to be young and in love [end]

By hijstfu

1.4M 160K 8.4K

Coba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simp... More

ini prolog
ini pertama
ini kedua
ini ketiga
ini keempat
ini kelima
ini keenam
ini ketujuh
ini kedelapan
ini kesembilan
ini kesepuluh
ini kesebelas
ini keduabelas
ini ketiga belas
ini keempat belas
ini kelima belas
ini keenam belas
ini ketujuh belas
ini kedelapan belas
ini kesembilan belas
ini kedua puluh
ini kedua puluh satu
ini kedua puluh dua
ini kedua puluh tiga
ini kedua puluh empat
ini kedua puluh lima
ini kedua puluh enam
ini kedua puluh tujuh
ini kedua puluh delapan
ini kedua puluh sembilan
ini ketiga puluh
ini tiga puluh satu
ini ketiga puluh dua
ini ketiga puluh tiga
ini ketiga puluh empat
ini ketiga puluh lima
ini ketiga puluh enam
ini ketiga puluh tujuh
ini ketiga puluh delapan
ini ketiga puluh sembilan
ini keempat puluh
ini keempat puluh satu
ini keempat puluh tiga
ini keempat puluh empat
ini keempat puluh lima
ini extra part satu
ini extra part dua
sini curhat
aduh, kok jadi begini?

ini keempat puluh dua

20.4K 2.8K 350
By hijstfu

Ucapan demi ucapan yang Joan katakan rasanya menyerbu satu per satu ke otakku ketika melihat Para berdiri di depan pintu. Aku bergeming. Hanya berdiri kaku di hadapannya. Aku memerintahkan otakku untuk melakukan apapun, tapi sepertinya otakku juga ikut membeku.

"Hi," sapanya sambil menyunggingkan senyum yang rasanya manis sekali.

Sial. Aku menggigit bibir bagian dalamku. Menghentikannya untuk menyunggingkan senyum. Tidak adil. Kenapa ... Para terlihat begitu sempurna? Kenapa?

Kurasakan pipiku memanas dan mungkin saja bersemu. Aku segera menunduk. Hanya untuk mendapati ... tangannya terjulur ke arahku. Aku menatap tangan lebarnya itu, sebelum mendongak. Para tersenyum manis. Mata cokelat madunya yang bersinar itu menyipit.

"Ayo," katanya.

Aku ... masih diam terpaku. Memandangnya, sembari menikmati sesuatu yang merambat di dalam dadaku ... membuatnya penuh, dan terasa akan meledak. Para menaikkan alisnya, sebelum dia meraih tanganku. Sepanjang perjalanan, selama itu pula aku menimbang-nimbang sembari menatap figurnya dari belakang. Benarkah sesuatu yang membuat dadaku panas ini ... karena aku menyukainya?

"Mau lihat pameran dulu? Atau ke pasar malamnya?"

Aku mengerjap. Para yang berjalan di depanku sambil tangannya masih menggengamku, menoleh.

"Pameran boleh," kataku pelan.

"Oke," sahutnya sebelum memandang ke depan, dan menarik tanganku pelan. Membelah kerumunan orang yang memadati tempat ini. Aku mengikutinya. Tiada fokus dengan keadaan sekitar. Aku bahkan tiada mengeluhkan mereka yang menyenggolku, ataupun menginjak kakiku. Aku ... hanya fokus pada figur punggung lebar Para. Hanya padanya. Hingga akhirnya tubrukan keras menghantam pundakku. Membuatku terhuyung, dan genggaman tanganku dan Para terlepas. Orang-orang menyerbu dengan tidak sabar. Membuatku semakin menjauh dari Para. Namun, saat itu bahkan mataku tiada lepas dari punggungnya yang sekarang berbalik dan mencari keberadaanku. Saar itu, rasa-rasanya, suara bising dari komedi putar atau musin live di panggung sana tiada terdengar. Sunyi senyap. Orang-orang satu per satu menghilang dari pandanganku. Waktu seakan berhenti berputar. Saat itu ... hanya ada aku dan Para yang membalikkan badan. Engga adil, kenapa tiba-tiba rasanya di sekitar cowok itu ada banyak lampu yang membuatnya makin bersinar?

Saat itu juga aku sadar bahwa ...

Aku memang menyukainya. Entah bagaimana caranya dan entah sejak kapan.

"Ayo," katanya sembari menghampiriku. Dia kembali menggengam tanganku. Erat.

Waktu yang rasanya berhenti, kembali berputar. Suara bising kembali terdengar. Kerumunan orang kembali terlihat. Dan sepanjang malam itu, aku berkali-kali mencuri pandang ke arahnya. Ketika melihat pameran batik, lukisan, kerajinan tangan, atau bahkan ketika kami dilanda kehausan, dan dia memesan minum.

"Kenapa?" Tanyanya ketika mendapatiku memperhatikannya.

"Emang sulit banget ya?"

Para menaikkan alisnya seolah pertanyaanku itu sulit dicerna dan membuatnya bingung. Aku berdehem, "Milih minum doang emang sulit banget?"

Bibirnya tertarik, "Engga sih. Tapi kan kamu picky person. Di kantin sekolah aja, dua tahun mesennya cuma es teh atau capucino doang."

"Kok kamu tahu?"

"Tahulah. Kan punya mata."

"Yauda capucino aja. Kasih cincau," kataku akhirnya. Para mengangguk, dan memesankan minum untukku dan dirinya juga. "Kembang apinya jam berapa deh?"

"Sembilan. Kenapa emang?"

Aku menggeleng. Masih satu jam lagi. Karena kakiku rasanya sudah engga kuat untuk diajak berjalan, aku berkata, "Aku mau duduk aja nungguin kembang api. Kamu kalau mau ke bazar engga apa kok. Aku di sini nunggu."

Aku lantas memilih duduk di bangku yang tersedia di taman kota. Kukira Para memilih untuk meninggalkanku sendiri dan pergi ke bazar (karena katanya ada buku yang ingin dia beli), tak tahunya dia mengikutiku dan duduk.

"Loh? Engga jadi ke bazar?"

"Nanti aja."

Aku mengangguk. Kami lantas duduk Padahal suasana sekitar kami terasa sesak dan ramai. Tapi semenjak aku mengakui bahwa aku menyukainya, justru aku merasakan kikuk dan rasanya hanya ditinggalkan berdua saja dengan Para di pusat kota ini. Tapi ketika melirik dari sudut mataku, Para justru terlihat biasa saja, mungkin hanya aku yang merasa kikuk.

Aku berdeham. Baru ingin mengungkit pernyataannya waktu itu, sebelum getaran dari ponselku terasa. Itu pesan dari Joan.

Kunyuk Joan

Sumpah anjrit, gue denger-denger, Reihan bakal pindah sekolah!🤸🤸

Rumi Praba

Sumpahh?? Denger dari siapa lo?

Kunyuk Joan

Gue denger dari Fitri. Bokap dia kan bagian administrasi sekolah kita👅

Aku mengabaikan emot menjilat yang engga sesuai konteks itu. Aku juga engga membalas pesan Joan. Menoleh ke Para, dan bertanya, "Kamu tahu?"

Dia memandangku, alisnya yang tebal itu terangkat, "Tahu apa?"

Kalau jawabannya seperti itu dia berarti engga tahu. Aku lantas berkata, "Kata Joan, Reihan keluar dari Tribhuwana?"

"Bagus lah."

Aku menatapnya dengan pandangan menelisik. Mencari tahu apakah ada hubungannya dengan dirinya. Tapi, Para hanya menatapku lurus dengan alis naik satunya itu. "Kenapa? Sedih?"

Aku mencebik dan menggeleng. "Engga ada hubungannya sama kamu 'kan?"

Bibirnya menyeringai. "Kalau khawatir bilang aja, Rumi. Engga dipungut biaya sama sekali."

Aku kembali mencebik. Beberapa menit kembali diisi kehening. Aku meliriknya yang masih menatap ke depan, melihat atraksi yang memang di depan kami. Aku lalu berbisik, "Itu ... yang kemarin ..."

Yang sayangnya bersamaan dengan dirinya yang juga berujar, "Kamu tahu, Rumi?"

Aku menelan ludah dan kata-kataku lagi. Menatapnya secara lurus. Tanpa menoleh padaku, Para kembali berkata, "Aku selalu merasa kalau kamu cuma manusia yang sekadar lewat, yang kulihat selentingan detik. Tapi, entah kenapa sejak saat itu mataku pasti selalu bisa menemukanmu. Di manapun. Aku selalu merasa kalau saraf mataku rusak."

Aku hanya diam.

"Aku tahu, kamu bukan seperti mereka. Mungkin itu yang membuatku selalu memperhatikanmu. Tapi, aku engga ingin kecanduan. Kamu engga sepenting itu. Oleh karena itu, aku memerintahkan tubuhku terutama mataku untuk mengabaikan kamu. Tapi kamu tahu? Sepertinya aku sudah jadi pecandu karena sedetik aja tidak melihat kamu, bahkan dari kejauhan pun, aku merasa tidak nyaman."

"Aku yang tidak pernah ke kantin, mulai makan di sana. Aku yang biasanya tidak suka ikut olahraga, mulai aktif hanya agar kamu tahu. Tapi, kamu memang engga seperti mereka. Sekalipun, kamu engga pernah melihatku."

Engga dia salah. Aku selalu melihatnya. Seorang Bhadra Parasara yang terkenal karena prestasi, dengan banyak penggemar dan wujud yang sempurna. Bhadra Parasara yang terasa jauh untuk dijangkau.

"Maaf, Rumi. Karena memaksamu waktu itu. Tapi, aku tetap engga menyesal karena akhirnya bisa dekat denganmu. Karena sejak hari dimana kamu tanpa menoleh sedikit pun padaku, hanya berjalan lurus sembari tertawa nyaring, aku tahu bahwa aku menginginkan kamu."

Dia lantas menoleh padaku, "I dont want to be hurt but I love you so much. Every minute, every second. And it terrifies me because I won't survive if I lose you."

Aku menelan ludahku susah payah. Mata cokelat madunya itu sudah meredup, seolah lelah menampung beban. Para lalu berkata lagi, "Jadi Rumi, bisakah kamu menyukaiku juga?"

Aku mengerjap. Entah kenapa, mataku justru terasa berembun. Aku engga pernah merasa bahwa aku sesempurna itu. Dan kenapa di matanya, aku terasa begitu sempurna seperti itu? Kali ini. Baru kali ini aku merasa begitu istimewa.

Aku berdeham. Aku lantas berkata, "Aku ..." Baru aku ingin mengatakan bahwa aku juga menyukainya. Suara ledakan petasan di langit terdengar. Berikut sorak sorai dari pengunjung festival. Aku tersentak dan mendongak. Meski bising, aku bisa mendengar bisikan Para di sampingku, "Jadi begini akhirnya."

Aku sontak menoleh dan menatapnya yang sekarang juga menatap ke arah langit dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Aku memegang tangannya, tapi dia tetap engga menoleh. Justru kembali berbicara, "Ayo, kuantar pulang. Sudah malam."

Tidak. Bukan seperti ini seharusnya!

"TUNGGU! BHADRA!" Jeritku akhirnya, sedikit mengalahkan bunyi kembang api, dan berhasil menarik perhatian Para. Matanya memerah, tapi bibirnya masih sanggup tertarik, tersenyum padaku, "It is okay. Aku engga akan memaksa kamu untuk menyukaiku juga."

Aku menggeleng, sebelum nekat berdiri dan menangkup kedua tanganku di wajahnya, menariknya mendekat, dan mengecup bibirnya dalam hitungan detik. Tubuhnya tersentak kaget, matanya mengerjap.

Aku menatapnya lurus, bibirku tertarik, membentuk senyum lebar. Aku lantas tertawa sebelum berhenti dan berkata, "Kenapa hari ini kamu pesimis banget, Mas Bhadra?"

Para hanya diam, menatapku lurus. Mungkin masih terkejut. Aku berkata kembali, "Setelah berhasil memenuhi otakku, kamu berniat untuk pergi gitu aja? Hm?"

Para mengerjap sebelum tiba-tiba saja dia menengadah. Aku menatapnya bingung. Begitu saja hingga akhirnya Para menatapku lagi sambil tersenyum dengan mata cokelat madunya yang masih berkaca-kaca itu, dia lalu menangkup wajahku, dan membubuhiku kecupan di pipi berulang kali. "Aku pasti akan tanggung jawab."

Aku tertawa. Menjauhkan wajahnya yang masih mengecupiku. Geli.

"Terima kasih, Rumi," bisiknya.

Waktu Bhadra dan Rumi papasan pertama kali. Mas Bhadra ceritanya sudah terpesona sama 'ngakaknya' dek Rumi.

Kukasih hadiah banyak gif Mas Bhadra dengan jaket cokelatnya karena hampir enam bulan engga update! Terima kasih sudah setia menunggu!

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 341 14
Sepenggal cerita tentang mahasiswa-mahasiswa yang terpilih mengikuti program riset yang diadakan kampus ke sebuah pulau pariwisata yang cantik dan ja...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

990K 54.8K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
718K 68.6K 76
Gene & Vincent (Series) - #Seri 1 Geneviève Lorraine Ross Gadis tomboy yang juga merupakan seorang peretas handal, bersedia melakukan apapun untuk No...
63.5K 2.3K 30
Vala terlalu mencintai Raya hingga ia lupa akan rasanya. Hingga Vala salah menafsirkan rasa cintanya, dan bersembunyi dibalik kata bosan sampai ia be...