ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

• T E L A H T E R B I T • Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[Joshua] Enigma - 03

1.9K 514 470
By ssebeuntinn



Warning: 3.900 words.
Mohon dibaca dengan keadaan rileks.



"Jujur, gue gak tahu siapa yang paling bikin gue sakit hati di sini."

Kalimat itu masih terngiang memenuhi lubang telinga Joshua. Dingin yang Joshua rasakan juga menusuk benak sebab kini kepercayaan yang telah tumbuh selama berada di bangunan kontrakan bisa hancur seiring dia yang bungkam. Faktanya, diam memang seringkali membawa petaka sebab kedua belah pihak sama-sama mengutarakan persepsi yang bertolak belakang. Maksudnya begini, tapi ditangkap begitu oleh yang satunya lagi. Joshua juga gak tahu kenapa semesta membawanya ke waktu ini, di mana semuanya terungkap sebelum dia mencoba menjelaskan lebih jauh lagi.

Lalu, di sisa malam ini, Joshua berakhir merenung seorang diri. Memikirkan Jovi yang masih gak tahu ada di sudut kontrakan mana sebab kamarnya kini terasa kosong tanpa adanya siapa-siapa selain dirinya. Dia tahu Jovi bukan tipe laki-laki yang pergi begitu saja dan membuat kecurigaan semakin meruncing ketika anak kontrakan mulai bertanya ada apa. Jovi gak akan nekat pergi keluar kontrakan hanya karena perselisihan antar penghuni. Jovi hanya akan diam dan memroses kejadian barusan dengan menghindari Joshuaㅡyang menurut pendapatnya adalah sumber masalahㅡserta meminimalisir kontak.

Lalu bagaimana dengan Jani?

Joshua gak tahu...

Bagaimana dengan Bunda dan Anggi?

Joshua juga gak tahu.

Terkadang beberapa masalah yang kita pikirkan secara bersamaan jadi sesuatu yang gak bisa kita resapi solusinya apa dan bagaimana karena terlalu banyak keterkejutan yang datang. Jatuhnya berbagai bentuk pertimbangan terasa sangat salah dan justru semakin membuat pelik keadaan. Joshua hanya ingin Jovi mengerti saja saat ini, setidaknya mau mendengarkan apa yang terjadi tanpa harus emosi. Tapi gue pada kenyataannya memang sudah buat dia emosi.

"Bang, gue tidur di sini." Bayu datang dengan membawa bantal beserta laptopnya yang dijinjing. Ujung jemarinya dia jadikan gantungan kantong plastik yang berisi beberapa camilan gurih. "Bang Jovi datang-datang kek paus terdampar. Gue ditindih dan disuruh pindah. Padahal lagi klimaks."

Kalau Bayu bicara begitu pada penghuni lain, pastilah dia digoda pakai kalimat laknat macam; klimaks apaan hayo... Padahal yang terjadi sekadar klimaks menonton film yang sampai pada adegan lagi tegang-tegangnya.

Joshua justru kembali membatin. Oh... dia memilih kamar paling ujung. Titik terjauh di mana jarak mengikis niat gue buat bicara tanpa kesalahpahaman.

"Jovi... ngapain?"

"Lo kok kayak pasutri lagi pisah ranjang?" Bayu mencibir sejenak sebelum mendaratkan tubuhnya di atas ranjang hingga berderit. Badannya yang kekar langsung menciptakan cekungan yang terlihat kentara di atas kasur dan membuat seprainya berantakan seketika. Laptop miliknya masih dia taruh di lantai, sebab menyamankan posisi rebahan juga perlu disiasati dengan cermat sebelum melanjutkan kegiatannya menonton film.

Joshua gak menjawab. Dia lebih memilih memindahkan tangannya untuk dijadikan tumpuan kepala. Nyalang memandang langit-langit gak kunjung membuatnya menemukan keberanian untuk menuntaskan semuanya dengan cepat. Padahal dia tahu ada puluhan panggilan dari Jani yang gak terjawab, ada pesan Anggi yang belum dibalas tentang baju untuk menikah di butik, ada pula hatinya yang bimbang dan pikiran-pikiran aneh untuk lebih memilih lari.

Joshua gak mau anak kontrakan tahu kalau Jovi sekarang tengah geram padanya. Jadi sebisa mungkin Joshua bersikap seperti biasa saja dengan gak lagi menyebut nama kawan sekamarnya. "Lo gak pernah cek-cok sama temen lo gitu?" katanya pelan.

Bayu yang hendak membuka bungkus keripik tempe jadi menoleh heran. "Gila lo ya tanya begitu ke gue?"

"Oh, berarti gak pernah."

"Emang gak pernah," sahut Bayu. "Gak pernah berhenti maksudnya."

"Gitu, ya?"

"Di antara semua anak kontrakan, keknya gue doang yang punya riwayat tawuran." Bayu tertawa pelan. "Gak hanya cek-cok, gue malah mau lempar batu ke lawan, tapi gak jadi karena gue kesandung lubang jalan dan kebetulan ada patroli lewat. Enaknya, gue dianggap jadi korban karena dapat jahitan di dagu. Dikira kena pukul dan gak jadi dihukum, hahaha."

Salah gue, sih... nanya begini ke Bayu, bukan ke Danu.

Kembali Bayu melanjutkan. "Tapi gue udah berhenti begituan karena sejak ketemu Mario, gue jadi taubat. Soalnya dia enak diisengin. Kalau marah aja rasa-rasanya itu kepala pingin gue gundulin aja pakai cukuran elektrik. Terus gue gambarin tanda panah warna putih biar kayak Aang si pengendali udara di Avatar."

Joshua ikut tertawaㅡsedikit. Kembali dia ingat Jovi dan Jani. Dua bersaudara yang dia yakini punya hubungan renggang karena dirinya sendiri.

"Lo tau kan, Yu, kalau tiap ada awal selalu ada akhir."

Aduh. Tampaknya Joshua salah tanya lagi.

"Bener. Awalnya gue berharap, akhirnya gue tidak diharapkan. Macam Teh Alina yang ngebuang gue dan patahin hati gue yang tulus ini. Subhanallah..."

Dasarnya Joshua jarang bisa jengkel sama anak-anak, jadinya dia hanya mengembuskan napas panjang. Dia lelah kalau bicara urusan seperti ini sama Bayu, sebab output dari semua percakapan jatuhnya gak berfaedah karena Bayu yang mendadak suka pundung kalau bahas Teteh Alina yang bulan depan akan menyelenggarakan resepsian.

Resepsian lagi... Bikin kepikiran lamaran gue buat Anggi.

"Gue barusan bertengkar sama Jovi."

Bayu jadi tersedak kunyakan keripik tempe hingga batuk. "Lo sama Bang Jovi?" Bayu langsung ngacir ke arah meja dekat jendela demi mendapat segelas air minum di sana sebelum kerongkongannya semakin tegang karena remahan keripik tempenya tersangkut begitu saja.

Tanpa melepas pandangan ke arah langit-langit, Joshua menjawab. "Kayaknya ini kisah akhir gue di sini." Seolah masalah tersedaknya Bayu bukanlah sesuatu yang besar, Joshua masih tetap diam di tempatnya dan gak berusaha melirik temannya itu sama sekali.

Kepalan Bayu pada gelas semakin menguat. Dengan bulatan mata yang membesar seiring air putih yang ditelannya mengalir, dia menepuk dadanya sendiri. "Gue kek mau mati, anjir! Penghuni paling kalem kek lo dan orang bengek kek Jovi bisa juga begini." Pantas saja ketika masuk kamar ini, Bayu melihat muka masam Joshua yang biasanya tampak berseri-seri seperti cahaya matahari yang terpantul dari ubin masjid. "Emang gede masalahnya atau cuman beda pendapat?"

"Masalah gede. Gue bahkan gak berani ajak dia ngomong entah sampai kapan karena dia juga gak bakalan dengerin."

"Tentang cewek?" Kembali Bayu bertanya. Seolah permasalahan hidup hanya seputar rebutan pacar dan saling tikung seperti agenda di sirkuit MotoGP.

"Teknisnya... iya." Joshua akhirnya menoleh pada Bayu dan menemukan tatapan aneh dari si lawan bicara. Dengan cepat dia melanjutkan. "Bukan. Bukan Fara yang jelas," tukasnya kemudian.

"Gak etis kalau gue tanya gimana jelasnya kalau lo sendiri belum pengin cerita. Selesaikan semuanya aja, Bang. Jangan sampai gak. Usahakan sebelum angkat kaki dari sini buat lanjutin hidup masing-masing, kita bertiga belas simpan kenangan yang bagus-bagus aja. Jangan ada dendam apalagi sampai ada masalah yang belum kelar."

Telat, Yu...

Joshua sendiri enggan mematahkan kepercayaan bundanya. Namun, tanpa sengaja dia sendiri telah mematahkan kepercayaan Jovi dan menyerah pada Jani. Meskipun belum ada kata perpisahan, tapi Joshua sudah ingin berhenti. Terlalu sulit dan riskan. Harus ada yang dikorbankan karena gak mungkin memilih  dua pilihan hanya untuk memenuhi sisi keegoisan Joshua yang ingin setiap orang bisa bahagia. Nyatanya, bahagia gak bisa didapat semerta-merta dengan cara yang mudah.

"Lo gak berpikir buat lari dari masalah, kan?" Bayu kembali ke atas ranjang, mengabaikan eksistensi keripik tempenya yang baru dibuka. "Usia berapa pun, di fase apapun, tiap manusia gak bisa lepas dari ujian. Terus ujian sendiri gak bisa kita kendalikan kapan datangnya. Tinggal lo yang mau ambil langkah bijak atau gak."

"Gue tahu dan gue paham." Joshua menarik napas, merasa tegang kembali. "Haikal pernah singgung itu setelah baca buku Danu. Dia bilang gak boleh terpaku sama hal-hal di luar kendali kita, karena kalau sampai iya, hal-hal kek gitu bakalan jadi belenggu buat diri lo aja."

"Pemikiran orang lain juga di luar kendali kita. Nah, yang ada di bawah kendali kita itu meminta maaf kalau dirasa punya salah."

Joshua tertampar sampai rasanya sesak napas karena dadanya juga terasa diinjak oleh kaki seseorang.

Sejenak dia dan Bayu saling diam. Semuanya menyadari kalau pada suatu saat, ketika waktu telah memilih dan menentukan, akan tiba masanya tiap-tiap manusia labil di kontrakan akan bergelut dengan banyak pilihan. Entah dalam bentuk apapun itu, yang jelas mereka akan mengalami pergolakan ego dan kesalahan. Entah berakhir sungguhan damai atau dipaksa damai, bentuk-bentuk keputusan yang diambil selalu sama-sama membawa risiko.

Tapi, bukankah dengan cara ini manusia bisa jadi dewasa?

Bukankah dengan datangnya masalah dapat membuat kita lebih berpengalaman dalam mengatasi situasi sulit?

Dan... bukankah dengan menurunkan ego sedikit saja dapat membuat perubahan besar?

"Lo benar." Joshua bersuara setelah sesaat diam. "Lo benar kalau gue harus meminta maaf karena memang gue yang salah."

"Nurunin ego bukan berati nurunin harga diri, Bang."

Joshua bangkit dengan raut wajah yang masih saja kecewa. Keadaan ini membuat dia merasa gak berguna. "Ini bukan tentang nurunin ego, tapi tentang gue yang lamban meminta maaf untuk kesalahan yang gue tahu berpotensi jadi penyebab semuanya terjadi sekarang."

Walaupun Bayu masih gak paham sepenuhnya Joshua kenapa, yang dia yakini ialah semuanya akan baik-baik saja selama ada pihak yang mengalah. Semuanya bisa diperbaiki selama kata maaf masih menjadi jembatan penghubung antar dua pihak. "Oke... sekarang lo tahu apa yang harus lo lakukan. Gue tunggu kabar baiknya."

Setidaknya, langkah Joshua menuju kamar Bayu dan Mario di lantai satu menggambarkan niat baik. Jovi kepalang emosi sampai-sampai setelah mendengar sekelumit kisah di balkon tentang Joshua dan Jani membuatnya sangat sakit hati. Baik Joshua dan Jani menyembunyikan hal ini dengan rapi, padahal Jovi sendiri belum mendengarkan penjelasan apapun dari keduanya secara rinci. Setidaknya Joshua ingin meminta maaf untuk kepercayaan yang sudah dia patahkan sekali dan berniat gak akan mengulanginya lagi. Joshua juga akan bilang kalau dia dan Jani memang harus disudahi. Serta tunangan dengan Anggi kemungkinan akan berjalan sesuai rencana sebentar lagi.

Dan mungkin... kalau dirasa keaadan enggan membaik, Joshua jadi pihak yang pergi membawa segudang penyesalan tiada henti.

Di ruang tengah saat itu hanya ada Juna. Tampak dari gelagatnya yang miring sana salah apalagi miring sini di atas sofa menandakan kalau dia lagi hitung-hitungan penghasilan dari kegiatan modeling bulan ini. Televisi mati, tapi ada banyak buku berserakan di atas meja. Lampu dapur sudah mati, tapi masih ada sisa piring yang belum dicuci.

Joshua tidak menghiraukan Juna yang hanya meliriknya sebentar tanpa bertanya. Ketika sampai di pintu kamar Mario, gak ada suara apa-apa yang dapat terdengar dari balik pintu. Kesimpulan sementara dari Joshua sendiri mengatakan bahwa Jovi hanya pindah tempat tidur, tapi gak berusaha menceritakan segalanya pada Mario.

Juna kembali melirik Joshua sebab pemuda itu kini tengah meraba pintu kayu seolah ingin mengintip tetangga yang ribut tengah malam. Toh, itu hanya kamar Mario. Begitu kata Juna. Sampai pada saat Joshua menyentuh gagang pintu, dari dalam kamar Mario membuka pintu terlebih dahulu.

Joshua menangkap eksistensi tubuh Jovi di sudut ruangan yang tengah melakukan vidcall bersama seseorang menggunakan earphone.

Itu Jani.

"Lah, lo kepo sama adiknya Bang Jovi sampai ke sini juga?"

Hah?

"Barusan dia ngaku ke gue kalau punya adik setelah selama ini gue kira dia anak tunggal. Bang Jovi bilang cuman lo yang tahu dan sekarang adiknya lagi nangis karena disakitin pacarnya yang gak tahu diri," lanjut Mario.

Joshua dapat melihat Jovi yang menoleh ke arahnya sebentar, lalu berpindah tempat hingga Joshua gak bisa melihat eksistensi kawannya itu di balik pintu yang terbuka setengah. Mario sadar kalau ada yang salah dan sama seperti Bayu, dia gak bisa menerka apa yang terjadi di antara mereka.

Kembali Mario berinisiatif untuk membuka pembicaraan. "Bayu malam ini tidur di kamar lo. Ummㅡ" dia jadi bingung sendiri, "ㅡlo mau tukeran kamar sementara? Biar gue tetep sama Bayu aja tapi tidur di atas?"

"Gue cuman perlu ngomong sebentar sama Jovi. Gue pinjam dulu kamarnya boleh, kan?"

Mario hanya mengangguk canggung kemudian keluar. Sempat pula mengendikkan bahu pada Juna yang juga memerhatikan di sofa, kemudian berlalu ke kamar mandi seraya menahan rasa ingin tahunya mengenai apa yang terjadi di antara kedua abangnya.

"Jani pengin ketemu sama gue besok sore," tukas Jovi yang kini duduk di kursi belajar Mario. Panggilan videonya telah terputus, saat ini dia juga tengah menatap Joshua yang baru saja menutup pintu. "Dan juga sama lo. Bertiga."

"Gue bakalan berhenti, Jov."

"Apa gue ada hak dengar keputusan lo?"

"Gue minta maaf karena ini terjadi di luar kendali gue."

"Bilang ke Jani, jangan ke gue."

"Untuk kabar tunangan... itu juga bukan dalam kendali gue."

"Tapi lo ada kendali buat stop jalan sama Jani, Jo." Jovi mulai meninggikan suara sama seperti ketika berada di balkon. Kembali marah karena Joshua dianggapnya gak becus mengurus masalah. "Mau Jani yang lo pilih atau cewek lo yang mau lo lamar, pada akhirnya bakalan ada pihak yang dikorbanin. Bakalan ada pihak yang lo bikin nangis. Jadi cowok yang becus urus perasaan perempuan. Jangan jadi lembek hanya karena lo bimbang di antara dua pilihan."

Terbesit dalam benak Joshua kalau meninggalkan Jani dari lama memang sebenarnya harus dilakukan. Kalau Joshua ingin menolak usulan bundanya, harusnya jauh-jauh hari dia menentang misal gak ada persetujuan. Sekarang acara pertunangan semakin dekat dan Joshua masih saja mengulur waktu. Terlalu lama berpikir sampai-sampai lupa kalau yang dipertaruhkan di sini adalah perasaan banyak pihak.

Beberapa hal memang perlu diputuskan lebih awal untuk menghindari hal-hal yang gak diinginkan. Walaupun begitu, bukan berarti pilihan diambil secara tergesa-gesa. Pertimbangan dilakukan dengan cermat supaya prosesnya pun juga akan cepat dan tepat.

"Apa ada kesempatan buat gue kembaliin semuanya?"

Jovi sekilas tampak meneguk ludah. Dia gak mengerti maksud Joshua. "Kalau untuk kembali sama Jani... Maaf aja, Jo, gue menolak."

Gue beneran sudah tamat.

"Gimana misalnya kalau gue bisa buktikan gue lebih pilih dia?"

"Jo, begini," Jovi mencoba menjelaskan. "Apapun alasan lo, lo gak berhak jatuh cinta sama dua orang perempuan di saat yang bersamaan."

"Gue gak cinta sama Anggiㅡ"

"Tapi lo setuju untuk hidup bareng dia karena ada kemungkinan dan kesempatan lo akan menerima dia nanti, terlepas itu suruhan bunda lo atau bukan. Lo punya kehendak atas kehidupan lo sendiri, tapi lo lebih mengikuti arus dengan suka sama adik gue padahal lo sudah tahu kalau hubungan kalian gak akan bertahan dengan baik. Lo gak bisa menolak, tapi di sisi lain lo ingin memertahankan Jani untuk tetap di sisi lo. Itu tamak banget, Jo. Sumpah... lo harusnya bisa pikirin gimana Jani dari cerita yang sering gue bilang dan mulai pertimbangin dari dulu. Kalau gue gak tahu hari ini, entah sampai kapan lo akan terus begini."

"Tapi kalau gue sama Jani putusㅡ"

"Gak apa-apa. Dia punya gue sebagai abang. Dia punya bapak sebagai wali juga. Lo... bukan siapa-siapanya dia jadi berhenti menganggap diri lo istimewa mulai sekarang."

Joshua sebenarnya ingin menyanggah. Dia berpikir kenapa Jovi mendadak ikut andil padahal jelas-jelas tadi dia bilang kalau kita punya kehendak ayas diri kita sendiri? Kenapa dia memutuskan secara sepihak? Kenapa dia mengatur dan memaksa Jani untuk gak berhubungan lagi dengannya?

"Sekarang gue tanya." Joshua balik menyerang. "Kenapa lo yang memutuskan Jani dekat sama siapa? Memangnya ada peraturan mutlak abang boleh ngatur adiknya seenak jidat?"

"Yang dia pacarin orang yang mau tunangan!"

"Ini urusan gue sama dia, Jov. Gue yang harusnya bicara empat mata sama dia."

"Dan biarin dia pulang pakai acara nangis-nangisan segala?"

Joshua diam.

Jovi gak ngerti kenapa Joshua begitu bebal dan masih gak paham bagaimana Jovi bertindak. "Gue pernah nyaris gelap mata karena gue kira Aksa main belakang sama cewek gue. Karena apa? Karena gue gak bisa tolerir hal-hal kayak gitu. Gue gak bisa melibatkan teman dalam urusan rasa suka, siapapun itu. Karena sekalinya masalah datang, gue gak suka pertemanan itu hancur karena kita sama-sama memertahankan apa yang dianggap benar. Mending kalau lo orang asing yang bisa gue lupain misal masalahnya sudah kelar. Nah, ini... ketika ketemu lo, gue selalu ingat kalau lo sudah buat Jani sakit hati. Lo juga penuh dusta dengan bohongin calon lo, Jo."

Kalau sudah terpojok begini, sifat dasar manusia kadang sering muncul secara alami.

Lari.

Joshua ingin lari saja sejauh mungkin supaya hatinya gak terlalu sakit mendapat cemooh dari Jovi. Kawannya itu memang mungkin salah di beberapa poin, misalnya emosi tanpa mendengarkan cerita versi Joshua sendiri. Namun, Joshua sadar kalau sumber utama kejadian ini ada pada dirinya. Terlepas Jani adik Jovi atau bukan, memang sudah seharusnya hubungan itu gak terjalin. Permintaan pinangan untuk Anggi sudah terjadi sebelumnya dan Joshua iya-iya saja, tanpa disadari bahwa itulah yang menjadi dasar kesalahannya sendiri.

Kenapa memilih bermain hati dengan yang lain kalau sudah menyetujui pinangan?

Jatuh cinta pada orang lain bukanlah sebuah dosa, tapi bukan berarti dapat diterapkan secara merata pada siapa saja.

Seperti yang Joshua katakan pada Bayu tadi bahwasannya kalau ada awal maka ada akhir. Kalau awal rasa suka Joshua pada Jani tumbuh gak terduga, maka pada akhirnya mereka berpisah juga secara gak terduga pula.

Semesta menyimpan rahasia, jadi kenapa manusia selalu menyalahkan keadaan? Padahal kita sendiri yang terkadang terlalu serakah dan berharap berlebihan pada yang fana.

"Jovi, gue minta maaf." Dengan segenap ketulusan yang Joshua punya, dia membuka pembicaraan lagi. "Gue gak sanggup kalau besok harus datang ketemu Jani dan bilang sudah waktunya berakhir. Gue pikir akan lebih cepat buat dia baik-baik saja kalau gue gak muncul. Akan lebih cepat untuk melupakan gue kalau gue... bilang putus lewat lo aja sebagai abangnya sendiri."

Jovi pun mengangguk setuju. "Gue terima maaf lo, tapi bukan berarti kita bisa kayak biasa lagi. Besok gue minta Aksa rolling kamar setelah gue cerita ini. Gue akan bilang gue punya Jani sebagai adik ke anak-anak lain supaya kejadian ini gak keulang lagi." Jovi masih sukar menerima. Jadi ketika Joshua mengulurkan tangan sebagai tanda permohonan maaf, Jovi justru berlalu begitu saja. Sekadar menepuk pundak Joshua sekali sebelum benar-benar keluar dari kamar Mario. "Jangan khawatir. Gue akan sampaikan salam lo sama Jani. Semoga pertunangan lo lancar nanti."

Joshua menatap nanar dinding kamar Mario, gak bergerak bahkan setelah pintu kamar ditutup. Sayup-sayup dia mendengar suara Jovi yang menjawab pertanyaan Juna dengan candaan; Jo lagi stres, ada murid di tempatnya kerja nembak dia tadi pagi di dalam kantin dan dilihatin sama anak-anak lain.

Jovi hanya berusaha menutupi supaya anak-anak lain gak perlu khawatir, pun supaya mereka gak merasa kalau kontrakan ini sudah gak senyaman dulu lagi karena ada penghuni yang ribut. Joshua jadi putus asa. Pilihan satu-satunya adalah pulang sebab kawan sekamarnya sudah gak menerimanya seperti dulu lagi. Gak akan ada sebutan JoJo atau Double J lagi. Gak akan ada lagi Jovi yang berbagi kisah tentang susahnya hidup menjelang umur dua luluh lima. Gak akan ada lagi kedekatan di antara mereka berdua meskipun tinggal dalam satu kamar. Yang tersisa hanya sekat pembatas tebal yang sulit ditembus.

Kalau awal Joshua kemari sebagai anak rantau yang ingin punya teman sekamar, maka akhir Joshua ialah jadi penghuni pertama yang angkat kaki dari Andromeda, tempat paling menyenangkan selain rumah asal.

Joshua mengembuskan napas berat dan mendadak merasa sesak. Sudut matanya basah, tapi dia berusaha tegar. Ditepuk keras dadanya lalu dia telan ludahnya berkali-kali untuk mengurangi rasa gugup. Dia harus terlihat biasa saja ketika melangkah keluar dari kamar Mario, setidaknya misi terakhirnya harus bisa berjalan mulus. Juna masih diam di sofa, sibuk dengan ponselnya sendiri. Joshua gak melihat eksistensi Jovi di sekitar, lalu dia menyadari kalau kawannya itu tengah berada di gazebo bersama Mario dan Bayuㅡyang entah turun ke sana sejak kapan.

Artinya kamar gue lagi kosong.

"Bang, lo gak kenapa-kenapa, kan?" Juna menyahut pelan. Bagaimanapun, dia jelas melihat kalau Joshua tengah bermasalah. "Santai aja, Bang. Begitulah risiko orang ganteng. Apalagi lo klimis begitu, pantesan disukai banyak murid cewe."

"Thanks, Juna. Gue mau ke kamar aja terus tidur. Males banget kepikiran. Lo jangan kebanyakan main HP, kasihan matanya."

Tanpa Juna duga, itulah ucapan perpisahan secara tersirat dari Joshua.

Karena setelah sampai kamarnya sendiri, Joshua mulai mengeluarkan barang-barangnya dari lemari lalu menempatkannya di luar jendela kamar. Gak semuanya, paling gak lumayan. Misinya kali ini adalah memutuskan ketegangan di antaranya dengan Jovi dengan pergi tanpa diketahui. Joshua akan pura-pura tidur nanti dan ketika Jovi kembali dan terlelapㅡitu pun jika Jovi mau tidur seranjang dengan Joshua malam ini. Diam-diam Joshua akan memungut barang-barangnya yang dia keluarkan lewat jendela lewat balkon depan. Kemudian dia akan membuka setiap pintu kontrakan dengan hati-hati supaya gak ketahuan. Semoga penghuni lain gak sadar sama sekali.

Satu hal yang gak boleh Joshua lupakan adalah menulis surat, sebab salam perpisahan pun tampaknya gak bisa dia ucapkan dengan lantang.

Siapa sangka kalau penghuni Andromeda berkurang bukan karena ingin meraih mimpi dan cita-cita? Siapa yang menduga kalau akhirnya yang digadang-gadang akan menikah lalu angkat kaki justru Joshua, bukan Aksa maupun Jovi? Siapa yang bisa menebak kalau Andromeda ternyata bisa pecah sebelum berakhir baik?

Sisa malam itu Joshua habiskan di balkon cucian dengan air mata sembari menulis surat. Gak lupa dia kini mengunci pintu supaya keberadaannya gak terendus. Sama sekali gak mudah meninggalkan para penghuni di saat dia masih gak mau untuk berpisah, terlebih lagi gak sempat mengucapkan selamat tinggal. Surat yang dia buat berjumlah tiga belas, terdiri dari dua belas surat untuk penghuni dan juga satu untuk gadis bernama Jani. Gak lupa juga Joshua membuat surat pernyataan resmi mengundurkan diri dari tempatnya bekerja yang form-nya dia dapatkan dari map khusus surat-surat sekolah.

Ketika Joshua kembali ke kamar dan jam menunjukkan pukul satu dini hari, dia menemukan Jovi sudah terlelap. Sedikit lega karena kawannya itu masih mau berbagi tempat tidur dengannya malam ini. Tapi, keputusan Joshua sudah bulat. Dia akan pulang dan menghilang. Dia akan menjalani kehidupan baru di tempat baru pula. Dia akan menikah dengan Anggi karena memang itu yang sudah dia putuskan untuk membahagiakan bunda.

Joshua tampak berat hati. Semuanya sudah siap. Dia sudah memastikan penghuni lain gak ada yang berkeliaran lagi di ruang tengah kontrakan. Dirabanya lagi tumpukan surat yang dia pegang dan akan dia sebar di pintu masuk kamar tiap-tiap penghuni, lalu membacanya ulang.

Untuk: Jovi.
Maaf dan terima kasih, teman pemberi saran dan tempat bertukar cerita terbaik.

Untuk: Jani.
Maaf dan terima kasih untuk si menawan yang sempat singgah di hati.

Maka Joshua menempatkan dua surat itu di atas mejanya, berharap esok hari Jovi bisa menemukannya tanpa kesulitan. Lalu dia keluar  kamar dan berpindah ke kamar Aksa, sekalian menempatkan amplop berisi uang untuk Pak Bima, kemudian pergi ke kamar lain sembari membawa barang bawaannya untuk pulang.

Untuk: Aksa.
Terima kasih, Kapten. Nitip uang sewa ke Pak Bima, ya. Di amplop warna putih, jumlahnya sudah pas.

Untuk: Danu.
Terima kasih, teman terbaik dalam urusan diskusi.

Untuk: Dika.
Terima kasih, pejuang kontrakan paling kuat!

Untuk: Juna.
Terima kasih. Anyway, sepatu dari lo menemani langkah terakhir gue di sini, hehe.

Untuk: Zidan.
Terima kasih sudah mengajarkan arti merelakan. Jangan lupa berdamai dengan kenyataan.

Untuk: Haikal.
Terima kasih, teman. Sukses selalu dan titip salam buat Mamah.

Untuk: Chandra.
Terima kasih, Dek. Maaf mengingkari janji untuk urusan foto bersama ketika lulusan.

Untuk: Bastian.
Terima kasih sudah hadir. I adore you a lot!

Untuk: Delvin.
Terima kasih, jagoan. Yuk, semangat masuk kampus impian!

Untuk: Mario.
Terima kasih sudah jadi bagian Andromeda dengan segala kelebihan lo.

Untuk: Bayu.
Terima kasih buat sarannya untuk meminta maaf duluan. Gue akhirnya lega.

Jantung Joshua berdegup hebat ketika kakinya sudah berpijak di luar kontrakan. Dia hanya bisa berharap semoga dengan hilangnya dirinya dapat membuat Andromeda tetap jadi tempat yang nyaman, tenteram dan penuh canda tawa. Hingga dia berhasil mengeluarkan motor dari garasi lalu mengunci kembali pintunya dan menempatkannya di bawah keset dekat teras. Joshua membuka gerbang kontrakan lalu menutupnya. Niatnya menyalakan mesinnya kalau sudah dirasa cukup jauh supaya gak terdengar seraya berharap penuh angan.

"Semoga nanti kalau waktu izinin gue kembali ketemu kalian, gue sudah dalam keadaan berbeda dan kalian juga sama. Gue harap kalian bisa mengucapkan salam perpisahan nanti ketika kejar mimpi masing-masing. Bukan kayak gue yang pamit secara sembunyi-sembunyi. Nanti ketika ketemu lagi, gue harap kalian gak ungkit lagi alasan gue lari."

Penghujung kisah gak selamanya jadi akhir. Andromeda akan tetap berdiri dan bagaimanapun keadaannya, Joshua yang pergi akan tetap jadi bagian yang berarti.

Untuk: Andromeda.
Dari: Jo.
Terima kasih dan maaf karena gue pergi tanpa pamit. Surat terakhir yang gue tulis ini gak akan pernah sampai ke tangan kalian, sebab ini akan gue simpan sendiri sebagai pengingat... kalau gue bahagia pernah kenal kalian.

ㅡㅡㅡ



Aku jadi penasaran, dari awal cerita apakah ada yang berpikir kalau penghuni Andromeda pada akhirnya akan ada yang pergi dengan cara yang gak menyenangkan?

Anyway... ini adalah ending Andromeda. Lega sekali rasanya menuntaskan 13 member😭

Tapi, selama markah "completed" belum aku centang, tentunya masih ada kejutan. Pasti tahulah apa maksudnya... aku akan posting beberapa bonus secara random alias gak sesuai jadwal up. Lagipula ini juga minggu terakhir Gose hiatus, bertepatan dengan Andromeda yang sudah umm sekitar 90% selesai total.

Mau sungkem sama pembaca juga karena buku ini dibuat dengan iseng dan coba-coba. Sebab ini tulisan pertamaku pakai kalimat semi baku dengan latar lokal. Terima kasih banyak sudah meramaikan dan ikut komen bejibun di tiap chapter😭

Aku pingin buka QnA supaya lebih dekat dengan kalian tapi takut flop wkwk. Mungkin aku akan buat segmen ini di part bonus walopun pertanyaan gak seberapa (atau malah gak ada)😭

So... good bye for a while, eh?

Continue Reading

You'll Also Like

181K 8.8K 29
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
122K 26.5K 16
taman bunga tumbuh di dadanya. mekar dengan perasaan terlampau besar. ☽ / / hwang hyunjin (황현진) au, COMPLETED, lowercase intended
30.7K 7.4K 34
Pada tahun 2800, wilayah kekuasaan terakhir manusia terbagi menjadi lima klan utama untuk mempertahankan bumi mereka yang terjajah.
1.3M 188K 67
Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan menemukan eratnya persahabatan, pengabdian t...