Love Game [SUDAH TERBIT]

Von Zeeyazee

1M 10.8K 133

[Dapatkan di gramedia, atau toko buku lain terdekat kamu!] "Aku dengar kau suka bermain game," kataku padanya... Mehr

Prolog
Part II
Part III
Part IV
Info

Part I

129K 2.6K 24
Von Zeeyazee

"Aku dengar kau suka bermain game," kataku padanya.

"Lalu? Kau ingin mengajakku bermain game?" Dia menelengkan kepalanya ke kanan, tersenyum sinis, dan entah kenapa itu malah menambah ketampanannya. Aku mengirimkan sugesti pada otakku, aku tidak boleh terpesona padanya.

"Ya, aku ada permainan yang menarik." Aku berjalan lebih dekat ke arahnya, pinggang kami hampir merapat.

"Apa itu?" Seakan menantangku, dia maju lebih dekat padaku, meniadakan jarak antara kami. Aku berusaha menutupi kegugupan yang melandaku, dengan memberanikan diri membalas tatapannya lebih tajam. Lalu, jawaban itu lolos dari mulutku...

"Permainan cinta"

***

"Sheira, dia menunggumu di depan."

Aku sedang memasukkan buku-buku ke dalam tasku, saat Viona memberitahukan kalau Mr. Popular itu sudah menungguku di depan kelas. "Trims, Vion. Biarkan saja dia menunggu di situ," kataku, cuek.

Viona kembali duduk di kursinya di depanku. Memasang wajah tidak setuju dengan perkataanku tadi, "Tega sekali kau membiarkan malaikat itu menunggumu di depan—"

Aku memotong kalimat Viona, "Malaikat? Dia itu iblis—"

Berganti Viona yang memotong kalimatku, "Yah..iblis yang tampan."

Aku memutar mataku malas, mendengar kata "tampan" ditujukan untuk laki-laki itu membuatku mual. "Whatever." Aku berdiri dari dudukku, menyampirkan tasku di pundak, dan berjalan keluar kelas tanpa menoleh lagi pada Viona.

Lepas dari Viona, sudah ada buaya darat-yang tadi Viona sebut malaikat-menungguku tepat di depan pintu kelasku. Dia menyambutku dengan senyuman mautnya, yang selalu ampuh membuat perempuan manapun bertekuk lutut memujanya. Kecuali aku, tentu saja.

"Halo, Sayang!"

Oh, sungguh. Aku tak pernah suka dipanggilnya dengan sebutan itu.

"Namaku, Sheira. Bukan 'sayang'," kataku, sinis. Tapi, makhluk ini tidak tersinggung sama sekali dengan kesinisanku. Dia malah mengambil tas dan beberapa map yang ku bawa, oh.. dia benar-benar menikmati perannya.

"Perempuan tidak boleh dibiarkan membawa barang-barang berat," katanya, sambil mengangkat kedua alisnya yang tebal itu.

"Oh, begitukah? Terserah kau saja, Tuan Populer."

"Nama itu memang sesuai dengan kenyataannya, tapi itu bukan namaku, it's Dean."

Ya, lelaki buaya darat ini, bernama Dean. Terkenal bukan hanya di seantero sekolahku saja, tapi sampai ke sekolah lain juga. Atau mungkin dia sudah lebih terkenal lagi, setelah memenangkan ajang model di salah satu majalah populer Amerika. Semua orang menyukainya. Dia pintar, tampan, kaya, ya....dia segala-galanya. Mungkin hanya aku satu-satunya orang yang membenci Dean. Bukan karena aku iri terhadap semua yang dimiliki olehnya. Aku memiliki alasan tersendiri. Alasan yang memalukan, sebuah aib dan kesalahan yang paling buruk dari semua kesalahan yang aku lakukan.

"Apa kau sudah makan siang?" tanya Dean, saat aku membuka loker sepatuku.

"Belum, tapi aku tak mau makan siang denganmu," jawabku, ketus.

"Kenapa tak mau?" tanyanya lagi, sambil mengenakan sepatunya.

Aku menutup loker sepatuku dan menguncinya, "Karena aku tidak mau melihatmu sibuk tebar pesona dengan perempuan."

Dean mengulum senyumnya, "Kau cemburu?" Matanya menatapku menggoda.

Aku melengos, "Jangan mimpi!"-aku mengambil tas dan mapku yang dia bawakan-"Sudah, ya.. masih banyak yang harus kukerjakan. Bye." Kutinggalkan dia di depan gerbang sekolah. Tanpa melihatnya atau sekedar melambaikan tangan, Aku buru-buru naik ke dalam bis menuju tempat kerjaku.

Begitu sudah duduk di dalam bis, aku menoleh ke arahnya. Dia masih di sana, membalas lambaian para perempuan yang menyapanya. Dia memang begitu, dari dulu tidak berubah. Masih seorang don juan sejati, dan aku pernah jatuh cinta padanya.

"Sheiraaa!! Apa kau jadi memberikan suratmu sekarang?"

"Iya..." Aku mengatakan iya, tapi menggelengkan kepalaku. Oh.. aku benar-benar gugup.

" Astagaa..kau kelihatan nervous sekali. Tenangkan dirimu, Sheira! Semua akan baik-baik saja."

Aku tersenyum getir, menatap Claire dengan tatapan orang yang hampir menangis. Aku tak bisa lakukan ini!

Claire menyodorkan sebatang coklat untukku, "Jangan hanya memberi surat."Melihat Claire yang begitu mendukungku, keberanianku pun muncul. Aku harus menyatakan perasaanku pada Dean!

Aku pernah jatuh cinta pada seorang Dean, si Mr. Populer. Tapi itu sudah lama sekali, saat aku dan dia masih sama-sama junior high school. Dia adalah cinta pertamaku, yang kupendam lama, hampir 3 tahun. Cinta yang tak bisa kulupa karena begitu menyakitkan. Kenapa? Karena dia menolakku.

"Apa kau sudah menyerahkan suratnya?" tanya Claire, dia menungguku di depan lorong kelas.

Aku mengangguk senang, rasanya bahagia sekali bisa mengeluarkan keberanianku. Sekarang tinggal menunggu jawabannya.

"Hei, lihat!! Bukankah dia yang bernama Sheira?"

Aku menoleh mendengar namaku di sebut. Claire pun melakukan hal yang sama. Lorong yang tadinya sepi, entah kenapa tiba-tiba menjadi ramai sekarang. Mereka menertawakanku, aku tak mengerti apa yang terjadi. Claire juga sama, dia bingung melihat mereka semua yang menunjuk-nunjukku sambil tertawa terbahak-bahak. Apa yang mereka tertawakan?

"Semua orang sudah mengetahuinya, Sheira. Kau baru saja menyatakan perasaanmu pada Dean melalui surat, bukan? Surat itu sekarang tertempel di papan pengumuman!"

Bukan sebuah penolakan yang baik. Aku tidak masalah jika akhirnya cintaku di tolak olehnya, tapi.. haruskah dia mempermalukanku seperti itu? Cinta pertamaku berakhir dengan cara yang menyedihkan. Meski sudah hampir 2 tahun berlalu, aku tidak bisa melupakan itu. Satu SMA dengannya membuatku semakin tidak bisa lepas dari kenangan itu. Padahal aku sengaja bersekolah di sekolah yang jauh dari lingkungan kami dulu, tapi malah bertemu dia lagi di sini. Aku tak ingin terlibat urusan dengannya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Hampir setiap hari aku berdekatan dengannya, dan ini semua karena permainan sialan itu. Permainan yang aku ajukan padanya, atas usulan Claire.

"Aku ada ide bagus, untuk masalahmu itu, tapi..ini sedikit beresiko," ujar Claire, dari layar laptopku. Ya, kami sedang skype sekarang. Claire sudah pindah ke Jepang, tidak lagi tinggal di Amerika.

"Apa itu? Beritahu saja, apapun akan kulakukan!" Aku mendesaknya, otakku sudah buntu mencari jalan keluar. Mungkin saran Claire bisa membantu kali ini.

"Aku tidak yakin kau akan suka begitu mendengar apa resikonya..." Claire terdengar ragu-ragu.

" Resiko?"

"Kau bisa jatuh cinta lagi dengannya."

Begitu turun dari bis, aku segera berlari menyeruak kerumunan pejalan kaki. Ini sudah lewat lima menit dari jam masuk kerjaku, bisa-bisa aku kena hukuman lagi dari manajer. Beberapa kali aku mendapat cacian dari orang-orang yang kutabrak. Ah masa bodo dengan mereka, aku harus cepat-cepat sampai di kedai sekarang. Kata manajer, hari ini akan ada banyak orderan.

Setelah melewati beberapa blok, aku sampai di kedai tempatku bekerja. Di dalam sudah ramai pengunjung. Manajer yang melihatku datang, langsung melemparkan apron-ku seraya berkata, "Cepat pakai ini!"

Aku melemparkan pandangan maafku padanya, lalu cepat-cepat memakai apron. Saat itulah Elle datang menghampiriku. Ia membantuku menaruh tas dan map ke dalam ruang staff. Aku membisikkan kata "terima kasih" padanya sebelum berjalan cepat menuju pantry.

"Antar ini ke ruang VIP!" Manajer menyerahkan nampan berisi makanan dan minuman pesanan pelanggan untuk kuantarkan. Dengan sigap aku membawanya. Bulan depan adalah genap satu tahun aku bekerja di sini. Cukup lama untuk membuatku terbiasa berjalan cepat sambil membawa nampan yang penuh dengan makanan dan minuman sekaligus.

Ruang VIP adalah ruang paling istimewa di kedai. Bukan makanannya yang dibayar, tapi ruangannya. Tarifnya adalah 50 dollar per-sepuluh menit. Mahal? Tentu.. bahkan sebenarnya, tempatku bekerja ini tidak pantas disebut kedai.

Sesampainya di depan pintu ruang VIP, aku mengetuk pintu, memberi tanda kalau pesanan sudah datang. Musik mengalun keras dari dalam. Aku pun berinisiatif untuk masuk tanpa menunggu jawaban dari mereka karena percuma. Sudah jelas mereka tidak bisa mendengar ketukan pintuku.

"Maaf, pesanan anda dat—"

Aku terpaku menatap pemandangan hebat yang tersaji di depanku. Dua perempuan sedang dicumbu habis-habisan oleh empat laki-laki. Di sisi lain, seorang lelaki asyik berpagut lidah dengan seorang perempuan yang bajunya sudah-ehem-terbuka di sana-sini, dan astagaa....aku kenal siapa lelaki itu!!!!

"Sheira?" Ya, lelaki yang sedang asyik masyuk itu, adalah Dean! Rasanya aneh sekali bertemu dengannya dalam situasi dan tempat yang sedikit absurd. Aku memilih tidak mengacuhkan panggilannya padaku dan segera meletakkan semua pesanan mereka di atas meja tanpa melihat kanan dan kiri. Aku harus cepat-cepat keluar dari ruangan ini. Yang mereka lakukan benar-benar membuatku mual! Apa tidak ada tempat yang lebih layak?!

"Hei! Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?" Dean meraih tanganku, tepat setelah aku meletakkan semua pesanan mereka.

Aku menepis tangannya, "Aku sedang sibuk, kau urus saja pacar-pacarmu."

Dean mengulas smirk di bibir tipisnya, "Kau cemburu?" Ia maju selangkah demi selangkah, setiap dia maju, aku mundur. Terus begitu hingga akhirnya aku tak bisa lagi mundur. Di belakangku ada tembok, dia menyudutkanku. Saat aku sudah tak bisa lagi bergerak mundur, kedua tangannya terjulur, membuat pagar di sisi kanan dan kiri bahuku.

"Minggir! Aku harus kerja!" Aku membentaknya tanpa melihat dia.

"Apa kau tahu? Ketika kau marah, kau semakin terlihat cantik."

Wajahku terasa panas, aku tahu pipiku sudah merona sekarang. Wahai Dewi Batinku, kenapa kau tidak bisa bekerja sama dengan baik?!

"Lihat? Kau gampang sekali tersipu. Jangan lupa.. siapa yang duluan jatuh cinta, dia yang kalah!"

Aku tak bisa terima tindakannya yang menolak begitu saja proposal dana untuk klub desain yang kupimpin! Bagaimana bisa para pemandu sorak yang tidak pernah menang kejuaraan antara sekolah bisa mencairkan dana klub tanpa halangan apapun? Ah, seharusnya aku tidak heran. Memang begitulah seorang Dean. Tapi demi dewa-dewi langit! Bisakah ia bersikap layaknya seorang ketua siswa yang bijaksana?

"Kau masih tak menyerah rupanya?" tanya Dean saat melihatku memasuki ruangannya.Ia menumpukan dagunya dengan tangan kanannya yang di atas meja. Jemari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja. Aku sedikit terganggu dengan pandangannya yang fokus hanya menatapku.

"Karena dengan cara baik-baik kau tetap keras kepala, jadi kita taruhan saja. Jika kau kalah, kau harus mencairkan dana proposalku."Oh..sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini. Menjalankan rencana Claire bukan ide yang bagus. Tapi mau bagaimana lagi?

"Taruhan?" Dean berdiri dari kursi 'singgasana' nya, lalu berjalan ke arahku yang berdiri di tengah-tengah ruangan.

"Aku dengar kau suka bermain game."

"Lalu? Kau ingin mengajakku bermain game?" Dia menelengkan kepalanya ke kanan, tersenyum sinis, dan entah kenapa itu malah menambah ketampanannya. Aku mengirimkan sugesti pada otakku, aku tidak boleh terpesona padanya.

"Ya, aku ada permainan yang menarik." Aku berjalan lebih dekat ke arahnya, pinggang kami hampir merapat.

"Apa itu?" Seakan menantangku, dia maju lebih dekat padaku, meniadakan jarak antara kami. Aku berusaha menutupi kegugupan yang melandaku, dengan memberanikan diri membalas tatapannya lebih tajam.

Lalu, jawaban itu lolos dari mulutku...

" Permainan cinta "-Aku menarik napas dalam, lalu melanjutkan-"Jadi, marilah kita bermain. Marilah kita berbicara seolah sudah saling mengenal dan memiliki hubungan dekat.. Marilah kita saling mengucapkan 'Good Morning' dan 'Good Night' satu sama lain.. Berteleponan setiap malam, dan kita harus saling membalas pesan satu sama lain dengan senang hati..Dan siapa yang jatuh cinta pertama kali.. DIALAH YANG KALAH!"

"Hati-hati, Nona. Jangan sampai kau yang kalah, klub mu perlu dana kan?" Saat Dean berbicara, wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Aku bisa mencium harum mint saat dia berbicara.

Aku tersenyum sinis, "Aku cukup percaya diri. Bersiaplah untuk menerima kekalahanmu!"

***

Akhirnya sift kerjaku selesai juga. Hari ini capeknya terasa dua kali lipat lebih banyak dari hari-hari biasanya. Bukan karena banyaknya pengunjung. Tapi karena manajer menyuruhku khusus melayani ruang VIP, iyaaa..ruangan si Mr. Popular itu. Dia benar-benar licik, memanfaatkan keadaan dan statusnya sebagai tamu spesial, dan seenaknya menyuruhku ini-itu berulang-ulang kali.Apa dia pikir aku ini pembantunya? Sialan!

Kalau bukan karena tip yang dijanjikan manajer, aku tidak sudi meladeni perintahnya.Siapa yang suka melayani tamu mesum seperti dia? Bayangkan saja, aku harus keluar-masuk ruangan itu saat dia dan teman-temannya asyik melakukan aktifitas seksual yang-demi Tuhan-itu sangat menjijikkan.

Aku melepas apronku, lalu menggantungnya di lemari khusus seragam staff. Setelah itu, aku mengambil barang-barangku yang tadi Elle simpan di pojok ruangan karyawan. "Jangan sampai ada yang tertinggal." itu manajerku, sudah jadi kebiasaannya mengingatkan kami semua, untuk memastikan tidak ada barang kami yang tertinggal, terutama aku.

Dulu, aku pernah meninggalkan tugas sekolahku di sini, dan berakhir dengan manajer yang sukarela mengantarkan tugas itu ke sekolahku. Untung saja dia tidak marah, tapi tetap saja kan, aku jadi tidak enak hati.

"Baik, Manajer. Kalau begitu, aku duluan." Aku berpamitan. Ku lambaikan kedua tanganku pada manajer dan Elle yang masih menyesap kopi hitamnya. Begitu keluar dari kedai, aku melihat Dean bersandar di tiang listrik depan kedai yang menghadap langsung ke pintu. Aku tahu dia sedang menungguku.

"Sedang apa kau di sini?" tanyaku, pura-pura tidak tahu. Aku tidak peduli dengan anda bicaraku yang terdengar ketus. Aku tidak mau bermanis-manis dengannya.

Dia tersenyum, menegakkan badannya lalu berjalan ke arahku, "Tentu saja menunggumu. Ayo, kuantar kau pulang." Tanpa persetujuanku, dia mengambil tas dan mapku, lalu membawanya sendiri.

"Hei! Kembalikan!!" Aku berteriak, tapi ia tidak menghiraukanku dan terus berjalan. Kaki sepanjang itu, tentu saja langkahnya lebih lebar dariku. Aku harus berlari untuk bisa mengejarnya.

"Kenapa napasmu jadi tersengal begitu?" Dean mengajukan pertanyaan yang benar-benar membuatku kesal.

"Kauuu! Aku begini karena mengejarmu!!" aku berteriak menjawabnya. Disusul dengan tawa mengejek dari Dean kemudian.

"Salahkan badanmu yang tidak tumbuh tinggi sempurna untuk ukuran gadis seusiamu."

Aku hampir saja berhasil menggetak kepalanya, tapi dia menahan tanganku. Ia pun berkata, "Jangan marah begitu, tenang saja, aku suka gadis mungil, kok," ujarnya, sambil mengedipkan mata padaku.

Aku menarik tanganku dari pegangan tangannya, "Cih! Sayangnya aku tidak suka padamu."

Dean menelengkan kepalanya, sebelah alisnya terangkat, dan bibirnya menyunggingkan senyum, "Kau tidak berpikir gadis mungil yang kusebut itu adalah kau, bukan?"

Aku melongo mendengar perkataannya yang lebih tajam dari pisau sekalipun. Aku tidak percaya, dia bisa mudah berkata tajam dengan memasang tampang aduhai bak pangeran dalam dongeng.

***

Pada akhirnya, Dean benar-benar mengantarku pulang. Ini pertama kalinya-sejak permainan itu dimulai-ia berhasil memaksaku untuk membiarkannya mengantarku pulang. Biasanya, aku selalu berhasil kabur darinya. Menghabiskan banyak waktu dengannya bukan ide yang baik. Aku bertekad untuk tidak terlibat banyak percakapan langsung dengannya karena aku tahu kami akan berakhir di sebuah pertengkaran, benar-benar membuang tenaga dan waktu. Maka dari itu, selama perjalanan pulang menuju rumah dari Kedai, aku sengaja menutup mulutku rapat-rapat dan berlaku seolah-olah tidak ada Dean di sekitarku.

Aku mempercepat langkahku saat mataku menangkap pucuk atap rumahku dari kejauhan. Dean membiarkanku begitu saja bahkan saat aku mulai berlari. Aku menunggunya di depan pagar rumahku. Tak lama kemudian, ia sudah berdiri berhadapan denganku. Tanpa aba-aba apapun, aku merebut cepat tas serta map milikku yang ia bawakan, "Cepat pulang sana." Aku mengusirnya, tangan kananku kukibas-kibaskan padanya seperti mengusir seekor anjing.

"Kau tidak menawariku masuk?" Dean seakan tidak peduli dengan caraku mengusirnya.

Aku melotot padanya, "Tidak." Sebenarnya aku sedikit kaget dengan pertanyaannya barusan.

Dean terkekeh pelan, "Baiklah, kalau begitu sampai jumpa lusa di sekolah." Dean berbalik pergi. Aku tidak menyahuti salam perpisahannya, melainkan diam terpaku memandang punggungnya yang lebar dan kokoh terbalut kaos lengan panjang hitam itu bergerak menjauh, kemudian hilang ke dalam kegelapan malam.

Segera setelah masuk ke dalam rumah dan melepas sepatuku, aku naik ke lantai dua menuju kamarku. Setelah meletakkan tas dan mapku ke atas meja belajarku, aku menyongsong jendela kamarku yang terletak tepat di atas kepala tempat tidurku. Kubuka tirainya sedikit, aku ingin memastikan apakah Dean benar-benar sudah pulang. Tidak menemukan sosoknya di luar sana, aku pun kembali menutup tiraiku kemudian beranjak menyalakan lampu kamar yang belum sempat kunyalakan saat pertama masuk ke kamar tadi.

Dering tanda pesan masuk dari handphoneku berbunyi nyaring. Aku membuka tasku, merogoh isi dalam tasku yang tidak tertata rapi sampai menemukan handphoneku yang ternyata ada di bagian paling dalam dari tasku.

From : Mr. Popular <+13

G'night, jangan lupa bersihkan kaki, tangan, muka, juga gigimu sebelum tidur :*

Harusnya aku tahu itu dia yang mengirimi pesan. Harusnya aku pun sudah mulai terbiasa dengan emoticon khas para sejoli yang sedang kasmaran, yang sering ia kirimkan untukku. Tapi hingga kini, itu masih terasa aneh bagiku.

From : Me

Goodnight . Kau tidak perlu mengatur apa yang harus kulakukan sebelum tidur.

Send.

From : Mr. Popular

Menurutku, kecantikan itu bisa lebih dinikmati jika si empunya kecantikan, juga merawat dirinya sebersih mungkin. By the way, bukankah para gadis sangat menginginkan perhatian dari kekasih mereka?

Oh, kepercayaan dirinya sungguh hebat! Aku memutuskan untuk tidak membalas pesannya. Ku taruh handphone-ku di atas nakas di samping kasurku, lalu berjalan ke kamar mandi. Tidak, jangan kira aku mengikuti perintah laki-laki itu. hanya saja memang kebiasaanku untuk mencuci kaki, tangan dan wajahku, serta menggosok gigi sebelum aku tidur. Aku sangat memperhatikan kebersihan. Biasanya aku selalu menyempatkan mandi tapi hari ini aku terlalu lelah dan ingin segera tidur.

Saat sedang menggosok gigi, handphone-ku kembali berbunyi. Ada panggilan masuk dan aku tahu, itu pasti Dean. Aku sengaja membedakan nada dering untuknya dan untuk orang lain. Kubiarkan saja hp itu berdering sampai mati sendiri. Biar saja, aku malas mengangkatnya. Sialnya, ia tidak menyerah dan terus menelponku.

Tidak tahan dengan bunyi handphoneku yang terus berdering. Masih dengan sikat gigi di tangan kanan dan mulut yang berbusa oleh pasta gigi, aku keluar dari kamar mandi, berjalan dengan menghentak-hentakkan kakiku saking kesalnya, lalu mengangkat teleponnya.

"Kenapa lama sekali kau angkat teleponku?"

Meski aku sudah sering berteleponan dengannya semenjak hari tercetusnya taruhan itu, terkadang ada saat dimana dewi batinku tidak bisa mengendalikan diri dan mulai bertingkah di luar batas keinginanku. Seperti yang terjadi sekarang, tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang layaknya orkestra ketika suara Dean mengalun masuk menuju gendang telingaku. This isn't good, really. Kalau begini terus, kekhawatiran Claire bisa benar-benar terjadi.

"Afu hedang hosok hihi hau!! (Red: aku sedang gosok gigi tahu)." Aku sadar, omelanku tidak terdengar jelas, tapi peduli setan. Dean mengeluarkan tawanya yang renyah dari sebelah sana, jelas dia paham apa yang aku katakan barusan.

"Kau benar-benar pacar yang penurut. I like that side of you," ujar Dean.

Perkataannya memaksaku untuk menelan busa pasta gigi di dalam mulutku, "Bisakah kau menurunkan sedikit kadar kepercayaan dirimu itu? Apa yang aku lakukan sekarang bukan karena kau!"

Aku kembali mendengar tawanya, "Berdoalah sebelum tidur, semoga Tuhan memberikanmu sedikit keberuntungan agar tidak kalah terlalu cepat denganku. Selamat istirahat, Sayang."

"Berapa kali harus kubilang agar kau tidak memanggilku dengan sebutan—"

Piip. Dean memutuskan panggilan kami saat aku belum selesai bicara. Aku membanting handphoneku ke atas kasur sebelum kembali ke dalam kamar mandi. Demi Neptunus, aku bersumpah atas diriku sendiri... Tuan Populer akan menerima kekalahannya!

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

726K 83.7K 46
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
2.4M 20.1K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
403K 16.1K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
758K 147K 48
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...