Into The Light (Seungwoo X We...

By primasantono

3.7K 438 112

*COMPLETED* Wendi yang telah memasuki umur mendekati kepala 3, sejatinya tidak peduli ketika teman-temannya s... More

Into the Mirror
Prolog
1. Light
2. Blank
4. Remember Me
5. Your Smile and You
6. Stay With Me
7. I'm Here For You
8. Fever
9. When We Were Close
10. White Night
11. While The Memory Fall A Sleep
12. Timeline
13. Want Me
14. Slow Goodbye
15. Please
16. LL (Love + Love)
17. Sweet Travel
18. Petal
19. I'm Still Loving You
20. Child
21. So Bad
22. Here I Am
23. Time of Sorrow
24. Like Water
25. In Love
26. We Loved Each Other
27. You are Mine
28. Howling

3. Begin Again

84 19 0
By primasantono

"Sayang, dijemput jam berapa?"

Hari Sabtu yang membuat Wendi galau seminggu penuh itu datang juga akhirnya. Wendi yang masih setengah sadar mengangkat telepon dari Sakti dengan mata yang masih rapat ketutup. Kalau bukan karena Wisnu yang keganggu dengan suara alarm-nya di pagi itu, kayaknya Wendi masih mengembara di alam mimpi deh sekarang.

Satu minggu Wendi kemarin sudah terlampau kacau. Pikirannya tidak bisa fokus, terutama setelah mendengar kabar bahwa Seno satu kantor dengan Wisnu. Hari-harinya ia paksa untuk sibuk, thanks to Pak Fajar yang menubrukkan dirinya pada begitu banyak kerjaan minggu ini. Tapi ternyata hari ini tetap datang juga dan Wendi harus tetap hadapi apapun yang akan terjadi nanti.

Masa sih seorang Hansa Senopati kembali? Kalau cowok itu sekarang stay di Jakarta, berarti bukan tidak mungkin kalau dia juga akan datang hari ini. And it sucks.

Matanya kembali berusaha fokus untuk melihat jam dinding di seberang tempat tidur. Masih jam 7 pagi. Ia menguap sekali lagi, yang langsung ditanggapi Sakti dengan tawa khasnya.

"Katanya jam 10 kan acaranya, ayo bangun dong. Biar nanti sempat keliling juga. Juna udah siap katanya. Dia kan nganter Sekar dulu habis itu ke tempatku."

Wendi akhirnya berusaha bangun sambil sedikit mendumel, "Iya iya. Kamu kok tumben semangat banget sih datang acara nikahan?"

Yang ditanya hanya terkekeh sebentar. "Anggep aja aku lagi bener. See ya, i love you."

Wendi menutup telepon dengan helaan napas panjang. Batinnya bergejolak, tidak ingin kalah dengan kenangan. Oke, nggak ada waktu buat galau.

Kayak biasa aja, kayak seorang Wendi yang seperti biasa aja.

Kayak Wendi yang biasanya selalu tidak gentar.

Kayak Wendi yang bikin iri karena masih bisa bebas karena lajang.

Kayak Wendi yang selalu tangguh di mata orang-orang sampai membuat Sakti begitu bangga bisa berhasil menyentuh hatinya dan memilikinya sekarang.

Satu jam setelah telepon dari Sakti dan puluhan miss called lainnya dari Juna yang nggak sabar menunggu, akhirnya Wendi sudah siap dan menyambut mereka. Sudah lama tidak datang ke nikahan, akhirnya ia memutuskan hanya menggunakan dress selutut dengan warna peach dan aksesoris biasa seperti kalung dan cincin. Cincin yang lumayan istimewa karena cincin ini pemberian dari Sakti waktu ulang tahunnya yang ke 28.

"Waw, kamu siapa? Hari ini memang jadwalnya malaikat turun ke bumi?"

Sakti yang sejak tadi mengobrol dengan Wisnu dan Juna yang bermain PS di ruang tengah, melongo begitu melihat Wendi yang sudah full make up keluar dari kamar. Matanya membulat dengan antusias.

"Lebay lo, Kak ..." dumel Wooseok sambil menepuk-nepuk bahu pria itu yang melongo. ".... sejam yang lalu dia cuma Wendi ber-iler yang baunya ga karuan,"

"Masih mau pizza kayu bakar kesukaan lo buat oleh-oleh nggak?" tanya Wendi perlahan dengan mata licik.

Wisnu yang sejak tadi fokus dengan PS-nya kini menoleh ke arah Wendi sambil jari tangannya yang membentuk hati. Sakti ikut mendekat, matanya berkilat penuh semangat begitu mendengar makanan kesukaannya terucap. Juna hanya menatap keduanya sambil geleng-geleng kepala. Mereka semua tahu Sakti adores Pizza melebihi rasa cintanya pada Wendi.

"Sakti ..." Juna mendekat ke arah Sakti sambil menggeleng, "Gue tahu apa yang lo pikirin soal pizza tapi lo nggak bisa lewatin Macaroni Schotel di hotel yang bakal kita datengin,"

Wendi memutar bola matanya, sambil bergegas membereskan barang bawaannya, "Udah yuk ah. Bye Wisnu. Selamat malam mingguan sendirian!"

Wisnu hanya memanyunkan bibir sambil mengantar mereka ke depan dan menutup pagar. Seperti biasa Wendi akan memberikan beberapa mandat tentang rumah, seperti kunci pintu setiap mandi dan tidur siang atau memastikan kompor tidak ditinggal tidur ketika menyala. Wisnu hanya mendumel karena ia sudah hapal dengan semua itu.

Sakti sendiri seperti orang yang berbeda hari ini. Senyumnya melengkung sempurna, sampai-sampai Wendi berulang kali khawatir pipinya akan pegal. Wendi tadinya meminta Juna untuk duduk di depan bersama Sakti tapi ternyata orangnya memilih duduk di belakang karena semalam habis begadang.

Mereka tak perlu bertanya Juna begadang untuk apa, jadi Wendi langsung otomatis mendudukkan diri di bangku depan. Jadilah sepanjang perjalanan hanya ada suara Sakti yang bersenandung diiringi suara Juna yang kadang-kadang mengigau nama istrinya.

"Aku senang deh," ucap Sakti tiba-tiba. Tangannya yang bebas perlahan menggenggam tangan Wendi dan mengaitkan jari jemarinya disana.

"Senang kenapa? Karena akhirnya kita jalan agak jauh atau senang karena kita mau kulineran?"

"Hmmmm senang karena itu ..." ujar Sakti sambil menunjuk jari manis di tangan kiri gadis itu. Wendi hanya tersenyum sambil memperlihatkan jari manis itu padanya.

"This means a lot to me too," sahutnya sambil perlahan mengusap wajah Sakti dengan hangat.

Sakti terlihat berpikir sejenak, lalu menatap Wendi sambil tetap fokus menatap jalanan, "Wen, aku tahu aku bukan pria yang baik. Maaf karena aku nggak pernah mention soal pernikahan sama kamu, tapi aku juga bersyukur ... karena kamu juga nggak pernah menuntut aku,"

Wendi hanya terdiam sambil mengaitkan kembali jari jemarinya ke tangan pria itu. Sakti masih menatap fokus ke jalan raya sambil sesekali tetap tersenyum.

"Tapi kali ini, aku bakal benar-benar memikirkan lebih jauh. Aku ingin serius milikin kamu. Kamu ... keberatan nggak menunggu?"

Setelah tiga tahun, ini pertama kalinya Sakti mau membicarakan lagi hal seperti ini. Wendi bisa melihat kalau topik ini selalu berat dibahas untuknya. Entah ada angin apa yang melewati pikirannya saat ini tapi Wendi sungguh menghargai apa yang ia lakukan sekarang. Wendi hanya mengangguk perlahan sambil menatap lurus padanya.

"Aku nggak apa-apa kok ... Kalau kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi, kita malah jadi khawatir, malah miskomunikasi, malah jadi berpikir yang aneh-aneh. Yang penting selama aku dan kamu bahagia, itu sudah lebih dari cukup kan?"

"Lagian ... sejak ayah meninggalkanku, aku rasa aku belum siap buat jalan di altar tanpa ayah ..."

Sakti menatapnya menyesal, "Yaah, kamu jadi ingat lagi ya?"

Wendi menggeleng perlahan, "Rasa nggak siap ini juga datang dari aku kok. Jadi pelan-pelan aja ya. Sambil aku juga siap-siap jalan di altar sama si Wisnu doang. Haduh, nggak kebayang deh anak itu nanti gimana,"

Sakti tergelak sebentar, "Aku sayang kamu banget,"

"Aku mau bilang lebih sayang kamu tapi nanti kamu bales terus kita ga berhenti-berhenti sayang-sayangan,"

"Waduh, kita harusnya ke rest area dulu kali ya?" ujar Sakti tiba-tiba sambil tersenyum manja, membuat Wendi mengerutkan dahi lagi.

"Hmmmm? Kamu pingin ke toilet?"

"Enggak, pingin cium kamu,"

"Ih kirain apaan," ujar Wendi heboh sambil tersenyum malu dan memeluk lengannya begitu erat.

Sakti hanya tergelak sambil terus mengatakan kalau rasanya ia ingin berhenti darurat saja di bahu jalan.

Wendi diam-diam hanya bisa tersenyum lega. Rasanya ia tidak perlu khawatir lagi dengan apa yang terjadi nanti jika bertemu teman-teman yang agak toksik. Dalam hatinya ia juga berharap si masa lalu itu tidak datang dan mengacaukan harinya. Ia sudah rela melepas semua hal tentang masa lalunya karena masa sekarang -dan mungkin yang akan menjadi masa depannya- sudah begitu membahagiakan.

She is truly in love and that's enough.

Memasuki Kota Hujan dengan seribu angkotnya, Seno berulang kali menyesali pilihannya untuk kemakan rayuan maut Chandra. Datang-datang mereka sudah disambut hujan, ditambah macetnya yang tidak ketulungan. Semua kendaraan kayak numpuk jadi satu, ditambah angkot yang kayaknya semakin beranak-pinak dari terakhir yang Seno ingat.

Kalau bukan karena Chandra yang ngebet pingin ke Bogor dan datang ke acara nikahan Yeri, Seno mungkin lebih memilih rebahan seharian sambil nonton film baru di Netflix.

Semalam ia juga baru dibombardir oleh Pak Genta, Senior Managernya untuk menyusun presentasi dan alhasil baru bisa tidur jam 3 pagi. Ternyata Chandra justru nongol di apartemennya jam 7 pagi tepat yang membuat Seno bersungut like omg it was freaking 7 a.m!!!

"Waaaaah nyampe juga. Pegel gila badan gue!" Seru Chandra tepat ketika mobil Seno berhasil terparkir dengan baik.

Seno hanya memicingkan matanya sambil membuka seatbelt dan mengambil kopinya yang berada di dekat perseneling. "Enak banget emang ya, bisa-bisanya masuk Jagorawi tidur pules,"

Chandra hanya ketawa ngelihat temannya yang senewen dan muka kayak ketekuk, "Sorry bos! Gue habis lembur nih. Kapan lagi kan ke Bogor ada yang nyupirin."

Gue pingin nabok tuh mulut, batin Seno murka. "Bangsat emang, gue juga lembur malah lo suruh nyupir. Kalau bukan temen, udah gue jorokkin lo di Ciliwung tadi,"

"Sabar bro sabar. Orang sabar disayang semesta. Tuh lo liat deh cewek-cewek yang masuk cantik-cantik banget. Gila sih punya temen kayak seleb memang beda," seru Chandra sambil menunjuk beberapa cewek yang jalan beriringan sambil cekikikan menuju venue.

Tapi dibanding apa yang ditunjuk Chandra, Seno justru lebih fokus ke arah belakang rombongan cewek itu. Tiga orang yang langsung menarik matanya.

Wendi.

Ia cuma mengenali salah satu cowok yang berjalan disampingnya, Juna anak Science 3, yang emang deket sama dia dari jaman sekolah dan satu orang lagi yang Seno tidak tahu siapa.

Pacarnya?

Suaminya?

Seno dengan tingkat kepo yang luar biasa lalu bergegas turun meninggalkan Chandra yang masih sibuk sisiran lewat kaca spion. Seno hendak mendekat kearah rombongan itu tapi urung ia lakukan ketika ia melihat Wendi dan cowok itu mulai gandengan super mesra.

Sejak kapan Wendi jadi PDA gitu?

"Heh, kenapa sih lo kayak liat setan aja langsung keluar?"

Suara Chandra mengembalikan Seno dari alam bawah sadarnya yang dari tadi kemana-mana. Seno tidak berkutik. Matanya masih saja terfokus pada dua insan itu.

"Laper gue. Masuk yuk--" ajak Chandra sambil menatap heran Seno yang sejak tadi bengong. Begitu pandangannya mengarah ke arah yang sama dengan yang Seno lihat, ia langsung mengerti.

"Oooh, gue tahu kenapa,"

Seno berbalik. Matanya mengerjap-ngerjap.

"Wendi kan?"

"Nggak--"

"Kenapa? Pingin nyanyi 'That Should be Me'?"

Nada suara Chandra yang kayak tentara lagi bombardir sekutu itu emang pas banget mengenai setiap bagian hati Seno yang mengkerut.

Seno nggak tahu rasanya sekarang hati dia kayak apa tapi yang pasti jauh dalam lubuk hatinya, ia sedikit merasa bersalah pada gadis itu. Apalagi Wendi juga ikut menghilang tepat setelah kejadian sehabis wisudanya itu. Rasanya kayak semesta lagi nyalahin dia karena ketidaktahuannya atas perasaan yang Wendi punya.

Tapi bagaimana dia tahu, kalau Wendi juga tidak menunjukkannya?

Wait.. apa Wendi sudah menunjukkan tapi dia nggak peka? Pikiran seperti itu masih menghantui Seno hingga saat ini.

"Chan, gue ngerokok dulu aja lah. Lo masuk duluan aja." putus Seno kemudian, memutuskan buat mengurungkan niatnya untuk masuk ke venue. Chandra mencibirnya.

"Cih, coward. Ya udah gue masuk. Awas ya jangan kabur duluan,"

Seno ngusir dia dengan gerakan tangan sambil tangan satunya lagi sibuk nyari korek di saku celana. Asap mulai mengepul di sekitarnya, beriringan dengan kepalanya yang kembali penuh dengan Wendi. Wendi yang semakin tumbuh menjadi gadis yang cantik, sialnya justru ia dulu begitu benci melihat Wendi yang mulai berdandan dan membenahi diri.

Ia takut Wendi akan berubah menjadi seperti cewek-cewek kebanyakan yang hanya memikirkan penampilan. Padahal seharusnya Seno tahu, Wendi tidak akan pernah menjadi cewek seperti itu dan memang seharusnya itu juga bukan hak Seno untuk mengatur bagaimana Wendi mau berpenampilan.

Matanya masih mengikuti langkah Wendi yang masih mengantri untuk masuk ke venue.

Langkah kakinya yang kecil. Senyum tipisnya yang membentuk bulan sabit. Tubuh mungilnya yang terpusat pada cowok disampingnya itu.

Shit.

Shit, kenapa sekarang dia cantik banget.

Seno masih berusaha mengalihkan perhatiannya terhadap gadis itu dengan berjalan cepat ke arah smoking area. Dengan cepat ia menyalakan satu batang rokoknya dan menghisapnya kuat-kuat. Ia baru sadar ada suara derap langkah sepatu yang mendekat ke arahnya. Ia menengadah untuk melihat sosok pria di depan itu dengan jelas.

Juna.

"Kalau lo nggak keberatan, boleh gabung?"

Notes from Prima.

Kadang nggak ada yang salah sih kalau kita naksir orang dan orangnya nggak tahu. Kalau dipikir sebenernya bukan salah Seno juga buat nggak naksir Wendi di masa lalu dan mungkin perhatian dia memang pure buat sahabatnya aja.

Atau adakah kalian yang punya pendapat lain? hhi

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 340K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
Abditory By fan

Fanfiction

20.1K 3.3K 23
[✔] "Gue bahkan ragu, ini sebenarnya surga atau neraka." "Ini bukan surga maupun neraka, karena tempat ini masih di bumi. Mungkin suasananya aja yang...
11.7K 1.8K 19
Arion Dia dipaksa untuk menikah. Menghasilkan sebuah keturunan, agar warisan dari mendiang Papa tidak diambil alih oleh keluarga lainnya. Sayangnya...
23.2K 1.2K 33
"Tentang perjuangan yang tak kenal kata balas. Tentang ikhlas yang tak kenal kata pamrih. Dan tentang kehilangan yang tak pernah mereka bayangkan seb...