SINGASARI, I'm Coming! (END)

By an11ra

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... More

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

42 - PAST

25.4K 4.2K 1.1K
By an11ra


Ready???

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

Yakin nih ready???

Mending pikirin lagi
🤔

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

"Kraaaak" suara cangkir remuk membuat mataku beralih dari piring di hadapanku menuju ke arah orang itu.

Menghembuskan napas pelan dan berusaha menguatkan hatiku untuk kali ini. Jika kalian tanya bagaimana keadaan hatiku saat ini?... Hmm... apabila hatiku diibaratkan piring tanah liat, maka aku yakin dia sudah tak berbentuk lagi atau bahkan sudah lama hancur berkeping - keping. Parahnya, jika dia diberi kemampuan berbicara pastinya dia akan amat marah padaku karena aku yang keras kepala dan membiarkan dia terus - menerus dihancurkan.

"Bisa tinggalkan kami!" perintahku pada para pelayan dan mereka menurutiku karena majikan aslinya tetap bergeming dan tidak melarang. Itu artinya para pelayan harus menuruti kata - kataku.

Berdiri dan berjalan pelan lalu bersimpuh di samping tempat dia duduk. Memandang ke arahnya namun seperti biasa dia tidak pernah mau menengok padaku. Jangankan menengok, melirik saja mungkin harus disebut keajaiban. Tapi itulah kenyataannya, dari dulu, sekarang hingga nantipun hanya aku yang memandangnya sedangkan dia tidak akan pernah peduli. Apakah aku bodoh? Sepertinya kata 'bodoh' tidak cocok untukku karena aku lebih cocok disebut amat sangat bodoh.

Menelan air liur yang rasanya sulit karena seperti ada batu yang menganjal di tenggokanku. Sakit dan anehnya rasa sakitnya terasa hingga hatiku. Menarik tangannya pelan dan tentu ditahan olehnya.

Kali ini aku tidak akan mengalah lagi. Menarik tangannya paksa lalu membuka telapak tangannya. Cangkir itu tentu saja remuk dan ada darah mengalir karena salah satu pecahannya menancap di telapak tangannya. Mencabut pecahan cangkir tersebut sambil berkata, "Apa begitu berat kehilangan dia, Kanda Anusapati? Sepenting itu dirinya sampai - sampai Kanda harus melukai diri sendiri seperti ini?"

"Lepas!" perintahnya yang tentu aku abaikan.

Apa ini disebut kebetulan atau memang inilah jalan yang diberikan Dewata padaku? Entahlah, tapi memang kebetulan aku bisa makan berdua dengannya sebab Raden Sadawira yang tadinya ada di sini tiba - tiba pergi setelah seorang pelayannya datang memberitahu jika istrinya Remintang mengeluh bahwa perutnya sakit. Dalam hati aku berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada calon anak mereka.

Tetap menahan tangannya "Izinkan Dinda mengobati tangan Kanda untuk yang terakhir kalinya," ucapku tenang mencoba melawan sesak di hatiku.

"Apa maksudmu, Praya?"

Dia berhenti menarik tangannya dan kesempatan ini aku manfaatkan untuk membersihkan darahnya dengan kain. Tak berniat menjawab pertanyaannya, aku justru berkata "Mungkin Kanda sudah lupa, saat kita masih kecil dulu... Hmm... sebelum ada Padestari, Dinda yang selalu mengobati Kanda jika terluka ketika berlatih kanuragan."

"_____" tak ada balasan darinya, mungkin dia malah tidak mengingatnya.

Tersenyum mengingat kenangan yang mungkin hanya kuingat sendirian. Mengambil ramuan obat dalam kain pengikat di perutku. Anehnya aku selalu membawa ramuan obat luka ke mana - mana walau tahu tak akan dipakai. Mengoleskan ramuan itu pada luka yang sudah bersih dari darah "Lagipula Kanda memang aneh. Sejak dulu, saat anak - anak lain bermain, kanda malah berlatih kanuragan," ucapku agak bergetar lalu membebat tangannya. Tak terasa air mataku akhirnya benar - benar menetes, padahal sudah kutahan sekuat tenaga.

Sepertinya air mataku juga menetes ke tangannya, "JANGAN MENANGIS A___ "

Memotong bentakannya padaku, "Jangan menangis aku benci orang yang menangis!" Terkekeh pelan walau air mataku bukannya berhenti malah semakin deras "Ta__tahu tidak... hiks... hiks... kalimat itu bagaikan mantra yang mengikatku bertahun - tahun dan membuatku tidak bisa menangis di depan Kanda betapapun sedihnya Dinda." Menahan isak lalu melanjutkan "Tapi lihat... hiks... hiks... sekarang mantra itu sudah terlepas sepertinya."

"___" tak ada kata darinya namun dia menyentakan tangannya dari genggamanku.

Memandang ke luar jendela yang terbuka, "Dinda tidak punya teman sejak dulu. Ingin mengkuti Kanda Wirajati tapi dia bilang tidak suka diikuti oleh adiknya. Kanda Lembanyu Geni lebih parah lagi. Belum mendekati saja dia sudah melotot mengerikan. Jadi Dinda menangis sendirian di bawah pohon besar biar tidak ada yang melihat, tapi malah ketahuan oleh Kanda Anusapati." Menghapus air mata dengan tanganku "Lalu Kanda bilang kalimat tadi 'Jangan menangis aku benci orang yang menangis!' dan mulai saat itu Dinda malah mengikuti Kanda kemanapun. Walaupun Kanda tidak mempedulikan Dinda tapi Kanda juga tidak pernah mengusir Dinda. Anehnya Dinda tetap merasa bahagia."

Meneruskan ceritaku, "Kanda Lembanyu Geni berulang kali memperingatkan Dinda agar menjauhi Kanda Anusapati. Katanya Dinda akan menyakiti diri sendiri jika terus menempel pada Kanda" terkekeh pelan "Dinda sepertinya telah dikutuk oleh kakak kandung Dinda sendiri. Tapi bagaimana bisa menjauh, jika bahagia Dinda itu hanya jika bersama Kanda? Pasti Kanda menganggap Dinda bodohkan?" tanyaku walau tak berani memandang wajahnya.

"Lalu Padestari datang, tidak seperti Dinda yang terus diabaikan. Dia dalam waktu yang tidak lama dapat menarik perhatian Kanda. Padestari, dia sejak kecil mudah bergaul. Dinda ingat bagaimana anak - anak dapat tertawa - tawa jika bermain dengan dia sedangkan wajah mereka terlihat terpaksa saat bermain dengan Dinda. Makanya Dinda tidak mau lagi bermain dengan mereka."

Menahan sesak kemudian melanjutkan, "Dinda pernah berkata pada Bunda Ratu jika Dinda ingin bertukar wajah dengan Padestari, bukan hanya karena dengan wajah itu Kanda pasti menyukai Dinda tetapi sebenarnya Dinda ingin semua orang menyukai Dinda. Padestari yang tidak sedang tersenyum saja terlihat tersenyum, sedang Dinda yang tersenyum malah dikira menyeringai. Lalu Bunda Ratu malah tertawa dan bilang Dinda lebih cantik dari Padestari. Tidak tahukah Bunda Ratu bahwa cantik saja belum cukup?"

"Jangan berputar - putar, sebenarnya kau ingin bicara apa, Praya?" tanya Pangeran Anusapati yang sepertinya habis sabar.

"Hahaha... mendengar Dinda bicara, apakah begitu menganggumu, Kanda? Semua hanya berlaku untuk Dinda, iya kan? Kenapa begitu, Kanda? Kanda bahkan tahan mendengar cerita Padestari semalaman waktu kita pergi berburu dahulu kala."

"Praya!"

Menghembuskan napas putus asa "Kanda tidak adil. Kanda selalu bertanya pada Padestari, dia mau apa? Lalu Kanda akan memberikannya tidak lama setelah dia mengatakannya. Sedangkan pada Dinda? Ckckck... jangankan bertanya, Dinda bahkan ragu bahwa Kanda sadar ada Dinda di sana atau tidak." Tertawa dalam hati karena nasibku sungguh miris "Kanda juga mengajak Padestari naik kuda, sedang Dinda ti___"

Memotong kalimatku "Kau bilang kau takut naik kuda, Praya!"

"Hahaha," tawa getirku terdengar lagi dan aku akhirnya memutuskan untuk memandang ke arahnya, mungkin ini satu - satunya kesempatanku berbicara jujur padanya, "Apa Kanda akan menurunkan Padestari dari kudamu lalu membiarkan Dinda naik bersama Kanda?" Menyeringai sebelum melanjutkan, "Tidak perlu menjawab Kanda, karena Dinda tahu... Oh bukan, tapi semua orang di sana tahu pasti apa jawaban Kanda." Dadaku sesak lagi "Lalu Dinda harus berkuda dengan siapa? Pangeran Tohjaya? Pangeran Mahisa Wong Anteleng atau Raden Sadawira? Melihat mereka yang mengasihani Dinda, begitu? Ck, Lebih baik Dinda berkuda sendirian, Kanda!"

"APA?" Teriaknya

"Iya, Dinda berkuda sendirian."

"Kau bohong!"

Mendengus sebelum berkata "Pangeran Mahisa Wong Anteleng sepertinya tahu Dinda berkuda... Hmm... mungkin karena bekas lumpur di kaki kuda tidak Dinda bersihkan dulu di sungai. Dinda berkuda ke arah selatan karena ingat pada malam hari Kanda bilang akan berburu ke arah Barat. Kanda tahukan, ada rawa berlumpur di hutan arah selatan? Asalkan Dinda tiba lebih dulu dari Kanda maka tak ada yang tahu. Apalagi para mengawal sudah Dinda larang untuk berkata apapun. Nama Romo ternyata bisa berguna di saat - saat tertentu."

"Kau___"

Mengerucutkan bibirku karena kesal dan entah kenapa air mataku surut "Sayang sekali esok harinya Dinda tidak bisa berkuda lagi karena Pangeran Mahisa Wong Anteleng berpura - pura malas berburu. Mungkin dia mencegah Dinda pergi sendirian," jelasku mengabaikan tatapan matanya yang menusuk.

"Sebenarnya Dinda cemburu pada Padestari tapi Dinda tidak bisa menyakitinya sebab dia adalah teman perempuan pertama bagi Dinda. Lagipula bukan salahnya jika Kanda dan banyak orang lain mencintai dirinya. Itu juga jadi alasan Dinda sempat memutuskan menyerah mengejar Kanda. Semua orang di istana tahu Kanda mencintai Padestari dan Dinda hanya bagai rumput liar yang mengganggu kalian, benarkan?" Mengalihkan pandangan dari wajahnya karena nampaknya air mataku ingin menyeruak ke luar lagi. Heran perasaanku naik turun tak jelas.

"Tapi keadaan berubah saat Padestari menerima perjodohan Raja. Jujur, Dinda heran mengapa dia menerimanya? Walau Dinda curiga akan sesuatu hal yang disembunyikan Padestari dari semua orang, tapi bukan urusan Dinda untuk ikut campur. Itu hidup Padestari, jadi dia berhak memilih apa yang dia mau."

Tersenyum, teringat kelakuanku yang agak tak waras waktu dahulu kala "Tahu tidak Kanda, Dinda bahkan dijewer oleh Bunda karena meloncat - loncat kegirangan saat keputusan resmi tentang pernikahan Padestari dikeluarkan oleh Baginda Raja. Bunda heran kenapa anak perempuannya tiba - tiba menjadi tak waras, malah beliau mau memanggil Resi, siapa tahu Dinda kesurupan demit?" senyumku surut lagi.

"Tapi kesenangan itu tidak berlangsung lama. Melihat Kanda terpuruk membuat Dinda tidak tega dan ikut sakit hati juga. Ternyata, sebesar itu Kanda mencintai Padestari." Menghapus air mataku yang sudah menetes lagi "Apalagi Kanda hampir terbunuh karena racun itu. Dinda takut... benar - benar takut tidak bisa lagi melihat Kanda. Jadi rencana Dinda menyerah batal. Dinda dengan tidak tahu malunya tetap mengharapkan Kanda padahal sudah jelas ditolak mentah - mentah... Hmm... paling tidak itu yang Dinda dengar secara tidak sengaja dari obrolan para pelayan istana."

"Mungkin benar kata mereka. Entah mengapa saat berada di dekat Kanda, Dinda menjadi pura - pura buta dan tuli akan penolakan Kanda. Menyedihkan bukan? Dinda selalu berusaha berjuang untuk bisa Kanda cintai. Tidak masalah jika Kanda menolak atau mengabaikan Dinda saat itu."

Mengambil jeda sejenak lalu melanjutkan, "Mungkin dengan tidak adanya Padestari lagi, bisa membuat Kanda terbiasa dengan Dinda. Maka tidak mustahil jika akhirnya Kanda mau membuka hati untuk Dinda. Namun kenyataannya, hal itu tidak pernah terjadi bahkan sampai detik ini. Menunggu sebulan, setahun, sepuluh tahun dan kini bahkan Dinda tidak ingat lagi berapa lama waktu yang telah dihabiskan Dinda untuk menunggu Kanda. Perasaan Kanda tak akan pernah ada untuk Dinda."

"Praya!"

"Dinda belum selesai Kanda. Ternyata hingga akhir sikap Kanda tidak berubah." Menatapnya kali ini dengan geram sebelum berkata "Di sana!" Telunjukku mengarah pada dada kirinya "Kanda seperti menaruh batu besar agar Dinda tidak akan pernah bisa masuk, tapi anehnya Kanda membiarkan Padestari bahkan pelayan itu untuk bisa masuk tanpa harus mengemis - ngemis seperti Dinda... Hmm... atau penghalang itu memang Kanda bangun khusus untuk Dinda?"

Mencoba tersenyum walau dengan air mata yang mengalir lagi "Hiks... hiks... kata orang cinta itu menyenangkan tapi kenapa cinta itu sangat menyakitkan bagi Dinda. Hik... hik... walaupun Kanda menyakiti Dinda selama ini tapi kenapa Dinda tidak bisa membenci Kanda sedikipun. Jangankan membenci... hiks... hiks... bahkan menyesal karena telah mengenal Kanda saja tidak bisa. Mengenal Kanda dan dekat dengan Kanda adalah... hiks... hiks... bahagia bagi Dinda."

Pangeran Anusapati menghela napas lalu berkata pelan, "Praya, aku_____ "

Memotong perkataannya, "Tahukah Kanda, sebulan belakangan ini, setiap malam seakan pikiran Dinda bertanya 'Kapan kau mau menyerah, Praya?' ... Hiks... hiks... dan jawaban Dinda adalah 'besok', tetapi saat matahari terbit dan pertanyaan itu muncul lagi di kepala Dinda, jawaban Dinda... hiks... hiks... yaitu 'besok'. Berulang terus seperti itu, tetapi mungkin nanti malam Dinda tidak perlu menjawab pertanyaan itu lagi."

Menghembuskan napasku yang tampaknya ikut tersangkut juga di tenggorokan, sakit rasanya atau karena aku terlalu banyak bicara. Yaa, sepertinya untuk pertama sekaligus terakhir kalinya kami berbicara... Oh, bukan kami tapi aku. Tidak akan pernah ada 'kami' yang ada hanya 'aku' selalu 'aku'.

Menghapus air mataku dan bangkit berdiri lalu memandangnya "Hari ini Dinda berhenti... Dinda lelah... Dinda menyerah... Dinda merelakan Kanda."

"______" Tak ada kata terucap hanya alis Pangeran Anusapati tampak bertaut heran.

Berusaha tersenyum lagi "Jangan menampilkan wajah seperti itu Kanda. Bukan salah Kanda tapi Dinda saja yang keras kepala. Cinta tak pernah salahkan? Tenang saja, Dinda ini adalah Praya Ayu Nan Triacandra putri satu - satunya narapati Singasari. Jadi Dinda pasti kuat seperti Romo, Kanda. Mungkin butuh waktu dan kali ini Dinda bersyukur Kanda tidak lagi tinggal di istana utama, sehingga kita tak mungkin akan sering berpapasan nantinya. Jika kebetulan kita berpapasan, lebih baik berpura - pura saja tidak mengenal Dinda."

Menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Tetapi Dinda mohon, jangan menyakiti diri Kanda lagi dan makanlah dengan benar Kanda. Manusia butuh lebih dari lima suap nasi untuk hidup. Tolong hiduplah dengan baik dan berbahagialah mulai saat ini."

Melangkah menjauhinya walau agak gemetar, kemudian menengok ke arahnya "Kali ini jangan menyerah, perjuangkan dia, Kanda!" Menautkan kedua alisku saat melihat wajahnya yang tampak geram "Tak perlu melotot begitu. Dinda tak ada kaitannya dengan pemindahan pelayan itu ke istana Ratu. Memang Dinda mengakui waktu itu Dinda bersikap kekanak - kanakan dan berniat menampar pelayan kesayangan Kanda. Bisa anggap itu sebagai penyaluran rasa cemburu yang dahulu tidak bisa Dinda lampiaskan. Jujur, Dinda tidak tahu alasan Bunda Ratu menahannya di sana dan sepertinya percuma memintanya langsung."

Terdiam sebentar kemudian berkata, "Hmm... Dinda akan membantu Kanda kali ini, mungkin Dinda akan bicara pada Baginda Raja. Bagaimanapun Bunda Ratu tidak bisa menolak perintah Raja bukan? Dinda bisa mengarang cerita sehingga pelayan kesayangan Kanda bisa bekerja pada Dinda."

"Praya!"

Memutar bola mataku malas melihat sikapnya. Ini nih kebiasaanya, jika sudah jatuh cinta maka semua orang dianggapnya musuh. Ah, aku jadi teringat sesuatu "Satu lagi yang harus Kanda ketahui, kejadian Padestari yang hampir tenggelam dulu se________"

Memotong perkataanku "Kenapa kau bawa - bawa Padestari dalam pembicaraan kita Praya?"

Lihat, betapa tidak berartinya diriku dibandingkan Padestari yang jelas - jelas telah mengkhianatinya. Sepertinya aku tidak pandai memilih laki - laki. Terkekeh sebelum menjawab, "Iya tentu saja, cinta pertama Kanda itu memang harus dibawa karena dia penyebab Kanda membenci kakak kandungku Lembayu Geni, bukan?"

"Apa maksudmu sebenarnya Praya, kau sudah melewati batasmu!" ucapnya geram.

Pura - pura tuli akan peringatannya, aku melanjutkan, "Pada hari itu bukan hanya Padestari yang hampir tenggelam tetapi Dinda juga... Hmm... menurut Kanda, seorang kakak akan menolong siapa terlebih dahulu, adiknya atau teman adiknya? Sayangnya Dinda tidak sakit seperti Padestari setelah kejadian itu, tetapi masalahnya Bunda melarang Dinda keluar pendopo sebagai hukuman."

Menghembuskan napas gusar lalu melanjutkan, "Dinda terlambat mengetahui bahwa kalian berseteru dan hingga kini bermusuhan. Kanda buta hati dan perempuan itu tampaknya tidak menjelaskan pada Kanda bagaimana kejadian yang sebenarnya. Dinda juga tidak bisa menjelaskan pada Kanda karena kakak tertuaku itu meminta Dinda bersumpah untuk tidak mengatakan apapun. Hari ini Dinda lebih baik melakukan penebusan dosa daripada terus menjaga sumpahku itu. Kanda Lembanyu Geni mungkin ingin agar Dinda sadar bahwa Kanda bukan laki - laki yang layak diperjuangkan. Dia benar, sampai akhir, Dinda tidak ada artinya sedikipun di mata Kanda."

"Kau tahu apa yang membuatku membenci Kakakmu itu, haaah? Jangan sok tahu, Praya! Kau tidak tahu apa - apa!"

"Sekarang apapun itu tidak penting lagi. Anggap saja bantuan Dinda agar pelayan yang menjadi cinta keduamu bisa kembali ke pelukan Kanda lagi. Semacam bayaran atas kesalahan Kakakku dulu pada Kanda atau Padestari mungkin? Toh, Kanda tidak percaya bahwa Kanda Lembanyu Geni tidak bersalahkan? Sampai kapanpun kata - kata Dinda benar ataupun salah tetap akan salah bagi Kanda. Bukan begitu?"

"Apa yang akan kau lakukan pada Rengganis? Dia sudah cukup kesulitan dan tidak perlu kau tambah lagi dengan gangguan lain darimu. Jangan macam - macam!" ancamnya sekali lagi.

"Sebegitu burukkah Dinda di mata Kanda? Sebenarnya Dinda tidak begitu peduli jika orang lain yang beranggapan begitu, tetapi saat mendengar langsung dari mulut Kanda, entah kenapa rasanya sakit bagai tertusuk belati di jantung. Ternyata, dua puluh tahun ini Dinda hanya orang asing bagi Kanda. Kenyataannya Kanda tidak benar - benar mengenal Dinda. Oh, bukan tidak mengenal, mungkin Kanda bahkan tidak ada niat untuk mengenal Dinda. Sepertinya Dinda terlalu percaya diri dan menganggap kita dekat."

"Aku hanya mengingatkanmu agar kau tidak menyakiti orang yang tak bersalah!"

Memutar bola mataku malas sekali lagi. Sunguh aku ingin mencekik pria yang kucintai ini. Apa katanya tadi? Tidak menyakiti orang yang tak bersalah. Sepertinya dia butuh bercermin.

Mengatur napas guna meredakan amarahku kemudian berkata, "Kanda tidak dengar tadi, Dinda sudah berkata bahwa Dinda menyerah... ME-NYE-RAH. Pahamkan artinya? Dinda tidak bisa menggembalikan dia ke sini lagi karena Bunda Ratu bisa murka. Tapi tenang saja, Dinda akan sering mengirim pelayan itu ke kediaman Kanda. Dari semua orang seharusnya Kanda kenal Dinda dengan baik, bahwa Dinda tidak akan berpura - pura baik padahal sebaliknya."

"Kau____"

"Ck, jika Kanda bertanya apakah Dinda membenci pelayan itu? Jawabannya iya, bahkan hingga detik ini. Tapi keadaannya sudah berubah bagi Dinda, percayalah bahwa Dinda tidak akan melukainya. Jika perlu Kanda periksa saja nanti setiap jengkal kulitnya. Apakah ada luka atau tidak karena perbuatan Dinda?" ujarku geram, tak menyangka jika diriku benar - benar buruk di matanya.

Berbalik badan melewatinya lalu berjalan menuju pintu pendopo. Memperpanjang pembicaraan dengannya hanya buang - buang waktu, karena sampai kapanpun aku hanya orang jahat baginya. Mungkin aku akan menangis semalaman atau bahkan tiap malam setelah mengambil keputusan ini, tapi dia tidak boleh melihat kelemahanku lebih jauh lagi.

"Jaga diri Kanda, selamat tinggal!" ucapku sambil mengepalkan tangan dan berusaha menahan getar dalam suaraku. Jujur, aku sekarang merasa sedih dan marah sekaligus.

"Apakah ini ada hubungannya dengan lamaran yang kau terima, Praya?" tanya Pangeran Anusapati pelan tetapi mampu membuatku berhenti berjalan.

"Apapun itu, baik lamaran, pernikahan bahkan berita kematian Dinda, sekarang bukan lagi urusan Kanda. Segera saja selesaikan tugas Kanda menjadi Raja Singasari dan melakukan apa yang Kanda inginkan. Tidak perlu lagi memikirkan Dinda!" jawabku tanpa membalikan badan.

Seakan tuli atas perkataanku "Apa kau tahu siapa laki - laki itu?"

"Tidak dan siapapun dia, itu tak penting bagi Dinda."

"Dia akan jadi suamimu tapi kau tidak mencari tahu siapa dia?" tanyanya geram.

"Romo bilang dia melamar pada Romo langsung, artinya dia mengenal Dinda bahkan mungkin juga mencintaiku Kanda. Itu lebih dari cukup bagi Dinda."

"Hahaha... Dia mencintaimu? Ck, tapi apa kau ingin menikah dengan orang yang tidak kau cintai, Praya?"

"Tidak masalah."

"Braaaak" suara gebrakan meja membuat aku kaget dan langsung membalikan badan menatapnya.

"Bisa tidak, berhenti melampiaskan kemarahan Pangeran pada hamba? Ingat, bukan hamba yang membuat Pangeran sakit hati. Tidakkan sedikit saja Pangeran mengasihani hamba, hm? Setidak berarti itukah hamba bagi Pangeran?" pandangan mataku memburam karena air mataku keluar lagi melihat kekasaran yang terus - menerus dia tunjukkan padaku. Sialan...

Pangeran Anusapati berdiri dari duduknya dan memandangku dengan tangan mengepal "PANGERAN?... HAMBA?... Ck... ck... ck... panggilan padaku sudah kau ubah padahal melangkah keluar pendopo saja belum. Luar biasa sekali, Praya!" Mengangguk - anggukkan kepala takzim.

"Jangan berputar - putar, sebenarnya Pangeran ingin bicara apa?" ucapku meniru pertanyaannya tadi.

Berderap ke arahku lalu berdiri menjulang di depanku dengan wajah garangnya. Menghapus air mataku entah untuk yang keberapa kalinya. Memandang matanya lalu bertanya, "Apa?"

"Kau menerima lamaran itu?"

"Belum, mungkin nanti hamba akan bicara pada Romo."

"Kau tidak mencintainya, Praya!"

"Iya memang. Bukanya tadi hamba bilang pada Pangeran bahwa hamba lelah. Lebih baik hamba yang dicintai dari pada sebaliknya. Bunda juga menikah karena dijodohkan, tapi Dinda lihat bahwa Bunda dan Romo bisa hidup bahagia hingga sekarang. Bahkan Bunda berhubungan baik dengan Ibu Muda. Tak pernah beliau cemburu berlebihan pada istri lain dari Romo itu. Maka hamba akan berusaha mencintai suami hamba itu nanti."

Menarik napas sebelum melanjutkan, "Jika tidak berhasil, paling tidak hamba akan mencintai anak - anak hamba kelak, karena seorang ibu akan mencintai anaknya bukan? Itu sudah cukup bagi hamba. Kata orang bahwa keserakahan tidak akan pernah berakhir baik."

Menarik sebelah tanganku "Kau tidak akan berhasil, karena kau cuma mencintaiku, Praya!"

Mengabaikan rasa kebas di tanganku karena cengkramannya. "Benar, Pangeran. Tapi tenang saja, hamba tidak akan mengganggu Pangeran lagi. Kesulitan hati hamba tidak perlu Pangeran risaukan. Apa Pangeran sebegitu bencinya pada hamba... hiks... hiks... hingga Pangeran tidak hanya melukai hati hamba tetapi sekarang berniat melukai tubuh hamba juga?" memberi isyarat lewat mataku yang telah berurai air mata lagi ke arah tanganku yang memucat karena aliran darahku berhenti sebab dia tidak melepaskan cengkraman eratnya itu.

Bukan melepaskan tanganku justru dia makin mengeratkan cengkramannya. Aku juga merasa lenganku basah, sepertinya darah dari lukanya merembes. "Kau tidak boleh meningalkanku, Praya... TIDAK BOLEH!"

Mataku melotot ke arahnya "Kenapa harus begitu? memang siapa Anda bishmmpphh..." sepertinya biji mataku nyaris keluar dari tempatnya karena tiba - tiba Pangeran Anusapati mencium bibirku kasar. Badanku gemetar dan air mataku mengalir lebih deras. Mungkin tubuhku akan luluh di lantai seperti harga diriku ini, jika saja dia tidak mendekap pinggangku erat.

Menghentikan ciuman kasarnya padaku dan menyatukan dahinya dengan dahiku "Praya..." ucapnya pelan sambil mengatur napasnya yang masih tersenggal.

Mendorong badannya dengan kedua tanganku yang membuatnya agak terkesiap, aku memandangnya nyalang, berbicara walau dengan napas tersenggal "Se__serendah itukah aku dimata Ka__kanda?" setetes air mataku lolos jatuh lagi ke pipiku "Apa Kanda pikir Dinda akan loncat kegirangan saat Kanda melakukan itu, haaah?" Menggosok - ngosokan bibir dengan telapak tanganku "Justru sebaliknya, ciuman Kanda menjijikan!"

"PRAYA!!!" bentak Pangeran Anusapati yang kali ini tidak membuatku takut.

"Harusnya Dinda yang marah! Dinda mencintaimu... sangat mencintaimu. Tapi tidak berarti... tidak berarti kau bisa mencium bibirku sembarangan... hiks... hiks... kau tak berhak... tak berhak memperlakukanku sebagai pelacurmu PANGERAN ANUSAPATI YANG TERHORMAT!" Berderap pergi meninggalkan tempat terkutuk ini.

"Praya!!!"

"Praya!!!"

"PRAYA!!!"

Tak kuhiraukan panggilan Pangeran Anusapati yang berulang itu. Aku bahkan menggigit lidahku agar aku tidak mengutuknya. Sesakit apapun hatiku, tak pernah aku inginkan ada hal buruk menimpanya.

-------------------Bersambung-------------------

19 Maret 2021

-----------------------------------------------------------


Chapter ini aku dedikasikan pada
Para Pejuang Cinta yang
TAK DIANGGAP
(Kasihan... Kasihan...)

Uuppsss...
Kaboooooooooor
✌️

Continue Reading

You'll Also Like

12.6K 2.5K 35
Penulis bahkan tidak tau mengapa memberikan judul demikian, silakan dibaca. Semoga suka, jika tidak suka juga tidak apa-apa. Terimakasih banyak sudah...
33K 1.7K 8
Kisah Klasik tentang cinta masa SMA yang dialami seorang cewek gendut nan jutek bernama Kintara ini cukup unik ia tak mengira dengan penampilan fisik...
403K 60K 85
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
1.3K 109 35
Bagimana jika kamu yang awal nya takut dengan pria yang hanya bisa kamu lihat tetapi semakin berjalan nya waktu kamu malah mecintainya. Pria itu t...