SINGASARI, I'm Coming! (END)

By an11ra

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... More

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
57 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

38 - PAST

26.4K 4.7K 1K
By an11ra

Terluka adalah hal yang paling aku benci karena dapat membatasi kegiatanku. Apalagi saat ini aku butuh banyak berkegiatan agar bisa mengalihkan keruwetan pikiranku. Aku sebenarnya tidak begitu yakin dengan keputusanku ini, oleh karena itu aku mulai meminta pendapat pada orang yang mengerti dan tentu bisa aku percayai.

Pengalamanku mengajarkan bahwa tidak akan pernah bisa mempercayai orang sepenuhnya, termasuk orang terdekatmu sekalipun. Lihat saja Padmini yang adalah pelayanku bahkan sejak aku masih kecil atau paling jelas yaa siapa lagi jika bukan Ayahandaku itu. Dia adalah orang yang berada diurutan teratas orang yang paling... paling... paling tidak dapat dipercayai di dunia ini.

Menengok ke bawah ke arah pelayan pribadiku yang tengah bersimpuh di lantai. Yaa, siapa lagi kalau bukan Rengganis. Aku senang... Oh bukan... bukan... lebih tepatnya aku lega saat melihat dia bisa selamat dari racun itu. Aku berhutang nyawa padanya, tetapi aku tidak mungkin berterima kasih karena bisa - bisa dia besar kepala nantinya. Tak ada jasa saja dia sudah kurang ajar, apalagi saat merasa berjasa. Bisa jadi hidupku ini makin tidak tenang dibuatnya.

Menyipit memandangnya, mungkin bukan aku saja yang sedang banyak pikiran. Aku tahu dia aneh, bukan hanya sikapnya tetapi juga pemikirannya. Jelas sekali jika raganya memang di sini tetapi pikirannya entah sedang menjelajah ke mana? Kenapa pula orang - orang yang ada di sekitarku tidak ada yang normal? Seakan belum cukup dengan Tohjaya, Mahisa ataupun Sadawira dan kini ditambah Rengganis. Oh Dewata, apakah ini hukuman bagiku?

"Kalau kau terus melamun yang ada lukaku tidak akan segera sembuh. Obati dengan benar! Seperti kau tahu, aku butuh tangan ini sembuh sesegera mungkin!" ucapku tegas dengan maksud menyindir Rengganis yang terlihat bekerja sambil melamun itu.

Memang saat ini dia ditugaskan mengobati luka sayatan di lenganku. Sebenarnya lukaku sudah cukup mengering, namun sepertinya akan meninggalkan bekas karena luka ini cukup dalam awalnya. Sebenarnya aku menggunakan ramuan penyembuh luka milik guru.

Entah bagaimana, tapi guruku itu juga mempunyai beberapa ramuan obat khusus yang mujarab. Tak heran sebenarnya karena guruku memang bukan orang biasa, apalagi kini dia memiliki Bimasena yang cukup berbakat meracik obat. Sepertinya pemuda itu mewarisi bakat pengobatan dari ayahnya.

Sayang sekali Mpu Wasesa tidak mau turun gunung dan menolak menjadi tabib istana, padahal setahuku Ayahanda pernah menemuinya langsung. Tapi takdir tak ada yang tahu, karena anaknya malah diselamatkan guru dari perampok dan kini menjadi penjaga Reksa. Ayahanda sepertinya bahkan tidak tahu jika sang anak memiliki kemahiran seperti ayahnya. Tentu, aku juga tak mau repot - repot memberi tahu padanya.

"Ampun, Pangeran. Hamba memang kurang berbakat mengobati. Sawitri seharusnya yang bertugas mengobati Pangeran, hanya saja dia tiba - tiba dipanggil menghadap Ratu lagi," jawab Rengganis sekenanya.

"Jika tidak bisa, berusaha hingga bisa! Aku sudah mengatakannya padamu dahulu kalakan? Bahumu yang terkena panah bukan kepalamu, jadi aku kira kau seharusnya tidak hilang ingatan, Rengganis!" ucapku ketus. Menyenangkan sebenarnya melihat raut wajahnya yang menahan kesal, karena itu bisa jadi hiburan tersendiri bagiku.

Tersenyum menatapku walau tahu senyuman itu dipaksakan, aku seolah - olah bisa menebak kemana arah pikirannya. Sepertinya dia memiliki niat buruk padaku misalnya ingin menjejalkan ramuan obat ini langsung ke mulutku bukan ke lukaku. Coba saja kalau berani?

"Apakah Pangeran ingin hamba panggilkan tabib saja? Mereka mungkin akan lebih mahir mengobati luka dibanding hamba yang tak becus ini. Katakan saja tabib mana yang harus hamba minta untuk datang ke sini, Pangeran?" balasnya sambil menekankan kata 'tabib mana', Ckckck... kurang ajar sekalikan pelayanku ini bukan?

"Apa kau sedang menyindirku?" tanyaku sambil mendengus pelan.

Satu lagi keahlian seorang Rengganis yaitu bisa membalikan keadaan dengan kata - katanya. Sepertinya dia ingin sekali membicarakan masalah ini denganku sejak lama, tetapi dia cukup bijak untuk menahan diri. Apalagi aku memang sengaja tidak mau mengungkit masalah itu karena... Ah, Sumpah aku kehilangan kata untuk mengambarkannya.

Menengok ke arah jendela sambil memandang awan yang berarak dan menghitam pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Cuaca yang tidak menyenangkan sesuai perasaanku saat mengingat kejadian minggu lalu itu. Entah berkah atau musibah, mungkin juga malah keduanya. Paling tidak kini aku bisa mengatur dan memantapkan perasaanku.

Sejujurnya aku cukup kaget saat Padestari muncul di pendopo kediamanku. Itu hal luar biasa mengingat hubungan baik kami selama hampir dua puluh tahun hancur dalam hitungan hari dan kami tak saling sapa berbulan - bulan. Aku merasa telah terkhianati oleh pilihannya.

Seperti keputusanku pada saat itu, hingga kinipun keputusanku tidak akan pernah berubah. Aku tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan Padestari lagi. Katakanlah aku kekanakan tetapi berhubungan dengannya bagai makan buah simalakama.

Aku ingin melindungi diriku sendiri dan menjauhkan segala hal yang dapat membuat tatanan kehidupanku yang sudah kubangun kembali dengan susah payah dapat kacau atau bahkan hancur. Tidak... aku tidak sebodoh itu. Pura - pura bodoh mungkin, tetapi bodoh sungguhan tidak mungkin.

Memasuki kamar setelah mengusir semua orang menurutku lebih baik dan memang aku lebih nyaman sendirian. Membuka bingkai jendela selebar - lebarnya, seketika angin pagi menyerbu masuk. Terlihat beberapa burung terbang di kejauhan. Memang jendela kamarku mengarah langsung pada rimbunnya pepohonan.

"Braaak" Suara pintu terbuka membuatku berbalik badan dan bersiap memarahi siapapun yang berani kurang ajar padaku, namun melihat orang itu membuat aku menelan kembali kata - kata makian yang akan keluar dari mulutku.

"Kita harus bicara!"

Menaikan sebelah alisku melihat Padestari yang kelihatan tidak sabar, agak heran sebenarnya karena Padestari yang aku kenal dulu amat sangat sabar dan jarang menunjukkan kekesalan atau kemarahan seperti saat ini. Untuk alasan itu pula aku menyukainya... Oh bukan... bukan menyukainya tetapi aku mencintainya karena dia mirip Bunda Ratu.

"Tak ada yang perlu aku bicarakan denganmu. Aku tidak membutuhkan bantuanmu untuk mengobatiku. Aku baik - baik saja dan aku akan mengurus lukaku sendiri. Lebih baik kau lekas tinggalkan pendopo ini. Aku tidak ingin ada berita yang tidak - tidak bersama denganmu!"

"Kenapa Kanda berubah? Kanda marah aku menikah? Jika begitu, kenapa Kanda diam saja dan tidak menghentikan pernikahanku, haah?" tanyanya bertubi - tubi dengan raut kesal.

Terheran sebentar lalu tawaku pecah, "Hahaha... untuk apa aku menghentikan pernikahanmu, hm?"

"Itu... itu..."

"Apa???"

"Bukankah Kan___Kanda mencintaiku?" tanya Padestari terbata.

Tawa di bibirku lenyap kemudian aku melangkah mendekatinya "Benar... kau benar... aku mencintaimu ... sangat mencintaimu!"

"Kanda___" Matanya melotot seketika mungkin dia kaget atau pura - pura kaget saja.

Memotong perkataannya "Dengarkan dulu karena aku belum selesai. Aku sangat mencintaimu, hingga aku merasa begitu bersalah pada Praya. Mencintamu dan sanggup melakukan apapun untukmu tapi itu DA - HU - LU. Sekarang di sini," ucapku sambil menekan dada sebelah kiriku sendiri "Cinta itu telah MUSNAH... HILANG... LENYAP. Kau tahu aku paling benci ditinggalkan, bukan?"

"Baginda Raja yang____"

Memandang wajah cantik yang dahulu menjadi kesukaanku itu, namun kini entah kenapa begitu memuakkan "Awalnya aku pikir Ayahanda memaksamu, tapi anggapanku terpatahkan saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kejadiannya. Sepertinya aku keliru, Ayahanda tidak pernah memaksamu, itu pilihanmu sendiri, bukan? Kau mencintai diakan? Aku mengenalmu tidak sehari dua hari tapi bertahun - tahun, Padestari!"

"Kan____"

Memotong ucapannya sekali lagi, sekarang rasanya mendengar suaranya juga membuatku muak. Menghembuskan napas gusar guna meredakan kemarahan yang mulai naik ke kepala, lalu melanjutkan perkataanku, "Pandangan matamu dan senyummu saat memandangnya di acara pernikahanmu itu menunjukkan isi hatimu, Padestari. Kau tidak dalam keadaan terpaksa atau diancam seseorang. Kau mencintainya dan aku terluka karenanya!"

"Maaf... Hmm... itu tidak seperti yang ___"

Membalikan badanku lagi guna membelakanginya "Berhenti bicara, aku makin tidak menyukaimu sekarang. Ckckck... kau makin pandai berbohong, memuakkan sekali!" Berdecak kesal karena ternyata waktu bisa merubah kepribadian seseorang atau mungkin aku yang terlalu buta karena cinta dan tidak bisa melihat sifat aslinya dulu.

"Kau mencintai aku Kanda... SELAMANYA! Bahkan Praya saja tidak bisa menggerakkan hatimu karena di hatimu cuma ada aku... HANYA AKU. Itu pula alasanmu tidak menjalin hubungan dengan gadis menyedihkan bernama Praya, bukan? Bahkan kau selalu menunda membicarakan pernikahanmu dengan Baginda Raja. Kita memang berbulan - bulan tidak berhubungan tetapi telingaku tidak tuli, Kanda!" balasnya keras kepala.

Berbalik badan secepat yang aku bisa "Jangan sok tahu, kau ataupun penghuni istana tidak tahu apa - apa mengenai diriku dan aku ataupun Ayahanda tidak perlu menjelaskan apa - apa kepada kalian, karena kalian semua BUKAN SIAPA - SIAPA! Satu lagi, kau terlalu memandang tinggi dirimu sendiri!" jawabku mendesis lalu melanjutkan perkataanku, "Praya jauh... jauh lebih berharga dari siapapun saat ini. Dia selalu berada di sampingku hingga kini. Jadi jangan berani - berani membandingkan dirimu dengannya. Kau tidak pantas... TIDAK PERNAH PANTAS!"

"KANDA ___"

"PANGERAN... PANGERAN ANUSAPATI... Panggil namaku dengan benar. Jangan memangilku dengan panggilan Kanda, kau tidak berhak lagi memangilku begitu. Ingat, saat ini kau adalah istri seseorang. Jaga martabat suamimu!" ucapku geram lalu berbalik badan guna meredakan kemarahanku lalu melanjutkan, "Pergilah, urusan kita sudah selesai. Aku tak ingin ada urusan apapun denganmu lagi, Padestari. Tutup pintunya, aku ingin beristirahat!"

Melangkah pelan sambil menghela napas, namun langkahku terhenti mendadak karena Padestari memeluk tubuhku dari belakang dan mulai terisak pelan. "Apa kau sudah kehilangan kewarasanmu, Padestari? Lepaaaas!"

"Hik... Hik... Hik..." bukannya melepaskan dia malah mengeratkan pelukannya padaku.

Jika saja dia bukan perempuan yang aku kenal dekat, maka aku bisa menghentikan sikapnya dengan cara sekasar mungkin. Namun perempuan ini... perempuan ini yang mengisi hatiku bertahun - tahun. Sebenci apapun aku padanya tidak mungkin aku berbuat kasar padanya. Tanganku mengepal erat guna menyalurkan kemarahanku.

Kenapa dia begini? Sebenarnya aku tidak mau tau dan tidak tertarik untuk mengetahuinya. Namun... hmm... menghela napas lelah. Keheningan panjang dan hanya terdengar suara isak yang makin lama makin pelan dari Padestari hingga...

"Klontang" Suara bilah bambu terjatuh dan mulai menggelinding menyadarkan kami berdua.

Berbalik badan dan tentu menghempaskan tangan Padestari yang sebelumnya melingkar di perutku. Memejamkan mata sesaat saat melihat Rengganis membungkukan badan guna mengambil bilah bambu di lantai. Inilah yang aku takutkan yaitu jika ada orang yang memergoki kami dan pastinya membuat mereka menyimpulkan hal yang tidak - tidak. Paling tidak aku tak ingin melakukan hal yang tidak - tidak dengan Padestari, entah apa niat Padestari melakukan tindakan ini? Perempuan dan masalah sepertinya tidak dapat dipisahkan.

Benar dugaanku, Rengganis yang sudah menegakkan badannya tampak salah tingkah. Lucu sebenarnya memandangnya bersikap canggung dan tampak kehabisan kata, tapi aku juga ingin mendengar alasan yang membuatnya melanggar perintahku dan nekat kembali ke pendopo. Menaikan sebelah alis menunggunya berbicara.

Rengganis tidak sama sekali berani memadang wajahku ataupun Padestari. Dia tampak takut dan terlihat ingin buru - buru pergi. Mencoba tersenyum lalu dia berkata, "Ampun Pangeran. Hamba diminta menyerahkan pesan ini dari Raden Panji Kenengkung langsung kepada Pangeran. Tadi hamba terlupa. Sekali lagi hamba mohon ampun."

Aku tahu suasananya tidak enak sekali tapi melihatnya panik sekaligus takut cukup berhasil mengurangi kemarahanku. "Hamba letakan di sini, Pangeran!" ucapnya kemudian meletakkan bilah bambu di meja kecil yang ada di dekatnya. "Hamba mohon undur diri, Pangeran," lanjutnya sambil memberi hormat lalu berbalik badan. Meninggalkan aku yang bingung harus merasa terancam karena tertangkap basah oleh Rengganis atau malah tertawa melihat tingkah cangungnya tadi?

"Apa pelayan itu yang bernama Rengganis?" Tanya Padestari pelan yang membuatku tersadar dan seketika menengok ke arahnya.

Dahiku mengeryit mendengar pertanyaan anehnya "Apa urusannya pelayanku denganmu?"

Menutup matanya sesaat dan menghapus air matanya sebelum berkata, "Suamiku beberapa kali menyebutkan namanya."

Tawaku akhirnya tersembur keluar lagi "Hahaha... apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku, datang tiba - tiba... berkata aneh, bertingkah aneh... ini sama sekali bukan dirimu... Ckckck... katakan apa maumu sebenarnya PA - DES - TA - RI?" tanyaku dengan gigi bergemeretak menahan geram.

"____" Tak ada jawaban dari bibirnya.

"Kau ada masalah dengan suamimu?" Tebakku karena jujur sikap Padestari itu aneh seaneh anehnya.

"____" Masih tak ada jawaban dari bibirnya.

Memijit pelipisku, ini yang aku benci dari perempuan. Mereka terlalu berahasia dan berbelit - belit sehingga membuat kami kaum pria diharapkan memiliki kemampuan sekelas dukun guna menebak apa mau mereka sebenarnya. "Setahuku Mahisa Randi tidak memiliki masalah apalagi kedekatan khusus dengan Rengganis. Untuk apa kau mengungkit soal pelayanku? Jadi sekarang bisa jelaskan apa sebenarnya yang kau curigai, Padestari?"

Padestari tampak salah tingkah "Aku pikir suamiku tertarik padanya. Aku takut dia akan... akan..." Menutup matanya pelan sesaat setelah mengatakan isi hatinya namun terlihat tak sanggup meneruskan perkataannya.

Mendengus pelan karena aku tahu kemana tujuan pembicaraan ini "Kau pikir suami tercintamu itu akan menikah lagi, begitu? Dan apakah aku sebodoh itu untuk membiarkan orang kepercayaanku diambil dariku sekali lagi?" jawabku yang kini benar - benar geram.

Demi Dewata, aku benar - benar kesal sekesal kesalnya!

Apa orang - orang di istana ini tidak waras semua?

Tidak bisakah mereka untuk tidak menyeret orang - orang tak bersalah ke dalam pusara kepentingan mereka sendiri?

"Hmm..." Padestari menghembuskan napas gusar.

Tetapi tunggu, ada keanehan di sini. "Setahuku hubungan kalian baik - baik saja, lalu untuk alasan apa dia ingin menikah lagi?" tanyaku memastikan.

"Itu..."

Menyadari gerakan tangan Padestari yang tidak biasa "Kau takut dia menikah lagi karena hingga kini kau belum memberinya keturunan, begitu?" Tebakanku yang aku yakin benar karena beberapa kali Padestari mengusap perutnya. Menyebalkan sekali, kenapa pula aku terlibat dengan masalah rumah tangga orang lain... ini sungguh....Arrrggghh

"Itu..."

Menghembuskan napas gusar "Dengarkan aku, Padestari! Seandainyapun suami tercintamu itu menikah lagi, aku pastikan satu hal padamu bahwa bukan Rengganis yang akan jadi pengantinnya. Lebih baik aku bunuh Rengganis daripada harus menyerahkannya pada pria tak berbudi macam suamimu!"

"Itu tuduhan tidak masuk akal. Suamiku tidak mudah terpengaruh, mungkin saja pelayan____"

Memotong perkataannya lagi "Suamimu tidak bersalah begitu? Pelayanku yang menggodanya? Hahaha... Leluconmu bahkan terdengar lebih lucu daripada lelucon yang dikatakan Tohjaya!"

"Tapi____"

Menyeringai pada akhirnya lalu berkata, "Jika yang kau takutkan terjadi yaitu adanya pernikahan lain, berarti Dewata telah menunjukan padaku bahwa kalian berdua memang berjodoh, SAMA - SAMA TAK TAHU DIRI!"

"KANDA___"

"CUKUP! Aku sudah bilang tadi panggil namaku dengan benar!" Mengangkat telapak tanganku kearahnya untuk menghentikan apapun perkataannya.

"___" Tak ada kata yang keluar dari mulut Padestari, tetapi sayangnya dia tidak mampu menyembunyikan kekesalannya karena telah kalah.

Entah kenapa aku dulu begitu tergila - gila pada perempuan ini? menghembuskan napas gusar sekali lagi lalu berjalan ke dekat pintu "Pergi sekarang juga, aku tidak ingin melihatmu mendekati pendopo kediamanku lagi! Ini peringatanku yang terakhir, jika kau tidak juga hengkang maka aku pastikan kau akan menyesal, Padestari! Kau pasti tahu aku ini orang seperti apa, bukan?"

Terdengar helaan napas panjang sebelum Padestari berjalan dengan kepala tertunduk untuk meningalkan kamar namun langkahnya terhenti sesaat, dia berkata walau tak memandangku sama sekali "Maafkan aku, sepertinya pilihanku keliru. Jika dulu aku memilih Kanda, aku yakin Kanda tidak akan pernah meningalkanku, entah apapun keadaannya. Mungkin ini karmaku." Melanjutkan langkahnya untuk meningalkan pendopo, sedang aku termenung memandang sosoknya yang kian menjauh.

"Issshh..." Ringisku pelan kala ramuan obat itu terserap oleh lukaku dan tentu membuatku tersadar dari lamunan panjang.

Sialan sekali... Sepertinya Rengganis sengaja mengoleskan ramuan sambil menekan lukaku. Aku lupa mengatakan bahwa ramuan ini memang manjur tetapi rasa perihnya juga lebih parah dari ramuan biasa. "Kau sengajakan, Rengganis?" tanyaku geram.

"Sengaja? Apa maksud Gusti Pangeran? hamba tidak mengerti," jawabnya pura - pura bodoh atau memang dia bodoh betulan.

"Aku sedang tak ingin bercanda, Rengganis!" Sentakku cukup keras.

"Apalagi hamba, Pangeran. Mungkin saja Pangeran tadi sedang membayangkan hal yang tidak - tidak, jadi lupa sekarang luka anda yang belum sembuh sedang diobaati oleh hamba."

"Hahaha... Luar biasa, hanya kau satu - satunya pelayan yang mampu menyembunyikan kekurang ajaranmu dalam kata - kata penuh petuah!"

Seperti aku bilang, dia ini seolah - olah bagaikan orang yang tersasar masuk ke istana. Terlalu berani dan tidak seperti rakyat kecil kebanyakan. Sopan santunnya nol besar. Namun naluriku mengatakan bahwa perempuan di hadapanku terlalu cerdas dan terlalu aneh untuk bisa dikatakan sebagai orang biasa.

Masalah lainnya menyangkut Rengganis adalah kebiasaannya yang selalu melawan. Sialnya, aku juga yakin sifat itu bukan sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian tetapi mengalir begitu saja. Dengan kata lain, seakan jiwa seorang pemberontak gila terkurung dalam tubuh perempuan cantik ini.

Menghembuskan napas pelan sebelum menjawab, "Hamba tak ingin majikan hamba bermain api, bagaimana jika nanti berakibat lukanya akan bertambah dan mungkin malah lebih menyakitkan rasanya?"

"Streeet..." Kutarik tangan Rengganis sehingga mangkuk ramuan obat terjatuh dan hancur di lantai. Menarik sekuat tenaga lalu menghempaskan badannya di atas pangkuanku tak lupa aku peluk dia dari belakang.

"Pa___Pangeran apa yang anda lakukan? Jangan macam - macam!" ucapnya agak ketakutan sambil menggerakan tubuhnya agar bisa bebas dari pelukanku. Jangan harap... dia harus diberi pelajaran!

"Kenapa kau tidak mau diam, Rengganis? Oh, aku tahu, pasti karena aku bukan guru sehingga kau tidak mau aku peluk, Ckckck... Tidak aku sangka ternyata kau hanya mau jika yang memelukmu itu guruku, begitu?" balasku sambil menyeringai saat secepat kilat wajah Rengganis menengok ke arahku.

Masih dengan raut wajah ketakutan "Anda memata - matai hamba?"

"Disebut memata - matai jika aku mengikutimu terus. Maaf - maaf saja, pekerjaanku terlalu banyak sehingga tidak mungkin aku melakukan hal tidak berguna macam itu. Hmm... lebih tepat dikatakan jika aku memergoki kalian saat kebetulan sedang berjalan - jalan di pagi buta. Apa yang kalian rencanakan, hm?"

Berdiri segera setelah menginjak kakiku sekuat tenaga, lalu berbalik menghadapku, entah kenapa raut ketakutan dari wajahnya lenyap "Gusti Pangeran boleh saja mencurigai hamba, tetapi jangan pernah meragukan kesetiaan Raden Panji Kenengkung pada anda Pangeran. Dia... Dia bahkan pernah memanah hamba karena dia pikir hamba adalah ancaman bagi Pangeran!"

Menahan sakit di jari - jari kakiku karena injakan Rengganis yang tak berbelas kasihan tadi. Dasar perempuan sinting, untung saja wajahnya cantik jika tidak...

Menyeringai memandangnya yang terlihat menahan kesal "Kau membelanya, hm? Nah, sekarang coba pikirkan siapa yang sebenarnya sedang bermain api di sini, Rengganis? AKU ATAU KAU?" balasku telak.

Kali ini kita imbang Rengganis!!!

-----------------Bersambung------------------

19 Februari 2021

-------------------------------------------------------

Aku bakal terima kritikan jika aku melakukan kesalahan yang FATAL
Misalnya aku nulis :
- Malang adalah Kota Hujan.
- Ken Arok mengadakan jamuan makan untuk menyambut Khubilai Khan yang datang dari Mongolia.
- Tohjaya berburu bersama Sunan Gunung Jati
- Indonesia is a beautiful city
(Nah kalo kayak gitu berarti aku udah ngaco level Dewa dan pantas di Kritik Nisanak dan Kisanak sekalian)

Tapi kalau aku harus balik lagi hanya karena 'titik, koma, huruf miring, ketinggalan huruf konsonan atau vokal a i u e o, double kata, POV, harusnya nulis begini bukan begitu, kenapa pilih kata A padahal harusnya B'
(Please deh... hidup aku nggak segabut itu. Typing error-ku bahkan dibawah 5% (5% x 3000 words = 150 words loh) nggak sebanyak itu kan? Kalau mau cari kesalahan kata, aku kasih tahu : SEMUA kata dari chapter 2 - 38 bahkan sampai tamat nanti SALAH SEMUA karena mereka berkomunikasi dalam BAHASA JAWA. Mana ngerti bahasa Indonesia???)

Readers boleh comments apapun, dari mulai pake bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa kasar, sampe bahasa binatang
Terus kalo authornya membela diri dibilangnya nggak santai, cuma nanya, cuma bercanda
(Hadeeeh... Pembunuh berantai aja berhak mengemukakan Pledoi alias pembelaan, kenapa aku nggak boleh??? Memang aku lebih rendah dari pembunuh, hm??? Aku juga cuma jawab, kata - kata anda terbaca nyolot bikin aku nggak santai, bercandaanmu nggak lucu)

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 489 75
[ANAK 90-AN, CERITA INI UNTUK KALIAN] ✅ Terinspirasi Drama Taiwan Our Times (2015) dan "Itu Aku" by SheilaOn7 ❌ Bukan fanfic "Tahukah lagu yang kau s...
195K 21.2K 37
(COMPLETED) Rhea si gadis karate yang sedang kesulitan keuangan untuk menghidupi tujuh adik angkatnya, ditawari Jason, senior di kampus yang juga seo...
239K 4.3K 11
Namanya Devania, tapi orang-orang biasa memanggilnya Vania. Seorang dokter magang dengan kepribadiannya yang unik, namun ternyata berhasil menarik p...
515K 54.2K 31
Dewi Kirana Candramaya, namanya. Gadis pindahan dari Jakarta yang sama sekali tidak menyukai pelajaran Sejarah, tiba-tiba muncul di masa kerajaan agr...