90's Love [NCTx Yeri]

By apadogwaenchanna

2.2K 307 157

Lagu favorit generasi 90-an, beserta kisah yang terkandung di dalamnya, dengan Kim Yerim sebagai pusat dari s... More

Soulmate - Moon Taeil
Lapang Dada - Seo Johnny
Hujan - Nakamoto Yuta
Masih (Sahabatku, Kekasihku) - Qian Kun
Izinkan Aku Menyayangimu - Kim Doyoung
Arti Sahabat - Ten
Lebih Indah - Jung Jaehyun
Cinta Dalam Hati - Dong Sicheng
Demi Cinta - Kim Jungwoo
🎤I Have You🎤
Merindukanmu - Wong Lucas
🧚‍♀️Born To Love Ya🧚‍♀️

Sekali Ini Saja - Lee Taeyong

231 33 25
By apadogwaenchanna

Bersamamu, aku lewati lebih dari seribu malam

Bersamamu, yang aku mau

Namun kenyataannya tak sejalan


Tuhan, bila masih aku diberi kesempatan,

izinkan aku untuk mencintanya

Namun, bila waktuku telah habis dengannya,

Biar cinta hidup sekali ini saja


Tak sanggup, bila harus jujur

Hidup tanpa hembusan nafasnya


Tuhan, bila waktu dapat aku putar kembali

Sekali lagi untuk mencintanya

Namun, bila waktuku telah habis dengannya

Biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja


- Glenn Fredly, Sekali Ini Saja, 2002.






























"Ayo dong, Ri, buburnya dimakan. Lima suap aja, gak usah banyak-banyak." Taeyong dengan senyum yang tak pudar terus menyodorkan bubur pada istrinya yang bukan hanya menolak makan, melainkan juga menolak menatapnya.

Sang istri, Yeri, sekali lagi membuang muka, menjauhkan mulutnya dari sesendok bubur yang disodorkan Taeyong.

"Ayo dong, Ri, ini aku udah jauh-jauh beli bubur di abang-abang langganan kamu yang deket rumah. Bubur kalau didiemin lama jadi gak enak." Taeyong tak lelah membujuk.

"Kenapa gak sekalian pulang aja? Kenapa malah kesini lagi cuma buat beli bubur?" Tanya Yeri ketus. "Aku gak mau."

Taeyong mendesah sabar. Meskipun begitu, senyum tak lekang dari wajahnya."Ri, nanti nasinya nangis,loh."

Suara tawa kemudian terdengar dari ranjang di seberang milik Yeri. Taeyong menoleh, dan mendapati Bu Inas, ibu paruh baya yang sudah seminggu ini sekamar rawat dengan Yeri, tertawa bersama anak perempuannya sambil menatap ke arah mereka berdua. Rupaya acara suap-menyuap sang pasangan muda sedari tadi menjadi tontonan hiburan bagi pasangan ibu dan anak itu.

"Duh, Mas Taeyong bisa aja," celetuk anak Bu Inas, "nasinya, 'kan, udah jadi bubur. Mana bisa nangis?"

Taeyong ikut tertawa ramah. "Ah, kamu. Jangan diperjelas, nanti Yeri makin gak mau makan."

Bu Inas tersenyum lebar, kemudian menatap Yeri hangat. "Neng Yeri, dimakan, dong, buburnya. Itu si Aa' ganteng tangannya udah kram kayaknya, uluran sendoknya gak ditanggepin."

"Tuh, dengerin kata orangtua." Taeyong tertawa sambil meletakkan sendok buburnya yang tak bersambut. Sebagai gantinya, ia mengelus rambut Yeri penuh sayang.

Yeri hanya mendengus, malas menanggapi. Matanya yang mulai menguning melayang pada apa saja yang berlawanan arah dengan suaminya.

Taeyong dengan semangat kembali meraih buburnya, berusaha lagi untuk membujuk Yeri makan, dibantu dengan ucapan semangat sekaligus menggoda dari Bu Inas dan anaknya.

Tak lama, suara ketukan di pintu ruang rawat terdengar, disusul dengan terbukanya pintu tersebut dan munculnya wanita akhir 20-an dengan jas putih diiringi perawat yang membawakan troli berisi alat-alat medis.

"Selamat pagi!" Sapa si gadis ramah.

"Pagi, dokter Irene! Seger nih, saya, pagi-pagi udah liat yang bening-bening." goda Bu Inas dengan semangat.

"Ah, bu Inas, bisa aja ngegombalnya," Irene tersipu. "Hari ini Bu Inas ada jadwal cuci darah, ya?"

"Iya dok, nanti diantar anak saya."

"Siap. Alhamdulillah ya bu, anaknya berbakti," Irene tersenyum, lalu menatap anak bu Inas tulus. "masuk surga jalur SNMPTN kamu!"

"AMIN!" anak bu Inas mengamini dengan penuh suka cita. Irene tertawa, kemudian fokusnya berpindah pada Taeyong dan bubur di tangannya. "Wah, lagi sarapan, ya? Saya ganggu, gak?"

"Pagi, dokter Irene." Taeyong segera berdiri untuk memberi ruang pada sang dokter residen. "Nggak, dok. Silakan, silakan."

Taeyong yang sejak tadi ada di sisi kanan Yeri bergegas memutar ke sisi kiri untuk memberi ruang pada sang dokter. Irene kemudian mandekat dan tersenyum manis.

"Pagi, mbak Yeri." Sapanya ramah. "Sekarang kita pungsi asites* dulu, ya."

Sorot takut terpancar dari mata kuning Yeri. Meski begitu, ia menangguk. Irene tersenyum dan mulai mempersiapkan tindakan aseptik dan antiseptik. Sementara perawat mulai menutup tirai, meletakkan alas kain di bawah punggung Yeri, dan menyingkap baju Yeri agar perut buncitnya tidak tertutupi.

Melihat ketakutan istrinya, Taeyong bergegas mendekat dan mendekap kepala Yeri serta menggenggam tangannya erat.

"Nanti jangan berontak waktu ditusuk, ya. Kalau sakit, kamu cakar aja tangan aku." bisik Taeyong menenangkan. "Kamu udah sering lewatin ini, oke? Kamu pasti bisa."

Yeri tidak menjawab, namun tangannya sudah menggenggam milik Taeyong dengan amat kuat.

Irene tertegun sejenak melihat pemandangan manis dihadapannya. Namun secepat kilat, ia lekas mengembalikan fokusnya dan kembali menunjukkan senyum profesionalnya. "Oke, kita mulai,ya."

Sepanjang prosedur mulai dari pembiusan hingga pengeluaran cairan dari dalam perut, Yeri berkali-kali menggenggam tangan Taeyong terlalu kuat. Kukunya bahkan beberapa kali menancap dan meninggalkan jejak pada tangan suaminya. Meski begitu, Taeyong tak sekalipun menjerit sakit. Malahan, tanpa henti, Taeyong membisikkan kalimat penenang agar istrinya , sembari tangannya yang bebas membelai rambut Yeri yang lepek karena keringat terus-menerus.

"Kamu kuat, Ri. Kamu bisa. Kamu hebat. Sebentar lagi selesai. Istri aku paling kuat sedunia."
















"Dokter Irene!"

Irene yang sedang berjalan di koridor langsung menghentikan langkahnya saat namanya dipanggil. Ia berbalik, dan menemukan Taeyong yang tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Iya, mas Taeyong. Ada apa?Mbak  Yeri ada keluhan?"

"Masih sakit di bagian bekas suntiknya, dok, tapi gapapa. Yeri udah tidur sekarang." Taeyong berusaha mengatur nafasnya. "Dokter lagi sibuk gak? Ada yang mau saya tanyakan."

Irene melihat jam tangannya sekilas, kemudian memutuskan bahwa ia masih punya waktu luang satu jam. Sang dokter residen kemudian menggiring Taeyong agar duduk di bangku terdekat.

"Ada apa, mas?"

"Pungsi asites untuk Yeri... kira-kira sampai kapan Yeri harus rutin dipungsi, dok?"

"Kenapa memangnya?"

Taeyong tersenyum. Meskipun begitu, senyumnya penuh kesedihan. "Saya gak kuat terus-terusan lihat Yeri kesakitan kayak gitu, dok."

Irene menghela nafasnya, mengumpulkan keberanian untuk menjawab.  "Selama hati Mbak Yeri rusak, selama itu juga Mbak Yeri harus dipungsi."

"Kalau seandainya gak usah dipungsi, risikonya apa,dok?"

"Pungsi itu untuk ngeluarin cairan. Kalau cairannya gak dikeluarin, nanti perut mbak Yeri akan semakin besar. Mbak Yeri bisa sesak nafas, dan pasti nyeri juga kalau perutnya besar."

Taeyong menatap Irene penuh harap. "Kapan kira-kira hati Yeri bisa sembuh?"

 Irene mengalami perang batin dalam dirinya. Irene tahu, Taeyong berharap jawaban berupa ukuran waktu yang pasti. Namun sebagai dokter, terlarang baginya untuk memberikan jawaban yang melambungkan harapan pasien. Dokter harus jujur mengenai kondisi pasiennya, juga menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi, sepahit apapun itu.

"Mas Taeyong," Irene menepuk pundak Taeyong penuh empati. "Mbak Yeri menderita sirosis hati, dimana sel-sel penyusun hati sudah gak lagi berfungsi. Rusak." Irene menguatkan hatinya saat mendapati sorot terluka dari lelaki di hadapannya. "Semakin banyak sel hati yang rusak, maka harapan untuk kembali normal juga semakin kecil, mas."

Irene tidak sanggup mengatakan kenyataannya secara menyeluruh; bahwa kerusakan hati yang dialami Yeri sudah begitu luas.

Taeyong berusaha menerima informasi itu meski sulit. "Kalau begitu, gimana dengan transplantasi hati,dok? Kalau hati Yeri yang rusak diganti dengan hati baru yang sehat, bukannya masalah akan selesai?"

Irene menggeleng. "Ya, memang benar transplantasi hati bisa menolong. Masalahnya, di negara ini baru satu rumah sakit yang bisa melakukannya. Mbak Yeri sudah terdaftar, tapi sayangnya antriannya terlalu panjang, mas. Pasien sirosis hati di negara ini sangat banyak."

Tatapan Taeyong tampak kosong. "Berarti... yang saya bisa lakuin cuma nunggu Yeri menyerah, begitu?"

Irene kehilangan kata-katanya.

"Saya sayang sekali sama istri saya,dok. Kami baru menikah dua tahun. Saya belum berbuat apa-apa untuk bikin dia bahagia." setitik air mata jatuh dari mata Taeyong. "Saya gak berharap yang muluk-muluk seperti punya momongan. Saya cuma berharap bisa habisin sisa usia saya sama Yeri, nikmatin hari tua sama Yeri." Suara Taeyong mulai tersendat. "Semua salah saya,dok. Andai saya sadar lebih awal sama penyakit Yeri. Andai saya lebih kaya supaya bisa bantu Yeri dapat donor..."

Taeyong tidak dapat melanjutkan perkataannya lagi. Di lorong rumah sakit yang lengang itu, Taeyong terisak keras, menangisi cintanya yang akan pergi.

Irene berusaha keras menahan airmatanya yang mengancam jatuh kapan saja. Tidak, sebagai dokter ia dilarang untuk ikut menangis, setidaknya tidak di depan pasiennya. Ia harus tegar supaya bisa menjadi sandaran bagi pasiennya yang rapuh, seperti sang suami malang yang ada di sampingnya.

Tapi,sungguh, pemandangan yang tersaji di hadapannya begitu mengiris hatinya. Baru seminggu ia mengenal pasangan muda ini, tapi cukup untuk membuatnya mengerti betapa Taeyong mencintai Yeri. Taeyong yang setia di samping istrinya yang murung. Taeyong yang selalu penuh semangat mendampingi Yeri menjalani prosedur-prosedur menyakitkan. Taeyong yang aktif sekali bertanya ini-itu pada Irene. Taeyong yang selalu tersenyum. Irene tak pernah membayangkan, senyum ceria yang Taeyong tampilkan tak lebih dari topeng untuk isi hatinya yang sebenarnya. Isi hatinya yang telah luluh lantak karena sakitnya sang belahan jiwa.

 "Apa yang sudah terjadi, sama sekali bukan keasalahan Mas. Saya kagum sama Mas Taeyong karena bertahan di situasi sulit seperti ini." Irene bergegas meremas bahu Taeyong erat, menyalurkan kekuatan. "Saya yakin, perasaan mas sampai ke mbak Yeri. Masih ada waktu, mas. Kita berdo'a keajaiban, ya, sama Tuhan."

















"Sampai kapan kamu mau musuhin mas Taeyong, nak?" tanya Bu Inas setelah melihat Yeri yang mengusir Taeyong keluar dari kamar rawat.

Yeri mengendikkan bahunya cuek. "Sampai dia capek sama saya."

"Kamu gak kasian sama suami kamu? Tiap hari kamu kasarin kayak begitu." Bu Inas menatap prihatin. "Mas Taeyong baik banget,loh. Zaman sekarang, boro-boro suami mau dampingin istrinya yang sakit. Istri masih cantik dan sehat aja mereka selingkuhin."

Yeri menunduk, menyembunyikan ekspresinya. "Justru karena itu. Taeyong terlalu baik, jatohnya bodoh. Ngapain dia repot-repot urusin saya?"

"Karena dia suami kamu. Dia cinta sama kamu." Bu Inas menjawab yakin. "Semua orang yang ngeliat kalian akan tau betapa sayangnya Mas Taeyong sama kamu."

"Dia cuma ngerasa bertanggung jawab karena terlanjur nikah sama saya."

"Hush, gak boleh begitu." Bu Inas berdecak. "Lagipula, kalau Mas Taeyong cuma ngerasa bertanggung jawab, dia gak perlu repot-repot nginap disini tiap hari. Cukup bayar aja semua tagihan."

Yeri membuang muka, mengarah kemana saja asal bukan ibu paruh baya di seberang ranjangnya. "Dia pantas dapat yang terbaik, bu." ucap Yeri dengan suara lirih. Matanya menerawang pada langit luas di balik jendela. "Dia masih muda, masa depannya masih panjang. Saya benci sama kenyataan dia sia-siain hidupnya cuma buat ngurus saya yang udah gak berguna kayak gini."  Yeri terisak. "Apa yang dia lihat dari saya? Saya udah gak cantik lagi. Mata dan kulit saya kuning. Perut saya buncit jelek. Saya muntah darah setiap hari. Kenapa dia bertahan sama saya? Saya cuma nyusahin hidupnya dia."

Bu Inas menatap gadis muda di hadapannya dengan sendu. Sebagai sesama pasien berprognosis buruk, ia paham betul betapa putus asanya Yeri.

"Saya mau dia bahagia, bu. Saya mau hidupnya dia normal lagi, gak perlu berurusan sama orang sakit kayak saya. Saya mau dia pergi dari hidup saya, mulai hidup baru yang lebih layak, kejar cita-cita yang dia mau, cari pendamping lain. Lupain saya, hapus saya dari hidupnya." Yeri menangis. Berat sekali mengatakannya, tapi lebih berat lagi jika melihat Taeyong terus menderita karenanya.

"Tapi hidup mas Taeyong itu kamu, nak." Bu Inas tersenyum. "Kita gak bisa nentuin kebahagiaan seseorang, siapapun dia. Mas Taeyong bahagia di dekat kamu. Yang dia mau cuma dampingin kamu sampai akhir. Kenapa kamu malah dorong dia ngejauh? Kenapa kamu malah maksa dia untuk cari hidup lain, pasangan lain? Kasih dia penghargaan atas usahanya, nak Yeri. Kalau kamu mau dia bahagia, biarkan dia ngelakuin apa yang dia mau, yaitu ada di samping kamu."

Yeri tertegun. Teguran dari ibu paruh baya di seberangnya begitu halus namun juga menusuk.

"Sama seperti kamu, hidup saya juga gak lama lagi. Saya gagal ginjal stadium akhir. Ginjal saya rusak. Saya harus cuci darah setiap minggu. Obat satu-satunya cuma transplantasi ginjal. Setiap lihat wajah anak saya, saya selalu nyalahin diri sendiri karena gak berguna. Sama kayak kamu, saya juga mau anak saya nikmatin hidupnya tanpa perlu direpotin sama saya.

"Tapi, anak saya senang bersama saya. Dia bilang, dia bahagia bisa dampingin ibunya waktu sakit. Waktu saya bilang dia gak perlu nemenin saya setiap hari, kamu tau dia bilang apa?"

Yeri menatap Bu Inas tertarik.

"Dia bilang, "Ibu jangan khawatir. Kalau aku capek, nanti aku mundur sendiri. Sekarang ini, aku cuma mau habisin waktu sama ibu. Daripada sisa waktu dipakai buat sedih-sedih, mendingan dipakai buat senang-senang." Begitu katanya." Bu Inas tersenyum, setitik airmata ia usap. "Sejak itu saya gak pernah lagi nyuruh dia pergi. Saya dan dia mau  bahagia bareng-bareng di sisa hidup saya."

Yeri menunduk.

Lagi, Bu Inas tersenyum menatap Yeri. "Waktu kita sedikit, nak. Jangan dibuang-buang percuma."
















Jam menunjukkan pukul satu malam ketika Yeri terbangun karena rasa kebas di tangan kirinya. Ia mengerjap, kemudian segera menyadari bahwa rasa kebasnya disebabkan Taeyong yang tidur dalam posisi duduk sambil menindih tangannya. Yeri yang tadinya hendak menarik tangannya menjadi enggan ketika melihat betapa lelapnya tidur sang suami.

Yeri mengedarkan pandangan ke sekitar, melihat Bu Inas dan anaknya yang tampak tertidur pulas. Sang anak menggelar tikar di lantai, tampak damai dan bahagia, tidak terusik oleh kerasnya lantai atau dinginnya udara. Melihat ibunya yang masih bernafas sampai detik ini pasti sudah cukup untuk membuat anak itu tidur nyenyak. Yeri tersenyum, mengagumi betapa berbaktinya anak itu pada ibunya.

Kemudian pandangannya ia alihkan ke sisi kirinya, ke sang suami yang tengah asyik di dalam mimpi. Kembali ia mengingat percakapannya tadi siang dengan Bu Inas, yang sedikit banyak mengubah pola pikirnya.

Ia dan Taeyong rasanya baru sebentar sekali bersama. Tiga tahun pacaran dan dua tahun pernikahan, rasanya masih belum cukup untuk membuatnya puas atas kebersamaan mereka. Penyakit ini datang sebelum Yeri sempat memberikan apa-apa. Keturunan pun belum. Satu-satunya yang Yeri berikan hanyalah kesusahan. Dan juga, kesedihan.

Tangan Yeri yang bebas terangkat untuk mengelus surai lelaki itu, hal yang sudah lama tak dilakukannya sejak pertama kali ia didiagnosa menderita penyakit mematikan. Yeri baru sadar sekarang betapa egoisnya ia. Dirinya terlalu tenggelam dalam kesedihannya sendiri, seolah dunia hanya berlaku jahat padanya. Ia enggan membuka mata untuk melihat bahwa ada eksistensi lain yang turut terluka bersamanya. Dan bukannya saling menguatkan, ia justru membuat luka sang lelaki menjadi lebih dalam.

Meski usapannya lembut, nyatanya hal itu mampu mengusik tidur Taeyong. "Yeri? Kenapa,sayang? Kamu mau muntah?" Taeyong buru-buru bangun, dan dengan kesadaran yang baru terkumpul, ia mulai celingukan mencari-cari kantung muntah.

Yeri menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak, cuma kangen kamu aja."

Taeyong mematung pada posisinya. Rasanya sudah lama sekali ia tak mendengar kata-kata manis dari sang istrinya. "Ka-kamu apa..."

"Kangen kamu." Yeri memperjelas, lalu terkikik karena wajah Taeyong yang tampak sangat clueless.

"Kamu kenapa?" Hati-hati, Taeyong bertanya. Meskipun senang akan perubahan sikap Yeri, tetap saja hal itu membingungkan. Dan sedikit menakutkan, kalau boleh jujur.

Yeri menatap lamat wajah yang telah setia mendampinginya lima tahun terakhir ini. "Aku minta maaf,ya, udah kasar sama kamu akhir-akhir ini." Satu tangan Taeyong ia genggam. "Aku cuma gak mau hidup kamu terbatas di sekitar aku. Aku udah gak bisa berbuat apa-apa buat kamu. Aku sekarang cuma jadi beban."

"Hey, gak boleh ngomong gitu." Taeyong buru-buru menggenggam erat kedua tangan Yeri. "Jangan pernah berpikir kayak gitu lagi, oke? Kamu bukan beban. Kita udah sumpah di depan Tuhan untuk ada buat satu sama lain dalam sehat dan sakit, dalam kaya dan miskin, dalam susah dan senang. Semua ini memang apa yang harus aku lakuin, kamu gak perlu nyalahin diri sendiri."

"Kamu gak perlu susah payah menuhin kewajiban ini, aku bebasin kamu."

"Aku jauh lebih milih hidup susah sama kamu yang sakit daripada hidup bahagia tanpa kamu, Ri." Taeyong mengusap wajah istrinya penuh sayang. "Aku gak tau apa itu bahagia kalau gak ada kamu. Jadi, tolong, jangan usir aku lagi."

Yeri menangis. "Aku minta maaf, Taeyong."

Taeyong bergegas bangkit dan memeluk erat pendamping hidupnya. "Gak ada yang perlu dimaafin. Aku selalu punya cita-cita untuk ngasih kamu dunia, tapi karena aku miskin, aku gak bisa. Sebagai gantinya, aku akan ada disamping kamu, lakuin apapun yang kamu minta kecuali ngejauh. Aku minta maaf, Yeri, karena belum bisa bahagiain kamu atau bikin kamu sembuh."

Dalam peluk, Yeri merasakan bahu Taeyong yang terguncang. Taeyongnya menangis. Taeyongnya tak pernah menangis. Dalam kesunyian malam, pasangan kekasih itu menangisi takdir kejam yang mengancam mereka.

"Aku selalu berdo'a sama Tuhan, supaya waktu bisa diulang, supaya aku dikasih kesempatan untuk bareng kamu lebih lama." Ucap Taeyong setelah tangisnya usai. Ia melonggarkan sedikit pelukannya untuk menatap wajah cantik istrinya, yang dimatanya tetap cantik meski penyakit menggerogotinya. "Tapi kalau waktu kita memang udah habis, aku berharap, seenggaknya kita bisa bahagia di sisa waktu kita." Taeyong tersenyum, kembali memeluk istrinya. "Gak usah pikirin nanti, kita harus nikmatin saat-saat ini, oke?"

Yeri, masih dengan air matanya, mengangguk.

Biarkan cinta mereka hidup untuk sekali ini saja.


End

20/2/2021


*Pungsi asites : tindakan memasukkan jarum atau kateter ke rongga peritoneum untuk mengeluarkan cairan dengan tujuan diagnostik dan/atau teraupetik (sumber : alomedika). Pasien akan dibius lokal di daerah perut, lalu dimasukan sejenis jarum supaya asites (cairan yang menumpuk secara abnormal di dalam perut) bisa dikeluarkan.

**Sirosis hepatis/sirosis hati : kondisi rusaknya organ hati akibat terbentuknya jaringan parut. Jaringan parut ini terbentuk akibat penyakit liver yang berkepanjangan, misalnya karena infeksi virus hepatitis atau kecanduan alkohol (sumber : alodokter). Karena sakit berkepanjangan, lama-lama sel hati akan rusak dan gak bisa lagi regenerasi dengan sel baru. Akibatnya, hati lama-lama gak bisa lagi jalanin fungsinya. Karena hati adalah salah satu organ penting yang menunjang kehidupan, jadi rusaknya organ ini bisa berdampak serius pada harapan hidup seseorang.

Di Indonesia, masih kesulitan untuk dapat donor. Rumah sakit yang bisa melakukan transplantasi hati juga baru di Rumah Sakit Cipto Manungkusumo di Jakarta.

Kalau ada salah, jangan ragu untuk koreksi,ya!

Oh iya, habis ini gilirannya Yuta. Ada yang mau request siapa yang mau kalian jadiin pasangannya Yuta?








Continue Reading

You'll Also Like

40.8M 1.1M 42
When Arianna marries billionaire Zach Price to save her family, she doesn't expect to fall in love with a man who'd always consider her a second choi...