Oh My Husband!

By twelveblossom

221K 20.1K 8K

Daripada dijodohkan dengan a crazy rich grandpa, Lizzy lebih memilih menikah dengan temannya yang dia cap seb... More

1. Pernikahan Dengan Kontrak Tertulis
2. Tidur Bersama Tala
3. Menangis di Pelukan Tala
4. Kiss Kiss Untuk Tala
5. Naik Satu Tangga
6. Ada Yang Aneh Dengan Lizzy
7. Lizzy Lupa-lupa Ingat
8. Terbangkan Aku ke Bulan
9. Hujan Punya Cerita
10. Sedihnya Tanpa Alasan
11. Obrolan Singkat Sebelum Berperang
12. Seberapa Berani Felicia?
13. Si Beruang Galak
14. Kerisauan Hati Felicia
15. Serba Terburu-Buru
16. Malam Ini, Kamu Untukku
17. Mengetuk Pintu Rumah Malaikat
18. Yang Paling Cantik Ya Felicia, Lah
19. Aku Berharap Waktu Berhenti, Tapi Tidak Bisa
20. Kalau Tidak Percaya, Kamu Pergi Saja
21. Waktunya Maaf-Maafan
22. Yang Sengaja Disembunyikan
23. Malaikat Kematian Pun, Punya Pengecualian
24. Kisah yang Lama Hilang
25. Yang Hilang Bersama Angin Musim Hujan
26. Suara dari Keheningan
27. Alasan Yang Sulit Diterima
29. Hidup yang Singkat pun Akhirnya Diakhiri
30. Pikiran Yang Rancu - S1 selesai
31. Dunia Yang Terbalik
32. Tidak Masalah Jika Kamu Melupakanku
The Heartless Marriage
33. Dia Yang Egois

28. Satu-Satunya Yang Linglung

3.5K 411 235
By twelveblossom

"Kamu hanya perlu satu kalimat dan sepuluh detik untuk menyakitiku, Nabastala."

-oOo-


"Hah," aku menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya dalam satu menit terakhir.

"Kamu lagi mikirin apa, Sayang?" Tala bertanya.

Nabastala sedang dalam mode manja. Dia tidur santai dengan menggunakan pahaku sebagai alas kepalanya. Kami sedang menonton film karena baik Tala mau pun aku enggan tidur. Tapi, tidak ada satu pun dari kami yang memperhatikan tiap adegan yang berputar. Tala justru memosisikan diri membelakangi layar, kepalanya menghadap perutku, menciumnya beberapa kali―katanya perutku mirip squishy jadi dia gemas. Hah, ucapannya itu secara tidak langsung menyatakan jika aku mulai gendut―bergelambir. Namun, aku mengabaikan sindirannya, justru sibuk dengan pikiranku sendiri.

Serebrumku masih memutar jawaban Jasper tadi siang. Berulang kali aku mencoba berhenti berpikir soal Jasper, dalam jumlah yang sama percakapan kami tadi siang―kembali masuk menginterupsi.

"Sebenarnya hadiah ini dari Tuan Muda, tapi beliau terlalu malu untuk memberikannya langsung," kata Jasper.

Jasper memilih menekankan siapa yang memesankan kalung itu daripada menjawab pertanyaan konyolku. Aku mengajukan tanya soal siapa Jasper sebenarnya. Pertanyaan bodoh. Jasper itu Jasper, memangnya dia bisa menjadi siapa lagi? Spiderman? Doraemon? Kepompong? Kecebong?

Meskipun aku sendiri mengakui kebodohanku dan memaklumi Jasper untuk tidak menggubrisku ... aku tetap terbayang-bayang. Bagaimana jika Jasper merahasiakan sesuatu tentang dirinya?

Aku selalu meyakini sesuatu sesuai dengan yang ingin kuyakini. Aku tidak ingin Jasper menjadi siapa pun yang asing bagiku, jadi aku berusaha menelan dengan baik pernyataannya. Padahal, hal yang paling aku benci adalah berperan sebagai orang bodoh yang linglung. Aku justru bertingkah begitu tanpa kusadari.

Oke, aku ingin mengurai semuanya agar dapat menjadi fakta yang tak terlalu mengejutkan bagiku. Aku menanamkan dalam pikiran apabila Jasper hanya penjagaku, dia tidak mempunyai wewenang lebih dari itu. Kesimpulannya, aku memberi perintah kepada pikiranku untuk meyakini, pasti Tala yang sudah membelikan kalung mahal dan langka ini.

Setelah aku konfirmasi kepada Tala, suamiku mengaku jika dia yang mendesain dan memesan secara khusus. Sungguh hal yang jarang terjadi. Tala itu orang kaku yang hidupnya tegak lurus. Dia bukan tipe laki-laki romantis yang rela memikirkan desain kalung untuk wanitanya. Apalagi, tulisan dan gambar Tala jelek. Jangankan mendesain kalung cantik, dia gambar telur ayam aja bisa keliru bentuknya jadi telur dinosaurus.

"Apa kamu masih gak percaya kalungnya dari Mas Tala?" Tala mengoceh. Dia bangkit dari sofa kemudian menuju ranjang, memilih berbaring di sana―menjauh dariku.

"Soalnya Mas Tala gak punya jiwa estetik. Mana mungkin ngasih aku kalung cantik begini?" Aku menyusulnya. Lebih tepatnya, aku menindih Tala yang tidur terlentang. Aku melihat ekspresinya dari dekat.

"Aku minta tolong Jasper buat pilihkan yang bagus."

"Beneran?" Aku masih ragu, tapi juga mulai terdistraksi karena rupawannya Tala mengacak konsentrasiku. Apalagi, aku bisa melihat matanya cantik dan bulu mata yang lentik. Menurutku, senjata paling mematikan dari Nabastala adalah keindahannya.

Tala cemberut. "Ya, sudah kalau tidak percaya."

Aku tertawa kecil lalu mencium singkat bibir Tala. "Sayangnya Felicia," ujarku sambil mengecup pipi kanan dan kirinya. "Aku percaya," putusku karena enggan memulai debat kusir.

Tala diam sementara diriku bersembunyi di antara ceruk leher Tala. Aku mendapati Tala bergerak sedikit, mungkin dia geli.

"Wangi jeruk," aku berkomentar.

"Hmm, waktu kita belum bertemu, Mas Tala sengaja mandi pakai sabun wangi jeruk."

"Biar apa?"

"Kamu kan wangi jeruk. Jadi, biar gak kangen."

"Hehehehe."

"Kok ketawa?"

Aku melebarkan spasi demi bisa menatapnya. "Mas Tala gombalnya makin jago."

"Ketularan kamu."

Aku kembali mencium Tala. Aku tidak merencanakan kecupan kali ini berakhir singkat ketika Tala mulai membuaka bibirnya, menyambutku.

"Mmmh," suaraku terdengar.

Nabastala yang selalu pandai melakukan ini memimpin aktivitas kami. Aku ingin menurutinya, tanganku bergerak merangkul lehernya membuatnya semakin lama di sana dan dalam.

Tala melepaskan tautan kami beberapa menit kemudian. Nafasku terengah, dia memandangiku sambil memainkan suraiku. Wajahku rasanya panas, keringatku juga jatuh. Padahal ruangan ini ber-AC tapi rasanya seperti sauna, jika berdekatan dengan Tala.

"Waktu aku mencium Mas Tala tadi, rasanya beda."

"Bedanya, apa?"

"Mas Tala kayak habis mencium orang selain aku?" Pernyataanku memiliki kalimat tanya.

Tala diam sebentar kayaknya dia menganggap serius ramalanku. Padahal aku hanya memancing ikan lele malah dapat paus.

"Kalau ternyata iya, apa kamu bakal marah?"

"Apa Mas Tala sudah pernah tidur sama Rana?" Aku justru bertanya begitu. Iya, kenapa ya aku bertanya soal itu?

"Kenapa jadi Rana lagi?"

"Soalnya setahuku pacar perempuannya Mas Tala cuma Rana. Biasanya Mas Tala sukanya sama laki-laki." Aku menjawab acak sebab tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Aku hanya kagum. Tala bisa melakukan kegiatan bersentuhan dengan begitu pintar walaupun dia mengaku suci. Oke, hanya Felicia saja yang penuh dosa. Tapi, aku penasaran. Apa selama ini seorang Nabastala rajin menonton film dewasa? Seperti ... aku? Eh, ini rahasia. Felicia anak baik, tidak boleh mengaku sudah menonton film biru sejak dini.

Nabastala mencubit pipiku, gemas. Dia mendorongku pelan, kini giliran aku yang terlentang sementara dia menindihku. Tala menggunakan dua tangannya untuk menopang berat badannya.

"Kita sudah tidur sama-sama berkali-kali, Felicia. Tapi kamu masih menganggap aku lebih suka sama laki-laki ckckck." Tala berdecak.

"Aku kan hanya ....." Aku tidak dapat mengajukan pembelaan karena Tala sudah bertindak.

Tangan Tala membelai pahaku naik sampai gaun tidurku sedikit terbuka. Aku memejamkan mata, sentuhan Tala seperti pemacu jantung yang efektif untukku. Tala terus saja menjalankan beberapa gerakan yang membuat diriku menginginkan hal lebih. Namun, setelah aku sungguhan mengerang karena dirinya, tala justru berhenti.

"Good night, Felicia," ujarnya setelah membuatku lupa akan daratan.

Aku langsung mendorongnya hingga Tala kembali berbaring. Huh, mendengar tawa Tala sekarang, aku yakin jika pria itu teramat puas dengan responsku yang selalu luar biasa.

"Ih, gak suka deh sama cara bercandanya," aku memukul lengan Tala dengan manja. Aku memberengut sambil mengancamnya, "Pasti bakal ada saatnya Mas Tala bakal jadi pihak yang sangat menginginkan aku. Lihat saja nanti, aku bakal buat Mas Tala memohon sama aku."

"Oke aku akan menantikan saat itu berlangsung hahaha. Wajah kamu cantik  kalau sedang marah."

"Gak usah gombal, aku beneran mau tidur ini. Awas kalau pegang-pegang, ya."

"Hmm."

"Mas Tala?"

"Iya, sayang? Katanya, mau tidur."

"Aku tiba-tiba ingin pergi ke tempat yant mirip sama Newton Circus Food. Apa kamu ingat dulu kita sering ke sana?"

Tala tidak segera menjawab. Dia justru menarikku ke dalam pelukannya. Aku mendengar nafas Tala. Pria itu memberikan kecupan beberapa kali pada puncak kepala ini. Nabastala seolah sedang mengulur waktu.

"Kamu sudah ingat?" Tanyanya hati-hati.

"Entah lah, waktu di Singapura dulu ... aku merasa sering jalan sama seorang laki-laki. Menurutku satu-satunya manusia yang bisa dekat denganku ya hanya kamu. Orang yang sering aku ganggu. Orang yang sering aku ikutin. Orang yang ... menarik perhatianku." Aku menjelaskan.

Aku mendorong Tala agar bisa melihat wajahnya. Tala menatapku sembari tersenyum.

"Rasanya aku sudah sayang sama Mas Tala sejak saat itu," aku mengungkapkan. Jari-jariku membelai paras Tala. "Tapi yang aku kejar sepertinya tidak pernah mau untuk berhenti dan menungguku. Kamu selalu berjalan di depan dan lebih cepat. Herannya, aku tidak pernah capek."

"Kamu pernah lelah."

"Hm?"

"Aku pernah berhenti." Tala menghela nafas panjang. "Aku pernah melihat ke belakang dan menunggu. Tapi, waktu aku melakukan itu ... kamu sudah tidak ada di sana. Kamu sudah lelah. Kamu sudah pergi. Kamu sudah tidak ada untukku."

"Mas Tala ngomong apa sih?" Aku bertanya bingung.

Tala tidak menjawab. Dia kembali menciumku. Kali ini hanya kecupan biasa. Anehnya, aku merasakan sakit hati yang teramat dalam. Apa ini sebuah penyesalan? Penyesalan untuk apa?

Aku membiarkan Tala melakukan hal yang dia inginkan. Dalam pikiranku pun tak ada yang kubayangkan.

Adegan ini terasa begitu abstrak. Aku meyakini apa yang ingin kuyakini. Aku ingin meyakini apabila satu-satunya pria yang aku cintai adalah Tala. Namun, ada sakit yang teramat sangat ketika aku memaksakan hatiku begitu. Seakan-akan meyakini hal itu, hanya akan membuatku menyesal.

-

"Woah, anak Cebong ini cantik sekali!" Seruku kegirangan ketika kami turun dari jet pribadi lalu Jasper menjemput kami dengan buket mawar putih.

Tala berdiri di sampingku, dia diam di sana. Ekspresinya datar meskipun aku sudah tersenyum lebar sembari menunjukkan mawar itu kepadanya.

"Mawar-mawar di Ashley's Garden sudah tumbuh dengan baik," terang Jasper.

"Jadi ini dari Ashley's Garden?"

Jasper mengangguk. Dia mempersilahkan kami untuk berjalan mengikutinya.

"Kamu seharusnya tidak memetik bunga-bunga cantik di sana―"

"―Jasper tidak peduli dengan bunga-bunga cantik di sana, Felicia. Dia bahkan akan membawakan bulan untuk bisa membuatmu tersenyum selebar tadi," Tala memotong ucapanku.

"Hahaha saya kan fans nomer satu Nona Muda." Jasper menanggapi santai. "Lagi pula ini sebagai perayaan karena Nona Muda sudah kembali tersenyum."

"Huuuuu tumben so sweet," aku meninggalkan Tala untuk berjalan di samping Jasper, menggandeng lengannya dengan akrab.

Aku mendengar Tala mendengus membuatku tertawa dalam hati. Aku sedang tidak berselera dengan Tala. Gak tahu tiba-tiba enggak mood. Hal itu dikarenakan sewaktu berada di jet pribadi, Tala sempat berbicara dengan awak kabin yang ternyata sudah kenal akrab dengan Tala. Mereka membahas hal serius, aku hanya sedikit mencuri dengar. Percakapan tersebut mengenai perjalanan Nabastala dari Hanoi ke Singapura yang dilakukan setiap weekend selama dia bertugas di Vietnam. Tala tidak pernah cerita soal itu, apalagi aku mendapati nama seorang wanita disebut oleh mereka.

Huh, kesal sekali. Jadi, selama ini Tala juga bekerja dengan perempuan yang dia bawa ke Singapura setiap akhir minggu. Apa itu termasuk bentuk perselingkuhan? Hah, entah lah! Apa aku boleh cemburu secara terang-teragan? Toh, pada kontrak kami sudah disebutkan untuk tidak diperkenankan selingkuh selama perjanjian berlngsung. Aku tahu Tala adalah manusia yang taat aturan. Aku juga tidak ingin berpikiran negatif.

"Jepi," panggilku, aku mengalihkan perhatian dengan mengajak ngobrol jasper. "Aku ingin melihara ayam dan bebek."

"Felicia―Nona Muda, mau ditaruh mana ayam sama bebeknya? Tuan Muda kan tidak suka rumahnya kotor."

"Heran deh, kenapa ya Tala jadi manusia ribet amat? Masa laki-laki kok gak berani kotor?" Aku justru menggosipkan Tala.

"Felicia, aku mendengar ucapan kamu." Tala protes.

Aku berhenti untuk menunggu Tala yang berjalan di belakang saat kami memasuki ruang lain yang menghubungkan bandara dengan parkir mobil khusus. Aku merengek kepadanya.

"Please Mas Tala, Lizzy mau ayam."

"Gak."

"Pokoknya nanti aku mau beli anak ayam!"

"Beli aja, waktu kamu tidur nanti anak ayamnya aku goreng." Tala berkata jahat.

"Sadis!" Aku berseru. "Sama anak ayam aja jahat, gimana sama anak sendiri?!" Aku menggertaknya.

"Memangnya kita bakal punya anak?"

"Hah?"

"Enggak kan," Tala menyahut.

Aku yang sudah terlanjur emosi langsung menendang kaki Nabastala sekeras-kerasnya. Aku mendengar Tala berteriak mirip kucing kejepit. Aku yang tidak peduli justru melenggang pergi sembari menggandeng lagi anak cebongku. Iya, aku lebih suka daun muda yang riang gembira daripa Nabastala jahat!

-

"Jadi, Nona Muda mau kasih nama siapa anak ayamnya?" tanya Jasper penasaran.

Jasper ikut berjongkok di sampingku. Matanya tertuju kepada tiga anak ayam warna-warni. Dia memandang takjub kepada anak ayam kecil yang Jasper yakini sebagai kloning perkawinan silang antara ayam dan pelangi. Dasar Jasper, kenapa dia begitu bodoh, sih? Sudah jelas kan ayam warna-warni ini spesies langka yang baru ada di dunia, tadi Mamang Penjual Ayam bilang begitu. Katanya, harga ayam pelangi bakal mahal sekali. Jadi, kalau aku bisa berternak ayam pelangi―Felicia Adair Lim bakal kaya raya dan menguasai dunia. Tapi, itu rahasia―yang boleh tahu soal perayaman warna-warni ini hanya aku dan si Mamang Penjual Ayam.

"Nama ayamnya adalah Ayam," jawabku bangga. Menurutku tidak ada nama yang lebih bagus selain nama yang menunjukkan jati diri dari makhluk hidup itu. Jadi karena ayam adalah ayam makanya aku namakan ayam.

"Kok namanya ayam. Ini kan memang ayam, masa panggilannya juga ayam."

"Nah itu, ayam adalah ayam. Jadi namanya ayam. Tidak boleh nama yang lain selain ayam," aku membalasnya sengit.

Jasper cemberut, dia mengubah posisi awalnya jongkok mejadi duduk. Aku juga mencontoh Jasper, membeiarkan celana jeans yang aku pakai menyentuh rumput halaman rumah Keluarga Lim. Iya, aku dan Jasper diam-diam membeli ayam lalu menyembunyikan sekaligus menitipkan anak ayam ini kepada Lucas. Aku waktu anak ayamnya datang ada Lucas di rumah, kakakku yang punya sifat unik itu agaknya juga senang sebab dia langsung pergi ke pasar hewan untuk beli istana ayam.

"Ayamnya kan ada tiga, terus bedanya apa?" Jasper masih tidak menerima pendapatku. "Ayam kan juga punya perasaan. Jadi, pasti dia juga enggak mau disama-samakan dengan ayam yang lainnya. Nanti ayamnya krisis identitas."

"Tenang aja mereka punya nama belakan, kok. Ayam Merah Lim, Ayam Kuning Ekadanta, dan Ayam Hijau Suh. Nama depannya sama-sama Ayam tapi nama belakangnya beda."

"Saya lebih suka warna kuning daripada hijau. Kuning warna favorit saya."

"Yah, padahal aku sengaja pilihkan kamu yang warna hijau soalnya hijau cocok untuk Jasper. Baik aku ganti aja―"

"―Tidak Nona Muda, tidak perlu diganti. Dari semua warna favorit,  hijau jadi warna paling favorit saya sekarang." Jasper langsung tersenyum sumeringah.

"Katanya lebih suka kuning daripada hijau," aku mencibr.

"Warna favorit saya sudah berubah sejak lima detik lalu."

"Dasar tidak punya pendirian."

Jasper tertawa mendengar ocehanku. "Saya sebenarnya tidak mempunyai hal yang bisa saya favoritkan atau yang sungguhan kesukaan saya. So, menjadikan pilihan Nona Muda menjadi favorit saya adalah hal yang mudah," lanjutnya.

Aku mengedipkan mata beberapa kali. "Ucapan kamu tadi terdengar familiar, deh. Pasti kamu nyontek dari dialog film, ya."

Jasper hanya mengedikkan bahu. Tatapannya mala beralih pada kertas gambar ukuran A3 dan pensil warna yang berada di sampingku. "Katanya, Nona Muda tadi mau menenangkan pikiran dengan menggambar ayam. Cepat nanti keburu hujan, langitnya sudah mendung."

"Gambaranku terlalu spektakuler, jadi kamu tidak boleh melihatnya." Aku mengangsurkan satu buku gambar lagi kepada Jasper. "Kamu juga gambar. Rosemary bilang kita harus melakukan kegiatan yang menenangkan seperti menggambar sesuatu dan mewarnai sesuai dengan kondisi suasana hati. Hal tersebut baik bagi kesehatan, sekaligus mengurangi pikiran ini untuk overthinking."

"Memangnya, Nona Muda overthingking soal apa?" Jasper mulai mencoret-coret kertas gambar itu sambil fokus menatapku.

"Nabasatala," jawabku. Aku melihat langit-langit yang mendung. "Aku tidak tahu alasanya, akhir-akhir ini setiap kali aku berada di dekat Tala .... Ada rasa khawatir yang berlebihan. Boleh tidak kalau aku mengatakan, aku merasa tidak nyaman di dekat Tala?" Sambungku saat aku mengucapkan hal tersebut, tanganku bergerak untuk menyentuh perut.

"Mungkin Nona Muda sedang PMS."

Aku menghela nafas panjang. "Apa karena Tala tidak mengijinkan aku memelihara ayam, ya? Tapi, Jasper bukan itu saja! Aku meminta hal sederhana seperti ingin melihat Tala naik pohon mangga dan mengambil mangganya, dia tidak mau. Katanya, mengambil mangga milik orang lain tanpa izin artinya mencuri," aku mengadu.

Jasper tertawa lagi. "Apa Nona Muda masih ingin melihat orang memanjat pohon sekarang? Kebetulan di sana ada pohon kelapa, saya bisa naik ke pohon kelapa."

"Memangnya kamu tupai," ujarnya.

"Katan Nona Muda saya anak cebong. Mana bisa anak cebong jadi tupai.

"Kan kamu pintar berganti-ganti nama. Cebong atau tupai sama saja," kataku melantur.

Jasper diam.

Aku mendorong bahunya pelan sebagai pencair suasana. Aku memulai untuk menggambar anak ayam. Aku mengabaikan Jasper yang beberapa kali menatapku. Mungkin dia terisnpirasi melihat kecantikan Felicia. Hanya saja menggambarkan kecantikan sempurna seperti seorang dewi matahari yang menyilaukan mata susah, loh. Aku memang luar biasa bangga atas diriku sendiri.

"Wah, bagus sekai." Mataku mencuri pandang kertas gambar Jasper, apabila tadi aku mengatakan tidak ada yang dapat menggambarkan diriku secara sempurna. Lukisan Jasper ini terlihat sangat rupawan. Aku bahkan tidak yakin yang dilukisnya adalah aku, jika tidak mengenali kalung yang berinisial namaku menghiasi leher wanita itu. Aku tersenyum lebar, satu-satunya hal yang mulai jarang aku lakukan.

"Ini baru tiga puluh menit, kamu bisa melukis aku dengan sangat wah...." Aku kehilangan kata-kata.

Jasper memandangiku, matanya yang tajam bercerita tentang sesuatu yang tidak bisa kupahami dengan benar. "Bahkan dengan mata tertutup pun, saya bisa melukis Nona Muda. Setiap detail dan setiap ekspresi ... saya mengingatnya dengan sangat baik."

"Aku akan selalu mengingatmu. Bahkan jika aku yang sekarang tidak ada lagi. Aku akan mengingatmu dengan sangat baik."

Suara itu lagi bergema di kepalaku. Suara Jasper. Itu suara Jasper.

Aku memukul kepalaku pelan. Memintanya untuk diam. Siapa pun itu diam! Siapa pun yang mengambil suara Jasper untuk deritaku diam lah. Aku mohon.

Aku mengusap kepala Jasper. "Jasper anak pintar," pujiku kemudian berpaling agar perubahan ekspresiku tidak kentara.

Aku saat mendengar Jasper seperti ini, hatiku menjadi sakit tanpa alasan.

Selama Jasper berada di sisiku, timbul dan tenggelam perasaan yang bertolak belakang. Sedari awal kedatangannya, bukan hal yang asing bagiku. Dia lebih seperti pelengkap yang sempat pergi. Namun, ada bagian lain dalam diri yang menolaknya untuk kembali. Aku takut, dia menjadi bagian atas diriku yang telah kulupakan. Aku juga takut, adanya dia sekarang menjadi manusia baru adalah bagian yang disengaja untuk membohongiku. Dari sekian banyak kesalahan, aku tidak bisa memaafkan sebuah kebohongan. Aku selalu berusaha memercayai orang lain karena tidak ingin merasa kecewa dengan kebohongan mereka.

"Nona Muda, bisa kah sekali saja ... sekali saja ... Nona Muda tidak hanya meyakini apa yang Nona muda ingin yakini."

Aku yang waktu itu hendak berjalan pergi, justru berhenti. Aku enggan menyahutnya, tapi bibirku justru bertindak sendiri. "Lalu, aku harus memulai dari mana?" Tanyaku.

"Mengingat saya."

Aku berbalik. "Kamu akan selalu mejadi Jasper Suh bagiku. Aku tidak peduli mereka menganggapmu apa, aku tidak peduli kamu menjadi bagian dari ingatanku yang lalu, dan jangan memintaku berpikir kamu adalah orang lain." Aku menggigit bibir, mengatakan dua kalimat itu membuatku terengah. "Apa aku tidak dapat bahagia, hanya dengan menjadi aku yang sekarang? Kenapa ingatan-ingatan bodoh itu terus datang dan pergi seenaknya!" Nada suaraku meninggi.

Aku marah. Marah yang datang tiba-tiba juga. Aku tahu Jasper tidak akan menjawabku.

Aku selalu menjadi satu-satunya manusia yang hanya dapat mengajukan pertanyaan, sementara mereka―dunia tempatku hidup, terus saja merelakan aku tersesat sendiran. Mereka terlalu egois untuk bersedia menjawabku.

-

"Kamu tidak mendengarkan aku, Felicia," suara Tala tedengar dingin.

Aku baru saja memasuki apartemen tempat kami tinggal setelah puas bermain bersama ayam pelangi. Aku mengira Tala bakal pulang lebih malam karena ada operasi yang harus dilaksanakan. Nyatanya, dia berada di sini dengan kemeja lengan panjang yang sudah digulung sesiku dan celana kain―itu yang dipakainya tadi pagi.

"Halo Mas tala, tumben sudah pulang." Aku mengatakan hal lain, tidak menanggapi perkataannya.

Aku melemparkan handbag milikku sembarangan, lalu duduk di kursi yang berdekatan dengan Tala. Aku bisa melihat wajah Tala yang datar, tidak ada senyum yang menyambutku.

"Mas Tala marah," aku menyimpulkan.

Lantaran membalas, Nabastala justru menghamburkan foto-fotoku dengan Jasper saat kami membeli ayam pelangi tadi.

"Wah, aku sudah mirip selebriti yang punya penguntit," aku berceletuk menelusuri berbagai poseku dan si ayam.

"Mas Tala kan sudah bilang kamu tidak boleh memelihara ayam. Kamu tidak menuruti ucapanku," ujarnya yang membuatku mengernyit.

"Pada kontrak kita tidak ada tuh kalimat 'dilarang memelihara ayam'." Aku melipat tangan di depan dada, memikirkan soal kontrak pernikahan kami―aku jadi ingat kejadian soal kemungkinan Tala berselingkuh. "Justru Mas Tala yang melanggar aturan. Aku sudah menguping semuanya. Mas Tala selingkuh kan waktu di Hanoi."

Tala langsung menatapku sengit. "Apa yang kamu dengar?"

Aku melotot kepadanya. "Mas Tala naik pesawat jet dan ... dan membawa wanita setiap minggu ke Singapura." Aku medekat padanya mengeluarkan pandangan menuduh. "Pasti Mas Tala sudah macam-macam sama dia, kayak pegangan tangan dan belanja bersama. Mas Tala jadi sugar daddy, ya?"

Aku melihat senyum Tala bermain-main pada ujung bibirnya. "Hanya itu saja yang menurut kamu aku lakukan kepadanya?"

"Iya, hanya itu saja. Memangnya ...." Aku tidak dapat melanjutkan ucapanku. Aku perlu jeda sebentar untuk kembali bersuara, "Mas Tala tidur sama dia?"

Satu detik berlalu, aku menyadari jika ucapanku menyakitiku.

Dua detik berlalu, aku menyadari kemarahaku.

Tiga detik ... aku menyadari keputusasaan ini.

Empat detik berlalu, aku menyadari jika Tala tidak akan pernah mencintaiku.

Lima detik, satu persatu air mataku turun.

"Iya, aku tidur bersama dia," katanya menamparku pada detik ke sepuluh.

Detik-detik berikutnya, duniaku berhenti.

-oOo-

An.

Halo semuanya, lama tidak posting cerita. Apa kabar? Semoga selalu sehat ya.

Terima kasih sudah membaca cerita mengenai Tala, Lizzy, dan Jaspersampai sejauh ini. Maaf kalau updatenya lama. Aku menunggu vote dan komentar kalian hehehe. Untuk part selanjutnya akan aku tulis setelah mendapatkan 200 komentardan 200 vote.

Sampai jumpa pda part selanjutnya dan happy long weekend!<3.

Nb: Aku juga sedang menulis cerita baru judulnya My Fake Boyfriend. Masih satu universe dengan cerita ini, meceritakan soal Jasper juga meskipun dia bukan tokoh utama.

Lalu, untuk mengetahui update cerita dan sedikit clue tentang cerita ini bisa cek twitter dan instgram @twelveblossom.

Continue Reading

You'll Also Like

16K 1.7K 9
# ONGOING Jake Shim adalah siswa yang baru saja pindah ke Future Perfect High School. Ia menyadari bahwa kelas yang ia tempati sekarang terlihat begi...
87.1K 3K 46
Will you still love me when I'm be a monster? --------------- Shella yang dituntut sempurna oleh orang tuanya hanya dikenal sebagai cewek paling popu...
6.2M 481K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...