dan kutu buku tapi jarang berkomunikasi dengan orang yang gak terlalu dikenal. Dika lebih memilih bersosialisasi dan berkawan sebanyak-banyaknya daripada mendekam di perpustakaan rutin ketika akhir pekan tiba.

Sungguh kontradiksi yang begitu kentara terjadi di antara dua saudara kembar.

"Apa itu artinya gue gak boleh berharap sama Raya?"

"Boleh," jawab Danu, "tapi jangan berlebihan." Maka Danu kembali berdiri, meraih segelas air di meja belajar karena kerongkongannya kering setelah menelan wafer yang baru saja dia kunyah dalam satu kali suapan. Entah karena tekstur wafer yang memang membuat tersedak atau sekadar menetralkan perasaan yang mulai gak karuan, hanya Danu dan Tuhan yang tahu.

"Gue udah masuk di tahap berlebihan, sih. Sebut ini gak baik gue lakuin, tapi mau gimana lagi?"

"Lo pikir Raya yang kata lo sebaik itu hanya disukai sama lo aja?"

Dika jadi tertegun. Ditatapnya Danu yang masih memegang gelas kosong setelah isinya diteguk habis. "Jangan bilang..."

"Gue cuman mau menyadarkan lo kalau temen sekampus lo banyak. Yang kenal Raya juga banyak. Apa lo yakin di antara mereka gak ada gitu yang tertarik sama dia?"

"Oh..." Dika jadi tertawa gugup. "Bisa aja, sih..."

"Jangan mikir aneh-aneh."

"Masalahnya tadi sempat sedetik dua detik gitu gue kira lo yang suka dia, Bang... Hahaha..."

Danu hanya menatap Dika sebentar lalu melarikan diriㅡlagiㅡdengan mengalihkan pandangan. Dia tempatkan gelas ke tempat semula lalu menuju ke sudut ruangan dekat pintu untuk membuang sampah. "Kalau sampai itu kejadian, bakalan jadi konyol." Lantas Danu gak tahu harus apa lagi selain kembali ke ranjang.

Dika yang masih berbaring menatap langit-langit tanpa berkedip. "Bakalan awkward banget, Bang." Ucapannya sempat dianggap candaan oleh Danu, tapi Dika gak menampakkan ekspresi tertawa atau sekadar tersenyum. "Soalnya kita bakalan bersaing. Bukan saingan dapetin Raya, tapi saingan buat siapa yang lebih mutlak ngalah. Terus pada akhirnya kita berdua gak ada yang bakalan dapat apa-apa."

"Kok gitu, sih?"

"Gue akan ngalah karena lo udah ngelakuin banyak hal buat gue. Raya buat lo aja, Bang. Gak apa-apa."

"Jangan ngelantur lo, ya! Gila aja."

"Bukan gila, tapi realistis." Dika masih tetap di posisinya, sedangkan Danu mulai kesusahan mengatur tingkahnya yang semakin kikuk menuju tepi ranjang. Lantas Dika memiringkan badan. "Gak mungkin kita berbagi buat urusan kek gitu, kan? Gak ada aturan lo gak bisa suka sama Raya, Bang. Dia juga bukan siapa-siapanya seseorang."

"T-tapi gue gak suka dia."

"Memang. Lo gak suka, tapi lo tertarik sama dia, kan?"

Jantung Danu seolah merosot. Refleks dia berdiri setelah sempat duduk di tepian tempat tidur. "Yang deket sama dia itu lo. Kemungkinan dia suka lo lebih besar daripada gue."

"Tapi lo selalu bisa bikin cewek tertarik." Dika jadi sedikit pundung. Dia menghela napas kasar. "Karena sikap lo yang anti kenal sama cewek, gue takut misal Raya suka sama lo, terus lo bodoh amat ke dia. Raya yang kasihan. Misal lo suka Raya diam-diam, kasihan lo juga. Susah jatuhin pilihan ke perempuan, setelah dapet satu malah gak lancar karena ada gue yang nempel mulu barengan."

Danu gak bisa berkomentar banyak selain menghentikan diskusi gak berguna ini. Jatuhnya, Danu yang akan semakin terkunci dengan desakan pemikiran yang Dika ungkapkan. "Berhenti mikir yang aneh kenapa, sih?"

"Makanya... misal ada kemungkinan kalian bisa bareng-bareng, gue yang mundur. Anggap aja kek balas jasa gitu loh, Bang."

"Balas jasa apa? Lo pikir gue bisa disogok begitu?"

"Yaudah, kalau gak mau disebut balas jasa, ganti aja jadi sedekah." Sejenak Dika terkekeh-kekeh lagi. "Sedekah perasaan dengan berkorban, uhui."

"Dah, ya. Pegang omongan gue. Nanti, entah kapan, lo yang akan genggam tangan Raya, bukan gue. Raya sukanya ke lo, bukan gue. Kalaupun gue suka Raya beneran, itu bukan urusan lo, Dek. Didenger aja udah mustahil, apalagi dilakuin."

Dika jadi menduga sesuatu dalam benak, tapi terlalu takut untuk membenarkan maupun mengucapkannya. Jadi dia hanya menerka tanpa bukti yang konkret. Namun, dia jadi bermonolog dalam hati tanpa jawaban pasti pula. Kenapa sebegitunya dia nyanggah kalau beneran gak kayak gitu? Kan, gue cuman bercanda doang...

Dika menatap Danu penuh selidik, tapi dia tutupi hal tersebut dengan kekehan kikuk. Abangnya itu terlihat tegang, padahal biasanya yang demikian ialah Dika karena diberi masukan yang bisa mencuci habis isi kepala. Sekarang Danu gak lebih seperti Bocils yang ketangkap basah mengambil sedikit detergen abang kontrakan karena keadaan mendesak. Terlihat seperti ingin berkilah, tapi dari gelagatnya sudah gak bisa dusta.

"Rileks aja, Bang." Dika kembali mencairkan suasana. "Lo pasti gak nyaman karena terus gue desak begitu. Muka lo asem banget kek nahan sembelit."

Ujung-ujungnya, beberapa asumsi yang belum dipastikan benar salahnya harus Dika telan bulat-bulat. Begitu pula Danu yang kini terbebani pemikiran apakah Dika mulai curiga atau pura-pura biasa saja. Yang jelas keduanya kini semacam punya pagar pembatas untuk gak menyinggung beberapa hal yang terkesan sensitif.

Bagaimananpun, firasat akan suatu kejadian pastilah sempat terbesit. Dika yang menganggap gerak-gerik Danu berubah ketika bicara soal Raya, yang mengindikasikan ada rahasia yang tersimpan rapat. Atau mungkin Danu yang justru menganggap diskusi barusan merupakan suatu bentuk pancingan untuk dirinya mengaku, karena sejujurnya Dika sudah tahu. Firasat yang hanya berlandaskan dugaan satu sama lain gak akan menemukan titik ujung kalau gak dibicarakan. Namun, untuk saat ini baik Danu maupun Dika membiarkan segalanya tetap tabu dan tetap berjalan seperti biasa.

Malam itu dihabiskan dengan keduanya yang saling beradu punggung. Pura-pura tidur padahal tahu satu sama lain gak bisa memejamkan mata. Gak ada obrolan karena sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing; Danu dengan bait-bait aksaranya yang dia tulis di aplikasi catatan ponsel, serta Dika yang juga diam-diam memikirkan konsep episode podcast miliknya. Keduanya sama-sama tahu ada yang disembunyikan dari satu sama lain, tapi gak berani membuka obrolan terlebih dahulu untuk menemukan apa itu.

Sampai pada titik ponsel Dika berbunyi samar, di situlah Danu baru bergerak di atas tempat tidurnya untuk ikut melihat sekiranya siapa yang menelepon saudaranya di jam sembilan malam. Danu kira itu ibunya, karena barusan pesan dari beliau juga terpampang di bagian notifikasi.

"Iya, Ray. Ada apaan?"

Belum sempat Danu berbalik dan melihat layar ponsel Dika, si pemilik ponsel justru sudah menempatkan gawainya di dekat telinga.

Danu berbisik dalam benak. Waktunya lo mundur walaupun secara harfiah lo belum pernah maju.

Bungkamnya Danu disusul tarikan napas kecewa. Entah kecewa karena itu bukan ibu yang menelepon atau kecewa karena dia sudah kalah bahkan sebelum memulai. Dia kembali pada bait-bait aksaranya, menuangkan bentuk kegelisahannya dalam untaian kalimat. Gak akan pernah terucap dan akan tersimpan rapi di dalam dunia imajinasinya.

Tanpa Danu tahu, Dika juga diam-diam menyimpan prasangka. Sekiranya apa yang membuat saudaranya itu terlihat begitu pilu ketika memunggunginya?

Cendayam

Kala itu, aku bertanya-tanya.
Apa aku bisa?
Apa peluang sungguh ada?
Apa waktu masih tersedia?
Apa kamu... selalu melihat ke arah dia?

Kamu seperti kain berpinar emas.
Cantik di dalam, elok di paras.

Sekali lagi aku tegaskan.
Bahwasannya kamu telah bertuan.
Dia bagai raja dan aku bagai tahanan.
Sedangkan kamu jadi permaisuri impian.
Dia punya kesempatan dan kekuasaan.
Sedangkan aku hanya mendapat ratapan.

Lalu... sampai kapan?

Sampai kapan kisah ini akan terurai dalam untaian kata?
Sampai kapan rahasia ini akan tertanam tanpa pernah berbunga?
Sampai kapan aku akan berdiri dan melihat dengan tatapan iba?

Aku berharap kamu mau kemari sebentar saja.
Lihat dan rasakan apa yang ada.
Karena dengan begini kamu akan tahu.
Kalau aku juga menunggu.
Tapi aku mundur karena aku juga tahu.
Tempatku memang bukan di sisimu.

Sebatas bait untuk Puan. ARDN.

"Tim Ardipa kembali menemani telinga kalian di Kisah Sang Sirius! Episode kali ini hanya sekadar basa-basi ringan supaya gak bawa beban. Pernah gak sih lo ada di keadaan di mana otak lo menerka-nerka suatu hal, tapi gak tahu benar apa nggaknya? Seolah dugaan lo itu salah kalau dipercaya, tapi juga gak bisa diabaikan gitu aja. Lo ingin menguak kebenarannya dengan bertanya, tapi susah. Lo ingin bodoh amat gitu aja terus barangkali bisa lupa, juga gak bisa."

"Gue pribadi beranggapan kalau manusia selalu punya rahasia sekecil apapun itu. Gue menghargai privasi mereka, tapi kenapa ya kadang gue merasa jadi pihak yang terkhianati karena gak tahu apa-apa? Gue pengin memahami pola pikiran orang-orang di sekitar gue, tapi ternyata gue belum sebaik itu buat dijadikan tempat sampah kisahnya orang-orang."

"Tapi di sisi lain keadaan kayak gini bikin lo sadar. Ada kalanya rahasia yang disimpan rapat gak perlu lo cari tahu sebegitu dalam karena waktu selalu punya tugas untuk mengungkap sesuatu yang gak pernah kita duga. Lo gak harus mendesak segalanya, hanya diam dan perhatikan. Kalau mulut gak bisa terbuka untuk bicara terus terang, gue percaya kalau apa yang ada di hati manusia kadang bisa terbaca lewat air muka dan tingkah laku yang gak biasa. Bukannya itu sudah refleks tubuh manusia?"

"Buat lo yang punya rahasia dan masih riskan buat lo ungkap, gak apa-apa. Lo hanya masih butuh waktu untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk reaksi orang-orang. Buat lo yang ingin jadi tempat berbagi kisahnya orang lain, sabar sebentar. Lo gak bisa memaksa apa yang gak bisa lo kendalikan."





EXTRA PART:


Gimana sih interaksi si kembar kontrakan yang penuh kontradiksi ini di sosial media? Apa mereka tipe yang suka spill aib satu sama lain kalau lagi cek-cok? Atau tipe yang suka foto bareng lalu diunggah di waktu yang sama supaya bisa dilabeli dengan tagar "SiblingGoals"?

Terlepas dari rahasia yang dimiliki satu sama lain, kenyataan yang gak pernah lepas ialah mereka akan tetap jadi saudara serahim.

Kalau lagi akur:

Kalau salah satu pihak mulai menyulut perang saudara dan dampaknya:

ㅡㅡㅡ



Podcast Dika + bait aksara Danu = perfect combo bikin otak meleduk.

Anyway buku ini tembus 100k viewers😭
Masih gak percaya dulu iseng dan cari tahu sensasi nulis orifict kek apa berujung mengundang banyak pembaca yang ikut meramaikan tiap chapter. Terima kasih! Tanpa kalian aku gak bisa berkembang sejauh ini.

Ada beberapa part yang belum sempat aku balas, tapi aku sudah baca komentar mengenai gaya penulisanku yang masih kaku untuk ukuran percakapan sehari-hari. Thank you for your honest opinion, aku menyadari masih perlu banyak perbaikan dan aku udah mencoba perbaiki sedikit demi sedikit. Kalau langsung banyak susah karena dari dulu basic aku pake kalimat baku wkwk. Sekali lagi terima kasih banyak untuk pembaca yang masih setia hingga detik ini,  ya!

Continue Reading

You'll Also Like

42.3K 6K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
69.7K 11.1K 16
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
174K 8.5K 29
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
1.3M 188K 67
Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan menemukan eratnya persahabatan, pengabdian t...