RED [MARKHYUCK]

By Hirudinea_

75.7K 5.3K 3.5K

Merahmu adalah rayu yang tak bisa dibuat layu. Selalu membara, dan sangat membakar. Menggairahkan juga penuh... More

1. I DONT WANNA.....
2. BUT YOU SHOULD.....
3. YOU NEVER KNOW.....
4. YOU SEE THAT.....
5. AND YOU KNOW THAT
PENGUMUMAN

6. NOT A SECRET

6K 665 545
By Hirudinea_


***

Sebuah kekonyolan tanpa peraduan yang memiliki batas. Berpikir untuk saling mengelak, tapi hasrat untuk bisa saling menguasai begitu meninggi. Keegoisan menyelimuti, berpikir sebagai yang paling baik dan yang paling mumpuni. Otak, mana ada masih bisa dipakai, semua serasa semu selayaknya bias kosong dari panorama di depan mata.

"Kau..." Haechan bergumam lirih. Posisi mereka yang saling berhadapan membuatnya mau tak mau menjatuhkan netranya pada Mark.

Mark tak nampak mengeluarkan ekspresi yang berarti. Muka itu kaku. Terlihat seperti sedang menatap kosong dan bagi Haechan itu terlihat sangat bodoh.

Haechan memutuskan tatapan mereka. Mukanya berubah menjadi keruh, dan ia pun menyerahkan Magu dengan cepat, hatinya mendorongnya untuk segera pergi dari sini.

Bukankah memang sudah seharusnya demikian? Setelah segala serentetan kebodohan yang ia lakukan?

"Dahulu mungkin aku masih bisa memberi sedikit toleransi, berpikir mungkin hormonmu memang segila itu hingga ketika kita dalam posisi yang sangat mendukung, kau langsung tergoyah untuk menciumku. Tapi sekarang..." Haechan tak melanjutkan kata, diam cukup lama sebelum akhirny ia mendongak sambil melayangkan tatapan tidak percaya kepada Mark.

"Apa maksudnya ini? Kenapa mendadak melakukan itu?" Haechan bertanya dengan suara pelan, hampir terdengar begitu lirih.

Semantara itu Mark kedapatan sedang memundurkan kakinya. Satu langkah. Ingin memberi jarak pada tubuh mereka. Kepalanya terasa pusing walau tak sekalipun ia terantuk apapun. Memejamkan mata sejenak, ia juga bertanya sendiri dalam hati mengapa ia bisa tergerak untuk menarik Haechan dalam ciumannya.

Haechan sendiri hanya mengepalkan tangan erat. Ia merasa sangat ingin memaki diri sendiri saat ini. Ia tak bisa menyalahkan semuanya pada Mark, karena pun ia bahkan sama menikmati ciuman mereka tadi. Ke mana perginya otak brilian miliknya? Kewarasannya bak mengudara, sudah lupa bagaimana logika dan rasionalitas itu bekerja. Malah jatuh dan terperosok dalam jerat kebodohan begini.

"Lupakan." Haechan kembali bersuara, menelisik karena nampaknya Mark pun tak kunjung ambil tindakan.

"Apa biasanya kau memang seberisik itu?"

Haechan mendongak, ia menaikkan satu alisnya sebagai respon untuk kalimat menyebalkan yang baru saja dikatakan oleh Mark. Untuka apa berucap demikian, Apa pria itu sedang berusaha mengalihkan topik?

"Ya. Dan sepertinya kau juga sudah tahu itu." Menjawab dengan nada jengah. Baiklah, ia putuskan untuk meladeninya saja karena ia juga malas untuk semakin mengungkit perkara ciuman mereka tadi.

"Aku hanya merasa terganggu dengan suara beri-"

"Terserah." Haechan memotong dengan cepat, bukan itu yang ia harapkan sebagai balasan. Ia menebak Mark akan berkata bahwa alasannya menciumnya adalah karena ingin membungkam mulutnya dan membuatnya diam? Yang benar saja.

"Lain kali jangan lakukan itu lagi. Aku tidak suka." Haechan menatap Mark dengan lekat, dan jika Mark peka, terdapat sorot marah yang tersampaikan di sana.

"Ya?" Mark membalas, ia menaikkan satu alisnya tajam dan membalas tatapan dari Haechan dengan tanpa sungkan.

"Kau menikmatinya pun." Sambungnya. Bagi Mark kalimat dari Haechan hanya terdengar bagai omong kosong jika kenyataannya Haechan sendiri tak keberatan saat ia cium tadi, repot-repot malah membalas ciumannya.

"Ya, kubilang terserah. Tapi satu yang kuminta, jangan lakukan itu lagi. Aku tidak suka." Haechan masih mempertahankan jalinan mata mereka. Jika Mark menyorotnya tajam, maka ia membalas itu dengan sorot permohonan. Tak gengsi untuk itu karena pada dasarnya ia memang sedang memohon pada Mark. Berharap sekali pria itu mau mengerti keinginannya.

"Jika aku tidak mau?" Balas Mark, itu terdengar menantang. Mark miringkan kepalanya, mukanya tak menampilkan ekspresi belaka, hanya semakin menajamkan mata sambil terus mengikis jarak mereka. Ini bukan menggoda, hatinya memang tergerak untuk mendekatinya. Tak suka jika Haechan melangkah mundur dan mencoba menjauhinya.

Naluri berkata, ia ingin Haechan berada di dekatnya.

"Aku tak akan mau menemuimu lagi jika begitu." Haechan menghentikan langkah. Ia tahan dada milik Mark yang terus menekan dan mendesak tubuhnya. tidak suka juga dengan aura penuh kuasa yang coba dikeluarkan oleh pria itu untuk menyudutkannya. Apa pria ini serius melakukannya?

"Aku akan terus mengejarmu."

Haechan membungkam mulutnya, kalimat dari Mark terdengar begitu mengejutkan. Perlahan tapi pasti ia mulai linglung karena pengaruh dari kalimat tersebut. Itu terlalu terus terang dan bagai tanpa riskan. Apa Mark tidak menimangnya terlebih dahulu? Apa Mark tidak berpikir soal pengaruh dari kelimatnya itu terhadap kinerja jantung lawan bicaranya? Bisa Mark sedikit menjaga lisan agar jantungnya tidak berpesta-pora konyol begini.

"Diam saja sana." Ucap Haechan dengan keras, berusaha memeringati Mark dengan serius tapi ia yakin pria itu pasti akan menyepelekannya.

"Jika tidak mau? Kenapa kau terlihat lucu, kau sedang salah tingkah?" Komentar Mark pada Haechan yang mulai enggan membalas tatapannya dan malah sibuk mengalihkan mata, segala pakai asik menggaruk tengkuk yang ia yakini pasti tidak gatal.

Tak salah lagi. Anak ini pasti memang sedang salah tingkah.

"Haechan,"

"Diam. Kalau aku bilang diam, artinya bisa diam tidak?" Haechan mendongak. Ia menatap Mark dengan mata yang menyipit tajam, jujur saja mana suka ia jika Mark terus menggodanya begini.

Mark malah kedapatan mengendikkan bahu. Ia juga terkekeh pelan, memancing Haechan agar semakin kesal kepadanya.

"Ya, kau sedang salah tingkah. Kenapa? Gugup mendapat godaan dariku? Rayuanku membuatmu berdebar? Apa pipimu juga akan memerah sebentar lagi? Kutawari jadi pacarku sekalian biar jantungmu meledak, mau? Kenapa kau sangat lucu-"

"Haechan!"

Suara dari etintas lain menyela kalimat dari Mark. Baik Mark dan Haechan langsung menoleh ke sumber suara.

Itu adalah Yuta.

Haechan langsung berucap banyak terima kasih atas kedatangan kakaknya. Tepat sekali. Haechan sudah pusing dan bingung setengah mati tentang bagaimana harus meladeni Mark lagi. Kalimat dari Mark terlalu, astaga sangat sulit dijelaskan. Intinya Haechan benci saat Mark menggodanya dengan kalimat-kalimat menyebalkan yang sayangnya sukses mengulik perasaannya.

Beda sekali dengan Haechan yang bereaksi senang akan kedatangan Yuta, Mark sendiri langsung pasang raut datar dan enggan. Kenapa harus pakai datang dan menginterupsi mereka segala? Tidak penting sekali. Setelah itu Mark segera memutar tubuhnya, menatap jengah pada Yuta yang sekarang sedang berdiri tak jauh darinya dengan membawa payung, benar cuaca sedang sangat terik sekarang.

Yuta datang untuk menjemput Haechan karena pria itu hendak membawa Haechan pergi. Dan sebelum Haechan berlari pada kakaknya, ia masih menyempatkan diri untuk berucap beberapa patah kata pada Mark, entah sebagai perpisahan atau mungkin peringatan lebih tepatnya.

"Simpan kembali kalimatmu. Dan semoga kita tidak bertemu lagi."

Begitu pamit Haechan. Berkata dengan nada serius dan menatap Mark tepat pada netra sehitam jelaga itu.

Mark tidak mengacuhkannya. Hanya menganggapnya angin lalu. Ia bahkan langsung berbalik memunggungi Haechan, melangkah pada tas perlengkapannya dan mengambil choker milik Magu.

Sialan, ternyata Mark memang sengaja memanfaatkan Haechan saja.

Haechan tidak sempat melemparkan sumpah serapahnya pada Mark karena kakaknya terlebih dahulu sudah datang untuk menarik tangannya.

Haechan yang awalnya pasang muka keruh karena kesal pada Mark mulai sedikit rileks. Suasana buruk yang bercokol di dalam diri pelan-pelan mulai sirna. Ia senang Yuta datang menjemputnya, maksudnya menemuinya, maksudnya Yuta nampaknya sudah tidak marah lagi padanya. Maksudnya sekarang Haechan sangat senang. Ya, begitulah maksudnya.

"Hentikan itu. Matamu bukan galaksi, aku geli melihat banyak bintang di sana. " Komentar Yuta sambil menarik tangan milik Haechan setelah berada cukup jauh dari tempat Haechan dan Mark berduaan tadi. Yuta tahan sejenak segala pertanyaan di dalam diri soal mengapa Haecha bisa berakhir di sini, bahhkan untuk apa sampai bisa bermain bersama Mark?

Dan di mana Daniel?

Sementara itu Haechan malah terkekeh.

"Hentikan Haechan." Ucap Yuta dengan nada sedikit ketus, ia merasa sedikit kesal karena Haechan tidak mengindahkan kalimat darinya sama sekali.

Haechan mendengus pelan tapi setelah itu langsung pasang senyum lebar kembali.

"Kau sudah tidak marah lagi?" Ia melepaskan tangannya dari Yuta tapi beralih melongokkan kepalanya ke depan untuk mengintip raut muka milik kakaknya. Tapi ia salah besar, berpikir mungkin Yuta sudah tak marah lagi, tapi yang ia dapati malah tatapan tajam dari sang kakak. Sepertinya Yuta masih marah kepadanya.

"Abaikan saja soal itu. Sekarang ada yang ingin kutanyakan padamu." Yuta menghentikan langkahnya. Ia mengubah posisinya, menjadi berdiri tegap sambil berkacak pinggang di depan sang adik. Ia sudah tak bisa menahan rasa penasarannya lagi, lebih-lebih sejak tadi Haechan pun tak bisa bersikap kooperatif sama sekali, terus bersikap semaunya sambil cengar-cengir heboh macam orang bodoh.

Melihat kakaknya yang mulai merubah raut menjadi serius, mau tidak mau hal itu langsung memaksa Haechan untuk melunturkan senyuman yang sejak tadi terus ia sunggingkan. Perubahan atmosfernya langsung terasa, perasaan senang nan pongah di dalam hati langsung sirna, nampaknya kedatangan Yuta tidak sepenuhnya membawa efek senang untuk hatinya. Yuta pasti masih marah padanya, dan sekarang ia yakin pria ini berniat hendak mengomelinya, ia percaya itu.

"Apa?" Tanya Haechan dengan ragu.

Dan helaan napas itu terdengar meluncur dari Yuta.

"Di mana Daniel dan bagaimana bisa kau berakhir bersama Mark?" Tanya Yuta, ia angkat dagunya guna menagih penjelasan dari Haechan. "Dan ini serius, apa kau habis berciuman dengan Mark?"

Ini membuat Haechan terkejut setengah mati. Ia membulatkan matanya dengan selebar mungkin, bahkan tidak lupa mulutnya juga ikut menganga. Jika dijelaskan dengan lebih rinci lagi, ini sudah serupa bak ia tengah dilanda serangan jantung. Pertanyaan dari Yuta begitu tidak terduga, membuatnya hampir kejang saking tidak menyangkanya. Itu terdengar begitu ngeri dan menyeramkan, karena bagaimana bisa pria itu menyerangnya dengan telak begini? Lebih lagi dari mana kakaknya ini bisa tahu? Atau apa mungkin kakaknya memang melihatnya langsung?

Petaka...

"Ka-kau..." Haechan tergagap.

Yuta mendengus pelan. "Abaikan soal ciuman yang mungkin memang kau lakukan dengan Mark. Sekarang aku serius, di mana Daniel?" Yuta mengulurkan tangannya kepada Haechan.

Haechan hanya menatap uluran tanggan itu dengan tidak mengerti karena kini kepalanya sedang sibuk berpikir soal Daniel yang bahkan baru ia sadari telah ia tinggalkan pergi dengan begitu saja. Ia meringis pelan, ia asik main dengan anjing milik Mark sampai benar-benar melupakan sekretaris pribadi ayahnya yang memberinya wejangan agar tetap diam di tempat. Ia yakin saat ini pria itu pasti sedang kebingungan mencari dirinya. Malang sekali, jujur dia jadi merasa sangat bersalah pada pria itu.

"Sebenarnya, tadi saat menunggu Daniel yang kusuruh menyewa peralatan piknik, aku bertemu dengan Mark, lalu Mark memabawaku pergi, lalu setelah itu aku sibuk bermain dengan anjing pria itu, lalu ya begitu kelanjutannya, asik main aku jadi lupa dengan Daniel..." Haechan menjelaskan dengan singkat, hanya berupa potongan-potongan kejadian yang tadi terjadi. Dan saat ia melihat Yuta masih mengulurkan tangan kepadanya, hal itu langsung membuat Haechan keluar kata tanya.

"Untuk apa?" Tanya Haechan pelan sambil mendongak menatap sang kakak heran.

Yuta langsung memutar mata jengah. Kantung kesabarannya memang tidak seberapa, namun karena sekarang ia sedang malas marah-marah apalagi mengomel panjang lebar, akhirnya ia tahan saja seluruh kekesalannya pada adik tirinya yang sedikit bandel dan sulit diatur ini dengan hati terbuka.

"Usap bibirmu, kau harus tahu bibir bawahmu masih basah, dasar bodoh." Akhirnya Yuta bergerak sendiri untuk mengelap bibir bawah milik adiknya yang masih basah, yang ia yakini adalah bekas dari perbuatan tidak senonoh adiknya dengan Mark. Ia usap pelan dengan lengan jaketnya hingga kering, dan dapat ia lihat Haechan langsung menampilkan raut bodoh sambil menatapnya takut-takut.

"Dasar anak konyol." Komentar Yuta pada ekspresi aneh yang ditampilkan oleh adiknya. "Jadi, benar? Kau memang habis berciuman dengannya? Padahal aku hanya asal tebak saja karena kulihat bibirmu basah, mana nampak lebih merah dan bengkak pula. Ternyata tebakanku itu malah benar, sebenarnya apa hubungan kalian?" Ucap Yuta idak habis pikir. Lalu setelah selesai mengusap bibir adiknya ia balik badan, melanjutkan langkahnya kembali dengan diekori oleh Haechan di belakangnya.

Di belakang Yuta, terlihat Haechan menggelengkan kepalanya singkat. Mana ia tahu juga hubungannya dengan Mark itu apa. Anggap saja Mark itu hanya si otak mesum yang gemar mencium orang dengan sembarangan, jadi tidak ada kejelasan sama sekali yang sanggup membuatnya menemukan titik terang. Hanya, yang anggap saja Mark itu memang mesum, makanya main cium orang saja tanpa adanya kejelasan hubungan yang bisa ia kuak.

"Kita mau ke mana? Dan bagaimana dengan Daniel?" Haechan berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Enggan membahas soal Mark karena ia jengah.

"Aku terima kau mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi aku ingin menasihatimu, jangan terlalu dekat dengan Mark. Segera selesaikan urusan kalian pasca kejadian balapan malam itu, dan setelahnya segera jauhi pria itu." Terlepas dari apapun, karena kelompok Mark dan kelompok miliknya saling bermusuhan, maka Yuta tak ingin pria itu memiliki niatan tertentu di balik sikapnya tersebut pada Haechan. Sedikit harus dicurigai, ia tak ingin Haechan dijadikan sebagai mainan atau sarana Mark dalam mengusik kelompoknya. Ia tak mau ambil risiko saol itu. Haechan tidak boleh terlibat dalam urusannya di arena.

"Kau mengerti maksudku tidak?" Tegas Yuta sekali lagi karena Haechan tak kunjung menjawab kalimatnya.

"Ya berharap saja pria itu tidak terus mengejarku saat aku menghindarinya." Jawab Haechan dengan nada lesu. Fakta kan jika Mark berkata akan mengejarnya jika ia berusaha menjauhinya? Berharap saja itu hanya banyolan yang secara tak sengaja dilontarkan oleh Mark tadi.

"Ucapmu sudah selagak primadona saja." Singgung Yuta meremehkan kalimat milik Haechan.

Haechan mendelik. "Serius Mark tadi bilang begitu. Bahkan menawariku untuk jadi pacarnya, otaknya sudah hilang benar kan pria itu?" Sanggah Haechan dengan tidak terima, sekaligus bonus mengatai Mark yang buruk-buruk.

"Buaya sekali." Komentar Yuta singkat, membuka pintu mobilnya. "Daniel sudah kuberi tahu kau ada di mana, lain kali tolong jika pergi hubungi dulu orangnya agar tidak kebingungan mencarimu, kasihan dia sudah mengelilingi taman mencarimu, mau hubungi ayah dan aku tidak berani karena takut kena damprat telah lengah mengawasimu."

"Iya." Jawab Haechan manut karena sudah tidak mau semakin kena omel oleh kakaknya. Toh, pun ia sadar jika dia bersalah dalam hal ini.

***

Bagaimana harimu?

Tidak buruk, tapi sulit juga jika dikata baik.

Apa semua berjalan dengan lancar?

Sejauh ini, sebenarnya tidak.

Pemandangan yang sangat miris. Siapapun itu tidak akan tega untuk menyawangnya. Jennie bahkan berkali-kali menghelakan napasnya dengan lelah, bungsunya sedang bertingkah dengan tidak seperti biasanya. Sering mengusak rambut kasar, mendadak tersenyum sendiri macam orang aneh, lalu secara mengejutkan akan mengeluarkan suara erangan keras yang mengguncang keterkejutannya. Ia berkali-kali mengusap dadanya sendiri a buntuk menenangkan diri, sulit menerka tentang penyakit apa yang sedang melanda adiknya hingga bisa membuatnya jadi bertingkah begini.

"Apa itu sangat buruk sekali? Apa tadi ada yang mengganggumu?"

Jennie mungkin sudah tidak tahan, maka dari itu ia langsung mengeluarkan pertanyaannya, ingin mencari kejelasan di balik sikap dan tingkah aneh dari sang adik. Ia pikir adiknya tadi menjalani harinya dengan baik, saat menjemputnya pun ia juga masih sempat melihat adiknya bercanda dengan para kawannya yang lain, terlihat normal sama seperti hari-hari biasanya.

Lalu kenapa ketika sudah masuk ke dalam mobil tingkahnya jadi berubah seperti ini. Membuat Jennie jadi merasa miris asal tahu saja.

Jennie menoleh pada Mark, bertepatan sekali dengan anak itu yang sama tengah melirik kepadanya, walau hanya sekilas belaka karena setelahnya langsung buang muka.

"Abaikan saja, jangan pedulikan aku." Mark menegakkan punggung, ia menatap lurus ke depan, mengubah raut wajahnya menjadi datar.

Lupa saja betapa bodohnya sikap yang ia keluarkan beberapa saat yang lalu.

Jennie terlihat langsung mencebikkan bibir setelah mendengar balasan dari adiknya.

"Bagaimana aku bisa mengabaikanmu kalau kau bertingkah gila begitu?" Ucap Jennie dengan ketus. Ia belokkan mobilnya saat lampu merah di depan telah berganti menjadi hijau. Setelah menjemput Mark, ia harus menjemput Minki juga.

"Apa barusan kau menyebutku sebagai gila?" Mark menaikkan satu alisnya dengan tajam. Ia menoleh, melayangkan tatapannya pada sang kakak.

"Ya menurutmu sajalah. " Jennie membalas dengan mengendikkan bahu. Terkadang dia malas peduli pada Mark, karena toh, Mark itu sering sekali bersikap masa bodoh jika dipedulikan oleh orang lain. Hal itu membuatnya merasa jika apa yang telah ia lakukan tidaklah ada gunanya.

"Kau itu, bisa tidak jika dikhawatirkan oleh orang lain langsung bersikap sedikit kooperatif? Dipedulikan bukannya memberikan timbal-balik yang sesusai harapan tapi malah bersikap begitu, benar-benar." Jennie menasihati meski ia sudah yakin bahwa kalimatnya hanya akan dianggap menjadi angin lalu oleh adiknya.

"Hum, maaf kalau begitu." Sahut Mark dengan singkat, terdengar asal-asalan dan dia tahu kakaknya mungkin akan merasa sedikit jengkel padanya karena itu. Tapi ia akan mencoba untuk abai pada hal itu saja.

Mendengar jawaban itu membuat Mark segera pasang sorot sengit. Memalingkan muka, ia kembali bersandar dengan nyaman dalam posisinya. Ia mainkan ponsel dengan sibuk, berusaha keras untuk menyibukkan diri agar tidak jatuh dalam lamunan. Itu berbahaya, atau nanti bayangan wajah milik Haechan kembali melintas dan pikirannya akan berubah menjadi kacau lagi. Sialan.

Mereka pergi ke gedung agensi milik Minki dengan diselimuti kesunyian setelah itu sebab Mark malah menyumpal telinganya dengan airpods. Agak menyebalkan bagi Jennie karena dia jadi tidak memiliki teman bicara, tapi ya mau bagaimana lagi karena nampaknya Mark tak mau diganggu pada akhirnya ia biarkan saja. Ia hanya bernyanyi-nyari random saja untuk mengisi sunyi, sesekali menyenggol Mark untuk menarik perhatian tapi Mark langsung menoleh jengah padanya.

Saat mereka sudah sampai di depan gedung agensi, terlihat Minki sudah menunggu sambil ditemani dengan beberapa staff pribadinya. Jennie tidak keluar dari mobil, hanya membuka kaca pintu mobilnya dan pamer senyum cerah pada sang kakak. Sejujurnya kamuflase dari perasaan bersalah yang bercokol, bergumam maaf karena sudah membuat menunggu lama, salahkan saja Mark yang agak telat tadi dan bonus jalan yang macet parah.

"Ke rumah sakit, hari ini aku harus mengambil obatku." Minki langsung bersuara, mendudukkan diri dengan nyaman di kursi belakang. Ia menyesap kopi hangatnya tenang lalu melirik Mark yang sedanng menghelakan napasnya pelan sambil sesekali memejamkan mata. Aneh sekali, tumben-tumbenan Mark berlaku melankolis begitu.

"Kenapa anak ini?" Tanyanya singkat.

Jennie mengendikkan bahu. Ia melajukan mobilnya dengan santai menuju ke rumah sakit. Jika ia ingat ini adalah pertengahan bulan, jadwal Minki biasanya memeriksakan kesehatannya. Minki sering mengalami gangguan sulit tidur, kadang sedikit gejala depresi, dan jika sedikit parah Minki sering menangis seharian penuh sambil berteriak heboh karena sulit mengendalikan emosinya yang tidak stabil. Pengaruh besar dari terapi hormon yang masih sering dijalani sampai sekarang.

"Sedang galau memikirkan temannya Magu, katanya anjing galak." Jawab Jennie ngawur sambil menoleh pada Magu yang duduk tenang di sebelah Minki, anjing itu terlihat tertidur dengan nyenyak tanpa sedikitpun gangguan, manisnya.

"Jangan coba membicarakanku, aku masih bisa dengar suaramu." Ucap Mark dengan tiba-tiba. Matanya nampak terpejam tapi ia tidak sedang tidur, telinganya masih mampu menangkap suara di sekitar dengan baik karena lebih lagi musik yang ia pun memiliki volume rendah.

Jennie terkekeh pelan. Tak mengabaikan peringatan itu dan malah memamerkan apa saja yang habis ia dengar dari Mark tadi pada Minki. Bermaksud menggoda Mark yang ia pikir mungkin sedang melakukan pendekatan atau bahkan mungkin sudah dekat dengan seseorang yang bernama Haechan itu. Minki menggoda dengan sangat heboh, menyumpahi Mark dengan segala serapahan buruk berharap semoga setelah ini Mark benar-benar jatuh pada lubang penuh jebakan yang biasa disebut cinta. Sejak dulu Mark kan tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta, hidup selalu monoton dan hanya begitu-begitu saja, membosankan. Semoga saja kali ini seseorang yang bernama Haechan itu benar-benar berhasil menjerat dan membuat adiknya benar-benar terperosok ke dalam pusaran cinta.

"Hari ini kau terus terpikirkan olehnya, esoknya kau mulai penasaran padanya, ingin semakin mengulik dan mengetahui segalanya tentangnya. Lalu tak sadar kau berusaha mendekatinya, setelah tahu bagaimana sosoknya kau pelan-pelan mulai jatuh dan terlena, ingin memiliki dan menjadikannya sebagai hakmu seorang. Yakin padaku jika sudah berhasil melewati semua fase itu, kau akan berakhir menjadi bodoh." Minki berkata dengan nada penuh percaya diri, sebab dia memang sudah sangat berpengalaman dalam hal ini.

Mark yang mendengarnya mencoba menampik dengan upaya tetap bersikap tenang tanpa perlu mengeluarkan reaksi yang berlebihan. Tidak perlu, ia tak perlu terlalu mengacuhkannya karena ia yakin bahwa dirinya tidak akan berakhir seperti yang diungkapkan oleh Minki. Rasionalitasnya masih jalan, ia masih waras untuk sekedar dibuat menjadi bodoh hanya karena pengaruh perbudakan hormon terhadap cinta.

"Jennie tambah sedikit kecepatanmu, kita harus segera ke rumah sakit. Minki butuh mendapatkan dumolid-nya segera karena dia mulai bicara melantur." Mark berkata dengan nada pedas, dan itu terdengar sangat sarkas bagi Minki.

"Jennie, antar aku ke pembuangan barang rongsok, ada yang perlu untuk dibuang sepertinya. Sedang duduk tak berguna di sebelahmu."

"Berkata untuk diri sendiri kau?" Balas Mark tak mau ambil pusing. Melirik kakaknya dari kaca spion, terlihat si cantik itu sedang mengacungkan jari tengah untuknya. Dan karena ia sedang malas memperpanjangnya, ia balas saja itu dengan dengusan pelan.

Sementara Jennie yang sejak tadi hanya menjadi pengamat perseteruan yang terjadi di antara kakak dan adiknya pun hanya terkekeh pelan saja. Minki dan Mark itu sejak dulu memang begitu, gemar menghina satu sama lain, mengusik hidup satu sama lain, terkadang juga bersikap selayaknya yang benci pada satu sama lain. Jadi ia sudah tidak merasa kaget lagi dengan kejadian yang seperti ini. Baginya itu malah seru, sedikit bisa menghibur. Ia juga tak akan melerai keduanya karena ia tahu keduanya tidaklah serius dengan sikap yang seperti itu, kedua orang ini sebenarnya saling menyayangi satu sama lain, dia sangat paham itu. Dulu saja ketika Minki hampir bunuh diri, Mark-lah orang pertama yang menyelamatkannya dan semalaman penuh menangis keras karena khawatir pada Minki. Oh, mengenang itu membuat Jennie jadi meleleh sendiri. Cinta Mark pada keluarga mereka memang besar, hanya Mark itu memang tak mau terlalu memerlihatkannya dalam kehidupan sehari-hari, Mark itu sangat gemar jual mahal, tsk.

***

PaPadahal sudah malam tapi pada enggan tidur. Masih senang kelayapan dengan mobil kesayangan tanpa takut kena omelan. Mark itu memang tipikal anak yang bandel memang. Pergi keluar rumah diam-diam dengan mobil baru hadiah dari Mino kemarin malam. Melewati ranah Seoul terus melaju ke arah selatan, hendak keluar kota untuk menyelesaikan urusan. Sedikit merepotkan ketika tidak ada Tae Oh, si tangan kanannya yang begitu telaten dan sangat bisa diandalkan itu. Biasanya Tae Oh yang menyopir dan dia hanya tinggal perintah sana-sini saja, tapi kali ini dia harus bergerak sendiri dan lebih mandiri. Menemui bos besar semua umat yang akhirnya baru bisa ditemui setelah berminggu-minggu terus menghindar.

Mark yakin Mino pasti akan sangat senang dengan hal ini, sebab ia akan mendapatkan banyak informasi terbaru dari pertemuannya dengan Dominic.

Mereka bertemu di sebuah gedung tua tak berpenghuni. Hanya sepi melingkupi dan terkadang suara jangkrik yang ramai bersorak belaka yang masih melingkupi. Berkendara cukup jauh membuat Mark merasa sedikit pegal, keluar dari mobil ia segera melakukan sedikit perenggangan. Pinggangnya bagai mati rasa dan kebas. Ia muntahkan permen karetnya ke tanah dengan asal, menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan para anak buah Dominic yang biasanya langsung datang menyambut dan mengantarkannya menuju ke ruangan mereka.

"Tuan kalian ada waktu juga." Singgung Mark dengan ucapan santainya.

Mereka menuruni tangga yang sedikit basah dan agak lembab itu dengan hati-hati, mungkin saja di sini habis hujan hingga menyebabkan kondisi tangganya jadi begini. Mark tidak terlalu masalah dengan lokasi pertemuan yang sangat lain dari biasanya, hotel bintang lima, restoran mahal, dan tempat-tempat elit lainnya, di situlah mereka biasa melakukan pertemuan. Tidak tempat kumuh nan kotor tanpa penghuni seperti ini. Mungkin Dominic sudah mengubah preferensinya, barang kali saja.

"Oh, kau sudah sampai?"

Suara berat itu langsung menyambut Mark. Mark hanya mengangkat satu alisnya, ia mendudukkan diri di kursi depan Dominic dengan tanpa menunggu dipersilahkan. Biasalah. Mark menatap sekeliling, ia pikir ini hanya gedung tua tanpa guna, ternyata jika ditelisiki makin ke dalam, gedung ini adalah pabrik narkoba rumahan, apa Dominic sedang berniat melakukan pemadatan sendiri? Tanpa mengandalkan para sederetan anak buah? Apakah sebuah inovasi terbaru?

"Selain preferensi yang berubah, kau juga membuat sebuah inovasi terbaru?" Mark bertanya untuk mencoba memastikan.

Dominic tersenyum tipis. Ia melambaikan tangannya di depan Mark. "Ini hanya latihan saja. Sesekali aku harus mencoba untuk meracik obat-obatanku sendiri, aku tak boleh terus bergantung pada anak buahku." Pria berbadan tinggi semampai itu berdiri dari duduknya dan melangkah menuju ke arah bilik besar yang ia tutup dengan sekat plastik tebal.

Itu adalah ruangan tempatnya menaruh bahan-bahan pokok pembuatan sabu yang belakangan sedang gencar ia pelajari.

"Aku mendapatkan berbutir-butir ephedrine ini dari Jepang. Ini bisa kucampur sebagai bahan racikan untuk jenis obat terbaru." Pamer Dominic.

Mark tak menggubrisnya meski matanya terlihat begitu fokus menelisik seluruh isi bilik tersebut. Ada banyak gelas pyrex, gelas corong, aneka pipet, ia juga mendapati ada soda api, beberapa derigen yang ia pikir itu mungkin berisikan acetone, nampaknya dominic memang memiliki ambisi baru untuk menjadi seorang pemadat sejati. Kesiapan perlengkapannya begitu sempurna.

"Jadi alasanmu sulit ditemui adalah ini, kau melakukan banyak eksperimen." Singgung Mark singkat. Ia buang muka dari sana, beralih untuk menatap permukaan meja di depannya dengan lekat. Berusaha memutar otak, ia tengah sibuk berpikir. Jiwa penuh ambisi milik Dominic semakin besar dapat ia rasakan.

"Entah kau harus tahu ini atau tidak, tapi kejaksaan sudah mengantongi namamu." Ucap Mark pelan, memancing bagaimana Dominic akan bereaksi. Ia tidak sepenuhnya berada di pihak Dominic maupun kakaknya. Ia hanyalah senjata dengan dua sisi mata pisau, ia bisa menyerang ke sini ataupun pada kakaknya dengan sesuka hatinya tergantung bagaimana itu akan membawa keuntungan untuknya atau tidak.

"Apa ini? Apa kau memiliki maksud tertentu memberi tahuku perihal itu?" Dominic menoleh, menutup kembali ruangan berharganya dengan rapat lalu melangkah pelan pada Mark. Matanya menatap lekat dan tajam pada Mark, seakan menelisik pria itu dengan begitu mendalam, mengorek segala kemungkinan dari hanya menyawang tampilan luarnya.

Dominic tahu benar betapa Mark tidak akan berkhianat padanya, tapi tetap saja segala kemungkinan itu akan selalu ada meski itu setitik gores tinta kecil di atas putihnya lembar kertas. Ia tetap tak bisa menaruh banyak rasa percaya besar pada Mark, pria itu memiliki segalanya yang mampu untuk membuatnya jatuh dan terperosok dalam hingga membuatnya mustahil untuk bangkit kemabali. Bermitra dengan Mark memang memiliki banyak untung, tapi jangan pernah luput pada risiko besar yang akan selalu menantinya kapan saja.

"Keluarkan semua barang yang ada di kantongmu, aku berpikir mungkin kau akan merekam pembicaraan kita malam ini."

Dominic berkata dengan nada bergurau namun semua juga tahu bahwa itu memang serius. Senyuman yang ia keluarkanpun tidak mampu untuk mengecoh Mark sama sekali. Mark tertawa pelan, mengeluarkan ponsel serta kunci mobil yang ada di kantongnya dengan cuma-cuma di atas meja yang menghalangi mereka. Sebenarnya sudah lama Dominic menjadi incaran para aparat, secara garis besarnya saja Domini adalah kartel yang sangat berpengaruh di pasar Asia Timur dan beberapa Asia Tenggara sudah pasti sosoknya masuk ke dalam daftar merah. Namun baru kali ini Mark benar-benar memberi tahu pria itu bahwa sosoknya telah menjadi incaran para anggota kejaksaan belakangan ini. Sengaja memberitahunya agak terlambat, agar pria ini mengalami sedikit kesulitan untuk menangani semuanya.

"Dan kau tahu apa yang menarik di sini?" Mark memajukan wajahnya, ia pamerkan seringaiannya yang lebar dan menyeramkan itu pada Dominic.

Dominic segera pasang muka curiga dan penuh kewaspadaan. Mark yang berbahaya telah muncul, sejak dulu ia sudah memerhitungkan hal ini, dari awal membawanya kemari membuatnya harus selalu berhati-hati dengan sosoknya yang bisa saja berubah menjadi boomerang kapan pun itu tanpa sepengetahuannya.

Mark tahu bahwa Dominic mulai terpengaruh dengan kalimatnya.

"Kau bahagia mengetahui latar belakangku yang sempurna dan berpikir kelak kau akan bisa memanfaatkan hal itu untuk keuntunganmu. Tapi jangan pernah lupa bahwa aku sangat tidak suka untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Jadi, mulai sekarang lebih berhati-hatilah karena mereka telah tahu bahwa kau, memiliki seorang putri? Keberadaannya bisa mereka manfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan ancaman, kau tahu itu?" Mark mengendikkan bahunya remeh lalu menarik punggungnya mundur. Ia ingat dengan jelas betapa Dominic dahulu selalu menyanjung anggota keluarga miliknya yang memiliki banyak posisi penting di pemerintahan, dan di balik semua kalimat sanjungannya itu Mark tahu bahwa Dominic ingin memanfaatkan anggota keluarganya melalui dirinya.

Mungkin Dominic bisa dibilang gegabah, karena belum tahu saja orang seperti apa Mark ini sebenarnya. Mungkin yang diketahuinya Mark itu begitu persuasif, sangat pandai menyembunyikan barang bukti, sangat manipulatif, dan memiliki begitu banyak pemikiran menakjubkan dalam meluaskan pasar mereka. Itu semua sangat menguntungkan untuk urusan kartelnya, tapi Dominic tidak cukup jeli untuk kemungkinan tentang betapa sangat mengerikannya Mark jika sosoknya juga memiliki sifat gemar menusuk kawan sendiri dari belakang. Itu akan begitu menghancurkannya jika Mark benar-benar seseorang yang bisa menjelma menjadi musuh dalam selimut hanya dalam waktu semalam saja.

"Mereka tidak akan bisa mengganggu putriku. Tidak akan." Dominic berusaha bersikap tenang. Ia balas tatapan dari Mark dengan tanpa canggung, berusaha menutupi kecanggungan lebih tepatnya. Berharap Mark tidak akan menangkap sorot pias di matanya.

Mark angkat bahu. "Bukan peduliku sebenarnya, aku hanya sekedar memberi tahu saja. Berharap kau akan bersikap lebih waspada dari sekarang." Ucap Mark pura-pura tak peduli padahal sebenarnya di dalam otaknya sudah tersusun banyak rencana berkaitan dengan hal ini.

"Sebenarnya aku tak perlu khawatir soal itu, ketika bahkan saat pemilu akan diselenggarakan, sudah ada banyak sekali orang yang akan berlari padaku mengemiskan bantuan. Artinya sebagai timbal-balik, mereka harusnya sudah paham dengan apa yang harus mereka lakukan untukku." Dominic pasang muka dingin. Bersandar santai sambil mulai menyalakan cerutunya. Harusnya ia tak perlu khawatir, tamengnya ada di mana-mana ketika bahkan kelompoknya juga menyumbangkan banyak uang untuk aset kekayaan yang dimiliki oleh negara.

Mendengar itu membuat Mark pasang senyum tipis, dan bahkan sempat repot memberi sanjungan berupa tepuk tangan.

"Selamat jika begitu, aku benar-benar berharap mereka memang akan berguna di suatu hari kelak." Mark mengeluarkan provokasinya.

Tapi Dominic tidak akan mudah terpancing. Ia hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang sama penuh dengan aura dingin dan mengancam. Mark tidak akan bisa menyudutkanya, ia memiliki banyak siasaat tersembunyi yang bisa dipakainya untuk melindungi diri sekaligus sebagai penjagaan jika kelak Mark memang berniat untuk menghianatinya. Semua telah ia perhitungkan, meski itu belum benar matang namun setidaknya ia selalu memiliki rencana B jika rencana A-nya tak bisa diterapkan pada Mark.

***

Siapa yang sudi keluar rumah jika di luar sana hujan sedang mengguyur dengan begitu derasnya. Memakai payung akan terasa percuma jika nyata-nyata angin berhembus dengan begitu kencangnya, yang ada hanya akan membuat bajumu basah oleh cipratan air, dan tentu saja dengan bonus kau akan menggigil karena terpaan angin tersebut. Beralih, lalu bagaimana jika memakai mantel hujan? Opsi yang cukup baik juga. Meski pada akhirnya harus merelakan sepatunya basah total karena memaksakan diri berjalan di atas trotoar yang saluran air di sekelilingnya agak mampet. Tapi tak apalah, sudah syukur bisa keluar dan sampai tempat tujuan dengan keadaan baju masih kering.

Jika bukan demi hal yang sangat berarti dalam hidup, orang mana saja pasti tak akan berkenan untuk melakukan ini. Merelakan diri sendiri untuk berjuang melawan cuaca, yang sungguh demi apa bukanlah tandingan manusia manapun.

"Sial!"

Haechan mengumpat seadanya saat suara guntur menyapa indera pendengaran, hal itu sangat mengagetkannya -bahkan mampu untuk membuatnya sampai terlunjak.

Masuk ke dalam kafe, untungnya di sana sedang sangat sepi, jadi dirinya tidak perlu menahan malu karena sudah masuk dengan keadaan sepatu yang demi tuhan sudah basah sepenuhnya oleh air.

Sedikit celingukan mencari si Mark yang katanya sudah menunggu di dalam selama sepuluh menit belakangan, ia langsung pasang muka keruh saat seseorang di ujung sana terlihat bersedekap angkuh sambil pamer seringaian tipis kepadanya.

Dasar manusia sialan!

Haechan menghampirinya dengan langkah penuh amarah, seakan dirinya sudah siap untuk mencacah habis muka berekspresi menyebalkan itu hanya dalam sekejab.

"Jujur saja, kau pasti hanya ingin menjahiliku kan? Iya kan!! Mengaku saja!" Haechan sungguhan murka. Membuka tudung mantel hujannya kasar lalu mulai mengomel-omeli Mark sambil menunjuk-nunjuk muka pria itu lancang.

Sementara Mark, alih-alih memedulikan omelan tersebut, dirinya malah hanya pasang muka tak peduli lalu lanjut menyesap cokelat hangatnya tenang.

"Kau mau mendapatkan ponselmu kembali atau tidak?" Mark berucap tenang, menaikkan satu alisnya pada Haechan.

Haechan memejamkan matanya erat, menarik napas dalam sambil mengepalkan tangan erat, gestur bahwa dirinya sedang mencoba untuk menahan emosinya agar tidak meledak pada detik itu juga.

"Aku tidak butuh ponselnya, aku hanya butuh isinya." Dengus Haechan, membanting tubuhnya pada tempat duduk yang ada di depan Mark.

"Kau harus melepas mantelmu. Kau membasahi lantai asal kau tahu." Tegur Mark pada mantel basah milik Haechan yang airnya bertetesan membasahi lantai, mencetak jejak dari depan pintu masuk hingga ke arah tempat duduk mereka.

Haechan tidak mengacuhkannya. Ia mendengus pelan sambil menatap Mark begitu sangar. "Siapa yang peduli?!" Sungutnya penuh amarah. Jangankan mantel yang basah, bahkan sepatunya saja yang basahnya sudah serupa habis direndam di dalam kolam saja tak ia pedulikan. Repot sekali masih peduli soal lantai basah.

"Cepat mana ponselnya kalau memang mau kau kembalikan!" Haechan menagih dengan galak, menyodorokan tangan kanannya pada Mark. Dia sedang marah sekarang, hari sudah larut, sudah enak-enak mau tidur setelah tadi main ke wahana permainan bersama kakak dan ayahnya, tapi si sinting Mark ini malah menghubunginya dan mendesaknya untuk bertemu jika memang ingin ponselnya kembali.

Apa-apaan itu! Lebih lagi hujan turun dengan lebatnya, ck! Bikin repot orang saja.

"Jangan bertele-tele, ya. Langsung saja." Peringat Haechan sekali lagi.

Mark hanya menganggukkinya belaka. "Kau mau pesan sesuatu? Kopi hangat? Teh? Atau sesuatu yang mampu menghangatkanmu." Tak mengabaikan amarah dari Haechan, dirinya malah menawarkan sesuatu untuk menghangatkan diri.

Haechan diam saja. Tidak menggeleng ataupun mengangguk, hampir tak bereaksi sama sekali. Hanya tetap pasang muka garang sambil melayangkan sorot mata tajam yang begitu menusuk. Ia kesal karena Mark mengabaikan peringatannya soal langsung pada intinya dan jangan banyak bertele-tele.

"Galak sekali." Komentar Mark pada muka bersungut yang disuguhkan oleh Haechan. Terkekeh pelan sebelum akhirnya mengeluarkan ponsel Haechan dari kantong jaketnya. Namun sebelum menyerahkannya jelas saja dia akan main-main dulu dengan Haechan.

Ia memandanginya lalu memainkannya sebentar, menilik galeri foto yang ada di sana dengan sorot tenang. Dan di galeri itu hampir sebagian besar didominasi oleh foto kebersamaan Haechan bersama ibunya, Mark yang melihat itu hanya mengangguk-anggukan kepalanya singkat.

Sekarang dia paham kenapa bocah itu begitu keras kepala menginginkan ponsel ini kembali. Isinya memang sepenting itu.

"Jika kupandangi lagi, ibumu sangat cantik, ya." Gumam Mark, berucap dengan jujur karena realita yang dilihatnya pun demikian, Ibu Haechan sangat cantik dan cukup awet muda. Wajah wanita ini mengingatkannya pada wajah selebritas papan atas yang selalu menjaga dan merawat diri dengan baik itu.

"Apa-apaan kau bilang begitu? Jangan bilang kau sedang mencoba untuk menggodanya?" Praduga konyol Haechan ucapkan dengan nada yang terdengar sangsi. Ia menaikkan satu alisnya tidak suka pada Mark.

Sementara itu Mark sendiri langsung menghela napas sambil memutar bola matanya jengah. Tidak masuk akal sekali tuduhan yang dilontarkan oleh bocah ini.

"Otakmu sepertinya memang sudah hilang dari tempurung kepala, ya?" Mark berucap sarkas.

"Ya, jika tidak begitu memang apa lagi?" Sungut Haechan sambil berdecih pelan.

"Karena ibumu sangat cantik, sekarang aku tahu dari mana kau bisa mendapatkan wajah itu."

Mark dengan mulut kotor penuh racunnya.

Tapi Haechan tidak akan terkecoh dengan kalimat goda yang terdengar sangat murahan itu. Sebaliknya, ia segera melakukan gestur seakan sedang muntah di depan Mark setelah mendengar kalimat tadi. Menunjukkan pada pria tersebut bahwa dirinya sangat jijik sekaligus tidak merasa tersentuh sama sekali dengan rayuan yang dilayangkannya.

"Aku tahu aku memang menawan, tapi maaf saja kalimat rayuan darimu itu tidak berguna sama sekali untukku." Tolak Haechan mentah-mentah.

Mark tertawa pelan sebelum akhirnya mengendikkan bahu. Jika dirinya bilang ingin menjadikan Haechan sebagai hiburan, maka demikianlah adanya. Bocah ini memang sangat menarik, dan tidak membosankan. Mudah diprovokasi, tapi di saat yang bersamaan juga terasa sangat sulit untuk dijangkau. Membuatnya harus berpikir dengan lebih keras agar dia dapat menaklukan sosok ini.

"Aku tidak sedang merayu. Aku hanya memaparkan realita." Balas Mark sambil menatap Haechan, menaikkan satu alisnya lalu memamerkan senyuman tipis yang mana -mungkin bagi sebagian orang terlihat begitu tampan dan penuh pesona, tapi sebaliknya bagi Haechan.

Senyuman dari Mark malah terasa sangat menggelikan, dan jelek.

"Jangan tersenyum, kau jelek." Komentar Haechan dengan pedas.

Mark mengangguk, lihat sendirikan. Anak ini memamg sulit untuk dijangkau. Terlihat begitu dingin dan sangat jual mahal.

"Mulutmu yang tajam sangat tidak selaras sekali dengan wajahmu yang manis."

Lama-lama Haechan jadi merasa geli sendiri pada pria itu.

"Hei, kalimatmu itu..." Haechan berkata dengan penuh selidik. Ia memajukan wajahnya, memicingkan mata di depan Mark lalu melayangkan jari telunjuknya tepat di depan muka Mark.

"Kau sungguhan suka padaku, ya?" Tanya Haechan dengan nada penuh curiga.

Untuk merespon hal tersebut, Mark ikut memajukan wajah, sehingga jarak wajah mereka menjadi terasa begitu dekat, meski setelahnya Haechan langsung menarik mundur wajahnya kembali karena begitu terkejut. Mark tertawa pelan dengan hal itu, lucu juga melihat wajah panik Haechan tersuguh langsung di depannya.

Kini Mark menopang dagu dengan satu tangan sambil pamer seringai. Suka atau tidak, yang jelas Mark merasa jika Haechan memiliki daya tarik yang begitu tinggi. Membuatnya sering diam-diam terus memikirkannya, dan merasa kesulitan untuk mengenyahkan bayangannya yang sering menghantui.

Jantungnya tidak berdegup gila, masih pada batas sewajarnya saja selayaknya ketika dirinya sedang mendekati seseorang. Namun gurat sebal serta gerutuan panjang yang sering dikeluarkan oleh bocah itu jika sedang kesal padanya, entah mengapa hal itu sering membuat dirinya secara tak sadar menyunggingkan senyuman tipis.

Entah karena merasa gemas atau mungkin begitu terhibur, atau bahkan sebenarnya hatinya merasakan perasaan membuncah hanya karena berhasil menggodanya, Mark juga masih belum bisa menemukan jawaban pastinya.

Ia masih meragu, dan masih merasa sedikit semu dengan perasaannya sendiri.

"Kalau, iya?" Mark berkata dengan nada retori.

"Tidak!" Geleng Haechan dengan keras. Belum apa-apa sudah menolak. Ia menggeleng pelan sambil menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

"Tidak boleh." Haechan menatap Mark dengan dagu terangkat. "Aku tidak suka lelaki. Jadi jangan suka padaku, kau sudah ditolak sejak awal." Tolaknya dengan begitu tegas seakan-akan Mark baru saja bilang cinta mati padanya.

"Kau tidak suka lelaki tapi kau mau saja saat dicium lelaki. Aneh." Komentar Mark, tentu saja masksudnya untuk menyinggung soal kejadian tadi siang, tentang ciuman cukup panas dan panjang yang mereka lakukan di taman tadi.

Mendengar itu membuat Haechan segera pasang muka kaget, agak sedikit kikuk. Canggung sendiri dia saat mengingat kembali soal itu. Ia menolak keras untuk suka apalagi sampai ikut menaruh rasa pada Mark, tapi begitulah kalimat Mark datang untuk menyentak dan mengusik kewarasannya. Jika ia tak suka mengapa ia mau saja saat dicium? Dan bahkan jatuh dalam keterlenaan, dasar lemah sekali pertahanannya tadi siang itu. Tak berani menatap mark lagi, ia pun alihkan matanya dan berpaling kikuk sambil menggaruk-garuk tengkuknya pelan. Bodoh.

"Tak usah dibahas. Kembali lagi pada tujuan kita bertemu, mana ponselku?"

"Kau akan datang ke arena malam ini?" Mark mengabaikan kalimat dari Haechan, ia paham betul jika Haechan ingin mengalihkan pembicaraan mereka. Maka dari itu makin ia belotkan saja pembicaraan mereka. Ia tetap menatap Haechan dengan sorot lekat meski orangnya terus berusaha berpaling dari dirinya. Sedang salah tingkah mungkin.

Haechan mengendikkan bahu, mengusap-usap pipinya pelan yang lambat-laun mulai terlihat memerah. Efek setelah hujan-hujanan dari apartemen sampai kemari sepertinya telah ia rasakan. Ia mulai kedinginan, kakinya yang berbalut sepatu basah juga mulai menggigil, bibirnya mungkin juga telah membiru dan pucat. Sialan, jika dia sampai terkena demam setelah ini, maka orang yang patut untuk ia salahkan tak lain dan tak bukan adalah si sinting Mark Lee ini.

"Aku tidak tahu. Jika Yuta pergi, ya aku ikut." Jawab Haechan sambil menangkup kedua pipi dengan telapak tangan yang habis ia gosok-gosok, mencoba mencari kehangatan.

Mark memerhatikan itu. Merasa bersimpati. Ia berdehem pelan, hujan di luar memang sangat lebat, dan dia jadi merasa bersalah karena sudah dengan sengaja mengerjai anak ini untuk bertemu di kafe terdekat walau sudah tahu cuacanya seperti demikian. Awalnya hanya untuk lucu-lucuan, namun melihat wajah itu meredup pucat, ia jadi sedikit menyesalinya.

Iya, sedikit.

Karena banyaknya dia lebih merasa senang karena berhasil membuat anak ini terus-menerus menggerutu marah padanya.

"Kau pergi bersamaku." Mark berkata pelan. Membuat keputusan sepihak tanpa memedulikan apa pendapat yang hendak Haechan katakan, entah dia menerimanya atau tidak.

"Tidak mau." Haechan menolak sambil menggeleng singkat.

Tapi jelas Mark mana acuh. Sebaliknya, ia malah beranjak dari posisinya, membuat Haechan merasa keheranan sendiri sebelum akhirnya paham kala melihat pria itu memesan sesuatu di konter kasir.

Tak sampai lima menit Mark datang, dan aroma manis susu dari gelas minumam yang dibawa oleh pria itu langsung menguar. Oh, Haechan menyukai aromanya. Ini aroma manis perpaduan antara susu dan mungkin teh. Ia dapat mencium aroma teh oolong di sana, awalnya terasa sangat tajam dan menusuk indera penciuman, namun sedikit ia memejamkan mata, maka aroma camellia berbalut susu langsung menyeruak di sekitar, menebarkan ketenangan yang penuh dengan kehangatan.

Saat Haechan masih memejamkan mata, sibuk untuk menikmati dan meresapi aroma susu-teh yang sedang menguar gila, ia merasakan kehangatan lain datang. Dari tangan lancang seseorang yang dengan berani-beraninya bergerak untuk menggenggam tangan dingin miliknya. Tanpa menunggu apapun lagi, segera ia buka matanya, lalu melakukan pergerakan pelan untuk mengelak genggaman itu.

Ternyata si Mark sinting yang melakukannya.

"Mau apa kau?!" Haechan bertanya dengan sengit, penuh kewaspadaan karena Mark terus memaksa untuk menggenggam tangannya, repot-repot bahkan sampai menariknya. Mengajaknya untuk beranjak dari tempat duduk.

"Diam dan menurut, aku tahu kau kedinginan, dan aku berbaik hati akan menghangatkanmu."

Itu adalah kalimat yang sangat ambigu dan sedikit rancu. Haechan sendiri bahkan butuh waktu sampai beberapa menit untuk mampu mencernanya dengan baik. Ia hanya diam saja saat Mark terus menyeretnya keluar dari kafe, hujan di luar masih mengguyur dengan deras, dan Mark memberikan gelas susu-teh hangat tadi kepadanya sebelum akhirnya secara tak terduga pria itu melangkah menembus hujan menuju sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari mereka berdiri. Ia tak tahu pria itu hendak melakukan apa, tapi saat kembali tahu-tahu pria itu sudah membawa sebuah payung, dan mungkin sepatu? Nampaknya memang benar sepatu.

Oh, ini sedikit menyeramkan.

Masih teringat dengan jelas di ingatannya soal betapa sangat inginnya pria ini menghabisinya saat di awal-awal pertemuan mereka dulu, repot sekali bahkan mengajaknya bertaruh dalam balapan. Lalu lihat kenyataan apa yang terjadi pada pria ini sekarang?

Sosoknya begitu pengertian, rela merepotkan diri sendiri untuk dirinya. Bukankah itu begitu konyol dan sangat tak masuk akal? Jika Mark ingin mengelabuinya, menjadikan dirinya sebagai objek permainan, sudah sepatutnya ia harus bersikap begitu waspada pada setiap kebaikan yang diberikan oleh pria ini padanya.

Ia tidak boleh terkecoh, apalagi sampai terbodohi oleh tipu muslihatnya.

Bukan karena ia merasa terlalu percaya diri, tapi di sini sepatu siapa yang basah dan butuh untuk diganti jika bukan dirinya? Tidak mungkin juga kan Mark mengambil sepatu kering dari mobil jika itu tidak ada tujuannya? Alias baik sekali pria itu begitu peduli dan mau mengkhawatirkannya.

"Ganti sepatumu." Mark berucap pelan saat sudah sampai di depan Haechan. Ia memegangi payungnya sambil menyodorkan sepatu berwarna hitam dengan centang putih di masing-masing sisi itu kepada Haechan.

Haechan bergeming di tempat sambil menatap Mark dengan sorot yang sulit untuk dibaca. Benar kan dugaannya? Si Mark ini, nampaknya begitu berniat untuk balas dendam kepadanya. Usahanya saja bahkan sampai seperti ini, karena untuk apa pria ini harus peduli dan berempati kepadanya? Itu tidak dibutuhkan dalam hubungan mereka yang sebenarnya adalah musuh. Pria ini hanya ingin mempermainkannya, bersikap baik di awal, menipunya dengan segala topeng palsunya, lalu saat dirinya sudah terlena dan benar-benar telah jatuh ke dalam perangkapnya, maka pria ini akan meledakkan bom waktu yang sudah dipersiapkan sejak awal.

Menyeramkan.

"Jangan seperti ini." Haechan menegur pelan sambil mendorong pelan tangan milik Mark, menjauhkan sepatu itu dari hadapannya. Ia meremat erat gelas cup minuman yang ada di tangan tidak tenang lalu menatap Mark dengan sorot tidak suka. Mungkin ia sering dikenal sebagai si ceroboh yang mudah ditipu, atau si gegabah yang selalu mengambil keputusan dengan terburu-buru dan sering berakhir buruk, tapi Haechan yakin untuk keputusannya yang satu ini, dirinya tidaklah akan salah dalam mengambil langkah.

Ia tidak boleh mudah terpederdaya oleh Mark, apalagi sampai terlalu mudah menaruh kepercayaan kepadanya.

Mark sendiri yang paham dengan jalan pikiran Haechan pun hanya tersenyum tipis. Yang namanya musuh memang tidak boleh dipercaya dengan begitu saja. Mungkin itulah yang saat ini sedang dirasakan oleh Haechan kepadanya.

"Baiklah, jika begitu, pegang ini." Mark menyodorkan payungnya pada Haechan.

Haechan sempat akan menolak tapi Mark sudah keburu memaksanya terlebih dahulu. Maka jadilah ia memegangi payung tersebut. Membiarkan Mark melakukan apapun yang diinginkan oleh pria itu. Seperti mendadak berlutut di hadapannya dan...? Haechan segera membulatkan mata.

"Hei, kau sudah gila, ya?" Haechan melangkah mundur dari Mark dengan buru-buru pasalnya Mark berniat untuk menggantikan sepatunya. Apakah yang begitu tidak disebut sudah gila? Dirinya benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa Mark melakukan ini padanya?

Pria itu bahkan sudah sempat menyentuh tungkai kakinya, sial!

"Saat kubilang aku akan menghangatkanmu, maka ini adalah awalnya. Bisa kau diam dan ganti sepatumu? Aku tahu kau pasti tidak nyaman dengan sepatu basah seperti itu." Mark masih berlutut di depan Haechan. Berlagak sangat peduli padanya, ini sebenarnya murni tanpa ada niat lain. Ia serius tidak tega melihat bocah ini menggigil menahan dingin sejak tadi.

Haechan langsung membisu, bingung harus bereaksi yang bagaimana pada tingkah pria ini. Tapi yang jelas ia benar-benar menatap Mark dengan mata yang melotot tajam.

"Tidak perlu. Urusan kita hanya soal mengembalikan ponsel. Kau tidak perlu begini. Berikan ponselnya dan kita bisa berpisah sekarang, aku mau pulang." Tolak Haechan dengan keras kepala.

Tapi kenyataannya Mark juga tak kalah keras kepalanya dari Haechan.

Dengan paksa ia pegang tumit serta pergelangan kaki milik Haechan, melepaskan sepatu anak itu tanpa mau penolakan sama sekali lalu menggantikannya dengan sepatu kering miliknya yang itu masih baru dan belum pernah bisa ia pakai sama sekali. Haechan sendiri kesulitan untuk melawan sebab kini kedua tangannya penuh, satu untuk memegang minuman sementara yang satu untuk memegang payung. Alhasil, berpasrah saja ia sepatunya diganti oleh Mark.

"Tapi aku tidak suka." Haechan mengeluarkan komentar ketika Mark sudah selesai memasangkan sepatu untuknya. Menunduk menatap sepatu jenis sneakers itu dengan mata menyipit tajam.

Mark bangun dari posisinya, mengambil payung dari tangan milik Haechan.

"Kau lebih suka memakai sepatu basah?" Ucap Mark dengan nada sarkas.

Haechan menggeleng singkat. "Tidak. Bukan begitu, tapi ini Nike dan aku tidak suka." Ucapnya dengan nada yang terdengar sangat menyebalkan bagi Mark.

Mark tidak memberikan respon apapun, hanya menatap Haechan dengan terlampau jengah.

"Serius, apa itu penting dalam keadaan sekarang?"

Haechan diam, menunduk sambil memandang sepatu yang telah dikenakannya tersebut dengan sorot menilai. Sepatunya bagus, ini edisi terbatas, dia tahu itu sebagai seorang pecinta dan pengoleksi sepatu. Dan Mark membiarkan dirinya mengenakan sepatu ini dengan cuma-cuma, apakah dirinya harus merasa tersanjung dan meluangkan waktu untuk ucap terima kasih kepadanya?

Haechan mendongak, melayangkan mata pada Mark sambil memiringkan kepalanya.

"Kalau begitu..." Ia diam dan menjeda kalimatnya untuk sejenak pamer senyuman tipis kepadanya.

"Terima kasih."

Dan bodohnya Mark terpaku hanya untuk senyuman tipis yang sangat bias itu. Seakan waktu tengah berhenti dalam sejenak, Mark benar-benar tak bisa memalingkan tatapannya sama sekali dari Haechan.

***

"Katakan padaku, kau ada maksud tertentu, bukan?" Haechan tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Dirinya sudah berada di dalam mobil milik Mark, sedang menurut-menurut saja saat pria itu membantunya melepas dan mengganti mentel hujannya yang basah dengan sebuah padding tebal yang terasa sangat hangat dan tentu saja nyaman.

Mark diam, belum mau menjawab, hanya merapikan tudung berbulu yang terlihat sedikit berantakan di sekitar leher milik Haechan.

Suasanya begitu tenang dan lengang, hanya gemuruh dari suara hujan yang ada di luar belakalah yang menemani kesunyian mereka. Sebab jalanan di sekitar pun sepi, lebih lagi malam telah larut dan pun posisi mereka bukan di jalan raya besar sehingga tak banyak kendaraan yang lewat. Hanya ada mobil mereka saja yang ada di sisi jalan.

"Coba sebutkan, maksud tertentu yang seperti apa yang sedang kau pikirkan sekarang." Mark berucap, menantang Haechan untuk menguakkan semua yang sedang dipikirkannya saat ini. Jika boleh jujur, Mark bahkan sama sekali tidak memiliki maksud apapun saat melakukan ini semua. Ia hanya mengikuti apa yang hatinya inginkan.

Mark akan mengakui tentang satu hal, yaitu tentang dirinya yang terus memikirkan anak ini sejak kejadian ciuman kala itu, ciuman mereka yang pertama bukan yang tadi siang. Dirinya juga tidak akan mencoba untuk mengelak diri jika anak ini memang menarik, ia bahkan terus berusaha mencari perhatiannya, mengusiknya agar tak sedikitpun beralih darinya, mengujinya dengan ulah menyebalkan agar anak ini selalu mengingat setiap momen bersamanya -sekalipun itu adalah momen yang buruk. Mark sama sekali tidak pernah mau mendustai hatinya, apa yang hatinya intuisikan selalu ia realisasikan, bahkan berucap secara terus-terang bahwa ia tertarik padanya. Benar bahwa jika dipikirkan kembali, semua terjadi dengan cukup cepat, tapi semua itu bukanlah dusta sama sekali.

Dirinya memang menginginkan anak ini.

"Kau mau menjebakku. Mempermainkanku. Iya kan?" Haechan berucap sambil melirik Mark, tidak berani menatap pria itu secara sepenuhnya, entahlah bukan karena gugup tapi sepertinya lebih kepada waspada. Menyandarkan punggungnya dengan nyaman sambil menikmati susu-teh hangat yang dibelikan oleh Mark, rasanya persis seperti yang sudah ia duga, manis dan aromanya begitu harum.

"Kan, kau tidak menjawab. Tak perlu ditebak lagi, kau memang ingin menjebakku. Tapi maaf, aku tidak akan terkecoh sama sekali." Haechan main asal berasumsi saat Mark tak kunjung membuka mulut untuk menyahuti kalimatnya. Tapi Haechan tidak merasa salah dengan asumsinya, dugaannya kali ini pasti benar.

Mari pikirkan saja kembali, si Mark sinting ini, dari sejak awal bertemu dengannya saja dendamnya sudah bukan main kan, lalu? Lihat apa yang terjadi saat ini? Mudah sekali rasa dendam itu sirna dan langsung berganti dengan sikap perhatian yang menghantarkan berjuta rasa hangat juga mendebarkan. Bukannya Haechan berdebar disepertiitukan oleh Mark, itu hanya perumpaan belaka, yang jika orang lainlah yang menerima sikap perhatian nan lembut itu, mereka pasti akan langsung berdebar dan merasa sangat bahagia. Tapi untungnya Haechan tidak demikian, dirinya tidak akan mudah tersentuh sama sekali dengan sikap perhatian yang coba diberikan oleh Mark kepadanya.

Afeksi semacam itu tidaklah mempan sama sekali untuk dirinya. Haechan kebal terhadapnya, camkan saja itu.

"Buruk sekali prasangkamu terhadap diriku." Celetuk Mark.

"Tapi kenyataannya pasti memang begitu, bukan?" Haechan menyahut cepat, mengangkat dagunya tinggi seakan angkuh tak mau kalimatnya dibantah oleh Mark. "Sudahlah, lagipula itu tidak penting. Sekarang mana ponselku." Haechan mengalihkan topik mereka, dan seakan tidak akan pernah lupa mengingatkan Mark tentang tujuan awal mereka bertemu malam-malam begini.

Mark menoleh pada Haechan dengan tatapan penuh minat, yang mana itu terlihat seperti Mark tengah menatap Haechan dengan sorot goda. Haechan bahkan sampai mengerutkan dahi tidak suka sambil bergidik, gestur bahwa dirinya jijik ditatap oleh Mark dengan cara demikian.

"Kenapa menatapku begitu? Tatapanmu itu terlihat seperti kau seorang mata keranjang." Tuduh Haechan dengan nada mencela.

Namun Mark, bukannya merasa tersinggung dengan cemoohan tersebut, dirinya dengan santai malah keluar kekehan pelan.

"Serius, kau manis sekali ternyata. Jadi pacarku saja, bagaimana? Tawaranku itu masih berlaku sampai kapanpun."

Ucapan Mark terdengar sangat ngawur sebenarnya, tapi asal tahu saja bagaimana efek mematikannya untuk hati milik Haechan. Ayo jilat ludah sendiri, kini jantungnya berdebar dengan aneh hanya karena kalimat sembrono yang dilontarkan oleh Mark. Haechan bahkan sampai memegang dadanya sendiri dengan raut muka kaku, merasa tidak percaya bahwa dirinya berhasil dibuat berdebar sungguhan oleh Mark. Ini gila, rasanya ingin menampik kenyataan saja.

***

Arena nampak ramai meski jalanan begitu basah dan suhu cukup rendah karena hujan deras baru saja melanda. Minibar sudah ramai meski baru pukul satu, parkiran sudah penuh dengan deretan mobil-mobil mewah bermodiv, dan beberapa juga ada sepeda motor. Arena kembali ramai setelah dua hari libur karena gencarnya patroli polisi yang sering terjadi belakangan ini.

Haechan masih berdiam di dalam mobil milik Mark, ia mengabaikan ajakan Mark yang terlihat ingin segera pergi ke tempat para kawanannya, masa bodoh dan malah sibuk celingukan ke sana kemari mencari keberadaan sang kakak. Ia tidak akan keluar sebelum menemukan keberadaan sang kakak, jika kakaknya tidak ada di arena dia akan lebih memilih untung pulang saja, untuk apa gunanya di sini jika kakaknya saja tidak ada, lebih baik ikut tidur di rumah saja.

"Turun." Ajak Mark pada Haechan, ia sudah membukakan pintu untuk anak itu tapi orangnya tak kunjung beranjak juga dari posisinya.

"Aku lihat dulu kakakku ada di sini atau tidak. Jika tidak, ya aku lebih memilih untuk pulang saja." Tolak Haechan sambil melirik Mark sengit.

Terdengar Mark menghela napas pelan setelah itu. Ia mengulurkan tangannya, berniat menarik Haechan keluar dengan sedikit paksaan jika Haechan masih tetap teguh tidak mau keluar juga.

"Keluar." Pinta Mark sekali lagi, kali ini dengan nada suara yang mulai terdengar sedikit dingin dan mengancam.

Tetapi tetap saja bukan Haechan namanya jika sampai terpengaruh oleh aura tidak mengenakkan yang mulai dikeluarkan oleh Mark. Itu bukan apa-apa. Sebaliknya, Haechan malah makin berani untuk membalas tatapan dari Mark. Sorot dingin itu coba Haechan tandingi dengan tatapan tajam penuh kebencian yang selama ini disimpannya kepada Mark. Tangan Mark yang sejak tadi juga mencekal pergelangan tangannya pun ia tepis dengan sikap arogannya.

Haechan tidak suka diperintah apalagi sampai coba dikendalikan oleh seseorang. Haeachan begitu membencinya jelas saja, ego tingginya tidak akan mau menerima hal itu.

"Aku akan keluar tapi aku tidak akan ikut denganmu. Aku akan mencari kakakku, jika ia ada maka aku akan bertahan, tapi jika tidak, aku akan pulang. Dan kau, jangan coba menarik-narikku terus. Aku tidak mau ikut denganmu." Tolak Haechan dengan teramat jelas, ingin Mark segera menyingkir darinya dan berhenti mengusiknya.

"Baiklah. Akan kuantar kau pulang jika dia tidak di sini, tapi jika kakakmu di sini, tak akan kulepaskan kau, kau harus ikut denganku. Setuju? Ya, kau harus." Mark berkata dengan sesuka hatinya, masih bersikeras mencekal tangan Haechan lalu menariknya sedikit keras agar keluar dan turun dari mobil.

Mendengar itu membuat Haechan segera mengeluarkan dengusan malasnya. Ia memutar bola matanya tapi tetap membiarkan Mark menarik tangannya, hingga mereka berjalan bersama memasuki arena dengan tangan yang saling bertaut.

Menggelikan, dan menjijikkan jujur saja.

Memasuki arena, Haechan langsung melangkah menuju ke tempat kawan-kawan kakaknya biasa berkumpul, dan tentu saja itu dengan diikuti oleh Mark. Haechan ingin menghempaskan pria itu sebenarnya, tapi itu sangat mustahil jika kenyataannya Mark sangatlah keras kepala. Pria itu bahkan hendak terus menggandeng tangannya jika saja keinginan itu tidak ia tolak dengan decakan kasar. Memalukan saja jika pria ini bersungguh-sungguh ingin terus menautkan jemari mereka selama di sini.

"Apa Yuta sudah datang?" Haechan bertanya pelan. Ia menghampiri Jungwoo yang sedang duduk santai sambil memainkan game di ponsel.

"Ya, tapi dia pergi sebentar menemui seseorang, katanya ada urusan penting atau apalah itu." Jawab Jungwoo dengan acuh tak acuh karena tak mau konsentrasinya terusik.

Haechan mengela napas dengan dalam setelah itu. Harapannya adalah Yuta tidak pergi ke arena dengan begitu dia bisa pulang lalu tidur dengan nyaman di rumah sampai pagi. Tapi sekarang kenyataannya, mau dikata apa Yuta ternyata sudah datang ke arena, bahkan sepertinya kakak tirinya itu sudah datang dari sejak tadi. Memang bukan nasib yang baik untuknya, hari ini yang namanya keberuntungan itu nampaknya tengah enggan berdekatan dengannya.

"Dengar sendiri?"

Ini adalah suara Mark. Dan Haechan menoleh pada pria itu sambil pamer satu senyuman malas.

"Terserah." Balas Haechan dengan malas-malasan. Pasrahlah ia pada yang namanya nasib.

Mark berseringai tipis. Ia sampirkan satu tangannya di bahu milik Haechan lalu menariknya agar lebih mendekat padanya. Mark tatap para kumpulan teman Yuta dengan tatapan sekilas.

"Bilang padanya untuk tidak perlu khawatir soal adik manisnya ini karena aku akan menjaganya dengan sangat baik."

Begitulah pamit Mark pada mereka semua yang ada di sana. Pemuda itu bahkan tidak sungkan untuk pamer senyum pada mereka, seakan ingin menebar keramahan namun sepertinya itu malah terasa seperti sebuah provokasi yang sedikit menjengkelkan di mata mereka.

"Bagaimana jika aku tidak izinkan?"

Suara Yuta muncul di belakang Haechan. Pria itu berucap santai, membenahi snapback-nya sebelum setelah itu menarik tudung jaket anak itu dan membawanya menjauh dari Mark.

Suasana langsung berubah menjadi senyap detik itu juga. Haechan hanya menurut saja saat kakaknya itu menarik tubuhnya dan menyuruhnya untuk berdiri di belakang punggungnya. Bagaimana tidak menurut jika kenyataannya memang hal inilah yang ia inginkan. Ia merasa sangat senang sekali kakaknya datang, menyelamatkannya dari Mark untuk yang kedua kalinya hari ini -yang pertama tentu saja saat di taman tadi siang.

"Sebenarnya tanpa izinmu pun aku tetap akan membawanya. Anak itu masih ada urusan denganku." Ucap Mark sambil menatap mata milik Yuta. Ia abaikan Haechan yang tadi sempat berjulur lidah padanya, mungkin anak itu berniat mengejeknya karena niatnya untuk membawanya harus terjanggal karena kedatangan Yuta.

Semua yang ada di sana segera alih atensi, mereka menghentikan sejenak kegiatan masing-masing kala paham tensi di sekitar mulai terasa kurang mengenakan. Ini adalah para pemimpin dari dua kelompok yang eksistensinya sama-sama cukup besar di arena ini. Dan itu akan terasa sangat tidak menyenangkan jika keduanya mulai terlibat ke dalam sebuah perdebatan sengit. Baik anggota dari masing-masing kelompok nampaknya mulai pasang raut was-was. Sedikit mengantisipasi jika saja akan terjadi sebuah percek-cokkan berujung pertengkarangan yang melibatkan dua kelompok, lebih lagi kelompok masing-masing sejak awal kondisinya memang sudah cukup tak akur.

"Kenapa kau jadi sangat repot sekali? Bahkan biasanya ini akan selesai hanya dengan uang? Tapi lihat? Apa yang kau inginkan dari adikku?"

Haechan menatap kakaknya dengan teramat lekat. Hatinya bak akan meleleh mendengar kata-kata menakjubkan yang diucapkan oleh kakaknya untuk melindungi dirinya dari Mark. Ini sangat di luar dari sikap sang kakak biasanya, yang seringnya begitu apatis dan sangat skeptis, tapi lihat ini? Kalimat darinya terdengar begitu tegas dan penuh penekanan, seakan Yuta ingin memberi penegasan pada Mark bahwa di sini pria itu tak bisa bersikap semena padanya hanya karena dalih sosok itu telah berhasil meraih kemenangan dalam pertandingan malam itu.

Lalu untuk Mark, butuh sedikit waktu hingga berselang beberapa detik baginya untuk buka bulut dan meladeni kalimat dari Yuta.

"Kau sedang berupaya konyol? Berhenti melatihnya menjadi pecundang dengan terus memanjanya. Faktanya dia sendiri kan yang menerima tantangan tanding pada malam itu?" Mark menaikkan satu alisnya, sedikit mencibir di akhir kalimat.

Haechan segera menatap Mark dengan tatapan lekat miliknya. Ia tak menampilkan raut muka yang berarti untuk Mark, hanya kini benaknya tengah berperang sendiri karena ada banyak sekali pertanyaan yang muncul. Kalian dengar sendiri, bukan? Bagaimana Mark berkata demikian, sebuah kalimat pedas menyebalkan yang membuatnya merasa terhina. Semenit lalu menggodanya dengan penuh rayuan menggelikan, dan sekarang sikap aslinya yang sebenarnya telah keluar kembali. Bagaimana seseorang bisa berubah dengan secepat itu? Ia memang sering mendengarnya, jarak pujian dan hinaan itu tidaklah jauh, sekali kedip mungkin sudah bisa sampai. Tapi tetap, pada realita yang sedang disuguhkan saat ini... hal itu menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan di dalam perasaannya.

Sebuah ketidakterimaan, rasa keberatan, dan lesakkan diri ingin menyerukan protesan.

"Baik, jika begitu bisa kau juga jangan banyak bertingkah? Jangan berniat memanfaatkannya, langsung ucapkan saja apa maumu dan selesaikan urusan kalian." Balas Yuta tidak mau kalah.

Haechan masih menatap Mark dengan lekat, seakan menantikan kalimat macam apa lagi yang hendak pria itu lontarkan untuknya. Apakah itu sebuah hinaan yang lebih menjatuhkan dan terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya? Atau apakah mungkin itu hanya sekedar cemoohan ringan yang sering ia dengar dari pria itu? Haechan penasaran sedikitnya.

Sementara itu Mark sempat membalas tatapan dari Haechan sekilas sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya maju, mengikis jaraknya dengan Yuta lalu memberikan tatapan penuh provokasi pada pria itu. Entah apa maksudnya, mungkin ingin menantang atau bahkan memang sengaja ingin cari perkara baru. Namun yang jelas, Mark yang melangkah maju sambil menatap Yuta demikian itu langsung menarik perhatian dari banyak orang yang menyaksikan mereka dari kejauhan.

"Bagaimana jika aku menginginkannya untuk kumiliki?" Ucap Mark dengan sambil pamer seringaian.

Dan Haechan yang melihat seringaian itu langsung pasang muka keras. Ia memiliki intuisi besar soal ini, di mana kemungkinan mengenai kalimat yang diucapkan oleh Mark hanya sebuah omong kosong belaka sangatlah tinggi. Ia tahu Mark berkata begitu hanyalah untuk memancing emosi Yuta, ingin membuat masalah ini menjadi semakin panjang dan rumit saja pastinya.

"Caramu bercanda sangat membosankan." Komentar Yuta singkat.

Tapi itu sukses membuat Haechan menyunggingkan senyuman tipis miliknya. Ia suka dengan cara Yuta membalas Mark, seakan itu telah merealisasikan apa yang ingin ia lontarkan pada pria tersebut, sehabis ini mungkin ia akan berlontar terima kasih kepada kakak kesayangannya tersebut.

"Kuberi tahu, aku tidak tertarik dengan bagaimana kau ingin bermain. Tapi yang jelas, menjauh dari adikku." Imbuh Yuta sambil menepuk bahu milik Mark sekilas namun sebenarnya itu cukup keras.

"Dan sebagai konsekuensi atas kekalahannya malam itu, aku akan memberikan uangnya padamu. Jadi, sampai di sini saja urusanmu dengannya dan jangan pernah coba-coba lagi untuk mendekatinya, kau mengerti?" Yuta berkata dengan nada sedikit dingin namun penuh ancaman. Karena di sini dirinya benar-benar serius ingin segera menyelesaikan urusan Haechan dengan Mark secepatnya. Ia tak mau Haechan terus terikat dengan Mark apalagi sampai Mark mengambil celah untuk memanfaatkan bocah bodoh bonus ceroboh seperti adiknya itu. Yuta tidak akan tinggal diam.

Setelah itu tanpa menunggu Mark membalas kalimatnya, Yuta memutuskan untuk berbalik dan beranjak dari sana. Ia tarik tangan Haechan, mengajaknya untuk pergi dan pulang.

"Apa kau pikir aku tipe orang yang akan mudah menurut dengan kalimat orang lain? Semakin kau berniat menjauhkannya dariku, kau tahu itu malah terasa semakin menarik." Lalu Mark tiba-tiba buka mulut ketika Yuta bahkan baru melangkahkan kaki pergi sejangkah darinya. Mark tersenyum culas menunggu Yuta untuk berbalik lagi padanya.

"Simpan saja uangmu kembali, aku sendiri sudah punya, banyak." Imbuh Mark sekali lagi kala Yuta tak kunjung menoleh namun tetap melanjutkan langkahnya. Sial. Mark cukup merasa geram, kalimatnya terasa bak angin kosong yang tidak menyejukkan maka dari itu diabaikan oleh Yuta. Ia pun mengepalkan tangannya sendiri kuat sebagai pertahanan diri terhadap rasa kesal yang hampir ia luapkan.

Baiklah, bukan masalah jika pria itu tak mau mencamkan kalimat darinya, maka dari itu kelak ia akan menunjukkan pada pria itu bahwa apa yang sudah ia ucap tadi tidaklah bisa diremehkan sama sekali. Akan ia buat pula pria itu mendapatkan mimpi buruknya dengan ia yang akan selalu melanggar setiap ancaman yang baru dilontarkan oleh sosok itu tadi.

***








TBC






Jangan lupa kesan dan pesannya kali aja ntar aku bakal tergerak buat up lagi ehehehehe

Continue Reading

You'll Also Like

208K 2.6K 67
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
PENGASUH By venta

Fanfiction

87.1K 9.4K 61
Pusat organisasi pembunuh bayaran telah terbongkar dan menjadi buron oleh negara. Salah satu cabang dari organisasi ini, memilih untuk membanting set...
864K 73.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
754K 11.5K 4
"Hidup ini melelahkan"- Zian Sebastian. "Kini aku benar-benar menyerah pada kalian, Aku benar-benar lelah dan semoga kalian cepat sadar akan keberada...