I SHALL EMBRACE YOU

Від Toelisan

21.8K 1.7K 91

[FOLLOW SEBELUM BACA] "Kita itu cuma dua orang yang saling kenal terus tinggal satu atap." ucap gadis itu. ... Більше

ISEY || CHAPTER SATU
ISEY || CHAPTER DUA
ISEY || CHAPTER TIGA
ISEY || CHAPTER EMPAT
ISEY || CHAPTER LIMA
ISEY || CHAPTER ENAM
ISEY || CHAPTER TUJUH
ISEY || CHAPTER DELAPAN
ISEY || CHAPTER SEMBILAN
ISEY || CHAPTER SEPULUH
ISEY || CHAPTER SEBELAS
ISEY || CHAPTER DUA BELAS
ISEY || CHAPTER TIGA BELAS
ISEY || CHAPTER EMPAT BELAS
ISEY || CHAPTER LIMA BELAS
ISEY || CHAPTER ENAM BELAS
ISEY || CHAPTER TUJUH BELAS
ISEY || CHAPTER DELAPAN BELAS
ISEY || CHAPTER SEMBILAN BELAS
ISEY || CHAPTER DUA PULUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER DUA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER DUA PULUH ENAM
ISEY || CHAPTER DUA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER DUA PULUH DELAPAN
ISEY || CHAPTER DUA PULUH SEMBILAN
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH SATU
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DUA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TIGA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH EMPAT
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH LIMA
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH TUJUH
ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

ISEY || CHAPTER TIGA PULUH ENAM

393 39 4
Від Toelisan

[I Shall Embrace You]

-

-

Happy reading

-

-

Cia sampai di depan rumah tepat pukul lima sore. Ia keluar dari taksi yang ia tumpangi, namun dahinya mengerinyit heran melihat dua sedan hitam terparkir di depan rumah.

Dengan ragu ia turun dan menatap dua mobil itu. Kakinya trus melangkah maju meski pikirannya melalang buana memikirkan siapa yang bertamu hari ini.

Setelah sampai di depan pintu, tiba-tiba tangannya terasa berat tuk membuka pintu kayu itu. Tubuhnya kaku saat mendengar derai tawa dari dalam rumah.

Sepertinya Vian ada tamu. Apakah sebaiknya ia berbalik dan pergi saja? Akan lebih aneh jika ia tiba-tiba masuk dan merusak suasana di dalam sana.

Saat Cia hendak berbalik pergi, tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka. Menampilkan sosok laki-laki jangkung yang menatapnya heran.

"Cia?" sapa laki-laki itu.

Cia tersenyum kaku sembari mengangkat tangan, melambai dengan wajah syok.

"Aku Baim, ingat?" tanyanya menyadari raut wajah Cia.

Cia memutar otak. Beberapa detik setelah itu barulah Cia ingat pada sosok laki-laki di hadapannya ini. Benar, dia Baim. Laki-laki yang mengantar Cia waktu itu.

"Eh sorry, aku ragu soalnya penampilan kamu beda banget." Cia tidak berbohong. Penampilan laki-laki ini jauh sekali dengan waktu itu yang terkesan lebih formal. Sedangkan saat ini, ia tampil lebih casual.

Laki-laki itu terkekeh sebelum akhirnya bertanya, "Nggak masuk?"

Bola mata Cia membulat sempurna. Alih-alih menanyakan alasan keberadaan Cia di sana, laki-laki ini malah menanyakan hal lain.

"Eh? i...iya. Ini...aku...."

"Vian! Bini kamu nih." Sambar Baim sembari tersenyum jahil.

"Eh enggak...enggak. Aku...,"

"Bini Vian? Mana?" tanya salah seorang dari dalam rumah.

Tiba-tiba tangan Cia ditarik masuk ke dalam rumah. Ia tergopoh-gopoh menyeimbangi langkah kaki Baim. Sesampainya di dalam, semua mata tertuju pada Cia. membuat gadis itu salah tingkah. Semburat kemerahan menghiasi kedua pipinya. Melihat hal itu, Vian segera bangkit. Melangkah mendekati Cia yang berdiri mematung. Berdiri di sebelah Cia sembari merangkul pundak gadis itu lembut.

"Iya, kenalin ini Cia. Yang waktu itu aku ceritain," ucap Vian pada teman-temannya.

Dan setelahnya suasana menjadi riuh.

-

Cia keluar lebih dulu dari minimarket itu. Sedangkan Vian masih menyelesaikan transaksi di dalam. Gadis itu menengadah memandang langit. Entah kenapa langit terlihat sangat indah malam ini. Cia mengeluarkan ponselnya. Mengecek beberapa pesan sebelum akhirnya kembali menenggelamkan benda pipih itu ke dalam saku jaket.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Vian dengan satu kantong belanjaan di tangan kirinya. 

Cia berpaling lalu menggeleng samar. Jujur, ia masih belum bisa melupakan kejadian tadi sore. Bagaimana tingkah teman-teman Vian meledek laki-laki itu dan bagaimana raut wajah Vian yang memerah seperti tomat masak.

"Kenapa?" kejar Vian penasaran.

"Keingat yang tadi sore." Cia menatap Vian melihat rekasi dari laki-laki itu.

Vian berdeham pelan. Ia memalingkan wajah ke samping membuat Cia mengukir senyum selebar mungkin.

"Minggu depan udah acara wisuda kita kan, ya?" Vian mengalihkan topik.

Cia mengangguk.

"Dan dua minggu setelah itu kamu berangkat ke Swiss," ucap Cia sembari menghela nafas. 

"Kamu bakalan sering pulang, kan?" tanya Cia.

Langkah Vian terhenti. Ia menatap Cia. Lalu detik berikutnya ia tersenyum. Gemas sekali melihat Cia bertingkah seperti itu.

"Tergantung," jawab Vian.

"Tergantung apanya?" tanya Cia bingung.

"Tergantung seberapa sering kamu kangenin aku."

"Yaudah. Aku nggak akan kangenin kamu."

"Serius nih?"

Cia mengangguk.

"Oke, aku nggak akan pulang sampai studi selesai. Aku dengar katanya perempuan Swiss itu cantik-cantik lho." 

Cia menatap Vian sebal. Gadis itu mencubit pinggang Vian saking sebalnya dengan laki-laki itu.  Vian tertawa lepas setelah melihat reaksi Cia. Lucu sekali menatapnya seperti itu.

Vian menatap ke belakang. Lalu ia segera meraih tangan Cia. Menggenggamnya sembari berlari meninggalkan tenpat itu. Cia tergopoh-gopoh menyamai langkah Vian yang lebar. Beruntung Vian segera berhenti tepat ketika Cia merasa kakinya sudah mulai lemas untuk berlari.

"Ada apa, sih?" tanya Cia penasaran. Ia tidak tahu penyebab mengapa Vian mengajaknya berlari.

"Nggak ada apa-apa," jawab Vian enteng dengan deru nafas yang tidak beraturan.

"Kalau nggak ada apa-apa ngapain lari?" tanya Cia lagi.

"Cuma mau ngajak kamu olahraga aja. Kamu kurang gerak soalnya." bisik Vian. Cia langsung menyubit pinggang Vian hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan.

"Nyebelin banget sih!" protes Cia.

Vian hanya tersenyum menimpali. Ia kembali menggenggam jemari Cia lalu berjalan menyusuri kawasan perumahan itu.

"Vian," panggil Cia membuat laki-laki itu menoleh.

"Ada yang mau aku omongin ke kamu."

"Apa? Serius banget."

"Aku---"

Ucapan Cia terhenti kala mendengar dering panggilan dari ponsel Vian. Laki-laki itu segera merogoh saku jaketnya. Ia menatap nama yang tertera di sana.

"Mamanya Dila," ucap Vian seolah memberi tahu pada Cia meski gadis itu tidak bertanya.

"Halo, Tan,"

"Hah?!" tanya Vian kaget. Saking kagetnya ia tidak sadar jika kantong belanjaan yang sedari tadi ia bawa jatuh begitu saja ke aspal.

"Oke aku segera ke sana, Tan."

Buru-buru Vian memasukkan ponselnya ke saku jaket miliknya. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan situasi macam apa yang sedang terjadi pada Cia. Laki-laki itu panik. Ia melepaskan genggaman tangannya pada jemari Cia lalu berlari secepat mungkin.

"Vian kenapa?!" teriak Cia menatap punggung Vian yang berlari menjauh.

Cia segera memunggut belanjaan yang berceceran dia aspal. Melihat seberapa paniknya wajah Vian tadi, cukup memberinya pemahaman. Gadis itu ikut berlari menyusul Vian meski telah tertinggal jauh di belakang. Mobil Vian keluar dari garasi ketika Cia sampai di depan rumah.

"Vian?!" panggil Cia khawatir.

"Dila, Cia. Dila." Hanya itu yang bisa laki-laki itu ucapkan.

Cia menghela nafas. Menatap mobil yang dikendarai Vian melesat jauh meninggalkannya.

Vian mengemudi dengan kecepatan penuh. Tidak peduli jika nyawanya juga ikut dipertaruhkan malam ini. Yang ada di dalam benaknya hanya Dila.

Vian mengusap gusar wajahnya. Perjalanan menuju rumah sakit ditempuh dalam waktu dua puluh menit. Laki-laki itu keluar dari mobilnya dengan langkah tergesa-gesa. Ia membuka pintu rumah sakit. Seketika aroma obat-obatan menyeruak di indera penciumannya.

Ia berlari menuju ruangan operasi. Disana ia melihat mama dan papa Dila yang masih lengkap dengan seragam kantornya. Vian berjalan mendekat.

"Vian," ucap Mama Dila sembari memeluk Vian.

"Dila bakalan baik-baik aja, tante," ucap Vian mencoba menenangkan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri.

Lima belas menit kemudian, Cia juga tiba di rumah sakit bersama mama dan papa Vian. Fery dan Ratna berjalan ke arah Vian. Disusul oleh Cia di belakang. Setelah mendengar kabar bahwa Dila mengalami kecelakaan, mereka langsung bergegas ke rumah sakit.

Semua orang menunggu dengan risau, tak terkecuali Cia. Ia lebih risau lagi melihat keadaan Vian. Laki-laki itu tertegun dengan sorot mata yang kosong. Cia bangkit dari duduknya, melangkah mendekat ke arah Vian. Mengangkat tangannya guna mengelus punggung Vian yang nampak kacau. Laki-laki itu berkali-kali mengusap wajahnya gusar. Setelah lama menunggu akhirnya lampu operasi itu berubah warna, yang artinya operasi telah selesai. Para dokter keluar mengabarkan jika operasi berhasil dilakukan. Dila segera dipindahkan ke ruang ICU untuk memonitor perkembangannya pasca operasi.

Fery dan Ratna sudah pulang lima menit yang lalu. Begitu juga dengan papa Dila yang harus pulang untuk mengambil beberapa perlengkapan. Vian mengintip keadaan Dila yang dipasangi alat bantu pernafasan dari balik kaca. Vian mengepalkan tangan menahan buncahan perasaan yang berkecamuk di hatinya. 

"Vian, aku ke toilet dulu," pamit Cia setelah melihat jam yang menunjukkan pukul dua dini hari. Laki-laki itu tidak merespon. Bahkan Cia tidak tahu apakah Vian menyadari keberadaannya di sana atau tidak. Ah, melihat Vian seperti itu membuat hati Cia ikut teriris.

-

-

-

Cia pulang pukul tujuh tadi pagi, tentu saja pulang dengan taksi karena Vian masih memilih untuk tinggal di sana lebih lama. Mungkin sampai Dila siuman. Setelah meyiapkan pakaian ganti milik Vian, Cia segera turun untuk berpamitan pada Fery dan Ratna.

"Nggak makan dulu, sayang?" tanya Ratna lembut.

Gadis itu menggeleng pelan. "Bareng sama Vian aja nanti, Ma."

"Yaudah hati-hati, ya," ucap Ratna ikut bangkit mengantar Cia hingga ke depan pintu rumah.

Taksi yang ditumpangi Cia melaju diantara kendaraan lain. Gadis itu sudah mengiirimkan pesan pada Vian, memberitahu laki-laki itu jika ia akan datang siang ini. Namun tidak ada balasan dari Vian.

Ia turun dengan kecamuk yang menghantui. Entahlah, ia merasa ada sesuatu yang lain. Memang ia tahu jika Vian dan Dila itu sahabat dari kecil. Tapi, ah sudahlah.

Cia berjalan masuk ke area rumah sakit. Ia mendapat kabar dari Ratna jika Dila sudah siuman dan gadis itu juga sudah dipindahkan ke ruang inap. Benar, Dila adalah gadis kuat. Cia menarik sudut bibirnya.

Gadis itu berjalan dengan langkah bimbang dengan paper bag di tangan kanannya. Ia berdiri di depan pintu masuk ruang inap Dila. Gadis itu membuka pintu dengan perlahan. Namun terhenti saat mendengar percakapan dua orang di dalam sana.

"Kamu harus kuat, Dil," terdengar jelas jika itu adalah suara Vian. Cia mengintip sejenak. Ia melihat Vian menggenggam tangan Dila begitu erat.

"Aku sayang sama kamu, Kak Vian" ucap Dila terdengar pilu.

Vian mengangguk, "Aku juga."

Cia menggigit bibirnya. Memegangi dadanya yang terasa sesak. Ia memilih duduk di bangku tunggu di luar ruangan. Memberi waktu untuk Dila dan Vian. Ia tidak mungkin tiba-tiba masuk lalu membuat kegaduhan hanya untuk melampiaskan rasa sesaknya. Setidaknya Cia masih waras.

Pintu terbuka. Menampilkan sosok laki-laki yang hanya berbalut baju kaos putih dengan celana jeans selutut.

"Cia," panggil Vian. Membuat gadis itu menoleh. Gadis itu buru-buru menata ekspresi wajahnya. Ia berusaha tersenyum.

"Ngapain di sini? Kok nggak masuk?" tanya Vian.

"Oh...tadi aku ragu ruangan Dila yang mana," kilahnya lantas tersenyum masam.

Vian mengangguk. "Itu apa?" tunjuknya pada paper bag yang ada di tangan Cia.

"Ini baju ganti kamu." Cia menyerahkan paper bag itu pada Vian. Laki-laki itu menarik tangan Cia, membawa masuk.

"Dil, liat siapa yang dateng," ucap Vian tersenyum lebar. Dila menoleh lantas tersenyum.

"Baru dateng, Cia?" tanya Dila lembut. Cia mengangguk kaku.

"Aku mau ganti baju dulu, sekalian makan di kantin rumah sakit. Kamu udah makan?" Tanya Vian menatap Cia teduh. 

Gadis itu mengangguk, ia berbohong. Nafsu makannya sudah hilang.

"Yaudah, aku keluar dulu," pamit Vian meninggalkan Cia dan Dila berduaan di ruangan itu. Suasana cukup canggung sepeninggal Vian. Entah apa yang salah diantara dua gadis itu.

"Aku udah kenal Kak Vian dari kecil," ucap Dila membuka obrolan. 

Cia berjalan mendekat lalu duduk di sebelah Dila. Ia yakin ada hal yang ingin Dila katakan padanya.

"Nggak ada laki-laki yang nge-treat aku kayak Kak Vian." Dila menghela nafas.

"Selama ini Kak Vian ngejaga aku dengan baik. Dia bahkan rela ninggalin apapun untuk mastiin aku baik-baik aja."

Cia mengangguk. Dia masih ingat bagaimana Vian yang meninggalkannya tadi malam hanya untuk segera datang ke rumah sakit.

"Selama ini aku nggak bisa ngelakuin apapun tanpa Kak Vian. Aku pasti selalu ngelibatin dia dalam hidup aku."

"Cia." Dila menatap Cia penuh harap.

Cia benci melihat sorot mata seperti itu.

"Aku mau Kak Vian jadi penopang hidup aku."

"Vian emang udah jadi penopang kamu dari dulu, Dil. Dia sahabat kamu." Cia membuka bersuara.

Dila menggeleng pelan. "Bukan sebagai sahabat. Tapi sebagai rumah untuk tempat pulang."

Cia terkejut dengan kalimat terakhir yang di lontarkan Dila. Ia segera bangkit dari duduknya.

"Cia aku mohon..." rintih Dila terdengar putus asa. Cia paham keputusasaan yang dialami Dila. Tapi dia juga membutuhkan waktu untuk mencerna semua ini.

"Kamu sadar nggak kalau Vian udah nikah? Dia udah jadi suami orang. Dan kamu dengan mudahnya ngomong kayak gitu ke aku?" tanya Cia masih berusaha mengontrol diri.

"Ini juga nggak mudah buat aku." Dila membela diri.

Cia memilih bangkit. Obrolan ini terdengar semakin konyol di telinganya. "Aku anggap kita nggak pernah ngobrolin omong kosong ini."

"Cia! Aku udah nggak virgin!" ucap Dila setengah berteriak. Satu per satu air matanya lolos juga dari pelupuk mata.

Hal itu cukup membuat Cia menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik menatap nanar pada sosok Dila yang terbaring lemah.

"And i want him. I need Vian kembali sama aku. Please," ucapnya memohon sembari berurai air mata.

Dunia Cia terasa runtuh detik itu juga. kakinya tak lagi kuat menopang tubuhnya. Ucapan Dila seolah membenarkan semua tindak Vian pada Dila. Tentang tanggung jawab Vian, rasa bersalah laki-laki itu pada Dila dan rahasia mereka berdua yang Cia sendiri tidak ia biarkan untuk tahu.

seluruh kemungkinan yang paling menyakitkan memenuhi kepala Cia saat ini. Gadis itu perlahan mundur. Tatapannya menjadi kosong. Hatinya seperti dihujam jutaan pisau dan belati. Perih. Sakit. Kecewa. Ingin rasanya ia berteriak tapi dunia tidak akan peduli pada apa yang ia rasakan. 

-

-

-

Vv, Feb 2021

Toelisan,-

Продовжити читання

Вам також сподобається

SAGARALUNA Від Syfa Acha

Підліткова література

3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
GEONARA Від 𐙚 𝐝𝐢𝐧𝐚 𐙚

Підліткова література

301K 13.8K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...
MAHESA Від anotherfavgirl23

Підліткова література

574K 44.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
ALZELVIN Від Diazepam

Підліткова література

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...