You Just Met The Wrong Person

By DrReno

29.6K 4.4K 192

(Sedang di revisi) Setelah kasus kesalahpahaman tersebut, Ken harus memulai hidupnya dari awal. Pindah sekola... More

Prolog
Pink!
Affection!
Affection! (2)
True Love Comes From Family!
Pink! (3)
Pink! (4)
True Love Comes From Family! (2)
True Love Comes From Family! (3)
True Love Comes From Family! (4)
True Love Comes From Family! (5)
Professional Or Plain?
Let Me Get This Straight!
Let Me Get This Straight! (2)
Something Wrong Happened Here!
Something Wrong Happened Here! (2)
Ken Jackson!
The Scapegoat!
The Scapegoat! (2)
Them!
The Scapegoat! (3)
The Scapegoat! (4)
The Scapegoat! (5)
Silly, How It Feel!
Like We Should And Say We're Good!
Like We Should And Say We're Good! (2)
Like We Should And Say We're Good! (3)
Like We Should And Say We're Good! (4)

Pink! (2)

1.8K 243 36
By DrReno

Suasana kelas Kimia berada dalam keadaan masam pagi ini. Dua hari sebelumnya seluruh sekolah disuruh pulang cepat entah karena alasan apa, dan pagi ini perasaan mereka berkecamuk saat melangkah masuk ke dalam kelas dan melihat papan tulis.

"Kenapa Mrs. Lisa sangat suka membuat ujian dadakan?!"
"Bronsted-Lowry, senyawa amfoter, larutan non-akuatik ...."
"Aku benci hari Rabu!"

Ujian quiz Bab Asam Basa akan dilaksanakan pagi ini. Begitulah yang tertulis di atas papan, dibuat dalam ukuran yang besar dan bahkan diberikan hiasan berupa tanda petik cantik.

Ken sebagai murid baru di sana juga merasa agak panik saat menemukan pengumuman tiba-tiba itu. Mengeluh, tetapi tidak sampai benar-benar berteriak seperti yang lainnya di dalam kelas. Dia hanya membuka ponsel dan mencari materi-materi untuk membantunya.

"Psssttt, hei!" Tak lama seseorang berbisik di sampingnya. Ken menoleh dan mendapati seorang cowok tengah melambai dan tersenyum ramah padanya.

"Hei?"

"Aku Shiro Sykes." Dia lalu berdiri dan mengacungkan tangannya.

Ken terdiam sejenak, tetapi segera menjabat tangan itu. "Aku Ken. Ken Jackson."

"Aku tahu. Aku sudah melihatmu Senin kemarin." Shiro berbalik sejenak lalu mengambil sesuatu di bawah tumpukan bukunya. Beberapa lembar kertas yang kemudian diserahkan untuk Ken. "Aku membuatkan ini untukmu."

Ken memperhatikannya lagi sebentar. Tidak akan cukup sulit mengingat siapa laki-laki yang tengah berbicara di hadapannya karena Ken baru menjadi murid baru selama dua hari. Akhirnya dia tahu. "Kau yang ditendang gadis rambut pink itu."

Sesuatu seakan menimpa kepala Shiro hingga membuatnya menunduk. Wajahnya memerah sembari tertawa kecil. "Ya, itu aku."

"Tapi kenapa kita baru bertemu di kelas hari ini?"

Shiro hanya mengedikkan bahu, dan tidak ingin membuang waktu lebih lama dia mengayunkan kertas di tangannya untuk kembali mengalihkan Ken. Cowok itu menerimanya sedikit ragu, tetapi ternyata itu catatan-catatan dari pelajaran Kimia yang telah dia lewatkan selama seminggu.

"T–Terima kasih. Shiro," balasnya kaku.

"Ada apa dengan sikapmu itu? Kau terlalu formal. Aku bukan siapa-siapa." Senyuman Shiro semakin melebar. Tanpa dia sadari Ken sebenarnya sudah tidak memperhatikan. "Maksudku, aku hanya kapten tim sepak bola di sekolah ini, tapi tetap saja itu bukan apa-apa. Kau tidak perlu sesopan itu padaku karena—Hei?! Apa kau bahkan mendengarkan?"

Nadanya berubah kesal saat akhirnya tahu Ken tak memperhatikan. "Ken?"

"Ya, aku mendengarkan. Terima kasih untuk ini."

Shiro menggaruk tengkuknya. Kemudian menghela napas pendek saat kembali ke tempatnya di samping Ken. "Berhubung kau murid baru, aku mau jadi temanmu."

Mata Ken seketika melebar. Mendengarkan Shiro benar-benar membuatnya terkejut. Kertas di tangannya sampai bergetar hingga terpaksa dia menaruhnya. "A–Apa kau bilang?"

"Teman. Aku ingat kau bertemu dengan Alisha dan Lucy, tetapi mereka gadis-gadis yang liar. Maksudku Alisha adalah cewek maskulin dan Lucy agak sulit diajak bicara. Jadi aku ragu kau sudah bisa berteman dengan mereka dalam waktu singkat, tapi aku berbeda." Shiro mengedipkan mata padanya. "Aku akan menjadi teman pertamamu di sekolah ini."

Ken tertegun. Mulutnya setengah menganga saat itu. Tanpa alasan yang jelas kepalanya malah terisi kembali dengan memori yang menyakitinya. Suara dan pukulan dari kemarahan-kemarahan memenuhi kepalanya dengan cepat.

Buru-buru dia menyembunyikan wajahnya. Shiro tak tahu Ken tengah menahan air mata. Napasnya bahkan jadi pendek.

"Teman? Tentu," jawab Ken patah-patah.

"Bagus. Kalau begitu aku ingin meminta sesuatu darimu." Shiro mengeluarkan ponselnya, dan kembali mendekati Ken yang masih mencoba untuk mengatur kepalanya.

***

Alisha menguap kecil di hadapan laptopnya. Bukan berarti dia tengah mengantuk, tetapi melihat seseorang menguap di layar panggilan videonya membuat dia ikut tertular.

"Rick, omong-omong di mana Lucy?" sambungnya memanggil salah satu dari beberapa wajah yang muncul di kotak-kotak panggilan video tersebut.

"Dia sedang mandi, kurasa," jawabnya lemas. Remaja berambut tipis dan hampir plontos. Cowok yang hanya menggunakan tank top tipis dan tertulis nama Rick Watson di kotak panggilannya.

"Mandi? Ini jam sembilan malam," heran salah satu yang lain. Cowok dengan rambut yang lebih lebat dan pakaian yang lebih tertutup daripada Rick, tepatnya piyama.

"Wanita butuh mandi, Sera. Kalian pada pria tidak akan paham."

"Apa menurutmu pria tidak butuh mandi?" balas lagi cowok bernama Sera itu.

"Terserah kau saja."

Sempat ada hening di antara panggilan mereka berempat. Selain saling menatap dan beberapa kali Sera mengambil tangkapan layar untuk mendapatkan wajah yang lucu akibat masalah jaringan. Sampai panggilan mereka bertiga diisi dengan dua kotak baru.

"Pacarmu dan adik kembarnya muncul," beo Rick sembari membersihkan kukunya.

"Dan teman kita yang baru saja menyelesaikan pertandingannya," tambah Sera memaksudkan pemanggil yang satunya.

Perlahan wajah mereka terlihat. Kamera yang sedikit tinggi dengan latar langit-langit ruangan menandakan dia sedang melakukannya di atas kasur.

"Hei!" Lang Fisher, yang di awal sapaan langsung memperbaiki posisi rambutnya.

Sementara yang satunya tidak berbicara sampai seseorang bertanya. "Cyan, di mana Shiro?"

"Mengambil cemilan di bawah." Begitulah yang terjadi, saat Cyan muncul maka Shiro akan dicari, ataupun sebaliknya. Mereka berdua saudara kembar, jadi menanyakan keberadaan salah satunya sering dilakukan.

"Di mana Lucy dan Andy?" lanjut remaja bernama Lang tadi.

"Lucy sedang mandi. Andy sepertinya punya pekerjaan rumah yang belum selesai," jawab Rick.

"Lupakan soal mereka. Bagaimana hasil pertandinganmu, Lang?" Topik segera diubah Cyan. Antusias yang lain ikut naik. Mereka tak sabar menunggu terlebih saat Lang tersenyum lebar.

"Senang sekali kalian bertanya." Dia menghilang sejenak dari layar, hanya terlihat kasurnya dengan selimut putih tebal. Sampai Lang kembali dengan sesuatu di tangannya.

"Tada! Aku juara dua!" sambungnya mengangkat medali perak dengan pita merah itu. Tepuk tangan yang pelan mengiringi kemudian.

"Tidak heran untuk seorang Lang Fisher."
"Kau hebat, Lang!"

"Terima kasih, teman-teman," balas Lang. Walau tidak nampak dengan jelas, tetapi wajahnya tengah memerah sekarang.

"Laaaaaang! Temanku, apa itu medali yang aku lihat? Kau benar-benar hebat, sobat!" Tak lama teriakan yang kuat muncul dari panggilan Cyan, tetapi itu bukan dia.

"Apa kau bahkan sadar suaramu itu bisa menghancurkan pendengaranku suatu hari nanti, Shiro?" protes Cyan sembari menggosok telinganya.

Sementara Shiro hanya mengedikkan bahu. "Apa peduliku? Omong-omong, ayah memanggilmu di bawah."

Sambil menghela napas, Cyan pergi, dan Shiro yang kini mengisi tempat duduk dengan mangkuk berisi keripik kentang.

"Hei, Shiro. Punya berita menarik?" tanya Lang.

"Ya. Aku mendapatkan A- di kuis dadakan Mrs. Lisa."

Beberapa terkejut, termasuk Rick sampai bersiul. "Tidak biasanya."

"Ya. Kudengar Alisha hanya mendapatkan B," sambung Shiro meledek dan menahan tawa.

"Kau hanya beruntung, Shiro," singkap Alisha menahan emosinya. "Lagipula Ken mendapatkan nilai tertinggi, hanya dia yang mendapatkan A+."

"A+ di kelas Mrs. Lisa? Wow. Itu, um ... tapi siapa Ken?"

"Dia murid baru yang banyak dibicarakan orang. Hanya karena dia mengenakan topi merah muda selama tiga hari ke belakang," sambung Alisha tidak bersemangat.

"Kau terdengar tidak menyukainya," ucap Lang.

"Terserah. Anak itu benar-benar tertutup. Kami bertemu kembali di kelas Sejarah dan aku bertanya alasannya pindah sekolah, dia tidak mau mengatakan apapun. Dia bahkan tidak mau berbicara padaku setelahnya."

Jawaban itu segera disambut gelak tawa Sera yang membuat gadis tersebut mendengus kesal. Agar tidak terjadi pertengkaran, Shiro segera menengahi. "Tapi kurasa Alisha benar. Pagi ini setelah kelas Kimia selesai, aku tanpa sengaja menemukannya menangis di kamar mandi, tapi sebelum itu di dalam kelas dia bahkan mencoba untuk menahan air mata. Aku melihatnya."

"Sungguh?" tanya Rick, dan Shiro mengangguk dengan yakin. "Yah ... mungkin dia hanya perlu waktu untuk beradaptasi."

"Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi di masa lalunya," sambung Sera.

***

"Ibu, aku akan segera pulang, okey?"
"Ini sudah pukul sebelas malam, bukankah sudah kubilang untuk berhenti bekerja?"

Tangan Ken yang memegang kain lap berputar dengan cepat di atas meja, sementara kepalanya dia miringkan untuk menjepit ponsel.

"Tapi, aku hanya--"
"Pulang, sekarang!"

Panggilan terhenti. Ken mendesau sebelum melanjutkan urusannya dengan lap basah tadi. Sampai tak lama seorang pria mendekat dengan beberapa lembar uang di tangan yang kemudian diserahkan untuk Ken.

"Ada masalah, Ken?" tanya pria itu.

"Ibuku menelepon. Hanya itu," ucap Ken sembari mengambil uang tersebut.

"Sebaiknya kau pulang. Aku dan Olive yang akan menyelesaikan ini. Lagipula tinggal menyusun meja saja."

"Sungguh? Terima kasih, Arthur." Ken buru-buru melepaskan celemeknya dan meninggalkan kain lap serta penyemprot air di atas meja. Kemudian melesat mengambil tasnya di ruang ganti.

"Sampai jumpa Sabtu nanti, Ken," ucap pria bernama Arthur itu. Ken lagi-lagi hanya melambai padanya.

Langkah Ken yang cepat segera memelan saat dia mencapai sisi hutan karena kelelahan. Jalanan masih sama sepinya seperti Senin kemarin. Ken menarik ponsel dan kabel earphone di dalam saku untuk memutar musik yang akan menemaninya malam ini.

Keadaan yang benar-benar tenang. Setidaknya sampai sudut mata Ken menangkap sosok gadis berjalan ke arahnya. Ken mencabut earphone-nya untuk memastikan. Lalu langkahnya benar-benar terhenti begitu sadar siapa orang itu.

Gadis itu juga ikut berhenti, mereka saling menatap dalam diam. Ken meneguk ludahnya kasar. "Gina?"

Mata gadis itu melebar saat namanya disebut. Ken berjalan mendekat, tetapi cewek itu malah mundur perlahan-lahan. "Gina, tunggu!"

Lupa dengan tujuannya untuk pulang, Ken mengejar gadis bernama Gina tersebut yang berlari ke arah dia datang. "Gina, aku ingin bicara padamu!"

"Menjauh dariku!" Gina balas berteriak. Mereka berdua sama-sama berhenti dengan jarak yang masih sama. "Aku tidak ingin berbicara denganmu lagi."

Suara gadis itu memelan, lalu terdengar sesenggukan. Ken justru memainkan ekspresi yang berbeda, kedua tangannya mengepal kuat seakan marah, ketika ingin berbicara suaranya bergetar.

"Aku ...," tetapi lidahnya jadi kaku. Dia tak tahu ingin mengatakan apa selanjutnya.

"Pergilah. Aku tidak ingin lagi berurusan denganmu." Gina kembali mundur, dan berbalik untuk menjauh. Tanpa dia sadari Ken berhasil menyusul dan menahan dengan menarik tangan gadis itu.

"Gina, kumohon dengarkan aku. Bukan aku yang melakukannya!" ucap Ken dengan putus asa, dan Gina langsung meronta.

"Lepaskan aku, Ken! Atau aku akan berteriak!"

"Aku mohon percayalah padaku."

"Aku tidak akan percaya padamu! Tidak akan pernah!" Gadis itu berteriak semakin kuat. Membuat pegangan Ken melemah. Memanfaatkan kesempatan itu, Gina segera melepaskan diri, tetapi tidak langsung menjauh.

Kali ini dia hanya berdiri di sana, dengan bahu bergetar dan tangan yang memeluk dirinya sendiri.

"Kau menghancurkan hidupku. Aku kehilangan semuanya karena kau ...." Gina menangis, tetapi Ken juga sama. Dia ingin menjatuhkan air matanya. Dia tahu dirinya tidak bersalah, dirinya tidak melakukan apapun, tetapi semua orang termasuk Gina masih menganggap kalau Ken lah pelakunya.

"Gina?! Gina?!" Lalu suara lain muncul di dekat mereka, memanggil gadis itu dengan panik. Sampai tak lama dia muncul.

"N--Neal?" Ken mengenalnya, mereka bertiga saling mengenal. Namun, cowok yang baru datang itu segera menarik Gina dan kemudian membawanya pergi dari sana tanpa mengatakan apapun.

Sementara Ken masih mematung di tempatnya. Berdiri dengan emosinya yang berkecamuk. Ingatan Ken kembali, seluruh rasa sakit itu muncul lagi di dalam kepalanya. Tubuhnya seperti menerima pukulan yang dulu pernah dia dapatkan. Walau nyatanya tak ada apapun yang terjadi.

"Tapi ... aku benar-benar tidak melakukannya."

***

Hanya tersisa beberapa menit sebelum tengah malam dan Ken baru tiba di apartemennya. Sekarang dia benar-benar menyesal sudah meladeni Gina.

Sama seperti sebelumnya, Ken membuka pintu dengan perlahan agar tak menimbulkan suara, dan kemudian menutup sama hati-hatinya. Semuanya tenang sejauh ini, Ken merasa lega. Jadi dia lanjut berjalan dengan langkah kecil, tetapi pasti menuju kamarnya. Hanya saja, baru akan membuka pintu Ken berhenti.

Lampu kamar ibunya masih menyala. Ken jadi merasa bersalah. Ibunya pasti ketiduran menunggu Ken pulang sampai-sampai lupa mematikan lampu.

Menghela napas pendek, Ken berbalik menuju kamar ibunya. "Ibu, aku sudah pulang ...," ucapnya sembari mengetuk pintu.

Sayangnya tidak ada balasan. Biasanya wanita itu akan langsung membalas, bahkan jika dia tertidur. "Ibu, apa ibu sudah tidur?"

Masih tak ada jawaban. Bahkan saat ketukan Ken mulai semakin keras. Merasa ada yang salah, Ken langsung memutar gagang pintu dan mendapatinya tidak dikunci.

"Ibu, apa ada--" Begitu masuk, Ken disambut dengan air yang menggenangi lantai. Cowok itu terdiam saat mendapati kamar mandi di dalam sana dengan kran yang terus mengalir dan mengisi bak mandi.

Namun, bukan itu yang membuatnya terperanjat sampai tasnya terjatuh ke lantai dengan asal. Melainkan karena air yang tertampung berwarna merah, dengan seorang wanita yang masih berpakaian lengkap terendam di dalamnya.

"I--Ibu?"

Waktu seakan berhenti untuk sejenak saat Ken jatuh berlutut, dunia seluruhnya memutih. Dia tidak lagi mendengarkan suara air, selain mengetahui ibunya masih ada di dalam sana, tidak bergerak.

Ataupun bernapas.

Continue Reading

You'll Also Like

3.5K 836 8
Gantari tidak pernah menyangka, jika hari itu dia akan bertemu dengan Ben di tangga darurat rumah sakit. Pertemuan yang membuka matanya akan arti bah...
204K 20.3K 12
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
359K 39K 22
Milo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu...
2.6M 150K 40
[ isi konten telah dihapus kecuali prolog dan chapter 1-3 ]. Seperti teh, yang membuat tubuh rileks dalam memulai hari, ia tetap tampil anggun me...