You Just Met The Wrong Person

By DrReno

29.8K 4.4K 192

(Sedang di revisi) Setelah kasus kesalahpahaman tersebut, Ken harus memulai hidupnya dari awal. Pindah sekola... More

Prolog
Pink!
Pink! (2)
Affection!
Affection! (2)
True Love Comes From Family!
Pink! (3)
True Love Comes From Family! (2)
True Love Comes From Family! (3)
True Love Comes From Family! (4)
True Love Comes From Family! (5)
Professional Or Plain?
Let Me Get This Straight!
Let Me Get This Straight! (2)
Something Wrong Happened Here!
Something Wrong Happened Here! (2)
Ken Jackson!
The Scapegoat!
The Scapegoat! (2)
Them!
The Scapegoat! (3)
The Scapegoat! (4)
The Scapegoat! (5)
Silly, How It Feel!
Like We Should And Say We're Good!
Like We Should And Say We're Good! (2)
Like We Should And Say We're Good! (3)
Like We Should And Say We're Good! (4)

Pink! (4)

573 142 3
By DrReno

Jalanan lebih sepi daripada biasanya, walau sinar jingga di langit juga sudah lebih menghitam, tetapi Ischar adalah tempat yang padat. Waktu seperti ini lah seharusnya keadaan jadi ramai. Ken merasa ini tentang sesuatu yang sedang terjadi di kota, entah apapun itu, tetapi orang-orang--terutama murid sekolah--diminta untuk segera pulang bahkan saat pagi hari.

Ken memilih untuk berjalan kaki, tetapi sepanjang langkahnya menapak hanya ada kegelisahan. Ken belum mau pulang ke rumahnya, dia tidak ingin pulang ke rumah. Empat hari lalu Sean menjelaskan kalau ayahnya pergi untuk urusan pekerjaan yang tidak mereka ketahui, dan meski begitu Ken masih melewati setiap jam dalam ketakutan.

Lalu hari ini adiknya mengirimkan pesan. Ayah sudah pulang. Ken hanya bisa bergidik saat mengetahui hal tersebut.

"Aku harus ke mana sekarang?" gumamnya sembari menghela napas.

Baru saja akan menyimpan ponselnya dan benda itu bergetar lagi. Pesan lainnya, berpikir itu dari Sean, tetapi kali ini dari nomor yang tidak tersimpan.

"Ken, apa kau sibuk malam ini?" Jelas dari pesan tersebut, pengirimnya mengenal Ken. Baru saja dia akan bertanya siapa dan pesan berikutnya masuk. "Ini aku, Arthur. Nomor baru. Kami kewalahan di sini, bung, butuh banyak tangan. Kalau misalnya tidak sibuk bisa kau kemari?"

Ken bernapas lega, benar-benar lega. Seakan angin segar menerpa wajahnya. Tentu saja dia menawari tawaran itu, karena itu artinya dia tidak perlu pulang ke rumah.

"Ya, segera ke sana," balas Ken dan menyimpan ponselnya kembali. Sudut bibirnya naik dengan segera.

Namun, seakan kebahagiaan memang tidak berpihak padanya, dalam beberapa detik saja senyuman itu turun. Bahkan berubah panik begitu menemukan ada dua laki-laki tengah berjalan ke arahnya.

Ken tidak akan bersikap seperti itu kecuali mengenal mereka. Dia tahu akan terjadi sesuatu yang salah kalau harus meladeni mereka. Jadi dengan cepat Ken berbalik, dan betapa terkejutnya saat menemukan ada tiga orang lain yang juga mendekat. Salah satunya bahkan membawa balok kayu.

"Mau ke suatu tempat?" Laki-laki yang membawa balok kayu bertanya. Ken memutar kepalanya untuk melihat situasi. Tak ada jalan keluar, dia terkepung. Dirinya dalam bahaya.

"Apa yang kau mau, Neal?" balas Ken geram, tetapi orang-orang itu tak bergeming sedikitpun.

Neal tak menjawab, justru memberikan ancaman dengan memainkan balok kayu di tangannya, yang membuat Ken segera meneguk ludah. Ken mencoba mundur, tetapi punggungnya sudah tepat berada di tepi dinding bata.

"Sudah pernah kubilang, aku akan terus menghajarmu kalau kulihat wajah menjijikkanmu itu." Neal mengangkat baloknya, dan mengarahkan ujung tumpulnya ke depan wajah Ken. "Kau mungkin sudah pindah sekolah—dan itu bagus, tetapi beberapa hari yang lalu kau muncul entah dari mana, bertemu dengan Gina dan membuatnya menangis."

"Jika kau berpikir sesuatu yang aneh, kau salah!" tegas Ken tidak terima.

"Kau tidak punya hak untuk membela dirimu di sini, dasar penjahat. Sekarang saatnya menghabisimu!" Wajah Neal berubah tegang, gigi-giginya bergemeletuk semakin dia mendekati Ken.

Ini semakin buruk. Ken tak tahan lagi, dia sontak menurunkan tubuh dan berlari coba menerobos mereka. Namun, sesuai dugaan tubuhnya dengan mudah ditahan lalu didorong kembali ke belakang. Saat mengangkat kepala, balok kayu itu sudah berayun tepat ke pipinya.

Tubuhnya terhempas ke dinding, membuatnya terhuyung dan topinya terlepas. Ken menjerit dengan segera, hal itu disambut gelak tawa yang nyaring. Rasanya memang sangat sakit, tetapi Ken tidak ingin tinggal diam. Dia bergegas bangkit dan mengerahkan bogem mentahnya ke pipi kanan Neal. Serangan itu membuatnya terhuyung.

Melihat hal itu sontak membuat teman-teman Neal langsung ikut menyerang. Salah satunya maju dan berhasil meninju perut Ken, tetapi remaja itu juga memberikan serangan balasan.

Dia tidak pernah sempat untuk menghindar, tetapi setiap satu pukulan Ken langsung membalasnya. Memberikan kepalan tangan yang keras ataupun tendangan dari sepatunya yang tebal. Ken tahu dia akan kalah, apa yang dilakukan hanya bertahan lalu melarikan diri saat ada kesempatan.

Hingga tekanan yang besar mendarat di punggung Ken. Kali ini cukup keras hingga menyentakkannya, dan membuatnya jatuh ke tanah. Tidak lagi ingin memberinya kesempatan, dua orang sigap mengangkat Ken yang masih coba memulihkan diri, lalu menahannya ke dinding.

"Lepaskan aku sialan!" amuk Ken dengan wajah yang memar.

Dengan kesal Neal meremas tangannya. Kemudian dia meludah ke samping. Ada darah juga. Dia terkesan Ken bisa memukulnya sekeras itu. Namun, amarahnya jauh lebih besar. Neal membuang kayunya, dan memukul perut Ken sangat keras hingga dia langsung terbatuk dan memuntahkan air liurnya.

Namun, tidak hanya sekali, Neal terus memukulnya di tempat yang sama sampai yang keluar seutuhnya darah. Ken dilepaskan karena mereka yakin anak itu tidak akan lagi bisa melakukan apapun. Benar saja, tubuhnya sudah kehabisan tenaga, Ken terjatuh begitu saja sembari meremas perutnya yang kesakitan.

Napasnya tak beraturan. Seluruh tubuhnya kesakitan. Ken bahkan belum sempat untuk melakukan apapun dan Neal meraih lehernya dengan kasar, kemudian mencengkeramnya dan berusaha mengangkatnya ke atas. Lalu dengan emosi yang meluap-luap membanting tubuh Ken yang sudah mengenaskan kembali ke dinding.

Kini udara benar-benar menipis. Kedua tangannya berusaha mencakar Neal, tetapi dia benar-benar tak mampu. Seluruh penglihatannya menjadi buram dan menghitam.

"BERHENTI DI SANA!"

Hingga suara teriakan yang sangat keras mengejutkan Neal dan teman-temannya. Sontak tangannya melepaskan Ken. Menoleh ke kanan, mereka menemukan remaja perempuan berdiri di sana memperhatikan mereka.

"AKAN KULAPORKAN KALIAN SEMUA PADA POLISI!" Mereka langsung berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Membiarkan Ken di sana yang bahkan tak lagi bisa bergerak.

Gadis tadi sontak mendekat, dia hanya bisa terkesiap saat mendapati kondisi Ken yang terkapar tak berdaya.

"Ken! Astaga, mereka benar-benar keterlaluan."

Dengan panik dia meraih ponselnya dan mengetikkan nomor panggilan darurat. "A--Akan kuhubungi rumah sakit. Bertahanlah, Ken!"

Belum bahkan sempat memanggil, Ken malah menaruh tangannya ke lengan gadis itu untuk menghentikannya.

"Arthur. Ponselku. Olivia," ucapnya terbata-bata dengan suara hampir serak.

"Arthur? Apa maksudmu?"

"Aku mohon!" Ken berteriak, gadis itu sontak terkejut. "Jangan ... rumah sakit."

Suaranya memelan, dan kemudian terdiam. "Ken?! Ken?! Sadarlah! Bicara padaku!"

Gadis itu sadar Ken sudah kehilangan kesadaran. Meski telah menepuk pipinya berkali-kali, tak ada apapun yang terjadi.

***

Panik, begitulah yang Ken tengah rasakan. Besok adalah ujian Fisika dan dia belum sempat belajar karena tugas seni yang memakan waktunya selama seminggu.

Dia berusaha untuk tetap fokus, mencoba berpikir kalau soal ujiannya tidak akan terlalu sulit. Bahkan hatinya sempat berharap kalau ujian akan dibatalkan jadi dapat mengambil kesempatan untuk belajar lebih baik.

Namun, baru saja matanya bergulir di atas buku, semua itu pecah saat ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Tangannya refleks menggapai benda itu, dan saat menyadari sahabatnya memanggil, Ken langsung mengangkat.

"Neal, ada apa?"

"Gina ada di rumah sakit! Kemari, sekarang!"

Panggilannya ditutup begitu saja. Ken terkejut sekaligus kebingungan, suara Neal berhasil menyentakkannya sejenak. Bahkan Sean yang sedang santai membaca komik di atas kasur ikut menyadari perubahan wajah kakaknya.

Kalau dia ingat-ingat, kemarin Gina tidak masuk sekolah. Apa mungkin cewek itu sakit? Tak ingin membuang waktu lagi Ken akhirnya turun ke bawah. Mencari ayahnya yang ternyata sedang berada di garasi, tengah menelepon dengan seseorang.

"... kuhubungi kau nanti." Pria itu ikut menutup panggilannya, lalu bertanya pada Ken. "Ada apa?"

"Bisa pinjam mobil ayah sebentar? Aku harus ke rumah sakit, temanku ada di sana."

"Biar ayah yang mengantarmu." Suara ayahnya agak datar, pikir Ken mungkin beliau juga punya masalah dari teleponnya tadi. Setidaknya dia bisa pergi ke rumah sakit dengan cepat.

Walau sepanjang perjalanan Ken semakin cemas di setiap detiknya. Jarinya terus mengetuk kompartemen mobil atau pahanya sendiri. Ken baru tersadar kalau terakhir kali dia bertemu Gina saat mengantar gadis itu pulang ke rumahnya. Dia baik-baik saja saat itu, apa mungkin terjadi sesuatu setelahnya?

Saat tiba di rumah sakit, Ken segera menuju meja resepsionis dan buru-buru naik ke lantai tiga tempat Gina berada. Perawat tadi mengatakan temannya berada di UGD. Di depan sana ada Neal dan beberapa orang lainnya, salah satunya berpakaian biru tua. Itu polisi, Ken ingin membuang jauh-jauh pikirannya, tetapi sekarang dia sangat yakin sesuatu yang buruk baru saja terjadi.

Baru saja akan memanggil Neal, seketika kerah bajunya ditarik. Bukan hanya itu, wajahnya ditinju hingga dia tersungkur.

Keributan mengisi lorong. Ayah Ken bergegas ke sana untuk memisahkan putranya yang masih terperanjat mendapatkan pukulan itu. Sementara Neal mendengus dengan amarah, berteriak pada Ken.

"Kenapa kau melakukannya, Ken?! Kenapa?!"

"Ada apa ini? Kenapa kau memukul Ken?" tanya ayah Ken yang masih tak mengerti.

Kemudian dari dalam UGD, seorang pria dan dokter dengan jas putihnya keluar. Mata pria itu memerah dan basah. Lalu menggapai bahu Ken dengan kencang.

"Apa kau Ken? Apa kau yang namanya Ken Jackson?!" Pria itu mengguncang Ken seakan terpukul.

Ken masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Neal memukulnya? Mengapa pria itu mencarinya?

"A--Ada apa sebenarnya ini? Aku tidak mengerti apapun," ucapnya masih menahan sakit.

"Aku yang seharusnya bertanya padamu. Kenapa kau tega melakukan itu pada Gina?!" Neal semakin murka. Petugas polisi itu terus menahannya karena dia masih ingin memukul Ken.

"Apa yang kulakukan pada Gina?! Ada apa ini sebenarnya?"

Akhirnya petugas polisi itu yang berbicara. "Gina Sage dilaporkan menghilang, belum kembali selama lebih dari 24 jam. Kemudian dia muncul di depan rumahnya berteriak kesakitan, tak mengenakan apapun dan terluka. Ada banyak bekas luka dan kekerasan, termasuk di alat kelaminnya."

"A–Apa?" Ken terkesiap.

Lalu pria tadi kembali menekan bahu Ken, bahkan kali ini seperti berusaha mencengkeramnya. "Sekarang putriku ada di dalam sana tak lagi sadarkan diri, tetapi dia bilang kalau Ken adalah orang terakhir yang bersamanya."

Mata pria itu bergetar dengan putus asa. "Apa kau yang melakukannya? Apa kau yang menyakiti putriku?!"

"A--Aku. Aku tidak melakukannya. Aku memang mengantarnya pulang, tetapi dia sendiri yang minta untuk sampai di jembatan saja. Aku tidak melakukan apapun!" balas Ken tidak terima.

"Dia memang pelakunya! Aku tahu kau yang melakukannya! Kau harus menahannya sekarang!"

"Aku tidak--"

"Kami tidak akan menahan siapapun untuk sekarang, tetapi kami akan membutuhkan kesaksianmu nanti," petugas itu kembali berusaha menenangkan suasana yang semakin panas.

Pria tadi lalu berpindah pada ayah Ken. "Apa dia putramu? Dengarkan aku baik-baik, kalau anak itu bersalah, dia harus bertanggung jawab untuk semuanya."

Sejak tadi dia hanya terdiam, tak mengatakan apapun. Sekarang dia maju ke depan, Ken pikir ayahnya akan membelanya, tetapi yang terjadi justru di luar dugaan. "Maafkan putraku. Aku sungguh menyesal untuk putrimu."

"Tapi, Ayah, aku tidak--"

"Kami akan pulang sekarang. Permisi." Lalu Ken dibawa pergi, tak sedikitpun mereka berbalik saat itu. Namun, dia masih bisa mendengar teriakan Neal.

"Aku tidak akan pernah memaafkanmu!"

Tak ada yang berbicara selama perjalanan pulang yang cepat itu. Mobil melaju lebih kencang daripada saat pergi ke rumah sakit. Begitu tiba di rumah, ayahnya langsung keluar mobil. Ken buru-buru mengejarnya masuk.

"Ayah, ayah percaya padaku--" Belum selesai bicara, sebuah tamparan keras mendarat begitu saja di pipi kanannya.

"Jack! Apa yang kau lakukan!" Ibu Ken yang duduk di sofa seketika terkejut dan bergegas menuju Ken. Memeriksa keadaan putranya yang kini dibuat membeku. Dari lantai atas Sean sama tak percayanya, tetapi hanya memperhatikan tanpa berani mendekat. "Kenapa kau menamparnya?!"

"Jadi itu tujuanmu? Kau membawaku ke sana dan mempermalukanku? Apa itu yang ingin kau lakukan?!" Pria itu berteriak murka, baru kali ini Ken melihat ayahnya bisa semarah itu. Untuk menjawab pun Ken malah gemetar.

"Aku tidak--"

"Naik ke kamarmu, sekarang," ucapnya mendesis.

"T--Tapi, ayah--"

"Naik ke kamarmu sekarang!"

Mata Ken terasa penuh, dan sebelum benar-benar tumpah dia bergegas naik. Melompati sampai tiga anak tangga dan menuju meja belajarnya. Dengan kesal dia memukul meja itu sampai beberapa perabotnya goyah dan terjatuh.

Punggungnya bergetar, tangis Ken akhirnya tumpah. Dia berusaha menutup wajahnya dengan kedua tangan, tetapi tak dapat menahan air matanya.

"Aku tidak melakukannya, tidak pernah."

Continue Reading

You'll Also Like

290K 20.2K 35
Disatukan dengan murid-murid ambisius bukanlah keinginan seorang Keyla Zeara. Entah keberuntungan apa yang membuat dia mendapatkan beasiswa hingga bi...
1.9K 197 7
Tolol adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaanku saat ini. Terlalu berharap kepada komet membuatku lengah, jatuh kemudian terhanyut oleh...
2.9K 1K 12
[COMPLETE] . . Itu hanyalah sepasang ayunan tua. Tak berguna, tak terawat, tak begitu menyenangkan. Tapi bagi Kinar, itu adalah sepasang ayunan. Tak...
17.3K 1K 16
Di tengah kontroversi tentang laki-laki yang memiliki rahim, seorang pemuda terkejut saat hasil tes medisnya menunjukkan kondisi langka tersebut. Sem...