You Just Met The Wrong Person

By DrReno

29.8K 4.4K 192

(Sedang di revisi) Setelah kasus kesalahpahaman tersebut, Ken harus memulai hidupnya dari awal. Pindah sekola... More

Prolog
Pink!
Pink! (2)
Affection!
Affection! (2)
True Love Comes From Family!
Pink! (3)
Pink! (4)
True Love Comes From Family! (2)
True Love Comes From Family! (3)
True Love Comes From Family! (4)
True Love Comes From Family! (5)
Professional Or Plain?
Let Me Get This Straight!
Let Me Get This Straight! (2)
Something Wrong Happened Here!
Something Wrong Happened Here! (2)
Ken Jackson!
The Scapegoat! (2)
Them!
The Scapegoat! (3)
The Scapegoat! (4)
The Scapegoat! (5)
Silly, How It Feel!
Like We Should And Say We're Good!
Like We Should And Say We're Good! (2)
Like We Should And Say We're Good! (3)
Like We Should And Say We're Good! (4)

The Scapegoat!

392 102 0
By DrReno

Setelah memarkirkan mobilnya di halaman, pria berjaket tebal itu keluar dan segera pergi ke pintu depan. Terdapat tanda tutup di sana meski cuaca sedang terik. Dia memang tahu restoran tersebut hanya buka saat malam hari.

Meski begitu dia tetap mendorong pintu tersebut yang sama sekali tidak dikunci, dan masuk ke dalam hingga mencapai dapur. Begitu tiba, pria itu menuju salah satu pintu kayu di sana yang merupakan ruangan kecil berisi alat-alat kebersihan seperti sapu dan kain pel. Namun, kedatangannya bukan untuk membersihkan restoran.

Tangannya meraba dinding di sebelah kanan yang tertutup kain celemek, di baliknya terdapat sebuah tombol yang dapat ditekan. Ting! Terdengar suara seperti bel, diikuti dinding di hadapannya terbelah menjadi dua. Ruangan itu ternyata sebuah lift yang akan membawanya turun.

Tujuan sebenarnya ada di bawah restoran. Terdapat sebuah ruangan yang bahkan lebih besar daripada restoran tersebut. Lift terbuka lagi, dan pemandangan pertama yang ditemukan sangat mirip dengan rumah milik orang-orang kaya. Sofa yang seluruhnya kulit, lampu gantung, ditambah gaya interior Jepang tahun 70-an. Belum lagi ruangan-ruangan lain di dalam sana yang menjadi kamar tidur.

Tempat itu adalah tempat tinggal pria tersebut, dan orang-orang lain yang bekerja dengannya.

"Nen. Sudah kembali." Seorang wanita yang duduk sambil membaca buku segera menyambutnya. Nen melepas dan menggantung jaket tebalnya kemudian bergabung sejenak di sofa untuk melepas penat.

"Ya. Di mana James?"

"Kurasa di ruang monitor, seperti biasa," jawab perempuan itu, lalu bertanya kembali. "Bagaimana hasilnya?"

"Dia anak yang keras kepala."

"Memangnya kenapa kau sangat menginginkan anak itu?"

Nen memutar matanya, kemudian berdiri kembali walau masih merasa lelah. Dia hanya malas menjawabnya.

"Kau tau peraturannya, Nen, dan kau sudah melanggar sebanyak dua. Ini hampir tiga minggu sejak kau memperkenalkan diri dengan anak itu, dan kedua kau menawari lebih dari dua kali. Kenapa anak itu, Nen? Kenapa sangat menginginkannya?"

"Bukan urusanmu, Furler." Tanpa menoleh, Nen melanjutkan dengan nada yang lebih dingin. "Dan kuingatkan padamu, aku pemimpinnya di sini. Dari suaramu sepertinya kau ingin membunuh anak itu."

"Kau bosnya, tapi kau tidak mungkin lupa siapa bosmu, kan? Mr. Lam akan membunuh kita semua jika anak itu masih hidup."

"Furler benar." Lalu seseorang tiba-tiba muncul bersamanya. Laki-laki lain yang hanya sedikit lebih tinggi daripada Nen. Jaket kulit dan celana jeans ketat, dengan sebagian rambutnya diwarnai ungu gelap. "Mr. Lam titip salam padamu, bos."

"Aster ...." Nen tak menyangka akan kehadiran pria itu di sana. "Kapan kau tiba?"

"Baru saja."

"Dan kutebak kau akan segera pergi lagi?" kata Nen melirik tas ransel yang dibopong Aster.

"Sudah pekerjaanku." Pria itu lalu berjalan melewati Nen dan masuk ke lift, tetapi sebelum menutup dia mengatakan sesuatu. "Dia menunggu, Nen. Mr. Lam menunggu."

Nen menghela napas panjang setelah Aster pergi. Wanita bernama Furler itu juga meninggalkan tempatnya dan masuk ke kamar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Jadi Nen juga pergi, menuju ruang monitor untuk menemui satu orang lagi yang tinggal bersamanya di tempat itu.

Sesuai namanya, terdapat banyak monitor menyala di ruangan tersebut. Sebagian besar menampilkan rekaman sebuah kamera pengawas, beberapa lainnya hanya menunjukkan deret-deret angka.

Lalu dihadapan seluruh monitor tersebut terdapat sebuah kursi ergonomik yang umum ditemukan di banyak kantor-kantor. Ketika berputar, nampaklah sosok anak muda di sana bersama sebuah keripik kentang.

"Hai, James."

Lantas anak muda itu terkejut dan buru-buru bangkit. "N–Nen. Kau sudah kembali."

Nen tak membalasnya, tetapi langsung menyuruh. "Aku ingin kau melakukan pencarian." Dari dalam tas kopernya dia menyerahkan beberapa lembar kertas pada anak itu.

James mengangguk, dan kembali pada kursi. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, sementara matanya berpindah dari satu layar ke layar lainnya. "Baiklah ini dia. Neal Gregson dan Gina Sage." Terpampang di masing-masing layar informasi lengkap tentang kedua nama tersebut. Termasuk alamat, nomor ponsel, bahkan keluarganya yang masih hidup dan sudah mati.

"Masih ada?"

Nen terdiam sejenak, membaca sebagian tulisan yang terpampang pada layar. James merasa ada yang sangat berbeda. Biasanya Nen tersenyum dan tidak pernah sampai setegang ini, sekarang hanya ada kerutan di wajahnya. "Ya, buat lagi pesan berantai untuk Ischar High."

"Pesan spam? Tentu. Apa isinya?"

***

Baru tiga hari sejak ayahnya dimakamkan, dan hal yang sama seperti saat ibunya tewas terjadi kembali. Sebuah pesan spam diterima oleh hampir seisi sekolah. Kini semua orang tahu kalau Ayah Ken adalah pria yang ditemukan terbunuh di jurang perbatasan.

Ken tidak tahu siapa pelakunya dan dia sungguh ingin tahu. Karena pesan-pesan itu benar-benar mengganggunya. Banyak murid lain mulai memandangnya aneh, beberapa juga menjauhinya dan tidak sedikit yang takut padanya.

Shiro mengatakan kalau Ken cukup mengabaikannya. Cyan sendiri menawarkan bantuan untuk ikut mencari siapa sebenarnya pengirim pesan tersebut. Lucy dan teman-temannya yang lain juga ikut membantu dengan menjelaskan ke seluruh sekolah kalau berita itu benar dan Ken tidak ingin ada yang membicarakannya.

Pesan tersebut juga mempengaruhi latihannya bersama klub musik. Pada latihan sebelumnya personel lain mau duduk dan berdiskusi dengan Ken, sekarang mereka semua memalingkan wajah jika mereka saling bertatapan.

Kapten klub musik, Victor menyadari hal tersebut dan tidak ingin ada masalah di dalam timnya. Jadi saat sesi latihan individu, Victor mengambil kesempatan untuk berbicara dengannya.

"Hei, Ken. Bagaimana kabarmu?"

Ken semula mencoba fokus pada kertas-kertas not, tetapi dia memang tak bisa berpikir dalam keadaan seperti ini. Cowok itu mendesau. "Hei, Victor. Aku baik."

"Baguslah. Dengar, entah ini membantu atau tidak, tapi aku sudah berbicara dengan semua tim agar mereka tidak ... menjauhimu. Aku tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua, dan aku tidak ingin menilai siapapun yang telah melaluinya."

"Tentu, Vic, dan terima kasih." Ken tersenyum, tetapi Victor tahu itu sedikit dipaksakan.

Ken mengangkat kepala, bukan untuk menatap anggota klub musik lain yang sangat jelas menjaga jarak dengannya, tetapi selama tiga minggu ini Ken menyadari tak banyak alat musik yang dimainkan.

"Kenapa tak ada yang memainkan benda itu?" tanya Ken menunjuk salah satu yang hanya bersandar di dinding.

Victor berbalik untuk mengikuti arah pandang Ken, dan menemukan Cello. "Cello? Pemain terakhir memutuskan untuk keluar, dan tak ada yang ingin memainkannya, tapi pendaftaran klub akan tetap dibuka sampai seluruh personel kita lengkap. Kenapa tanya?"

Ken menggeleng. "Aku hanya penasaran."

Victor merasa sudah cukup berbicara dengan Ken. Dia menepuk tangan, tanda perhatian seluruh tim harus tertuju padanya sekarang. "Baiklah, sudah cukup sesi pembacaan not. Kita kembali pada bagian intro, jadi semua tolong ambil posisi masing-masing."

Hingga suara di speaker menghentikannya saat baru akan mengayunkan tangan.

"Selamat sore, Ischar High. Kami ingin mengumumkan kalau sekolah harus segera dikosongkan dalam satu jam ke depan. Silakan hentikan apapun aktivitas kalian, keluar dengan tertib dan langsung pulang ke rumah."

Pengumuman yang sama saat Ken pertama kali pindah ke sekolah ini, dan beberapa minggu ke belakang. Sekolah selalu diminta pulang lebih awal. Bedanya, kali ini tak ada yang senang.

"Oh, ayolah. Kami baru saja ingin bersenang-senang!"

Beberapa lainnya bertanya-tanya. "Apa yang sebenarnya terjadi di kota? Ini hampir terjadi setiap minggu."

Victor di tempatnya kembali menepuk tangan sekali. "Baiklah teman-teman. Kalian mendengarnya. Aku tidak ingin siapapun terkena masalah. Kita bisa latihan kembali minggu depan."

"Ayolah, Vic. Kita bisa melakukannya sekali."

"Tidak. Kau tahu sulitnya menjadi kapten? Aku dihukum jika salah satu dari kalian mendapat masalah. Tak ada yang perlu diperdebatkan, terima kasih." Victor menutup, sebagian timnya kembali cemberut meski tetap menyimpan alat-alat mereka. Ken duduk sedikit lebih lama dan membiarkan yang lainnya keluar terlebih dahulu.

Barulah Ken menyimpan biolanya saat tersisa hanya dirinya dan Victor saja.

"Hei, Ken," panggil Victor, tetapi saat Ken berbalik dia hanya terdiam dengan wajah tersenyum kaku. Seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi bingung bagaimana harus menyampaikannya.

"Ya?"

"Aku minta maaf soal sikap orang-orang di sini. Aku sungguh ... tidak tahu harus bagaimana."

Ken tersenyum lagi. "Tidak masalah Victor. Aku baik-baik saja." Kemudian berdiri dan akhirnya pergi meninggalkan ruang musik.

Di lorong menuju gedung A, Ken memikirkan kembali apa yang terjadi padanya. Orang-orang menjauhinya, takut padanya, tak berbicara padanya. Semua ini sangat mengganggu karena hal tersebut mengingatkan Ken apa yang pernah terjadi di sekolah lamanya.

Dia tidak mau itu terjadi. Dia tidak lagi bisa menghadapinya. Ken berusaha berpikir positif. Masih ada Shiro, Lucy, Victor, dan lainnya yang masih mau berbicara padanya, bahkan membantunya. Itu sudah cukup. Dia berharap sikap orang-orang hanya terjadi selama beberapa hari, dan mungkin minggu depan mereka akan lupa.

"Yo, Ken!" Sebelum mencapai belokan, seseorang memanggilnya. Tepat di pintu keluar kolam renang sekolah.

"Rick?" Ken baru ingat cowok itu adalah ketua klub renang. "Ada apa?"

"Bisa membantuku, kawan? Aku harus membawa ember-ember ini." Tepat di depan kaki Rick terdapat empat buah ember yang penuh.

Ken tanpa ragu segera mengangkat dua ember tersebut. "Tentu. Mau diapakan?"

Sejenak Rick dibuat terkejut, pikirnya Ken mungkin akan menolak, belum lagi di punggungnya terdapat tas biola. "Yah ... aku ingin membawanya ke Mr. Spot. Air di kolam terasa aneh, kami tidak bisa latihan jika seperti ini. Jadi dengan sampel-sampel ini, sekolah dapat segera membeli pembersih kolam yang baru."

"Baiklah. Ayo kita pergi. Satu jam lagi sekolah harus dikosongkan, bukan?" Ken berjalan lebih dahulu, meski dia tidak tahu siapa itu Mr. Spot dan di mana ruangannya. Rick hanya tertawa singkat melihat kejadian tersebut, tetapi yang tidak dia ketahui adalah Ken melakukannya karena takut kehilangan teman-temannya.

***

Pada akhirnya Ken menjadi orang-orang di gelombang terakhir yang meninggalkan sekolah. Dia menikmati waktunya bersama Rick, dan perkenalannya bersama Mr. Spot, pria berumur 30-an yang bertugas sebagai pembimbing klub renang.

Namun, Ken meninggalkan sekolah lebih dahulu daripada Rick. Sisa harinya akan digunakan untuk pergi ke rumah sakit. Lagipula Ken tidak pernah sempat kemarin karena masih harus berurusan dengan polisi dan pemakaman ayahnya. Setidaknya ucapan Nen belum terbukti benar, karena baik Clay ataupun Hansel tak mengatakan sesuatu yang menandakan kalau mereka memang mencurigainya.

Ken bergegas meninggalkan sekolah untuk pergi ke bus yang sudah parkir di halte, tetapi dia terlambat menaikinya. Bus tersebut pergi tepat saat Ken mencapai halte. Dengan kesal, dia mengambil duduk dan menunggu.

"Kau!" Seseorang berteriak di dekatnya. Ken sontak mengangkat kepala, dan seketika rahangnya mengeras.

"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?!" Orang itu tak menjawab, melainkan tertawa.

"Ternyata benar, kau sekolah di sini. Aku tidak percaya ini! Kau benar-benar melanjutkan hidupmu?! Semudah itu, Ken?! Setelah semua yang kau lakukan, kau hidup seakan tidak bersalah sedikitpun?!"

"Pergi dari sini, Neal! Menjauh dariku!" Ken mendengus maju. Kali ini tak lagi takut kalau Neal akan memukulnya, karena sekarang dia sendirian.

"Oh, persetan denganmu, Jackson! Kau hidup bahagia sedangkan Gina bahkan tak bisa menemukan sekolah baru. Hidupnya hancur selama berbulan-bulan!"

"Aku tak ada hubungannya dengan Gina!"

"Tentu saja ada! Kau yang menyakitinya!"

Ken berteriak murka. "Untuk terakhir kalinya itu bukan aku!"

Sementara tepat di gerbang masuk, beberapa murid mulai keluar. Lucy, Shiro, dan Rick ada di sana, serta teman-temannya yang kebetulan tidak memiliki kendaraan pribadi. Mereka sontak berhenti saat tahu Ken sedang adu mulut dengan seseorang di halte bis, tetapi Lucy yang paling terkejut.

"Itu dia!"

"Dia?" tanya Rick.

"Orang yang memukul Ken. Kau ingat aku pernah menceritakan itu padamu? Dia orangnya."

Rick dan lainnya yang berada di sana sontak saja ikut terkesiap. Lalu terdengar suara bogem mentah yang baru saja mendarat di pipi seseorang. Itu Ken, dia baru saja meninju Neal. Untuk pertama kalinya dia yang memukul lebih dahulu.

Mereka mulai berkelahi. Rick, Shiro, dan Lang bergegas mendekat untuk memisahkan keduanya. Untungnya tak ada yang terluka. Lucy kemudian menyusul tidak lama.

"Okey, hentikan!" Lang berdiri di antara mereka dan mengangkat kedua tangan.

Neal yang masih emosi kembali tertawa. "Siapa kalian?! Tunggu, jangan bilang padaku. Kalian teman barunya Ken?"

"Ya, kami temannya, dan siapa kau?" Shiro mendengus kesal.

"Seseorang yang menginginkan keadilan."

"Dengan memukul Ken? Keadilan macam apa itu?!"

"Apa kalian tidak tahu siapa anak ini?! Kalian tidak tahu apa yang pernah dilakukannya sebelum pindah sekolah?! Dia tak pernah bercerita pada kalian?!"

"Diam saja kau, keparat!" Ken meronta berusaha melepaskan dirinya dari Rick, tetapi cowok itu ternyata sangat bertenaga.

"Ada apa, Jackson? Kau takut mereka mengetahui kebenaran? Takut mereka akhirnya tahu siapa kau sebenarnya!"

"Apa sebenarnya yang kau bicarakan?" tanya Lang.

"Oh. Ken Jackson pernah—"

"Aku bilang diam!" Tak punya pilihan, Ken terpaksa menginjak kaki Rick agar mau melepaskannya, kemudian maju untuk menarik kerah Neal. "Katakan satu kata lagi ... dan aku akan—"

"Kau akan apa?" tantang Neal. "Penjahat?"

Tatapannya yang tajam perlahan berubah sendu. Napasnya masih memburu, tetapi cengkramannya justru melemah, dan melepaskan Neal. Masih tak mengatakan apapun, dia mengambil tas biolanya dan pergi dari sana.

"Ken? Kau mau kemana?" Shiro berteriak memanggilnya, tetapi Ken tak berbalik sedikitpun. "Okey, sudah cukup. Aku tidak tahu siapa kau, tapi kau benar-benar keterlaluan!"

Shiro menggulung lengan bajunya dan maju untuk memukul Neal juga, tetapi Lang segera menahannya. Sementara Neal dengan seringai kemenangan berbalik untuk menatap keempat orang itu.

"Kalian akan tahu siapa dia sebenarnya, dan saranku, jangan memanggilnya teman." Neal ikut pergi dari sana.

"Hoi! Kembali ke sini sialan! Aku belum selesai denganmu!" Sama seperti Ken, Neal tak berbalik untuk membalas teriakan Shiro.

Continue Reading

You'll Also Like

727K 122K 27
BEBERAPA CHAPTER SUDAH DIHAPUS "Tuhan, bila cinta ini tak bisa Kau satukan, mengapa Kau biarkan rasa ini tetap bersemayam?" Bagi Rara, pertemuan pert...
30.6K 816 53
Sebelum baca cerita ini lebih baik baca cerita orang tuanya dulu ya, biar gak bingung nanti. Jangan lupa follow, komen dan votenya. See you. JANGAN...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

8.5M 586K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
51K 4.6K 33
ayahmu tumbuh di halaman belakang. ia belajar memanen ubi, memelihara anjingnya yang tinggal satu dan membuat telur paskah palsu. ia membenci anaknya...