Never Ending Fantasy | ATEEZ...

By Yozora_MK

14K 1.7K 1.1K

Menjadi mate bukanlah sebuah musibah. Meskipun dimulai dengan kecelakaan, tapi bukan berarti mereka tidak dig... More

I
II
III
IV
V
VI
VII
IX
X (LAST)

VIII

901 131 181
By Yozora_MK

🌟 Mingi x Hongjoong 🌟

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

. . .

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

“Oke, itu saja untuk hari ini!”

Suara itu menggema di gimnasium, sesi latihan klub voli akhirnya ditutup. Sejenak sang pelatih tampak mengecek arlojinya, sebelum kemudian menyampaikan penutup, “Kita bertemu lagi minggu depan dan—kapten, jangan lupa setorkan absensi hari ini!”

Begitu sang pelatih melenggang, para anggota mulai membubarkan diri. Sebagian besar menghampiri tas masing-masing di tepi lapangan, beberapa buru-buru ke toilet sementara beberapa lagi terlihat merebahkan diri di atas dinginnya lantai gimnasium, tapi satu dua ada yang masih berlatih mengoper—Hongjoong salah satunya.
 
Sembari meraih sebotol air mineral dari dalam tas, Mingi memandang ke arah sang kapten yang tengah mempraktikkan teknik operan dengan dua anggota lainnya. Dari sini terlihat Hongjoong sesekali bergurau selagi bertukar masukan. Selama itu pula Mingi terus mengawasi sambil meneguk minumannya dalam diam. Dia terlalu serius memperhatikan sampai tak menyadari seseorang datang menghampirinya sambil memanggil.

“Oi, Mingi,” Jung Wooyoung telah berdiri tepat di sebelah Mingi, tapi tak mendapat perhatian. Baru ketika dia menyikut pemuda jangkung tersebut, eksistensinya akhirnya disadari.

“Song Mingi!”

Namun karena terkejut, Mingi sontak tersedak. Minuman tumpah mengucur di badannya hingga membuat kaosnya setengah basah. Alhasil, dia pun mengumpat sambil terbatuk-batuk, “Sial!”

Begitu menoleh dan melihat Wooyoung, Mingi sekali lagi mengumpat, “Jung Wooyoung, sialan kau!”

Wooyoung yang sedari tadi diabaikan dan tahu-tahu dihadiahi sumpah serapah lantas ikut bersungut-sungut. Sambil mengangkat lengan tinggi-tinggi dia meraih puncak kepala Mingi untuk diberi tempelengan. “Kau yang sialan!” balasnya. “Melamun sampai tidak dengar suaraku. Apa aku ini transparan? Kau tuli, ya?”

Mingi masih berang menatap sinis Wooyoung—anak laki-laki itu tampak mengenakan kaos poliester klub basket. “Mau apa kau ke sini?” dia bertanya sembari meraih handuk di atas tas dan mulai mengelap tubuhnya yang basah, lalu lagi-lagi dia mengumpat karena sepertinya itu percuma.

“Mengambil sepatuku yang kutitipkan padamu,” Wooyoung menjawab, sebelum kemudian merentangkan jemari dan menadahkan tangan ke hadapan Mingi. “Mana kunci lokermu?”

Mingi tak menjawab dan hanya mengarahkan dagu ke arah tasnya. Dia masih sibuk memandangi kaosnya yang kini basah bukan hanya karena keringat, kemudian memutuskan untuk melepasnya saja. Sesaat berikutnya, dengan wajah dongkol dia menoleh pada Wooyoung yang tengah memeriksa isi tasnya.

Ketika berbalik dan menemukan Mingi telah bertelanjang dada dengan mimik muka kesal, Wooyoung lantas tertawa-tawa. Kian menambah kekesalan saja. Jadi, Mingi kemudian meraih Wooyoung untuk kemudian dia kunci lehernya dalam lengan.

Sederet cercaan lantas dilontarkan, “Ini gara-gara kau, bodoh! Kenapa kau tidak bisa sekali saja muncul di hadapanku dengan tenang? Hah!”

Wooyoung terbatuk, pura-pura tercekik, tapi sambil tertawa juga. Karena bagaimanapun, membuat Song Mingi marah-marah memang sebuah kesenangan. “Iya, iya, aku minta maaf—aduh! Ya ampun, Mingi, air tidak akan membunuhmu!” Wooyoung berucap mencari alasan.

Karena Wooyoung masih saja tertawa-tawa—malah selanjutnya sambil menyikut—maka Mingi juga kian mengeratkan lengan hingga pemuda tersebut semakin tak bisa diam.

“Mingi, jangan bunuh aku!” Wooyoung memekik dengan suara cemprengnya yang memang tak pernah pelan.

Tak berapa lama cekikan akhirnya dilepaskan. Namun, Jung Wooyoung rupanya masih tak jerah. Dia membalas dengan menginjak kaki Mingi, lalu cepat-cepat mengambil seribu langkah melesat. Mingi pun melompat-lompat kesakitan. Sedangkan Wooyoung, di ambang pintu masih sempat-sempatnya berhenti, hanya untuk berbalik badan dan sejenak mengacungkan jari tengah kepada Mingi.

Di tempatnya, Mingi menyumpahi, “Kubunuh kau, Jung Wooyoung!”

Interaksi tersebut, tanpa diketahui Mingi rupanya menyita atensi Hongjoong. Pemuda omega tersebut bahkan menyudahi latihan mandirinya demi memperhatikan sang alpha. Canda dan keributan kecil antara Mingi dan Wooyoung barusan terasa mengusik. Tidak ada yang salah, tapi entah mengapa tetap tak bisa dibenarkan bagi Hongjoong.

Selalu seperti ini dan lagi-lagi, Hongjoong tak bisa merasa tenteram setiap kali melihat alphanya berdekatan dengan orang lain.

Sekalipun bertentangan dengan logikanya, Hongjoong akhirnya memutuskan untuk berjalan menghampiri Mingi. Entah apa yang akan dilakukannya nanti. Mungkin bertanya, atau protes. Misalnya, kenapa kau biarkan orang lain melihat tubuhmu?

Sayangnya, baru beberapa langkah Hongjoong berjalan, dirinya sudah dipanggil dari arah pintu. “Kim Hongjoong! Hei, kapten!”

Hongjoong menoleh dan menemukan pelatihnya telah berdiri di sana, melambaikan tangan padanya seraya berseru, “Daftar hadir—aku menunggu sekarang!”

Sial, Hongjoong lupa.

.

.

.

Sore hari, seperti biasa, Hongjoong pulang paling akhir. Dia mesti membereskan peralatan latihan serta menyelesaikan beberapa urusan dengan sang pelatih. Alhasil, ketika dia kembali ke ruang loker, semua anggota sudah pulang. Hanya tersisa dirinya seorang.

Hongjoong berniat mandi sebentar, tapi kemudian pesan singkat dari Mingi menyita sejenak waktunya.

Sunbae, aku menunggu di depan gerbang.

Kebetulan sekali. Hongjoong ingin membicarakan banyak hal dengan Mingi—tak semuanya penting memang, dia sekadar ingin bercakap-cakap dengan mate-nya saja.

Ayo pulang bersama.

Setelah mengirimkan balasan tersebut, Hongjoong membatalkan niat membersihkan diri di kamar mandi gimnasium. Dia memilih untuk langsung berganti seragam dan pergi. Mingi telah menunggunya, jadi dia merasa tak sabar meski hanya untuk beberapa menit menunda.

Dalam beberapa waktu berikutnya, Hongjoong telah keluar dari gerbang dan celingukan mencari keberadaan sang alpha. Saat itulah, mendadak sekali seseorang menepuk kedua bahunya dari belakang dan berseru, “Kena kau!”

Hongjoong terlonjak karena kaget, hampir pula berteriak. Sesaat berikutnya muncul Song Mingi dari belakang yang menertawakan tingkahnya. “Apa-apaan, Mingi?!” Hongjoong berniat menonjok lengan Mingi, tapi dihindari.

Masih sambil tertawa-tawa Mingi justru berkata, “Sunbae, aku suka ekspresimu saat terkejut.”

Hongjoong bersungut-sungut dibuatnya. “Kau suka?” dia memelototi Mingi dan mengangkat dagu sok galak. “Kau suka sekali membuatku terlihat bodoh, ya? Apa kau suka saat aku marah-marah? Aku tanya, apa kau suka?”

Sayangnya, raut marah tersebut sama sekali tak terlihat menyeramkan di mata Mingi. Kim Hongjoong garang, tapi di mata sang alpha itu masih tetap berkesan lucu.

Mingi pun merangkul Hongjoong dan menjawab tanpa rasa bersalah, “Iya, aku suka sekali.”

Lantas Hongjoong mendesis dongkol. Dengan kasar dia menyingkirkan lengan Mingi dari pundaknya seraya mulai berjalan, tapi pemuda itu kembali meraihnya—malah, sekarang kian erat merangkul. Hongjoong baru sadar, Mingi mulai sedikit lebih agresif padanya akhir-akhir ini.

Sejenak Hongjoong menoleh ke sana kemari, lalu menatap Mingi, “Teman-temanmu mana?”

“Tidak tahu, mungkin sudah di rumah,” jawab Mingi seakan memang tak peduli.

“Kalian tidak pulang bersama? Apa karena kau menungguku?”

“Biarkan saja,” Mingi membalas. Dia menepuk-nepuk pipi Hongjoong sembari menambahkan. “Jarang-jarang kita bisa berduaan seperti ini, kan?”

Lalu, untuk sesaat Hongjoong memperhatikan Mingi yang senyum-senyum sambil menatap lurus ke depan. Kini dia paham kenapa alpha tersebut tampak lebih leluasa membuat kontak fisik dengannya, tak juga segan bergurau tanpa peduli siapa yang akan melihat. Karena, memang hanya ada mereka berdua sekarang ini.

“Kau benar. Kita tidak bisa seperti ini jika di sekolah,” Hongjoong berkata, lalu ikut-ikutan memanfaatkan kesempatan. Tanpa meminta izin, sambil menjaga sikap supaya terlihat natural, satu lengannya melingkar ke pinggang Mingi. Mencoba lebih jauh, kepalanya pun turut bersandar ke pundak sang alpha.

Senyum Mingi kian lebar setelahnya. “Kau ingin kita bisa seperti ini setiap hari?”

“Ti-tidak—bukan begitu maksudku,” Hongjoong buru-buru menimpali, entah mengapa gugup mendadak. “Aku hanya berpikir, akan lebih menyenangkan kalau kita tidak perlu menyembunyikan hubungan ini.”

Lalu, Hongjoong melirik demi mengintip ekspresi Mingi. “Aku tahu kau juga tidak suka sembunyi-sembunyi seperti ini, kan?” ujarnya.

Sejenak Mingi sempat diam. Dia turut menunduk memandang Hongjoong, sebelum kemudian berkata, “Sunbae, kalau semisal aku memberitahu anak-anak yang lain soal hubungan kita, kau tidak keberatan?”

“Aku... sebenarnya tidak apa-apa,” Hongjoong menjawab sambil kembali menunduk. Pandangannya mengarah pada langkah kakinya yang berjalan beriringan dengan milik Mingi.

Sesaat berikutnya, dengan lebih lugas Hongjoong kembali menambahkan, “Semua tahu aku sudah berpisah dengan Seonghwa—tidak akan ada yang peduli kalau salah satu di antara kami punya pacar baru sekarang. Hanya saja... aku hanya khawatir—bagaimana kalau nanti mereka juga tahu kita sudah mating? Aku tidak bisa memperkirakan apa itu akan jadi masalah atau tidak.”

Diam-diam Hongjoong memendam keresahan yang tak ditunjukkannya pada sang alpha.

Namun, tentu saja, Mingi selalu tahu segala yang dirasakan mate-nya. Oleh sebab itu, dia kemudian mengulas senyum dan mengusap-usap puncak kepala Hongjoong. “Tidak usah cemas,” ujarnya menghibur. “Orang-orang di sekolah selalu mengira kau beta, bukan? Dan lagi, kalau sekarang mereka mencium feromonku di tubuhmu, mereka hanya akan berpikir kau itu alpha.”

“Mingi—” Hongjoong tiba-tiba menatap Mingi sangsi, “—tidak ada alpha yang bertubuh seperti aku.”

“Oh,” Mingi pun mengerjap. Sesaat dia memandangi omeganya tersebut dari ujung ke ujung.

Benar, dilihat bagaimanapun, Hongjoong tidak memiliki perawakan seorang alpha. Mungkin ada beberapa beta yang berpostur kecil dengan pinggang ramping layaknya omega, tapi tidak satu pun alpha. Mau tak mau Mingi mesti setuju.

Dengan agak kikuk Mingi berdehem, melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa tersumbat. “Ya, kalau begitu,” jawabnya sambil menggaruk pelipis, “kita bisa bilang itu karena kau banyak menghabiskan waktu denganku. Itu hal biasa, kan?”

Ketika Mingi kemudian tertawa hambar dengan senyum lebar, Hongjoong serta-merta tak bisa memberikan argumen lagi. Dia memang tipikal orang yang banyak bicara, peragu dan mudah mencemaskan hal-hal sepele, tapi itu semua tidak berlaku bila bersama Mingi. Lelaki tersebut entah bagaimana selalu membuat perasaannya tenteram dan kehilangan minat untuk berdebat.

Maka, Hongjoong memilih untuk sependapat saja. Senyum kecil muncul saat dia menimpali, “Kau pintar bicara, ya.”

“Apa itu pujian?”

Hongjoong tertawa saja. Rasanya agak memalukan memberikan pujian pada Mingi secara terang-terangan. Alpha yang satu itu mudah sekali disanjung.

“Jangan terlalu besar kepala,” ujar Hongjoong.

Mingi menyangkal, “Bukan besar kepala, tapi itu namanya percaya diri. Sunbae, kau tidak tahu kalau gara-gara itu aku jadi populer di kalangan adik kelasku.”

“Oh iya,” Hongjoong tiba-tiba teringat sesuatu karena ucapan Mingi. Dia pun memutuskan untuk berbicara sedikit lebih serius. “Mingi, sebenarnya dari kemarin—”

Perkataan Hongjoong terhenti saat seseorang memanggil namanya, “Oi, Hongjoong!”

Hanya ada mereka berdua. Kelihatannya sepasang mate tersebut terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Hongjoong menoleh ke arah sumber suara tepat sesudah kakinya berhenti secara spontan. Mingi pun demikian. Hingga kemudian mereka bisa melihat kakak laki-laki Hongjoong yang tengah duduk di atas motor tepat di ujung belokan. Keduanya lantas mendekat.

Hyung,” kata Hongjoong, “apa yang kau lakukan di sini?”

“Apa lagi? Tentu saja menjemputmu,” laki-laki itu menjawab.

Sesaat Hongjoong memperhatikan sang kakak. Raut wajahnya entah mengapa agak tertekuk. “Tapi,” suaranya menyiratkan hati yang berat dengan tatapan turun lurus memperhatikan, “motorku.”

Pria itu mengendarai motor sport hitam yang biasa dibawa Hongjoong ke mana-mana.

Akan tetapi, sang kakak tak mengindahkan raut merajuk adiknya dan justru mengatakan hal lain. “Ada orang yang mengikuti kalian dari tadi. Kalian punya musuh, ya?”

“Hah? Yang benar? Mana?” Mingi bertanya-tanya, lalu menoleh ke sana kemari.

“Makanya jangan pacaran saja,” kakak Hongjoong mencibir cukup tajam pada Mingi. Dengan sorot mata membunuh dia memperingatkan, “Hei, kau. Kalau kau tidak menjaga adikku betul-betul, habis kau di tanganku.”

Hal tersebut membuat Hongjoong malu, jadi dengan wajah sebal dia memukul lengan sang kakak. “Hentikan itu!”

Laki-laki itu sekali lagi tak menggubris ocehan adiknya dan lantas menyodorkan helm sembari berkata, “Ayo naik.”

Hongjoong kontan mengerutkan kening. “Hyung, aku akan pulang dengan Mingi,” ujarnya seraya menoleh pada sang alpha barang sesaat.

Mingi tak mengatakan apa-apa atau pun sekadar memberikan anggukan, tapi sorot matanya membawa kesan satu pemikiran dan satu perasaan dengan mate-nya.

Namun respons yang diterima tak sesuai ekspektasi Hongjoong. Kakaknya menatap dengan tatapan penuh dakwaan sehingga mau tak mau dia tutup mulut. Tidak boleh ada bantahan.

Tanpa sadar Hongjoong menggenggam seragam Mingi di sebelahnya dengan erat. Seakan dirinya masih belum rela berpisah dengan mate-nya tersebut.

Mingi menyadarinya, jadi dia kemudian menepuk punggung Hongjoong. “Hei, tidak apa,” katanya, agar sang omega tak terlalu kecewa. “Kita bisa pulang bersama besok.”

Padahal, mereka tak selalu punya kesempatan untuk pulang bersama seperti ini. Padahal, jarang-jarang mereka akhirnya bisa berduaan seperti ini. Hongjoong ingin mengatakan hal-hal tersebut pada kakaknya, tapi lelaki itu pasti hanya akan mengomel dan mengkritiknya karena terlalu banyak merengek—terutama semenjak mating.

Alhasil, meski dengan berat hati, Hongjoong akhirnya menerima helm yang diulurkan kakaknya. Dia mengucapkan sampai jumpa pada Mingi sebelum naik ke atas jok, mesin dihidupkan dan seketika kakaknya menginstruksikan, “Pegangan yang erat.”

Ketika Hongjoong meraih pinggang kakaknya, Mingi tiba-tiba memegangi sambil mengatakan, “Tapi jangan terlalu erat.”

Begitu merasakan tangan sang adik ditarik, kakak laki-laki Hongjoong menoleh, raut wajahnya tampak tidak suka. Lancang sekali, pikirnya. Sedangkan Mingi cuma cengengesan.

Lalu, sebelum ikut mendapat omelan dari calon kakak iparnya, Mingi buru-buru pergi dari sana secepat mungkin. Di kejauhan dia masih sempat-sempatnya melambaikan tangan tinggi-tinggi kepada Hongjoong, lengkap dengan wajah cerianya.

“Anak itu,” Hongjoong mendengar kakaknya menggeram, tapi dia sendiri tak peduli.

Sikap Mingi barusan cukup membuat suasana hati Hongjoong membaik. Tidak tahu pasti apa alasannya. Itu tadi klise, tapi memang berhasil membuat Hongjoong senyum-senyum sendiri. Masih sambil memikirkan Song Mingi dan tingkah menggemaskannya, dia sampai tanpa sadar kembali melingkarkan lengannya ke tubuh tegap di depannya, bahkan dengan lebih erat.

Sekejap sang kakak mengerjap. Adiknya memeluk terlalu erat. Sial, dia sampai bisa merasakan feromon Song Mingi dari tubuh Hongjoong—tentu saja, ditambah lagi anak laki-laki tersebut memang mengenakan seragam sang alpha—dan itu membuatnya muak.

“Hei, Hongjoong,” sang kakak memanggil, berniat mengatakan pada adiknya untuk sedikit mengendurkan lengan.

Namun Hongjoong yang masih larut dengan euforia semata-mata membalas, “Ayo kita pulang, Hyung,” dengan suara kecil nan riang.

Kegembiraan sederhana ini rasanya berat untuk dirusak.

.

.

.

Malam itu seusai makan malam, Mingi mengecek ponsel dan mendapati tiga panggilan tak terjawab dari Hongjoong serta satu pesan bertuliskan, Kau sedang apa, Mingi?

Mingi berpikir tumben-tumbennya Hongjoong menelepon. Lazimnya anak lelaki itu tak suka berbicara lewat telepon dan, kalaupun ada hal mendesak, pasti akan disampaikan lewat pesan singkat.

Sambil sedikit bertanya-tanya Mingi mengirimkan pesan balasan kepada Hongjoong.

Maaf, aku baru selesai makan malam. Apa ada sesuatu?

Pesan segera terkirim dan tak sampai tiga menit langsung dibaca. Sesaat berselang panggilan dari Hongjoong kembali masuk ke ponsel Mingi.

“Hongjoong Sunbae,” Mingi menjawab dengan nada senang.

Setelah itu terdengar suara Hongjoong membalas, “Mingi...”

Baru saja Mingi memikirkan pertanyaan untuk diberikan pada sang omega, tapi sedetik kemudian dia mengernyit. Sebab, suara Hongjoong terdengar tak seperti biasanya. “Kenapa suaramu begitu? Kau baik-baik saja?” dia bertanya.

“Aku sedang heat,” kata Hongjoong pelan.

“Oh,” lagi-lagi Mingi sempat terdiam. Sudah satu bulan ternyata. Dia tidak tahu pasti perlu mengkhawatirkan omeganya itu atau tidak, tapi dia memutuskan untuk menanyakan saja, “Kau tidak apa-apa? Sudah minum obat?”

“Eum,” Hongjoong menjawab setengah merintih, “tapi sepertinya tidak terlalu membantu.”

Tampaknya Mingi tak berlebihan mencemaskan Hongjoong. Omeganya itu jelas tidak terdengar sedang baik-baik saja.

“Apa memang biasanya seperti ini?” Mingi bertanya penuh rasa cemas.

“Tidak,” kata Hongjoong. “Baru kali ini saja... Biasanya sakitnya akan langsung hilang setelah minum obat... tapi ini—ugh... Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena sekarang aku sudah ditandai.”

“Kau sudah memberitahu ibumu? Pergilah ke rumah sakit.”

“Tidak... Aku tidak memberitahu siapa-siapa...”

“Kalau begitu aku akan ke sana. Aku yang akan mengantarmu ke rumah sakit, kita pergi sama-sama.”

“Tidak perlu, Mingi.”

“Kenapa?”

“Aku hanya sedang heat. Kalau kita pergi ke luar, aku akan menarik perhatian alpha lain.”

“Aku akan melindungimu.”

“Aku tidak mau, Mingi,” kata Hongjoong cepat. Sesaat nada bicaranya menanjak, sebelum kemudian kembali memelan saat menambahkan, “Aku takut.”

Karena intonasinya yang berkesan memelas, Mingi tak sampai hati untuk terus membujuk. Dan lagi, apa yang dikatakan Hongjoong sebelumnya memang layak dipertimbangkan. Dia pun akhirnya memilih untuk bersepakat dengan mate-nya sekalipun kekhawatirannya belum mereda.

“Apa ada yang bisa kulakukan untukmu?” Mingi akhirnya bertanya.

Hongjoong diam sejenak sebelum bersuara kembali, masih dengan nadanya yang terdengar tak berdaya. “Aku ingin kau.”

“Kau mau aku datang ke sana?”

“Tidak—jangan. Maksudku, kalau kau datang... aku mungkin tidak bisa menahan diriku.”

Mingi sempat berniat mengatakan bahwa itu tak masalah. Toh, mereka sudah menjadi mate. Namun, sedetik kemudian dia pun setuju.

Benar, Mingi tak boleh berada bersama sang omega yang sedang heat. Dia tak mau mengambil risiko. Sebelumnya dia kelepasan melakukan marking saat gagal menahan diri dari feromon Hongjoong, jika terjadi lagi mungkin saja dirinya tak tahan untuk melakukan yang lain—knoting misalnya. Dia mungkin bisa menggunakan pengaman, tapi tetap saja, risiko tentu masih ada.

Jadi, tak banyak yang bisa Mingi perbuat selain menghibur.

“Aku harap ada yang bisa kulakukan untukmu, sayang?”

Mingi tidak pernah tahu Hongjoong diam-diam tersenyum di sisi lain. Ini pertama kalinya Hongjoong dipanggil sayang oleh Mingi. Entah mendapat gagasan dari mana alpha yang satu itu tiba-tiba menetapkan panggilan.

“Temani aku saja,” kata Hongjoong. “Aku ingin dengar suaramu, Mingi.”

Suara Hongjoong diiringi erangan dan rintihan. Dia kesakitan, tapi di satu sisi juga dipenuhi libido. Alhasil, Mingi yang mendengarnya tak mungkin untuk tidak ikut merinding.

Sial, Mingi betul-betul ingin bercinta dengan Hongjoong saat ini.

Sunbae,” Mingi memanggil, sebab itu saja yang bisa dilakukannya.

Terdengar Hongjoong kembali mendesah. “Jangan panggil aku seperti itu, Mingi—” sesaat dia berhenti dan mengerang, “kita sudah menjadi mate... Ugh... Sampai kapan kau mau memanggilku sunbae?”

“Lalu aku harus memanggilmu apa?”

“Apa saja,” kata Hongjoong kepayahan. “Kau boleh memanggil namaku kalau mau.”

Hening sesaat, sebelum kemudian terdengar Mingi bersuara, “Kim Hongjoong.”

“Aahh, sialan.”

Mingi mengerjap. Barusan itu, suara Hongjoong terdengar seksi sekali. Apa yang terjadi pada omega itu? Apa yang dilakukannya? Mingi betul-betul ingin tahu.

“Mingi...” Hongjoong lagi-lagi mengerang, “aku ingin memelukmu.”

Deru napas berat Hongjoong terdengar jelas di ponsel Mingi.

“Hongjoong, kau baik-baik saja?” Mingi bertanya-tanya, entah mengapa dia jadi lebih berdebar-debar.

“Aku ingin kau menyentuhku, Song Mingi... Eunghh...”

Sejenak Mingi memejamkan mata dan membungkam mulutnya. Sialan. Hongjoong membuat sekujur tubuhnya memanas.

Mingi ingin tahu, apa Hongjoong sedang menyentuh dirinya sendiri saat ini? Sebab, Mingi kini berjalan menuju toilet dan berniat melakukan sesuatu. Pintu pun dikuncinya rapat-rapat.

“Hongjoong,” Mingi memanggil nama sang omega.

“Mingi... aku menginginkanmu...”

Ya Tuhan, Hongjoong yang sedang heat benar-benar berbahaya.

Mingi tidak bisa menahan diri.

Jika saja Mingi tahu, Hongjoong saat ini tengah mati-matian menahan nafsu. Sama halnya seperti sang alpha, dia juga amat ingin bercinta dengan dengan mate-nya tersebut. Bahkan, begitu menggebu-gebu hasrat dalam dirinya, sampai membuatnya tergerak mencari seragam Mingi yang beberapa waktu lalu dia pinjam dan belum dikembalikan.

Hongjoong memeluk seragam tersebut dan mencium aroma yang tersisa di sana, membayangkan sosok Mingi benar-benar berada bersamanya. Bersamaan itu dia menjamah dirinya sendiri.

Tak jauh berbeda dengan yang tengah dilakukan Mingi di lain tempat.

Mereka hanya terhubung lewat telepon, tapi lebih dari itu, jiwa mereka memang telah menyatu sejak awal.

.

.

.

_TBC_

Ada yg baca gak? Ada yg masih nunggu? Gak ada? ...book ini lama banget gak apdet ya. Mian :""

Meski book ini ngebosenin, meski gk sesuai ekspetasi, meski apdetnya lama dan meski peminatnya dikit, ku berharap semoga book ini tetap bisa menghibur

Makasih banyak buat kalian yg ikutin book ini sampe sejauh ini.. Makasih juga banyak-banyak buat para voter & komentator atas apresiasinya.. Lophyu lophyu~ 💕

Continue Reading

You'll Also Like

439K 44.6K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
764 91 15
Kelakuan Changbin yang hari-harinya cari perkara sama mantan atlet karate. Ceritanya sih sekarang Felix jadi gamers, anak agensi, plus anak sekolah...
289K 22.4K 103
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
5.8K 444 21
Aku melihatnya, kau adalah seorang pembunuh. This story based on movie "Recalled" Plottwist ⚠️ BxB Angst⚠️ Mingyu x Wonwoo ⚠️Sorry banyak typo